Sabtu, 30 November 2024

Melakukan Yang Lebih Penting

 

Melakukan Yang Lebih Penting

M Lili Nur Aulia

Melakukan Yang Lebih Penting
Melakukan Yang Lebih Penting


(Hal-62) “Setiap yang sedang merasakan kelezatan melakukan hal-hal yang sunnah, tapi datang kewajiban melakukan yang wajib, lalu ia tidak memutus kelezatannya dengan yang sunnah, maka di dalam melakukan sunnahnya itu telah tertipu.” (Sulaiman Ad Daraani)

Saudaraku,

Ada salah satu pemahaman yang harus kita ingat dan pegang, yaitu mengutamakan yang paling penting dari yang penting. Memutuskan dan mendahulukan suatu masalah yang paling diperlukan, dari yang sekadar diperlukan. Dalam ungkapan Arab, prinsip ini lebih dikenal dengan istilah fiqh Aulawiyat, pemahaman terhadap hal yang diprioritaskan.

Mari kita bahas tema ini, agak sedikit mendalam saudaraku.

Ada banyak contoh dalam masalah ini. Dalam beribadah misalnya, tidak memperbanyak ibadah sunnah sementara kita meninggalkan yang wajib. Atau dengan ungkapan yang berbeda, kita sangat kuat melakukan sesuatu yang wajib, tapi di sisi lain kita meringankan atau menggampangkan melakukan perbuatan yang haram.

 Seperti yang dialami Imam Ahmad bin Hambal saat ditanya tentang hukum percikan darah yang ada di pakaiannya saat shalat. Padahal ketika itu beliau baru dicambuk karena mempertahankan aqidahnya. Perhatikan juga ungkapan para ulama yang menyimpulkan,”Seseorang yang berakal itu bukan yang bisa mengetahui perbandingan antara yang baik dari yang buruk. Tapi orang yang berakal itu adalah yang bisa mengetahui mana yang paling baik dari yang baik dan mana yang paling buruk dari yang buruk.”

Baca Juga:  Dosa Yang Terus Mengalir 

(Hal-63) Saudaraku,

Mari kita bicara hal-hal yang lebih penting. Antara lain, mengedepankan masalah perbaikan ke dalam masyarakat Muslim kita dengan memelihara dan memperkuat mereka, ketimbang lebih banyak membahas strategi penghancuran oleh musuh-musuh umat. Upaya menghancurkan umat, pasti akan berhasil bila dari dalam kondisi umat kita lemah dan jauh dari Allah ‘azza wa jalla.

Tentu saja ini bukan sama sekali mengabaikan perhatian kita terhadap konspirasi dan strategi musuh-musuh umat. Tapi ini lebih berarti bahwa usaha memperbaiki dari dalam, lebih utama untuk diperhatikan dan dipraktikkan lebih banyak, ketimbang sekadar membahas dan memperhatikan serangan-serangan dari luar.

Saudaraku,

Mari kita lihat contoh lain. Mana yang lebih utama, memberi contoh langsung dalam perilaku yang baik atau menyampaikan kebaikan lewat lisan tanpa mengerjakannya? Perhatikanlah ungkapan Ali radhiallahu ‘anhu kepada Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu,

“Innaka ‘afafta  fa ‘affat arra’iyyah” artinya engkau telah berusaha melindungi diri dari dosa (‘iffah), maka rakyatmu pun terlindung dari dosa.” (Tarikh At Thabari, 3/138).

Sikap iffah Umar radhiallahu ‘anhu, menjadi sikap iffah di masyarakat yang dipimpinnya. Umar radhiallahu ‘anhu sendiri kepada para pejabat kekhalifahan yang diangkatnya pernah berkata,”Demi Allah aku tidak akan mengangkat seorang pejabat dari kalian yang melakukan sesuatu yang aku larang, kecuali aku beri hukuman berlipat kepadanya karena kedudukannya dalam kekhalifahanku. Terserah kalian, ingin maju atau mengundurkan diri.”

Baca Juga: BiarkanAirnya Menetes

(Hal-64) Saudaraku,

Dalam beribadah pun demikian. Kita hendaknya lebih mengutamakan melakukan ibadah yang wajib, ketimbang ibadah yang sunnah. Misalnya saja, seseorang sangat ingin melakukan puasa sunnah, dengan alas an karena ia tidak mampu melakukan kewajiban yang harus ia lakukan. Ini cara berpikir yang kurang sejalan dengan fiqh al awlawiyat. 

Perhatikanlah mengapa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang istri berpuasa sunnah saat bersama suaminya, kecuali dengan izin suaminya. Karena hak melayani suami adalah kewajiban bagi istri. Sedangkan hukum puasa selain Ramadhan adalah sunnah.

Dalam kitab “Hilyah al Aulia” juga disebutkan perkataan ulama, “Barangsiapa yang disibukkan oleh sesuatu yang wajib sehingga dia tidak melakukan yang sunnah, maka ia dimaafkan. Tetapi barangsiapa yang disibukkan dengan sesuatu yang sunnah, sehingga tidak melakukan yang wajib, maka dia tertipu.”

 Abu Sulaiman Ad Darani, ulama Damaskus, mengatakan, “Setiap yang tidak merasakan kelezatan melakukan hal-hal yang sunnah, tapi datang kewajiban melakukan yang wajib, lalu ia tidak memutus kelezatannya dengan yang sunnah, maka dia dalam melakukan sunnahnya itu telah tertipu.” (Hilya Auliya, 9/269)

Saudaraku,

Selain itu, adalah lebih mendahulukan untuk memperhatikan soal meninggalkan larangan, dibandingkan memperhatikan soal melakukan yang diperintahkan. Itu sebabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

“Jika aku melarang sesuatu atas kalian maka jauhkanlah. Dan ketika aku perintahkan kalian tentang sesuatu, lakukanlah sebatas kemampuan kalian.” 

Dalam Hadist shahih ini kita akan merasakan bahwa larangan itu lebih berat daripada perintah. Karena saat menyebut masalah larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memberi celah untuk dilanggar. Sedangkan ketika bicara tentang perintah, disampaikan dengan syarat sebatas kemampuan.

Baca Juga: Mimpi-Mimpi Besar

Dalam Riwayat Imam At Turmudzi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

“Peliharalah diri kalian dari yang diharamkan, maka kalian akan menjadi orang yang paling beribadah.”

Imam Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,”Seorang hamba yang tidak melakukan ibadah yang lebih baik daripada meninggalkan apa yang dilarang Allah.” Maimun bin Mahran mengatakan,”Mengingat Allah dengan lisan itu baik, tapi lebih baik dari itu adalah mengingat Allah ketika akan melakukan kemaksiatan lalu berhasil menahan diri dari melakukan kemaksiatan itu.”

Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala, melimpahkan barakah dan inayahnya kepada kita, Saudaraku.***


Majalah Relung Tarbiyah, Edisi 3 Tahun 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar