Teknologi
yang Menginisiasi
Edi Santoso
(Hal-48)Dunia teknologi penuh dengan paradoks. Misalnya, manusia berharap, kehadiran teknologi memudahkan kehidupan.
Tetapi begitu muncul teknologi, kekhawatiran pun datang. Maka muncul perdebatan
panjang antara paradigma ‘people centered’ dan ‘object centered’
dalam teknologi. Antara teknologi yang berfokus pada orang dan teknologi yang
lebih mementingkan barang atau produk teknologi itu sendiri.
Howard
Rosenbrock, seorang insunyur yang juga filsuf, termasuk yang khawatir kehadiran
teknologi membawa efek pada melemahnya penghargaan atas nilai kemanusiaan.
Misalnya, selama tahun 1970 an, ketika menulis tentang Computer Aided Design
(CAD), Rosenvrock memberikan penghatian pada penggunaan komputer untuk
otomatisasi desain, yang menurutnya, “seperti mempresentasikan kenyataan
hilangnya keyakinan atas kemampuan manusia.” Karena, desainer mereduksi dirinya
dengan pilihan tetap atas pilihan-pilihan yang sudah ditentukan.
Ketika
menulis tentang produksi pabrik, Rosenbrock juga menyatakan kemampuan orang
yang bekerja di pabrik-pabrik dihargai lebih rendah dari robot. Kesalahan
sering ditumpahkan pada orang (human error), dan bukan pada desain mesin.
Tokoh yang terkenal dengan teori kontrol inipun menawarkan sebuah paradigma
alternatif, yakni ‘teknologi yang menginisiasi’. Misalnya, dalam hal desain,
dia mengusulkan sistem display grafis interaktif yang memungkinkan desainer
tetap menjaga inisiatif personalnya, juga mengembangkan keterampilannya.
Sebuah
contoh klasik tentang teknologi yang menginisiasi kemampuan personal adalah
alat pintal (spinning jenny). Alat temuan Hargreave ini dioperasionalkan
secara manual, dan dipakai oleh masyarakat pada tahun 1760 an di rumah-rumah.
Dengan alat ini, para penenun bisa memintal beberapa benang sekaligus. Sebuah
lompatan yang sangat luarbiasa, dibanding dengan penggunaan alat sebelumnya (spinning
wheel) yang hanya bisa memintal benang satu demi satu. Menariknya, mesin
tersebut tetap mensyaratkan keahlian dan konsentrasi untuk menghasilkan tingkat
produksi yang tinggi.
Hal berbeda
terjadi pada temuan mesin pintal yang dipakai di pabrik-pabrik, bukan (Hal-49)
di rumah. Mesin ini menggunakan prinsip ‘bekerja dengan sendirinya’ (self
acting), sehingga tidak memerlukan tenaga terampil. Beberapa mesin bahkan
bisa dioperasikan oleh anak-anak sekalipun. Otomatisasi memang menaikkan
tingkat produksi di satu sisi, tetapi mereduksi kreativitas personal orang di
sisi lain. Pabrik lebih membutuhkan tenaga-tenaga kasar untuk operator mesin,
bukan tenaga ahli dan kreatif dalam urusan pemintalan benang.
Para
pendukung model otomatisasi tak kurang-kurang, termasuk para filsuf di masa
itu. Andrew Ure misalnya, pada tahun 1835, menerbitkan buku ‘Philosophy of
Manufactures’ . buku ini mengkampanyekakan bahwa industri produktif harus
didukung oleh mesin-mesin otomatis, dan manufaktur yang paling sempurna terjadi
ketika tenaga-tenaga manual terganatikan oleh mesin. Karena pendapatnya ini,
Ure sering dijuluki sebagai juru bicara para pemilik pabrik.
Otomatisasi,
faktanya, kemudian menjadi ideologi para pemilik modal di era revolusi industri
yang berlomba kuantitas produk (massifikasi). Sebuah kondisi yang kemudian juga
diratapi oleh pemikir sosial, antara lain, ‘The Frankfurt School’. Menurut
mereka produksi massal membuat segalanya standar. Inilah era budaya massa, yang
sering disebut sebagai Fordism.Fordism adalah istilah yang munculkan
untuk menggambarkan kesuksesan Henry Ford dalam industri mobil, khususnya dalam
penerapan metode produksi massal. Teknik produksi massalnya menjadikan
mobil-mobil bisa dibuat dengan murah,
namun miskin model.
Otomatisasi, sekian tahun kemudian, di saat kita
berada sekarang, memang mencatatkan berbagai capaian yang mencengangkan.
Tetapi, satu yang tak bias kita tampik, kini sentuhan personal makin mahal harganya.
Tenaga-tenaga untuk mengoperasikan system otomatisasi semakin banyak dan murah,
seiring dengan semakin banyakny alulusan berbagai lembaga pendidikan teknis. Maka
Daniel Pink meramalkan, tenaga kerja berbasis keterampilan teknis seperti insinyur,
akuntan, dokter, akan semakin tidak popular dengan adanya otomatisasi.
Pada akhirnya, sentuhan kemanusiaanmemang
yang paling berharga.Mesin-mesin industry bolehlah unggul dalam kecepatan dan ketepatan,
tetapi tanpa ruang inisiasi atas tangan-tangan kreatif, produksi besar hanya akan
bermuara pada kejenuhan. ***
Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi,
mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan,
antara Tarbawi dan Tempo.