Jangan
Nodai Ramadhan Kita[1]
Sulthan
Hadi
(Hal 10) Puji dan
syukur kita kepada Allah saat ini mungkin sedang tidak terhingga. Betapa tidak,
hari ini kita Kembali dipertemukan dengan Ramadhan; bulan yang telah memenuhi
relung hati kita dengan kerinduan sejak beberapa bulan yang lalu; bulan yang
diliputi keberkahan; bulan pahala ibadah waji kita dilipatgandakan hingga tujuh
puluh kali; dan Ibadah sunnah menyerupai ibadah wajib; bulan yang mengajarkan
kita kesabaran, kedermawanan, dan banyak hal lain.
(Hal 11) hari ini,
kita bersama lagi dalam naungan kasih sayang, ampunan dan limpahan karunia dari
Allah SWT. Detik demi detik nafas kita hari ini begitu mahal dan berharga. Bagi
mereka yang sadar akan keagungan bulan ini, tentu tidak akan membiarkan setiap
hembusan nafasnya terbuang sia-sia, tanpa dzikir, tanpa doa, tanpa amal
kebaikan.
Ramadhan adalah anugerah mahal yang diberikan Allah SWT kepada kita sebagai umat Islam. Ia adalah karunia khusus bagi kita, yang tak diberikan kepada umat mana pun di dunia yang serupa dengannya. Ia adalah cahaya dalam kehidupan kita. Kehormatan dan kesuciannya sebagai karunia istimewa tidak boleh tercederai sedikitpun, oleh siapa pun.
Sayangnya,
tidak jarang kita menyaksikan sikap angkuh yang seolah sengaja dipertunjukkan
untuk menodai kesucian bulan agung ini, yang terkadang muncul dari orang-orang
di sekeliling kita, atau justru dari kita sendiri; mengkhianatinya dengan
hal-hal yang mengotorinya.
Menodai
dengan Merusak Kehormatannya
Ramadhan
itu mulia karena perintah puasa yang ada di dalamnya. Ramadhan itu terhormat
karena Allah SWT telah mewajikan kita berpuasa di siang harinya. Setiap kita
yang berusia taklif dan tidak memiliki uzur, wajib meninggalkan makan, minum,
dan syahwat seksual di sepanjang hari demi mematuhi perintah Allah dan
memuliakan kehormatan Ramadhan.
Karena
itulah, maka Allah SWT menghukum orang-orang yang tidak mematuhi ketentuan itu,
dan mewajibkan untuk menggantinya di waktu yang lain. Bahkan jika pelanggaran
itu dengan memperturutkan syahwat maka Allah SWT melipatgandakan hukumannya.
Suatu
hari di bulan Ramadhan, seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW. “Aku telah
binasa, ya Rasulullah,” kata orang itu. “Apa yang membuatmu binasa?,” Tanya
Rasulullah. Lelaki itu menjelaskan, bahwa ia telah menggauli istrinya di siang
hari Ramadhan. Maka untuk menebus kesalahannya, Rasulullah menyebutkan tiga
hukuman yang harus dipilih orang itu sesuai dengan kesanggupannya; membebaskan
budak, berpuasa dua ulan berturut-turut, dan memberi makan 60 orang miskin. Dan
inilah yang disebut dengan kafarat, sebagai hukuman bagi orang yang
telah menodai kehormatan (intkhakul hurmah) bulan Ramadhan.
Mungkin
kita tidak melakukan pelanggaran yang seberat itu terhadap kehormatan Ramadhan,
tetapi pelanggaran-pelanggaran lebih kecil seringkali begitu mudah kita
lakukan. Ketika diterpa dahaga karena aktivitas kita di siang hari, dengan
mudah (Hal 12) nya
kita memutus puasa yang sudah setengah hari kita jalani. Cobalah kita berjalan
di siang hari Ramadhan, dengan mudah kita temukan orang-orang yang bebas makan,
minum, merokok dan sebagainya dengan alasan yang sangat sederhana; panas dan
kelelahan, tanpa raut bersalah di wajahnya. Padahal Rasulullah SAW telah
menegaskan kepada kita,
“Barangsiapa
yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di siang Ramadhan, tanpa ada ‘rukhshah’
(keringanan) yang diberikan Allah kepadanya, maka dia tidak akan pernah bisa
menggantinya meskipun ia berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Jika pun
memang kita terpaksa melakukannya, maka kata para ulama, hendaknya kita
menyembunyikan makan dan minum kita dari pandangan orang lain, karena hal itu
merusak kehormatan Ramadhan.
Menodai
dengan Menyia-Nyiakan Keutamaannya
Rasulullah
dalam khutbahnya di akhir bulan Sya’ban, telah mengingatkan kita tentang banyak
hal mengenai keutamaan Ramadhan. Kita dimotifasi untuk meraih
keutamaan-keutamaan itu. Sesuatu yang tidak akan kita dapatkan di sebelas bulan
yang lain.
Imam
Ahmad meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Ummatku
diberikan lima hal yang belum pernah diberikan kepada umat-umat sebelumnya
Ketika Ramadhan: Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi dari minyak
kesturi di sisi Allah; para malaikat beristighfar untuk mereka hingga berbuka; Allah
memperindah Surga-Nya setiap hari, seraya berfirman kepadanya,”Hampir-hampir
para hamba Ku yang shalih mencampakkan berbagai kesukaran dan penderitaan lalu
Kembali kepadamu”; syetan-syetan durjana dibelenggu, tidak dibiarkan lepas
seperti pada bulan-bulan selain Ramadhan; mereka akan mendapatkan ampunan di
akhir malam.”
(HR.
Al Bazzar dan Baihaqi)
Dengan
itu, Ibrahim An Nakhai termotifasi untuk mengkhatamkan Al Qur’an setiap tiga
malam, dan sepuluh malam terakhir mengkhatamkan tiap dua malam. Qatadah radhiyallahu
anh mengkhatamkannya tiap tiga hari, dan pada sepuluh hari terakhir
mengkhatamkan setiap malam.
Di sana
juga ada orang yang memperbanyak shalat malam, memperbanyak sedekah, memberi
makan orang-orang yang berpuasa. Orang-orang itu, dengan segala macam
amal-amalnya, menghormati keutamaan Ramadhan, mengikuti petunjuk dan sunnah
Rasulullah SAW.
Di sini, mari
kita merenungi diri, apakah kita juga menghormati keutamaan-keutamaan itu, atau
justru menistanya? Ternyata malam-malam kita di bulan Ramadhan seperti tidak
ada bedanya dengan malam-malam selain Ramadhan. Padahal Rasulullah SAW sangat
menganjurkan ummatnya untuk menghidupkan malam dengan sholat dan doa-doa
tertentu. Ibadah shalat malam di bulan Ramadhan yang biasa disebut tarawih,
merupakan amal ibadah khusus di bulan ini. Tanpa menghidupkan malam dengan
ibadah tarawih, tentu kita akan kehilangan momentum berharga.
Sementara,
di siang hari kita hanya menghabiskan waktu dengan memperpanjang jam tidur,
agar kita tidak terlalu terbebani dengan rasa lapar dan haus. Padahal, (Hal 13) para
shalafushalih justru memperbanyak tilawah dan tadaburnya terhadap Al Qur’an di
saat-saat itu. Saat-saat berharga di bulan Ramadhan ini kita sia-siakan begitu
saja, tanpa menghiraukan keutamaan yang bisa kita petik.
Menodai
karena Puasa tak Mampu Mencegah Kita dari Berlaku Buruk
Berpuasa
di bulan Ramadhan, tidak sekedar memuasakan mulut dan perut dari makan dan
minum. Dua hal itu bahkan tidaklah sulit dilakukan. Saudara-saudara kita yang
hidup kekurangan, menahan lapar saban hari dijalani. Mereka tentu jauh lebih
mampu dari kita, jika tujuan puasa hanya sekadar itu.
Berpuasa
yang sempurna haruslah dilakukan dengan disertai menahan diri dari melakukan
perbuatan-perbuatan buruk dan tak terpuji. Dan Itulah yang sulit. Kita berpuasa
dari makan, tetapi pendengaran kita masih sering menguping gosip dan
pembicaraan yang sia-sia. Kita berpuasa dari minum, tapi lidah kita tidak
pernah berhenti membicarakan aib dan keburukan orang lain. Kita berpuasa dari
melakukan houngan suami isteri, tapi tak kuasa menahan pandangan dari hal-hal
yang terlarang. Sekali lagi, ini lebih sulit karena kita kerap tidak sadar
dalam melakukannya.
Dikisahkan
dari Ubaid ra, budak yang telah dimerdekakan Rasulullah SAW, bahwa ada dua
orang perempuan yang berpuasa. Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, di sini ada dua orang perempuan yang berpuasa dan keduanya hampir
meninggal kehausan.” Rasulullah berpaling dari lelaki itu kemudian Kembali
berkata,”Wahai Nabi Allah, Demi Allah! Mereka berdua telah sekarat.” Setelah
dua kali diberitahu, akhirnya Rasulullah SAW berkata,”Bawa keduanya ke sini.”
Kedua
perempuan itu pun dibawa dan diambilkan
untuk mereka sebuah gelas. Rasulullah SAW lalu menyuruh salah seorang diantara
mereka,”Muntahkanlah!” perempuan itu pun memuntahkan darah yang bercampur nanah
dan daging sehingga memenuhi separuh gelas itu. Kemudian beliau menyuruh
perempuan yang kedua,”Muntahkanlah!” Perempuan itu pun muntah darah bercampur
nanah dan daging, hingga penuhlah gelas tersebut. Rasulullah SAW, bersabda,”Perempuan
itu berpuasa dengan segala yang Allah halalkan dan berbuka dengan semua yang
Allah haramkan. Salah seorang dari mereka bertamu dan duduk dengan saudaranya
itu, lalu keduanya memakan daging manusia (Ghibah terhadap orang lain).” (HR.
Ahmad)
Ketika
kita berpuasa, tetapi tidak mampu menjaga mata dari melihat yang haram, atau
tidak bisa mencegah lisan dari membicarakan keburukan orang, mengeluarkan
kata-kata kasar, membuka rahasia, mengadu domba, berdusta, atau tidak sanggup
menjaga kuping dari mendengar cerita-cerita bohong, menyimak nyanyian syetan
dan sebagainya, maka sesungguhnya kita telah menodai bulan suci Ramadhan dan
membiarkan lapar dan dahaga kita sia-sia di sisi Allah SWT. Jangankan mengharap
pahala, justru adzab yang mungkin akan menimpa. Sebab Rasulullah SAW pernah
berpesan, adakala kalimat buruk yang sering diucapkan seseorang, tapi karena
Allah tidak ridha dengan kalimat itu, orang (Hal 14) tersebut dimasukkan ke dalam
neraka. (HR. Ahmad)
Menodai
karena Gagal Mengendalikan Hawa Nafsu
Hakekat
puasa itu sesungguhnya adalah kesanggupan kita menguasai diri, mengendalikan
syahwat dan meredam hawa nafsu, terhadap apa saja dan sekecil apapun. Jika itu
belum sanggup kita lakukan, maka puasa kita mungkin hanya akan benar secara
hukum, tapi hampa secara makna: taka da manfaat yang kita hasilkan dari lapar
dan haus yang berusaha kita kendalikan dari subuh hari hingga petang. Dan yang
lebih mengerikan, kesucian Ramadhan hanya akan terkoyak oleh perilaku kita yang
tak mampu mengendalikan hawa nafsu.
Banyak
alasan untuk mengatakan itu. Dan sebenarnya kita semua bisa mengenali posisi
diri kita masing-masing, sekuat apa kita mampu menahan gejolak hawa nafsu. Misalnya
saja, kebiasaan Sebagian kita menghabiskan banyak uang untuk sekadar belanja
beragam penganan berbuka puasa. Seolah kita akan melahap semua keinginan nafsu
yang tertahan sejak pagi hari hingga petang. Saat-saat berbuka yang seharusnya
kita jadikan kesempatan untuk memperbanyak doa dan istigfar, justru menjadi
arena “balas dendam” pelampiasan nafsu. Ini tentu jadi pertanda bahwa kita
memang tidak kuasa mengendalikan nafsu.
Tidak
berhenti di situ, ketika Ramadhan menjelang akhir di mana seharusnya kita
semakin mengencangkan ibadah, kita justru kian memperlihatkan dominasi hawa
nafsu atas diri kita. Pusat-pusat perbelanjaan menjadi pusat perhatian
kebanyakan kita, seolah tidak terlihat kalau bangs akita terkendala secara
ekonomi. Sementara masjid dan tempat-tempat pengajian semakin sedikit
dikunjungi orang. Berhari raya bagi kita seperti tak bermakna jika tak memakai
pakaian baru. Padahal, hari raya itu bukanlah dengan berbaju baru tetapi dengan
takwa di hati berlabuh.
Ramadhan
sebagai bulan Latihan menuntut kita untuk bersungguh-sungguh dalam mencapai
tujuan. Tujuan yang paling rendah adalah diampuninya seluruh dosa, sedang
tujuan yang tertinggi adalah meraih derajat takwa di sisi-Nya. Latihan
mengendalikan hawa nafsu dari dosa dan kemaksiatan sangatlah penting artinya.
Di bulan ini kita diberi Latihan sederhanan untuk mengendalikan hawa nafsu;
makan dan minum, Latihan yang cukup berat untuk meredam syahwat, meninggalkan
hubungan suami istri di siang hari. Ketika itu tidak berhasil, Maka Ramadhan
kita ternodai.
Menodai
karena Keluar dari Ramadhan tanpa Hasil
Akumulasi
dari perbuatan sia-sia kita di bulan Ramadhan tentu akan mengeluarkan kita
darinya tanpa membawa sedikit pun keberuntungan. Tak ada perubahan yang berarti
dalam diri kita. Ketika hari-hari menjelang Idul Fitri kita sibuk dengan
persiapan lahir, tetapi tidak sibuk dengan memasok perbekalan
sebanyak-banyaknya, Ketika pada 10 malam terakhir untuk memperbanyak ibadah
kita dan tak tampak lagi di masjid, tak hadir dalam tadarusan, hilang dari
I’tikaf. Kita lebih banyak berpikir bagaimana merayakan Idul Fitri dengan
berbagai kesenangan, dengan melupakan suasana akan berpisah dengan bulan (Hal 15) mulia
tersebut, maka yakinlah bahwa kita akan berpisah dengan Ramadhan ini tanpa
kesan dan tanpa perubahan.
Rasulullah
SAW dan para sahabatnya memperbanyak ibadah, dzikir dan berupaya meraih
keutamaan malam seribu bulan. Pada detik-detik terakhir menjelang usainya
Ramadhan, mereka merasakan kesedihan mendalam karena harus berpisah dengan
bulan mulia itu. Sebagian mereka bahkan menangisi karena akan berpisah dengan
bulan agung yang penuh keutamaan. Ada
juga yang bermimpi, agar sepanjang tahun dijadikan Ramadhan supaya bisa
mengumpulkan pahala lebih banyak lagi.
Ketika
Idul Fitri dan selanjutnya dirayakan laksana hari ‘merdeka’ dari penjara untuk
Kembali melakukan berbagai penyimpangan. Maka fenomena ini sebenarnya hanya
akibat pelaksanaan puasa yang tak sesuai dengan adabnya. Orang yang berpuasa
dengan baik tentu tidak akan menyikapi Ramadhan sebagai pengekang. Setelah
Ramadhan, nyaris tidak ada tindaklanjut ibadah pada bulan-bulan berikutnya.
Misalnya
memelihara kesinambungan puasa sunah, shalat malam, membaca Al Qur’an. Amal-amal
satu bulan Ramadhan, adalah bekal pasokan agar ruhani dan keimanan seseorang
meningkat untuk menghadapi sebelas bulan setelahnya. Namun orang akan gagal
meraih keutamaan Ramadhan, saat ia tidak berupaya menghidupkan amal-amal ibadah
yang pernah ia jalankan dalam satu bulan itu.
Keberhasilan
Ramadhan kita akan ditunjukkan dengan menaiknya grafik amal dan menurunnya dosa
dan kemaksiatan. Dan kestabilan ruhiyah yang tercapai, sebagai bekal kita
menghadapi kehidupan pasca Ramadhan. Jika semua itu tak terwujud dalam diri
kita, meskipun sedikit, maka Ramadhan ini telah tersia-sia. Kehadirannya untuk
membawa kita kepada takwa yang lebih baik jelas telah ternodai. Semoga kita
tidak melupakan sabda Rasulullah SAW,
“Berapa
banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya
kecuali lapar dan dahaga …”
(HR.
Bukhari dan Muslim)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar