Sabtu, 05 September 2020

Interaksi, Variasi dan Harmoni

Interaksi, Variasi dan Harmoni[1][2][3]

(Hal-40) Kalau kita sepakat bahwa masalah utama komunikasi ada pada makna, maka akar persoalannya ada pada interaksi. Karena, makna selalu lahir dari interaksi, dalam konteks komunikasi apapun, baik komunikasi massa, interpersonal ataupun kelompok. Ruang makna kita ditentukan oleh dengan siapa kita berbicara, media apa yang kita konsumsi atau dalam kelompok mana kita bergaul.



Dalam komunikasi interpersonal misalnya, selalu ada korelasi antara apa yang kita rasakan dengan siapa yang menjadi teman bicara kita. Ada teman yang selalu menjadi variabel pengaruh. Begitu pula komunikasi massa, media selalu berkontribusi dalam pilihan tindakan kita.

Jika komunikasi adalah proses yang terus-menerus, maka sejatinya kita beralih dari satu bentuk komunikasi ke bentuk lainnya. Ada saat berbincang secara personal dengan orang lain. Ada waktu untuk berinteraksi dengan lingkungan, juga ada kesempatan untuk menyimak informasi dan hiburan dari media massa. Jika ini semua terjadi secara proporsional, maka akan muncul keseimbangan. Karena masing-masing konteks komunikasi menyediakan kebutuhan yang berbeda.

Komunikasi interpersonal mengafirmasi kebutuhan psikologis individu: perhatian, kesungguhan, kedekatan, dan empati. Inilah jenis komunikasi yang paling sering dan tentu saja, paling awal dilakukan dalam sejarah pertumbuhan manusia. Komunikasi kelompok muncul seiring bertambahnya jumlah manusia. Mulailah muncul kebutuhan bahwa pesan ada pesan yang harus disampaikan pada beberapa orang sekaligus. Kebutuhan yang menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Perubahan yang paling drastis terjadi ketika teknologi elektronik memfasilitasi arus informasi. Telekomunikasi menjadikan kebutuhan bertemu secara fisik tak lagi relevan. Dari sinilah fase impersonalitas dalam komunikasi di (Hal-41) mulai. Bahkan di perkampungan, suasana sore, ketika orang saling bercengkrama di bawah pohon waru, semakian sulit ditemukan. Indahnya bulan purnama tidak lagi memikat anak-anak untuk bermain petak umpet di luar rumah. Mereka sudah merasa cukup terhibur dengan berbagai perangkat hiburan di dalam rumah.

Ketidakseimbangan interaksi mulai terjadi. Komunikasi interpersonal nampak semakin mewah karena kian jarang di lakukan. Bagi orang yang merasa sibuk, pertemuan fisik secara langsung dianggap buang-buang waktu, meskipun mereka tak merasakan hal yang sama ketika berjam-jam bertukar informasi di dunia maya. Bagi anak-anak dan remaja, tak hanya televisi yang menyandera, bahkan beraneka videogame pun menguras waktu dan energi mereka. Bukannya berinteraksi dengan manusia sungguhan, mereka justru menguras tenaga untuk berkomunikasi dengan tokoh-tokoh rekaan (virtual) di dunia permainan.

Itu belum termasuk dunia online yang kian memikat dengan daya jangkau (konektifitas) dan kemampuan konvergensinya. Kecepatan dan kepraktisan semakin masuk akal untuk menggantikan kedekatan dan kehangatan. Ditambah biaya akses yang semakin murah, lengkap sudahlah komunikasi virtual saat ini.

Inilah saatnya kita menata ulang ruang interaksi kita. Karena, sekali lagi, interaksi akan menentukan bagaimana pemaknaan kita. Jika kita mengeluh dengan isi televisi yang semakin jauh dari semangat edukasi, kenapa kita tidak mengurangi dominasinya? Jika kita khawatir pengaruh buruk teman pada anak-anak kita, kenapa kita tidak risau dengan dampak negatif televisi yang telah menjadi teman akrab anak-anak kita? Jika konten kekerasan dalam video game kian mengkhawatirkan, kenapa kita tidak pernah menyeleksi isi permainan si buah hati?

Saatnya kearifan bermedia kita tradisikan. Tempatkan semua pada proporsinya. Perlu variasi ragam komunikasi. Di keluarga, sediakan selalu waktu berkomunikasi secara personal, dengan anak, saudara, suami atau istri. Arahkan anak untuk beraktifitas konstruktif, sehingga perhatiannya tak melulu tertuju pada televisi. Ruang-ruang publik, meski sebagian semakin tidak representatif dan kurang atraktif, bisa dimanfaatkan. Aktifitas luar ruang yang terkontrol tak hanya menyehatkan secara fisik, tetapi juga secara sosial bagi mereka.

Di bulan puasa, ini akan menjadi tantangan tersendiri. Dengan alasan berhemat energi, terutama anak-anak dan remaja menghabiskan waktunya di depan televisi. Padahal, selain tak serta merta Islami, isi televisi juga selalu membawa jebakan adiksi. Sinetron yang bersambung-sambung itu, bahkan hingga usai lebaran, sering membuat orang ketagihan. Jangan heran jika anak-anak nanti  malas bersilaturrahmi, karena tidak ingin ketinggalan cerita di layar kaca.

Dengan semangat membersihkan diri, semoga Ramadhan juga menjadi momen untuk menyehatkan interaksi kita, pada siapa dan apapun, termasuk dengan media. Sehingga, dihari fitri nanti, kita juga akan mendapatkan harmoni.



[1] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 235 Th.12, Ramadhan-Syawal 1431H, 23 September 2010M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

SUATU WAKTU, DIAMLAH!

SUATU WAKTU, DIAMLAH![1][2][3] 

(Hal-44) Diam, dalam komunikasi, bisa menjadi pisau bermata dua. Bisa merekatkan, bisa menjauhkan. Seperti kata pakar etika komunikasi J.Vernon Jensen, diam berpotensi merekatkan dan menghangatkan pertemanan, tetapi di lain waktu bisa pula memisahkannya.



Ini memang soal momentum: kapan kita harus bicara, kapan saatnya diam. Ketika orang menuntut atau mengharapkan kita bicara, tetapi kita jawab dengan aksi tutup mulut, maka ketegangan yang akan terjadi. Pada umumnya orang harus saling bicara, terutama diantara yang saling kenal, apalagi diantara sahabat dekat. Kalau kemudian ada yang melakukan ‘silent treatment’, maka dipastikan ketegangan akan meningkat. Itulah kenapa, dalam agama, haram hukumnya mendiamkan saudara lebih dari tiga hari.

Kewajiban bicara melekat pada pemegang otoritas tertentu. Dia bisa jadi seorang pemimpin yang selalu dinanti sikap, penjelasan dan arahan-arahannya, ada kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan semacam statemen resmi dari seorang pemimpin. Kebijakan harus dikomunikasikan, tidak bisa disimpan dalam kepala semata. Jika seorang pemimpin sering diam, kredibilitasnya akan diragukan.

Aksi diam juga harus dijauhkan dari orang yang mengetahui duduk perkara. Ini bisa jadi menyangkut persoalan hukum atau sosial. Saksi mata akan banyak membantu jika dia tak hemat bicara. Saksi ahli akan dihargai jika bisa mengurai sebuah persoalan, mungkin dengan panjang lebar. Begitu pula saksi hidup, akan memberikan banyak arti ketika bersedia memberikan testimoni. Di sini, kesediaan untuk (Hal-45) bicara akan mengurangi ketidakpastian (uncertainty), sehingga berkembangnya rumor dan fitnah bisa dihindari. Tetapi di luar itu, aksi diam seringkali sangat kita butuhkan. Diam, kata Robert Fulghum-penulis buku-buku best seller-, menjadi bagian penting dari upaya menciptakan hidup yang nyaman (a big part of a satisfying life). Banyak masalah hidup yang selesai dengan diam. Sebaliknya, kekeruhan hubungan antar manusia seringkali muncul karena mereka tak mau berhenti untuk bicara.

Mengapa kita kadang harus diam? Karena kita menghormati orang lain yang berusaha mengatakan sesuatu. Ini semacam penghargaan pada seorang komunikator. Beri kesempatan dia atau mereka untuk bicara. Yakinkanlah bahwa kita mendengarkan ucapan-ucapannya. Buatlah orang itu nyaman, merasa penting bersama segala informasi yang disampaikannya.

Tak semua komunikasi membutuhkan respon verbal dalam konteks komunikasi sebagai kanal psikologis, ketika orang ingin mencurahkan isi hatinya, keluh kesahnya, tanggapan berupa saran atau solusi tak selalu dibutuhkan. Dia sebetulnya sudah tahu apa yang mesti dilakukannya. Dia sebetulnya hanya ingin menumpahkan beban yang ada di dadanya. Maka, cukup dengarkan saja. Diam saja, sampai dia rasakan dadanya yang lebih ringan.

Kita juga harus diam, ketika kata-kata tidak diperlukan. Misalnya, ketika konflik mereda, saat dua orang orang dekat saling memandang dan memegang tangan, tak perlu lagi berkata-kata. Diam, dalam konteks ini, bisa jadi lebih efektif untuk membuat orang merasa lebih dekat.

Diam, bagi seorang pemimpin juga bisa menjadi lebih ketika dia tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan dan masuk akal. Apalagi jika itu dilakukannya untuk melawan pendapat umum. Pernyataannya tak akan menyelesaikan masalah, tetapi, justru menambah runyam persoalan. Retorik politik yang tak disusun dengan akal sehat hanya akan menurunkan kredibilitasnya.

Bagi para cendikia, tidaklah menjadi aib ketika dia mengatakan ‘tidak tahu’. Tak ada orang yang tahu segala-galanya. Maka bicara pada bidang tertentu, dan diam dalam wilayah yang lain bisa jadi merupakan wujud kesantunan para ilmuwan. Masing-masing kapasitas memiliki porsinya sendiri.

Diam juga merupakan rentang untuk berpikir dan merenung. Ada saatnya kita mencerna baik-baik pesan yang datang. Tak usah buru-buru ditanggapi, apalagi dengan letusan emosi. Salah merespon sama saja dengan menciptakan masalah baru. Ada dampak dari setiap kata yang terucap. Dan ingat, kata-kata yang keluar tak akan bisa ditarik kembali. Diamlah sejenak, pertimbangkan betul kata-kata balasannya. Jika tak perlu ditanggapi, maka ‘terus diam’ bisa jadi lebih baik.

Dalam dunia wacana yang menjadikan ‘panggung-panggung’ penuh cahaya, ‘aksi diam’ memang tak populer. Tapi yakinlah, ditengah-tengah hiruk pikuk ada saatnya kita perlu diam. Tak semua masalah selesai dengan bicara. Suatu waktu, diamlah!

 

( Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Jum’at, 23 April 2010, 08:50:54 WIB)

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 224, Rabiul Akhir 1431 H, 25 Maret 2010 M. Hal.44-45

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Senyum Hangat dan Kelembutan Tutur Kata Ciri Khas Abdul Rauf

 

Senyum Hangat dan  Kelembutan Tutur Kata Ciri Khas Abdul Rauf

 

“Siapa yang berkata kasar

Banyak orang menjadi Gusar

Siapa yang berkata lembut

Banyak orang jadi pengikut

(Gurindam 12, Raja Ali Haji)

Senyum. Yah, …  seulas senyum tulus yang sempurna. Wajah cerah yang sumringah.  Binar mata bercahaya yang hangat .  Sangat bersahaja…  adegan pembuka pertemuan ini, saya pastikan akan menjadi kenangan pertama semua orang ketika berjumpa dan bersua dengan Abdul Rauf. Sehingga ada kesan yang  diingat dalam satu kata. Ramah. Ya Ramah.



Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya kelembutan tutur kata datang menerpa. Kadang kita terkejut, dan kaget dengan diksi katanya. Ada kesan terpana, menggoda jenaka, hangat mempesona, serius yang berwibawa, akrab yang menuntut setia. Jauh dari kesan angkuh dan memaksa. Tutur katanya khas anak jati melayu. Tak hanya indah, lugas mempesona.

Kadang kala kalau sedang bercengkerama saya pribadi merasa ada malu yang menyelinap dalam diri. Saya seringkali terdiam. Sindiran-sindiran halus yang begitu menyentuh. Begitu menggugah. Membuat kita seakan ikut serta tanpa terpaksa. Bak kata anak muda sekarang, ‘pelan sih… tapi dalam… masuuk pak Eko he…he…

Saya pastikan anak muda milenial yang membludak ketika bersua dengannya merasakan itu semua. Sehingga mereka bersemangat untuk turut serta dalam perlombaan pilkada ini. Tutur kata yang jauh dari kesan memvonis, apalagi menghujat. Sehingga, saya kadang merasa diksi kata saya lebih sering mempermanis keangkuhan. Seperti para politisi pada umumnya. Astaghfirullah…

Saya menemukan keikhlasan dari senyum dan tutur lembut ucapannya. Yah, begitulah seharusnya seorang Da’i, para juru dakwah dari dahulu. Ketika kita melakukan amal kebaikan dengan ikhlas, kita akan melihat bagaimana pengaruhnya pada manusia dan peningkatan amal serta keimanan pada pribadi yang memahami dan melaksanakannya.

Terlalu banyak perkataan para sahabat Rasulullah, para ulama Salaf dan Khalaf yang terekam baik dan dijadikan panduan saat ini, karena mereka dahulu melakukan semuanya dengan keikhlasan dan #Bersabar menghadapi kaumnya. Lebih jauh saya memberanikan diri mengatakan kepada kita semua;

Niat Ikhlas yang ternoda akan mengurangi kualitas sebuah amal Shalih, meringankan bobot amal yang kita lakukan, dan memperpendek rentang waktu pengaruh dan manfaatnya pada jiwa manusia.”

“Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan Kami dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebaikan.”

(QS. Al-Ankabut: 79)

 

Intanshurullaha yansurkum wayutsabbit aqdamakum

 

(Rumah jiwaku, ditengah gerimis hujan ba’da Isya, Pekanbaru, 18 Muharram 1442 H, 05 September 2020M)

MENJEMPUT TAKDIR, MELUASKAN KHIDMAT

 

MENJEMPUT TAKDIR, MELUASKAN KHIDMAT

Oleh : Onga Tamarudin [1]

"Allah akan memuliakan orang yang memuliakan Al-Qur'an".

 

Demikian sebuah kalimat meluncur dari Mentor Kami setelah Syekh Abdul Rauf melantunkan Tilawah Al-Qur'an. Itu sudah berlalu belasan tahun lalu, kala kami sedang menempa diri menjadi pembelajar-pembelajar sejati. Jauh dari sorotan publik dan hiruk-pikuk dunia politik.



Apa yang diucapkan mentor itu terus saya ingat sembari terus melihat kiprah Syekh. Benar adanya, beliau selalu dipercaya menjadi pembaca Kalamullah di acara-acara resmi PKS Riau, baik skala kecil maupun besar. Untuk kemampuan Tilawahnya, tidak diragukan lagi. Beliau Murid langsung dari Buya H. Murtadha Habibi. Jauh sebelum belajar Tahsin booming di era kekinian, beliau sudah menempuh perjuangan menuntut ilmu Tilawah Al-Qur'an dengan penuh kesabaran belasan tahun lalu.

 Lantunan Ayat-Ayat suci Al-Qur'an ala irama Syekh Misyari Rasyid adalah kekhasan beliau. Siapapun yang mendengar akan terpesona. Dengan ilmu yang dimilikinya beliau juga mengkhidmatkan diri untuk membumikan Al-Qur'an di Negeri Meranti.


Sekarang penyebar panji-panji Al-Qur'an itu dipercaya PKS untuk berkompetisi sebagai Bacalon Wabub Meranti mendampingi Bapak H. Said Hasyim. Semoga Meranti Semakin Mulia dengan Kehadirannya. Selamat Berjuang Syekh...

 

* Sahabat Seperjuangan



[1] Ketua DPD PKS Kabupaten Kampar - Riau


MEMPERTANYAKAN PERTANYAAN

 

 MEMPERTANYAKAN PERTANYAAN[1][2][3]

(Hal-42) Pertanyaan itu perlu, bahkan kadang menjadi keharusan. Pertanyaan, dalam komunikasi, berarti sebuah umpan balik (feed back), yang akan memperjelas arti pesan. Pertanyaan akan menggambarkan penerimaan dan memperjelas makna yang berhasil ditangkap sang penanya. Maka, banyak guru yang memulai pembelajaran dengan meminta muridnya mengajukan pertanyaan. Para pendidik akan kebingungan jika murid-muridnya diam. Karena, sulit memastikan mereka sebetulnya mudeng (paham) atau mubeng (kepalanya berputar-putar, karena bingung).



Namun, tidak semua pertanyaan bersifat konstruktif. Ada beberapa jenis pertanyaan yang justru menjadi persoalan komunikasi. Akarnya adalah motif dari pertanyaan ini keluar. Ada pertanyaan yang hadir karena kesombongan. Ini biasanya penyakit ‘pecintan popularitas’ tau orang-orang ‘pemburu perhatian’. Pada forum-forum yang melibatkan banyak orang, para penanya ini akan selalu tampil. Sejatinya mereka tidak butuh jawaban, tetapi sekadar mencari perhatian. Pertanyaannya, biasanya panjang lebar dan tidak fokus, sekadar pamer pengetahuan, data atau artikulasi. Jika hadirin bertepuktangan, itu lebih dari cukup bagi mereka.

Ada pertanyaan yang muncul karena latah semata. Awalnya mungkin iseng. Tapi sepenuhnya sadar, pertanyaan ini mempunyai konsekuensi panjang. Seperti orang Yahudi yang mempertanyakan sapi betina yang harus disembelih: yang tua atau yang muda, warnanya apa, kuning seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat repot (Hal-43) mereka sendiri, sehingga nyaris tidak bisa dikerjakan.

Pertanyaan juga bisa muncul karena kebodohan. Niatnya bisa jadi tulus, untuk memperjelas duduk perkara. Tapi, dia tak cukup tahu bawa tak semua harus diperjelas. Pun dalam soal hukum. Bayangkan, kalau di negeri mayoritas Muslim ini kita selalu skeptik menyikapi kehalalan makanan. Suatu saat, kita disuguhi makan ayam goreng. Tak ada tanda-tanda haram, tapi kita mengkhawatirkan kehalalannya, sampai-sampai kita bertanya agak berlebihan. Dari manakah ayam ini berasal? Benarkah tidak bangkai? Bagaimana penyembelihannya? Sungguh, sebuah sikap yang tidak perlu, selain juga amat merepotkan.

Dan yang paling mengerikan adalah pertanyaan-pertanyaan yang dimaksudkan untuk mempermaluka seseorang. Si penanya tahu atau yakin, orang yang dituju tidak akan bisa menjawab. Dia lemparkan pertanyaan di sebuah forum, dimana banyak mata menyaksikan, semata-mata untuk menjatuhkan martabat seseorang. Ada semacam kepuasan jika orang lain turun kredbilitas atau reputasinya di depan umum. Sungguh, pertanyaan-pertanyaan sadis, yang lahir dari hati yang kronis.

Pertanyaan-pertanyaan yang melebihi batasnya juga problematik. Pertanyaan tentang hakikat ketuhanan misalnya, tak akan menemukan jawaban tanpa keterlibatan wahyu. Sebagaimana kisah para filosof yang gagal menemukan Tuhan. Sayangnya, pertanyaan ketuhanan mereka yang tak bertaut pada keyakinan yang aksiomatik.

Pertanyaan-pertanyaan artifisial ini tak akan membawa cerah, tetapi justru menambah masalah. Pertanyaan-pertanyaan semu tidak akan menjadi tahu, melainkan berujung pada perdebatan yang menghabiskan waktu. Pertanyaan-pertanyaan yang tak memerlukan jawaban, apalagi perhatian.

Tentu saja, ini bukan nasihat untuk mematikan kritisisme atau anjuran untuk mengkerdilkan otak. Karena, pertanyaan sejatinya adalah jalan menuju  kedewasaan. Bukankah hidup ini merupakan dinamika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan? Dialektis: tidak tahu, tahu, tidak tahu, begitu seterusnya. Manusia tak akan mencapai kemajuan-kemajuan hidup jika berhenti bertanya.

Inilah lebih merupakan persoalan bagaimana kita menempatkan pertanyaan pada porsinya. Cukuplah nasihat Rasulullah saw berikut ini menjadi renungan kita:

Dari Abu Hurairah bin Sakhr radhiallahuanhu, dia berkata: saya mendengar Rasulullah bersabda: Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka (HR. Bukhori dan Muslim)

(Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Kamis, 06 Mei 2010, 06:00:23WIB)

 

 



[1] Majalah Tarbawi, edisi 227 Th.11, Jumadil Awal 1431 H, 6 Mei 2010 M

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3]

Majalah Tarbawi, Sebelum Hoaks dan Kebencian Merajalela

 

Majalah Tarbawi, Sebelum Hoaks dan Kebencian Merajalela[1][2]

Setelah media-media Islam rontok, ujaran kebencian berkedok agama via daring berseliweran di tengah masyarakat.

Muslim Cyber Army dan jaringan-jaringan lain yang menyebar hoaks, fitnah, dan kebencian via saluran daring merupakan narasi yang menghangat akhir-akhir ini.

Polarisasi politik yang tajam pasca-Pemilu Presiden tahun 2014, terus terjadi sampai hari ini. Kubu-kubu yang berseberangan terus-menerus melancarkan serangan. Teks bertendensi kebencian diproduksi, disebarkan, dan membikin kegaduhan di tengah masyarakat.



Kecepatan adalah watak saluran daring. Celah ini bisa dimanfaatkan oleh siapa saja, baik yang menebar informasi destruktif, maupun sebaiknya. Mundur sedikit ke belakang, ketika akses internet masih terbatas, penyebaran informasi yang berbentuk teks dikuasai media cetak.

Di medium cetak pun kabar baik dan busuk lumrah terjadi, hanya saja kecepatan penyebarannya jauh tertinggal jika dibandingkan dengan internet. Dalam konteks perang kebencian belakangan ini, media cetak lebih lambat penyebarannya.

Bacaan yang diproduksi oleh Muslim dan ditujukan untuk penganut agama mayoritas di negeri ini—sebagai mangsa terbesar dari warta busuk menor provokasi, pernah diwarnai oleh berbagai tabloid dan majalah Islam multi corak dan tendensi. Ada yang menyajikan sastra, liputan konflik, kajian wacana politik, isu-isu keluarga, menyemai ruhani, dll.

Mayoritas media-media tersebut telah rontok. Salah satunya adalah majalah Tarbawi yang mempunyai misi “Menuju Kesalehan Pribadi dan Umat”.

Majalah yang lahir pada 1999 dan berhenti terbit tahun 2014 tersebut—jika melihat isi warta hoaks yang membanjir belakangan ini --, adalah contoh media yang mencoba meredam ketergesa-gesan umat dalam menyikapi berbagai hal yang beredar dalam keseharian. Tarbawi menawarkan jeda, spasi perenungan, dan menggeledah ruhani.

Sedari judul, Tarbawi telah menawarkan perspektif lain. “Di Balik Kebiasaan Kita Memilih Kata”, demikian judul edisi 287. Dirosat atau kajian utama di nomor ini—dengan menyertakan referensi dari khazanah Islam, membahas hal-ihwal kata yang menjadi ujung tombak dalam keseharian.

Setelah mengutip sebuah perkataan Umar bin Abdul Aziz (cicit Umar bin Khatab/khalifah kedua dalam sejarah kepemimpinan Islam) tentang kata, Tarbawi kemudian mengurainya dalam tulisan yang cukup panjang.

Bagi Tarbawi, persoalan memilih kata adalah hal penting yang harus disampaikan kepada masyarakat. Alih-alih mengupas rupa-rupa peristiwa aktual dan segera memberitakannya, Tarbawi justru terlebih dulu membekali pembacanya dengan perangkat kesadaran tentang kata.

“Setiap kita berurusan dengan kata-kata dalam berbeda kesempatan. Bahkan sebagai seorang Muslim, setiap hari ibadah kita berkaitan erat dengan pengucapan kata. Memilih kata adalah soal seni, rasa, dan sastra,” tulis Tarbawi.

Tarbawi menambahkan bahwa masing-masing kita mempunyai keleluasaan memilih kata, baik dalam berbicara maupun dalam menulis. Pilihan tersebut bukan sekadar sesuatu yang biasa, sebab ia membawa pesan-pesan di baliknya. Kebiasaan kita memilih kata adalah hal-hal yang melatarinya. Mengutip dari seorang bijak, Tarbawi menulis bahwa seseorang diukur dengan dua anggota tubuhnya yang kecil, yaitu hati dan lidahnya.

“Semoga keimanan kita lebih terjaga dengan pilihan kata, dan kita bisa lebih mendalami sebuah persoalan sebelum mengambil sikap untuk bicara. Karena setiap kata ada pertanggungjawabannya,” terang Tarbawi.

Contoh lain tentang ikhtiar Tarbawi dalam mencoba meredam sikap masyarakat yang berlebihan dan tidak moderat, adalah edisi 225 yang kajian utamanya bertajuk “Mungkin, Kini Kita Tengah Mencintai Apa yang Dulu Kita Benci”.

Dalam edisi ini, Tarbawi mengkaji soal sikap personal dan masyarakat yang kerap membenci atau tidak menyukai sesuatu dan seseorang secara berlebihan. Padahal, menurut majalah ini, selalu ada perubahan dalam diri kita seiring perubahan-perubahan yang dibawa oleh waktu yang terus berjalan.

Bukan hanya fisik dan usia, tambah Tarbawi, tapi kadang selera, pandangan, pikiran dan perasaan kita, juga ikut berubah. Suasana jiwa, yang diwakili oleh benci dan cinta kita pada seseorang atau sesuatu, pun kadang bergeser.

“Benci yang berlebihan akan menimbulkan gelap mata. Sedangkan cinta yang berlebihan akan menimbulkan kekecewaan. Karena itu jika membenci seseorang atau sesuatu, jangan sampai rasa benci itu mengusai hidup kita,” tulis Tarbawi.

Dari awal terbit sampai meranggas dan mati di edisi 315, majalah ini selalu menakar setiap judul dan isi dengan pendekatan yang mencoba menggedor-gedor kesadaran. Beberapa contoh judul berikut adalah bagian kecil dari riwayat tiga ratus edisi lebih yang telah dilahirkan Tarbawi:

“Sediakan Selalu Ruang untuk Dibenci” (edisi 206), “Seringkali Kita Meminta Melalui Ibadah yang Tergesa-gesa” (edisi 217), “Mari Sejenak Bicara tentang Rasa Sepi Seorang Ibu” (edisi 219), “Merasakan Jejak Diri di Rumah Kita yang Dulu” (edisi 258), dll.

KABAR DARI BELAKANG LAYAR

Tarbawi yang hidup dalam situasi transisi antara dunia cetak dan daring, terlihat gagap menghadapi perubahan tersebut. Media sosial yang mereka miliki untuk memublikasikan majalah hanya Facebook dan Twitter, sementara laman web-nya sudah lama tidak bisa dibuka. Sekarang hanya menyisakan beberapa arsip di laman blogspot yang tidak diketahui siapa pembuatnya.

Pendiri majalah ini adalah Ahmad Zairofi, M. Lili Nur Aulia, dan Arwim Al Ibrahimi. Ketika dihubungi oleh Tirto (5/3/2018) via salah satu media sosial, M. Lili Nur Aulia tidak bersedia memberikan nomor kontaknya dan hanya menjawab, “[Sudah] lama sekali tidak berinteraksi dengan pertanyaan seperti ini. Afwan (maaf) ya belum bisa jawab.”

Sebelum Tarbawi lumat pada 2014, Ahmad Zairofi (pendiri merangkap pemimpin redaksi) pernah menjelaskan dapur di balik pembuatan majalah tersebut kepada Edi Santoso—yang kemudian sempat bergabung sebagai Redaktur Pelaksana Tarbawi.

Dalam Kemanusiaan dalam Media: Telaah atas Gaya Jurnalisme Majalah Tarbawi dan Tempo (Jurnal Komunika, Vol. 4 No. 1, Januari-Juni 2010), Edi Santoso menulis bahwa Tarbawi berideologi jurnalisme nurani.

“Secara implisit, Majalah Tarbawi mengaku ‘berideologi’ jurnalisme nurani. Setidaknya, lewat iklan dan merchandiser-nya, majalah ini hampir selalu menyertakan slogan jurnalisme nurani. Bahkan beberapa kali mereka secara khusus menggelar pelatihan jurnalistik bertajuk ‘7 Ideologi Tulisan Mazhab Jurnalisme Nurani’,” tulisnya.

Menurut Ahmad Zairofi, jurnalisme nurani adalah praktik jurnalisme berdasarkan fitrah Islami. Fitrah bermakna universal karena pada dasarnya manusia memiliki fitrah (kecenderungan) yang sama.

“Jadi meskipun Tarbawi mengusung nilai-nilai Islam, pemberitaannya tetap relevan untuk dibaca kalangan dengan agama apa pun. Pada simpul fitrah inilah, Tarbawi bermaksud membangun kebersamaan umat lintas ras dan budaya. Titik temu jurnalisme nurani Tarbawi dengan jurnalisme lainnya ada pada prinsip tanggung jawab dan kejujuran,” tambahnya.

Menurut Edi, dalam menyeleksi dan memilih isu, Tarbawi tentu mengikuti kaidah nilai jurnalistik, yakni menakar sisi kebaruan informasi (novelty), kedekatan dengan pembaca (proximity), pengaruhnya pada pembaca (consequence), konflik, dan sentuhan nilai kemanusiaan (human interest).

Edi menambahkan, bahwa pertimbangan nilai berita itu lebih pada sisi pelatuk berita (news peg) untuk melakukan kontemplasi.

“Tarbawi lebih menekankan sisi kontemplasi sebuah peristiwa,” terangnya.

Sebelum bergabung dengan Tarbawi, Edi Santoso menelaah bahwa menurutnya majalah tersebut hampir selalu memberikan penekanan pada solusi dari setiap peristiwa yang diangkat.

“Solusi yang ditawarkan Tarbawi cenderung bersifat personal. Tarbawi melihat akar dari segala persoalan sebetulnya ada pada diri manusia (antroposentris) sehingga perubahan lingkungan akan berawal dari perubahan pribadi” tulis Edi.

Hal ini dibenarkan oleh Ahmad Zairofi yang mengakui bahwa memang Tarbawi lebih fokus pada sisi personal. Ia menambahkan, langkah tersebut adalah pendekatan kultural dengan mengajak pembaca untuk berkontemplasi, merenung, dan membangkitkan kesadaran.

Ahmad Zairofi juga menegaskan bahwa faktor lain di luar manusia, misalnya sistem, memang memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia, namun semuanya berawal dari manusia.

“Kesadaran personal merupakan kekuatan utama sebelum kekuatan kolektif. Daya tahan personal merupakan daya tahan utama sebelum daya tahan kolektif. Dan kecakapan personal secara mental merupakan modal menuju kecakapan sistem,” terangnya.

MENGHILANG DAN DIRINDUKAN

Kesibukan meringkus kontemplasi. Sejak Tarbawi berhenti terbit, ketiga pendirinya tercatat aktif di partai politik, yaitu PKS. Ahmad Zairofi sibuk sebagai anggota DPRD DKI Jakarta. M. Lili Nur Aulia menjabat sebagai Ketua Kaderisasai Kader DPW PKS Banten. Dan Arwim Al Ibrahimi menjabat sebagai Ketua Dewan Syariah Daerah PKS Padang.

Meski Tarbawi memang lahir dari rahim gerakan Tarbiyah, dan para pendirinya kemudian bertungkus lumus di partai tersebut, akan tetapi para pembacanya merasa menyayangkan ketika akhirnya majalah ini berhenti terbit.

Respons masyarakat terhadap Tarbawi sedari awal memang cukup baik. Mula-mula terbit sekitar 2000 eksemplar. Setahun kemudian sudah menerbitkan lebih dari 20.000 eksemplar, padahal pada waktu itu majalah ini hanya terbit bulanan.

Di beberapa laman pribadi pembaca Tarbawi, seperti yang ditulis oleh Triyanto Mekel, ia menyayangkan majalah ini berhenti terbit. Menurutnya, umat masih membutuhkan pemaknaan hidup yang dihadirkan oleh majalah tersebut.

“Majalah Tarbawi sudah lama tak hadir menyapa. Rindu kesejukannya,” tulisnya.

Sementara pembaca lain, Husni Mubarok, yang mengaku sudah mengenal Tarbawi sejak kelas 5 Sekolah Dasar, tak bisa melupakan “gaya bahasanya yang mengalir ringan dan tiada beban.”

“Hilangnya Tarbawi jelas kabar buruk. Cukup menyesakkan dada walau saya tidak rutin membelinya,” tulis Yusuf Maulana.

Menurutnya, situasi politik yang banyak menyita perdebatan adalah momentum yang tepat untuk membaca kembali materi di Tarbawi. Ia berharap media—yang katanya “penyejuk hati” ini hadir kembali.

Sejauh ini, belum ditemukan arsip bahwa Tarbawi berhenti terbit disertai pamit kepada para pembacanya. Majalah itu hilang begitu saja. Pelanggan tiba-tiba tak menemukan lagi edisi terbaru. Padahal Tarbawi sempat punya slogan yang berbunyi, “Kita hidup di kepadatan interaksi, tapi sulit untuk belajar memahami.”

Nomor 315 adalah edisi pamungkasnya. Sejak itu, sebuah media cetak Islam telah lampus. Internet berkembang, yang lain ikut bertumbangan. Kini, yang ada hanya teks-teks kebencian berkedok islam yang berseliweran menghiasi semesta informasi para pembaca. (irf)

 

Tayang pertama kali di Tirto.id pada 7 Maret 2018



[1] Oleh: Irfan Teguh - 7 Maret 2018

[2] Tayang pertama kali di Tirto.id pada 7 Maret 2018

 

SUBJEKTIFITAS YANG OBJEKTIF

 SUBJEKTIFITAS YANG OBJEKTIF [1][2][3]

Objektifitas membawa makna yang dalam, namun juga membingungkan. Seolah menjadi mitos, tetapi juga membawa bias. Disebut benar jika objektif. Dalam hal apapun, termasuk dalam dunia media massa (jurnalisme). Media massa, kata kodet etik, harus objektif. Tetapi apakah itu objektif? Bisakah jurnalis atau penulis bersikap objektif?



Objektifas sejatinya merupakan gagasan ideal tentang ukuran pasti atau realitas. Para jurnalis dinilai objektif, ketika mereka bisa menghadirkan fakta apa adanya, tanpa opini. Berkembanglah jurnalisme objektif, sering juga disebut jurnalisme fakta, yang bertolak pada landasan kejujuran, netralitas dan akurasi. Jurnalisme fakta mengharamkan interpretasi.

Sebagai sebuah ideologi, jurnalisme objektif ini mendasarkan pada pandangan empiris atas dunia, yang memisahkan fakta dan nilai, dan percaya bahwa eksistensi fakta sebagai hal yang terpisah di luar sana. Berita didefinisikan sebagai wujud yang terpisah (independen) dari diri jurnalis. Berita adalah fakta yang ada ‘di luar sana’ yang menunggu dicari dan ditulis, serta kemudian dipublikasikan oleh media.

Tetapi, bisakah fakta dipisahkan dari nilai? Tidak mungkin, kata Stepen Ward, profesor etika jurnalisme. Karena, semua pengetahuan, bahkan termasuk data-data sains tidak bisa menjadi bebas nilai. Bahkan gagasan ini, menurutnya, sesungguhnya merupakan penipuan, karena seorang jurnalis tak lain adalah ‘aktor-aktor’ yang pasti memiliki bias dalam laporannya. Tidak saja bias karena faktor personal (ideologi, pengalaman) tapi juga karena tekanan eksternal.

Objektifitas menjadi bias ketika menjadi selubung ketidakpedulian pada kebenaran. Justru ketika mereka mengatasnamakan kebenaran. Maka, sejujurnya kita sulit mengerti tentang slogan salah satu media ‘kebenaran itu tidak memihak’. Jurnalis seolah-olah terbebas dari dosa, bahkan merasa mulia, setelah mematuhi kaidah pemberitaan berimbang, meliput dua pihak yang berselisih tanap mempedulikan kebenaran dari fakta yang disampaikan pihak-pihak tersebut. Jurnalis seolah lari dari tanggungjawab atas kebenaran fakta peristiwa, dengan dalih biarkan khalayak sendiri yang memaknainya.

Objektifitas pun bias ketika justru mengabaikan konteks dan subtansi. Hutchin Comission, suatu kelompok peneliti di Amerika Serikat yang bekerja selama bertahun-tahun menghasilkan dokumen yang menggariskan kewajiban jurnalisme, memperingatkan adanya bahaya menerbitkan laporan yang “secara faktual benar tapi secara subtansial salah”. Komisi ini memberikan contoh, saat itu banyak cerita seputar orang-orang minoritas yang justru menguatkan stereotipe yang keliru, karena media gagal untuk menampilkan konteks atau menegaskan identitas ras atau etnisitas tanpa alasan yang tepat.

Era jurnalisme profesional telah menyuguhkan informasi berlimpah ruah, menembus batas-batas geografis, dengan standar konvensional yang dibanggakan. Tetapi, kata Charlotte Dennet, ada satu hal yang seringkali dilupakan media arus utama, yakni ‘konteks’. Dalam peristiwa 9/11 misalnya, terang mantan reporter Middle East Sketch, publik Amerika Serikat dibuat bingung di tengah melimpahnya informasi, karena media arus utama tak menghadirkan konteks peristiwanya.

Objektifitas dalam jurnalisme tetaplah relevan, jika dimaknai sebagai komitmen profesionalisme, bukan sebagai wujud pengingkaran atas realita keberpihakan media. Profesionalisme ini terkait dengan kepatuhan pada nilai-nilai dasar dalam proses jurnalisme seperti kejujuran dan akurasi. Di sini, objektifitas lebih menggambarkan kedisiplinan dalam proses mencari fakta. Sementara keberpihakan kita artikan sebagai komitmen pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh jurnalis.

Jurnalisme tak cukup mengumpulkan dan merangkai fakta, tetapi juga harus memberikan makna, tak hanya mengabarkan peristiwa, tetapi juga perspektif. Tak hanya menyusun alur cerita yang masuk akal dan mengalir, tetapi juga memberikan konteks sebuah persoalan.

Tak ada yang salah dengan subjektifitas, terutama jika dimaknai sebagai penegasan identitas. Jurnalis atau penulis akan lebih relevan keberadaannya jika mampu membuat terang sebuah permasalahan. Keberpihakan tidak terhindarkan, bahkan harus, yakni pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.

Tidak ada realitas yang objektif. Karena, realitas sejatinya adalah apa yang kita yakini kebenarannya. Kitalah yang mendefinisikan peristiwa dan menilai seseorang. Maka biarkanlah berita subjektif secara perspektif, tetapi objektif dalam proses. Subjektifitas yang objektif.

 

(Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Selasa, 20 April 2010, 15:07:53 WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 225 Th.11, Rabiul Akhir 1431 H, 8 April 2010, hal. 44-45

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal