Majalah
Tarbawi, Sebelum Hoaks dan Kebencian Merajalela
Setelah media-media Islam rontok, ujaran kebencian
berkedok agama via daring berseliweran di tengah masyarakat.
Muslim Cyber Army dan jaringan-jaringan lain
yang menyebar hoaks, fitnah, dan kebencian via saluran daring merupakan narasi
yang menghangat akhir-akhir ini.
Polarisasi politik yang tajam pasca-Pemilu
Presiden tahun 2014, terus terjadi sampai hari ini. Kubu-kubu yang
berseberangan terus-menerus melancarkan serangan. Teks bertendensi kebencian
diproduksi, disebarkan, dan membikin kegaduhan di tengah masyarakat.
Kecepatan adalah watak saluran daring. Celah
ini bisa dimanfaatkan oleh siapa saja, baik yang menebar informasi destruktif,
maupun sebaiknya. Mundur sedikit ke belakang, ketika akses internet masih
terbatas, penyebaran informasi yang berbentuk teks dikuasai media cetak.
Di medium cetak pun kabar baik dan busuk
lumrah terjadi, hanya saja kecepatan penyebarannya jauh tertinggal jika
dibandingkan dengan internet. Dalam konteks perang kebencian belakangan ini,
media cetak lebih lambat penyebarannya.
Bacaan yang diproduksi oleh Muslim dan
ditujukan untuk penganut agama mayoritas di negeri ini—sebagai mangsa terbesar
dari warta busuk menor provokasi, pernah diwarnai oleh berbagai tabloid dan
majalah Islam multi corak dan tendensi. Ada yang menyajikan sastra, liputan
konflik, kajian wacana politik, isu-isu keluarga, menyemai ruhani, dll.
Mayoritas media-media tersebut telah rontok.
Salah satunya adalah majalah Tarbawi yang mempunyai misi “Menuju Kesalehan
Pribadi dan Umat”.
Majalah yang lahir pada 1999 dan berhenti
terbit tahun 2014 tersebut—jika melihat isi warta hoaks yang membanjir
belakangan ini --, adalah contoh media yang mencoba meredam ketergesa-gesan
umat dalam menyikapi berbagai hal yang beredar dalam keseharian. Tarbawi
menawarkan jeda, spasi perenungan, dan menggeledah ruhani.
Sedari judul, Tarbawi telah menawarkan
perspektif lain. “Di Balik Kebiasaan Kita Memilih Kata”, demikian judul edisi
287. Dirosat atau kajian utama di nomor ini—dengan menyertakan referensi dari
khazanah Islam, membahas hal-ihwal kata yang menjadi ujung tombak dalam
keseharian.
Setelah mengutip sebuah perkataan Umar bin
Abdul Aziz (cicit Umar bin Khatab/khalifah kedua dalam sejarah kepemimpinan
Islam) tentang kata, Tarbawi kemudian mengurainya dalam tulisan yang cukup
panjang.
Bagi Tarbawi, persoalan memilih kata adalah
hal penting yang harus disampaikan kepada masyarakat. Alih-alih mengupas
rupa-rupa peristiwa aktual dan segera memberitakannya, Tarbawi justru terlebih
dulu membekali pembacanya dengan perangkat kesadaran tentang kata.
“Setiap kita berurusan dengan kata-kata dalam
berbeda kesempatan. Bahkan sebagai seorang Muslim, setiap hari ibadah kita
berkaitan erat dengan pengucapan kata. Memilih kata adalah soal seni, rasa, dan
sastra,” tulis Tarbawi.
Tarbawi menambahkan bahwa masing-masing kita
mempunyai keleluasaan memilih kata, baik dalam berbicara maupun dalam menulis.
Pilihan tersebut bukan sekadar sesuatu yang biasa, sebab ia membawa pesan-pesan
di baliknya. Kebiasaan kita memilih kata adalah hal-hal yang melatarinya.
Mengutip dari seorang bijak, Tarbawi menulis bahwa seseorang diukur dengan dua
anggota tubuhnya yang kecil, yaitu hati dan lidahnya.
“Semoga keimanan kita lebih terjaga dengan
pilihan kata, dan kita bisa lebih mendalami sebuah persoalan sebelum mengambil
sikap untuk bicara. Karena setiap kata ada pertanggungjawabannya,” terang
Tarbawi.
Contoh lain tentang ikhtiar Tarbawi dalam
mencoba meredam sikap masyarakat yang berlebihan dan tidak moderat, adalah
edisi 225 yang kajian utamanya bertajuk “Mungkin, Kini Kita Tengah Mencintai
Apa yang Dulu Kita Benci”.
Dalam edisi ini, Tarbawi mengkaji soal sikap
personal dan masyarakat yang kerap membenci atau tidak menyukai sesuatu dan
seseorang secara berlebihan. Padahal, menurut majalah ini, selalu ada perubahan
dalam diri kita seiring perubahan-perubahan yang dibawa oleh waktu yang terus
berjalan.
Bukan hanya fisik dan usia, tambah Tarbawi,
tapi kadang selera, pandangan, pikiran dan perasaan kita, juga ikut berubah.
Suasana jiwa, yang diwakili oleh benci dan cinta kita pada seseorang atau
sesuatu, pun kadang bergeser.
“Benci yang berlebihan akan menimbulkan gelap
mata. Sedangkan cinta yang berlebihan akan menimbulkan kekecewaan. Karena itu
jika membenci seseorang atau sesuatu, jangan sampai rasa benci itu mengusai
hidup kita,” tulis Tarbawi.
Dari awal terbit sampai meranggas dan mati di
edisi 315, majalah ini selalu menakar setiap judul dan isi dengan pendekatan
yang mencoba menggedor-gedor kesadaran. Beberapa contoh judul berikut adalah
bagian kecil dari riwayat tiga ratus edisi lebih yang telah dilahirkan Tarbawi:
“Sediakan Selalu Ruang untuk Dibenci” (edisi
206), “Seringkali Kita Meminta Melalui Ibadah yang Tergesa-gesa” (edisi 217),
“Mari Sejenak Bicara tentang Rasa Sepi Seorang Ibu” (edisi 219), “Merasakan
Jejak Diri di Rumah Kita yang Dulu” (edisi 258), dll.
KABAR DARI
BELAKANG LAYAR
Tarbawi yang hidup dalam situasi transisi
antara dunia cetak dan daring, terlihat gagap menghadapi perubahan tersebut.
Media sosial yang mereka miliki untuk memublikasikan majalah hanya Facebook dan
Twitter, sementara laman web-nya sudah lama tidak bisa dibuka. Sekarang hanya
menyisakan beberapa arsip di laman blogspot yang tidak diketahui siapa
pembuatnya.
Pendiri majalah ini adalah Ahmad Zairofi, M.
Lili Nur Aulia, dan Arwim Al Ibrahimi. Ketika dihubungi oleh Tirto (5/3/2018)
via salah satu media sosial, M. Lili Nur Aulia tidak bersedia memberikan nomor
kontaknya dan hanya menjawab, “[Sudah] lama sekali tidak berinteraksi dengan
pertanyaan seperti ini. Afwan (maaf) ya belum bisa jawab.”
Sebelum Tarbawi lumat pada 2014, Ahmad
Zairofi (pendiri merangkap pemimpin redaksi) pernah menjelaskan dapur di balik
pembuatan majalah tersebut kepada Edi Santoso—yang kemudian sempat bergabung
sebagai Redaktur Pelaksana Tarbawi.
Dalam Kemanusiaan dalam Media: Telaah atas
Gaya Jurnalisme Majalah Tarbawi dan Tempo (Jurnal Komunika, Vol. 4 No. 1,
Januari-Juni 2010), Edi Santoso menulis bahwa Tarbawi berideologi jurnalisme
nurani.
“Secara implisit, Majalah Tarbawi mengaku
‘berideologi’ jurnalisme nurani. Setidaknya, lewat iklan dan merchandiser-nya,
majalah ini hampir selalu menyertakan slogan jurnalisme nurani. Bahkan beberapa
kali mereka secara khusus menggelar pelatihan jurnalistik bertajuk ‘7 Ideologi
Tulisan Mazhab Jurnalisme Nurani’,” tulisnya.
Menurut Ahmad Zairofi, jurnalisme nurani
adalah praktik jurnalisme berdasarkan fitrah Islami. Fitrah bermakna universal
karena pada dasarnya manusia memiliki fitrah (kecenderungan) yang sama.
“Jadi meskipun Tarbawi mengusung nilai-nilai
Islam, pemberitaannya tetap relevan untuk dibaca kalangan dengan agama apa pun.
Pada simpul fitrah inilah, Tarbawi bermaksud membangun kebersamaan umat lintas
ras dan budaya. Titik temu jurnalisme nurani Tarbawi dengan jurnalisme lainnya
ada pada prinsip tanggung jawab dan kejujuran,” tambahnya.
Menurut Edi, dalam menyeleksi dan memilih
isu, Tarbawi tentu mengikuti kaidah nilai jurnalistik, yakni menakar sisi
kebaruan informasi (novelty), kedekatan dengan pembaca (proximity), pengaruhnya
pada pembaca (consequence), konflik, dan sentuhan nilai kemanusiaan (human
interest).
Edi menambahkan, bahwa pertimbangan nilai
berita itu lebih pada sisi pelatuk berita (news peg) untuk melakukan
kontemplasi.
“Tarbawi lebih menekankan sisi kontemplasi
sebuah peristiwa,” terangnya.
Sebelum bergabung dengan Tarbawi, Edi Santoso
menelaah bahwa menurutnya majalah tersebut hampir selalu memberikan penekanan
pada solusi dari setiap peristiwa yang diangkat.
“Solusi yang ditawarkan Tarbawi cenderung
bersifat personal. Tarbawi melihat akar dari segala persoalan sebetulnya ada
pada diri manusia (antroposentris) sehingga perubahan lingkungan akan berawal
dari perubahan pribadi” tulis Edi.
Hal ini dibenarkan oleh Ahmad Zairofi yang
mengakui bahwa memang Tarbawi lebih fokus pada sisi personal. Ia menambahkan,
langkah tersebut adalah pendekatan kultural dengan mengajak pembaca untuk
berkontemplasi, merenung, dan membangkitkan kesadaran.
Ahmad Zairofi juga menegaskan bahwa faktor
lain di luar manusia, misalnya sistem, memang memberikan pengaruh yang besar
bagi kehidupan manusia, namun semuanya berawal dari manusia.
“Kesadaran personal merupakan kekuatan utama
sebelum kekuatan kolektif. Daya tahan personal merupakan daya tahan utama
sebelum daya tahan kolektif. Dan kecakapan personal secara mental merupakan
modal menuju kecakapan sistem,” terangnya.
MENGHILANG DAN DIRINDUKAN
Kesibukan meringkus kontemplasi. Sejak
Tarbawi berhenti terbit, ketiga pendirinya tercatat aktif di partai politik,
yaitu PKS. Ahmad Zairofi sibuk sebagai anggota DPRD DKI Jakarta. M. Lili Nur
Aulia menjabat sebagai Ketua Kaderisasai Kader DPW PKS Banten. Dan Arwim Al
Ibrahimi menjabat sebagai Ketua Dewan Syariah Daerah PKS Padang.
Meski Tarbawi memang lahir dari rahim gerakan
Tarbiyah, dan para pendirinya kemudian bertungkus lumus di partai tersebut,
akan tetapi para pembacanya merasa menyayangkan ketika akhirnya majalah ini
berhenti terbit.
Respons masyarakat terhadap Tarbawi sedari
awal memang cukup baik. Mula-mula terbit sekitar 2000 eksemplar. Setahun
kemudian sudah menerbitkan lebih dari 20.000 eksemplar, padahal pada waktu itu
majalah ini hanya terbit bulanan.
Di beberapa laman pribadi pembaca Tarbawi,
seperti yang ditulis oleh Triyanto Mekel, ia menyayangkan majalah ini berhenti
terbit. Menurutnya, umat masih membutuhkan pemaknaan hidup yang dihadirkan oleh
majalah tersebut.
“Majalah Tarbawi sudah lama tak hadir
menyapa. Rindu kesejukannya,” tulisnya.
Sementara pembaca lain, Husni Mubarok, yang
mengaku sudah mengenal Tarbawi sejak kelas 5 Sekolah Dasar, tak bisa melupakan
“gaya bahasanya yang mengalir ringan dan tiada beban.”
“Hilangnya Tarbawi jelas kabar buruk. Cukup
menyesakkan dada walau saya tidak rutin membelinya,” tulis Yusuf Maulana.
Menurutnya, situasi politik yang banyak
menyita perdebatan adalah momentum yang tepat untuk membaca kembali materi di
Tarbawi. Ia berharap media—yang katanya “penyejuk hati” ini hadir kembali.
Sejauh ini, belum ditemukan arsip bahwa
Tarbawi berhenti terbit disertai pamit kepada para pembacanya. Majalah itu
hilang begitu saja. Pelanggan tiba-tiba tak menemukan lagi edisi terbaru.
Padahal Tarbawi sempat punya slogan yang berbunyi, “Kita hidup di kepadatan
interaksi, tapi sulit untuk belajar memahami.”
Nomor 315 adalah edisi pamungkasnya. Sejak
itu, sebuah media cetak Islam telah lampus. Internet berkembang, yang lain ikut
bertumbangan. Kini, yang ada hanya teks-teks kebencian berkedok islam yang
berseliweran menghiasi semesta informasi para pembaca. (irf)
Tayang
pertama kali di Tirto.id pada 7 Maret 2018
Tayang
pertama kali di Tirto.id pada 7 Maret 2018