Jumat, 19 April 2024

Jangan Nodai Ramadhan Kita

 

Jangan Nodai Ramadhan Kita[1]

Sulthan Hadi

 

(Hal 10) Puji dan syukur kita kepada Allah saat ini mungkin sedang tidak terhingga. Betapa tidak, hari ini kita Kembali dipertemukan dengan Ramadhan; bulan yang telah memenuhi relung hati kita dengan kerinduan sejak beberapa bulan yang lalu; bulan yang diliputi keberkahan; bulan pahala ibadah waji kita dilipatgandakan hingga tujuh puluh kali; dan Ibadah sunnah menyerupai ibadah wajib; bulan yang mengajarkan kita kesabaran, kedermawanan, dan banyak hal lain.

(Hal 11) hari ini, kita bersama lagi dalam naungan kasih sayang, ampunan dan limpahan karunia dari Allah SWT. Detik demi detik nafas kita hari ini begitu mahal dan berharga. Bagi mereka yang sadar akan keagungan bulan ini, tentu tidak akan membiarkan setiap hembusan nafasnya terbuang sia-sia, tanpa dzikir, tanpa doa, tanpa amal kebaikan.

Ramadhan adalah anugerah mahal yang diberikan Allah SWT kepada kita sebagai umat Islam. Ia adalah karunia khusus bagi kita, yang tak diberikan kepada umat mana pun di dunia yang serupa dengannya. Ia adalah cahaya dalam kehidupan kita. Kehormatan dan kesuciannya sebagai karunia istimewa tidak boleh tercederai sedikitpun, oleh siapa pun.


Sayangnya, tidak jarang kita menyaksikan sikap angkuh yang seolah sengaja dipertunjukkan untuk menodai kesucian bulan agung ini, yang terkadang muncul dari orang-orang di sekeliling kita, atau justru dari kita sendiri; mengkhianatinya dengan hal-hal yang mengotorinya.

Menodai dengan Merusak Kehormatannya

Ramadhan itu mulia karena perintah puasa yang ada di dalamnya. Ramadhan itu terhormat karena Allah SWT telah mewajikan kita berpuasa di siang harinya. Setiap kita yang berusia taklif dan tidak memiliki uzur, wajib meninggalkan makan, minum, dan syahwat seksual di sepanjang hari demi mematuhi perintah Allah dan memuliakan kehormatan Ramadhan.

Karena itulah, maka Allah SWT menghukum orang-orang yang tidak mematuhi ketentuan itu, dan mewajibkan untuk menggantinya di waktu yang lain. Bahkan jika pelanggaran itu dengan memperturutkan syahwat maka Allah SWT melipatgandakan hukumannya.

Suatu hari di bulan Ramadhan, seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW. “Aku telah binasa, ya Rasulullah,” kata orang itu. “Apa yang membuatmu binasa?,” Tanya Rasulullah. Lelaki itu menjelaskan, bahwa ia telah menggauli istrinya di siang hari Ramadhan. Maka untuk menebus kesalahannya, Rasulullah menyebutkan tiga hukuman yang harus dipilih orang itu sesuai dengan kesanggupannya; membebaskan budak, berpuasa dua ulan berturut-turut, dan memberi makan 60 orang miskin. Dan inilah yang disebut dengan kafarat, sebagai hukuman bagi orang yang telah menodai kehormatan (intkhakul hurmah) bulan Ramadhan.

Mungkin kita tidak melakukan pelanggaran yang seberat itu terhadap kehormatan Ramadhan, tetapi pelanggaran-pelanggaran lebih kecil seringkali begitu mudah kita lakukan. Ketika diterpa dahaga karena aktivitas kita di siang hari, dengan mudah (Hal 12) nya kita memutus puasa yang sudah setengah hari kita jalani. Cobalah kita berjalan di siang hari Ramadhan, dengan mudah kita temukan orang-orang yang bebas makan, minum, merokok dan sebagainya dengan alasan yang sangat sederhana; panas dan kelelahan, tanpa raut bersalah di wajahnya. Padahal Rasulullah SAW telah menegaskan kepada kita,

“Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di siang Ramadhan, tanpa ada ‘rukhshah’ (keringanan) yang diberikan Allah kepadanya, maka dia tidak akan pernah bisa menggantinya meskipun ia berpuasa sepanjang tahun.”   (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Jika pun memang kita terpaksa melakukannya, maka kata para ulama, hendaknya kita menyembunyikan makan dan minum kita dari pandangan orang lain, karena hal itu merusak kehormatan Ramadhan.

Menodai dengan Menyia-Nyiakan Keutamaannya

Rasulullah dalam khutbahnya di akhir bulan Sya’ban, telah mengingatkan kita tentang banyak hal mengenai keutamaan Ramadhan. Kita dimotifasi untuk meraih keutamaan-keutamaan itu. Sesuatu yang tidak akan kita dapatkan di sebelas bulan yang lain.

Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Ummatku diberikan lima hal yang belum pernah diberikan kepada umat-umat sebelumnya Ketika Ramadhan: Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi dari minyak kesturi di sisi Allah; para malaikat beristighfar untuk mereka hingga berbuka; Allah memperindah Surga-Nya setiap hari, seraya berfirman kepadanya,”Hampir-hampir para hamba Ku yang shalih mencampakkan berbagai kesukaran dan penderitaan lalu Kembali kepadamu”; syetan-syetan durjana dibelenggu, tidak dibiarkan lepas seperti pada bulan-bulan selain Ramadhan; mereka akan mendapatkan ampunan di akhir malam.”

(HR. Al Bazzar dan Baihaqi)

Dengan itu, Ibrahim An Nakhai termotifasi untuk mengkhatamkan Al Qur’an setiap tiga malam, dan sepuluh malam terakhir mengkhatamkan tiap dua malam. Qatadah radhiyallahu anh mengkhatamkannya tiap tiga hari, dan pada sepuluh hari terakhir mengkhatamkan setiap malam.

Di sana juga ada orang yang memperbanyak shalat malam, memperbanyak sedekah, memberi makan orang-orang yang berpuasa. Orang-orang itu, dengan segala macam amal-amalnya, menghormati keutamaan Ramadhan, mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah SAW.

Di sini, mari kita merenungi diri, apakah kita juga menghormati keutamaan-keutamaan itu, atau justru menistanya? Ternyata malam-malam kita di bulan Ramadhan seperti tidak ada bedanya dengan malam-malam selain Ramadhan. Padahal Rasulullah SAW sangat menganjurkan ummatnya untuk menghidupkan malam dengan sholat dan doa-doa tertentu. Ibadah shalat malam di bulan Ramadhan yang biasa disebut tarawih, merupakan amal ibadah khusus di bulan ini. Tanpa menghidupkan malam dengan ibadah tarawih, tentu kita akan kehilangan momentum berharga.

Sementara, di siang hari kita hanya menghabiskan waktu dengan memperpanjang jam tidur, agar kita tidak terlalu terbebani dengan rasa lapar dan haus. Padahal, (Hal 13) para shalafushalih justru memperbanyak tilawah dan tadaburnya terhadap Al Qur’an di saat-saat itu. Saat-saat berharga di bulan Ramadhan ini kita sia-siakan begitu saja, tanpa menghiraukan keutamaan yang bisa kita petik.

Menodai karena Puasa tak Mampu Mencegah Kita dari Berlaku Buruk

Berpuasa di bulan Ramadhan, tidak sekedar memuasakan mulut dan perut dari makan dan minum. Dua hal itu bahkan tidaklah sulit dilakukan. Saudara-saudara kita yang hidup kekurangan, menahan lapar saban hari dijalani. Mereka tentu jauh lebih mampu dari kita, jika tujuan puasa hanya sekadar itu.

Berpuasa yang sempurna haruslah dilakukan dengan disertai menahan diri dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan tak terpuji. Dan Itulah yang sulit. Kita berpuasa dari makan, tetapi pendengaran kita masih sering menguping gosip dan pembicaraan yang sia-sia. Kita berpuasa dari minum, tapi lidah kita tidak pernah berhenti membicarakan aib dan keburukan orang lain. Kita berpuasa dari melakukan houngan suami isteri, tapi tak kuasa menahan pandangan dari hal-hal yang terlarang. Sekali lagi, ini lebih sulit karena kita kerap tidak sadar dalam melakukannya.

Dikisahkan dari Ubaid ra, budak yang telah dimerdekakan Rasulullah SAW, bahwa ada dua orang perempuan yang berpuasa. Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, di sini ada dua orang perempuan yang berpuasa dan keduanya hampir meninggal kehausan.” Rasulullah berpaling dari lelaki itu kemudian Kembali berkata,”Wahai Nabi Allah, Demi Allah! Mereka berdua telah sekarat.” Setelah dua kali diberitahu, akhirnya Rasulullah SAW berkata,”Bawa keduanya ke sini.”

Kedua perempuan itu  pun dibawa dan diambilkan untuk mereka sebuah gelas. Rasulullah SAW lalu menyuruh salah seorang diantara mereka,”Muntahkanlah!” perempuan itu pun memuntahkan darah yang bercampur nanah dan daging sehingga memenuhi separuh gelas itu. Kemudian beliau menyuruh perempuan yang kedua,”Muntahkanlah!” Perempuan itu pun muntah darah bercampur nanah dan daging, hingga penuhlah gelas tersebut. Rasulullah SAW, bersabda,”Perempuan itu berpuasa dengan segala yang Allah halalkan dan berbuka dengan semua yang Allah haramkan. Salah seorang dari mereka bertamu dan duduk dengan saudaranya itu, lalu keduanya memakan daging manusia (Ghibah terhadap orang lain).” (HR. Ahmad)

Ketika kita berpuasa, tetapi tidak mampu menjaga mata dari melihat yang haram, atau tidak bisa mencegah lisan dari membicarakan keburukan orang, mengeluarkan kata-kata kasar, membuka rahasia, mengadu domba, berdusta, atau tidak sanggup menjaga kuping dari mendengar cerita-cerita bohong, menyimak nyanyian syetan dan sebagainya, maka sesungguhnya kita telah menodai bulan suci Ramadhan dan membiarkan lapar dan dahaga kita sia-sia di sisi Allah SWT. Jangankan mengharap pahala, justru adzab yang mungkin akan menimpa. Sebab Rasulullah SAW pernah berpesan, adakala kalimat buruk yang sering diucapkan seseorang, tapi karena Allah tidak ridha dengan kalimat itu, orang (Hal 14) tersebut dimasukkan ke dalam neraka. (HR. Ahmad)

Menodai karena Gagal Mengendalikan Hawa Nafsu

Hakekat puasa itu sesungguhnya adalah kesanggupan kita menguasai diri, mengendalikan syahwat dan meredam hawa nafsu, terhadap apa saja dan sekecil apapun. Jika itu belum sanggup kita lakukan, maka puasa kita mungkin hanya akan benar secara hukum, tapi hampa secara makna: taka da manfaat yang kita hasilkan dari lapar dan haus yang berusaha kita kendalikan dari subuh hari hingga petang. Dan yang lebih mengerikan, kesucian Ramadhan hanya akan terkoyak oleh perilaku kita yang tak mampu mengendalikan hawa nafsu.

Banyak alasan untuk mengatakan itu. Dan sebenarnya kita semua bisa mengenali posisi diri kita masing-masing, sekuat apa kita mampu menahan gejolak hawa nafsu. Misalnya saja, kebiasaan Sebagian kita menghabiskan banyak uang untuk sekadar belanja beragam penganan berbuka puasa. Seolah kita akan melahap semua keinginan nafsu yang tertahan sejak pagi hari hingga petang. Saat-saat berbuka yang seharusnya kita jadikan kesempatan untuk memperbanyak doa dan istigfar, justru menjadi arena “balas dendam” pelampiasan nafsu. Ini tentu jadi pertanda bahwa kita memang tidak kuasa mengendalikan nafsu.

Tidak berhenti di situ, ketika Ramadhan menjelang akhir di mana seharusnya kita semakin mengencangkan ibadah, kita justru kian memperlihatkan dominasi hawa nafsu atas diri kita. Pusat-pusat perbelanjaan menjadi pusat perhatian kebanyakan kita, seolah tidak terlihat kalau bangs akita terkendala secara ekonomi. Sementara masjid dan tempat-tempat pengajian semakin sedikit dikunjungi orang. Berhari raya bagi kita seperti tak bermakna jika tak memakai pakaian baru. Padahal, hari raya itu bukanlah dengan berbaju baru tetapi dengan takwa di hati berlabuh.  

Ramadhan sebagai bulan Latihan menuntut kita untuk bersungguh-sungguh dalam mencapai tujuan. Tujuan yang paling rendah adalah diampuninya seluruh dosa, sedang tujuan yang tertinggi adalah meraih derajat takwa di sisi-Nya. Latihan mengendalikan hawa nafsu dari dosa dan kemaksiatan sangatlah penting artinya. Di bulan ini kita diberi Latihan sederhanan untuk mengendalikan hawa nafsu; makan dan minum, Latihan yang cukup berat untuk meredam syahwat, meninggalkan hubungan suami istri di siang hari. Ketika itu tidak berhasil, Maka Ramadhan kita ternodai.

Menodai karena Keluar dari Ramadhan tanpa Hasil

Akumulasi dari perbuatan sia-sia kita di bulan Ramadhan tentu akan mengeluarkan kita darinya tanpa membawa sedikit pun keberuntungan. Tak ada perubahan yang berarti dalam diri kita. Ketika hari-hari menjelang Idul Fitri kita sibuk dengan persiapan lahir, tetapi tidak sibuk dengan memasok perbekalan sebanyak-banyaknya, Ketika pada 10 malam terakhir untuk memperbanyak ibadah kita dan tak tampak lagi di masjid, tak hadir dalam tadarusan, hilang dari I’tikaf. Kita lebih banyak berpikir bagaimana merayakan Idul Fitri dengan berbagai kesenangan, dengan melupakan suasana akan berpisah dengan bulan (Hal 15) mulia tersebut, maka yakinlah bahwa kita akan berpisah dengan Ramadhan ini tanpa kesan dan tanpa perubahan.

Rasulullah SAW dan para sahabatnya memperbanyak ibadah, dzikir dan berupaya meraih keutamaan malam seribu bulan. Pada detik-detik terakhir menjelang usainya Ramadhan, mereka merasakan kesedihan mendalam karena harus berpisah dengan bulan mulia itu. Sebagian mereka bahkan menangisi karena akan berpisah dengan bulan  agung yang penuh keutamaan. Ada juga yang bermimpi, agar sepanjang tahun dijadikan Ramadhan supaya bisa mengumpulkan pahala lebih banyak lagi.

Ketika Idul Fitri dan selanjutnya dirayakan laksana hari ‘merdeka’ dari penjara untuk Kembali melakukan berbagai penyimpangan. Maka fenomena ini sebenarnya hanya akibat pelaksanaan puasa yang tak sesuai dengan adabnya. Orang yang berpuasa dengan baik tentu tidak akan menyikapi Ramadhan sebagai pengekang. Setelah Ramadhan, nyaris tidak ada tindaklanjut ibadah pada bulan-bulan berikutnya.

Misalnya memelihara kesinambungan puasa sunah, shalat malam, membaca Al Qur’an. Amal-amal satu bulan Ramadhan, adalah bekal pasokan agar ruhani dan keimanan seseorang meningkat untuk menghadapi sebelas bulan setelahnya. Namun orang akan gagal meraih keutamaan Ramadhan, saat ia tidak berupaya menghidupkan amal-amal ibadah yang pernah ia jalankan dalam satu bulan itu.

Keberhasilan Ramadhan kita akan ditunjukkan dengan menaiknya grafik amal dan menurunnya dosa dan kemaksiatan. Dan kestabilan ruhiyah yang tercapai, sebagai bekal kita menghadapi kehidupan pasca Ramadhan. Jika semua itu tak terwujud dalam diri kita, meskipun sedikit, maka Ramadhan ini telah tersia-sia. Kehadirannya untuk membawa kita kepada takwa yang lebih baik jelas telah ternodai. Semoga kita tidak melupakan sabda Rasulullah SAW,

Berapa banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga …”

(HR. Bukhari dan Muslim)

***

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429  H, 11 September 2008 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar