Melakukan Yang Lebih Penting
M Lili Nur Aulia
![]() |
| Melakukan Yang Lebih Penting |
(Hal-62) “Setiap yang sedang
merasakan kelezatan melakukan hal-hal yang sunnah, tapi datang kewajiban
melakukan yang wajib, lalu ia tidak memutus kelezatannya dengan yang sunnah,
maka di dalam melakukan sunnahnya itu telah tertipu.” (Sulaiman Ad Daraani)
Saudaraku,
Ada salah satu pemahaman yang harus kita ingat dan pegang, yaitu mengutamakan yang paling penting dari yang penting. Memutuskan dan mendahulukan suatu masalah yang paling diperlukan, dari yang sekadar diperlukan. Dalam ungkapan Arab, prinsip ini lebih dikenal dengan istilah fiqh Aulawiyat, pemahaman terhadap hal yang diprioritaskan.
Mari kita bahas tema
ini, agak sedikit mendalam saudaraku.
Ada banyak contoh dalam masalah ini. Dalam beribadah misalnya, tidak memperbanyak ibadah sunnah sementara kita meninggalkan yang wajib. Atau dengan ungkapan yang berbeda, kita sangat kuat melakukan sesuatu yang wajib, tapi di sisi lain kita meringankan atau menggampangkan melakukan perbuatan yang haram.
Seperti yang dialami Imam Ahmad
bin Hambal saat ditanya tentang hukum percikan darah yang ada di pakaiannya
saat shalat. Padahal ketika itu beliau baru dicambuk karena mempertahankan
aqidahnya. Perhatikan juga ungkapan para ulama yang menyimpulkan,”Seseorang
yang berakal itu bukan yang bisa mengetahui perbandingan antara yang baik dari
yang buruk. Tapi orang yang berakal itu adalah yang bisa mengetahui mana yang
paling baik dari yang baik dan mana yang paling buruk dari yang buruk.”
Baca Juga: Dosa Yang Terus Mengalir
(Hal-63) Saudaraku,
Mari kita bicara hal-hal
yang lebih penting. Antara lain, mengedepankan masalah perbaikan ke dalam
masyarakat Muslim kita dengan memelihara dan memperkuat mereka, ketimbang lebih
banyak membahas strategi penghancuran oleh musuh-musuh umat. Upaya
menghancurkan umat, pasti akan berhasil bila dari dalam kondisi umat kita lemah
dan jauh dari Allah ‘azza wa jalla.
Tentu saja ini bukan
sama sekali mengabaikan perhatian kita terhadap konspirasi dan strategi
musuh-musuh umat. Tapi ini lebih berarti bahwa usaha memperbaiki dari dalam,
lebih utama untuk diperhatikan dan dipraktikkan lebih banyak, ketimbang sekadar
membahas dan memperhatikan serangan-serangan dari luar.
Saudaraku,
Mari kita
lihat contoh lain. Mana yang lebih utama, memberi contoh
langsung dalam perilaku yang baik atau menyampaikan kebaikan lewat lisan tanpa
mengerjakannya? Perhatikanlah ungkapan Ali radhiallahu ‘anhu kepada Umar bin
Khattab radhiallahu ‘anhu,
“Innaka ‘afafta fa
‘affat arra’iyyah” artinya engkau telah berusaha melindungi diri dari dosa
(‘iffah), maka rakyatmu pun terlindung dari dosa.” (Tarikh At
Thabari, 3/138).
Sikap iffah Umar
radhiallahu ‘anhu, menjadi sikap iffah di masyarakat yang dipimpinnya. Umar radhiallahu ‘anhu sendiri kepada para
pejabat kekhalifahan yang diangkatnya pernah berkata,”Demi Allah aku tidak akan
mengangkat seorang pejabat dari kalian yang melakukan sesuatu yang aku larang,
kecuali aku beri hukuman berlipat kepadanya karena kedudukannya dalam
kekhalifahanku. Terserah
kalian, ingin maju atau mengundurkan diri.”
Baca Juga: BiarkanAirnya Menetes
(Hal-64) Saudaraku,
Dalam beribadah pun demikian. Kita hendaknya lebih mengutamakan melakukan ibadah yang wajib, ketimbang ibadah yang sunnah. Misalnya saja, seseorang sangat ingin melakukan puasa sunnah, dengan alas an karena ia tidak mampu melakukan kewajiban yang harus ia lakukan. Ini cara berpikir yang kurang sejalan dengan fiqh al awlawiyat.
Perhatikanlah
mengapa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa
sallam melarang seorang istri berpuasa sunnah saat bersama suaminya,
kecuali dengan izin suaminya. Karena hak melayani suami adalah kewajiban bagi
istri. Sedangkan hukum puasa selain Ramadhan adalah sunnah.
Dalam kitab “Hilyah al Aulia” juga disebutkan perkataan ulama, “Barangsiapa yang disibukkan oleh sesuatu yang wajib sehingga dia tidak melakukan yang sunnah, maka ia dimaafkan. Tetapi barangsiapa yang disibukkan dengan sesuatu yang sunnah, sehingga tidak melakukan yang wajib, maka dia tertipu.”
Abu Sulaiman Ad Darani, ulama Damaskus, mengatakan, “Setiap
yang tidak merasakan kelezatan melakukan hal-hal yang sunnah, tapi datang
kewajiban melakukan yang wajib, lalu ia tidak memutus kelezatannya dengan yang
sunnah, maka dia dalam melakukan sunnahnya itu telah tertipu.” (Hilya Auliya, 9/269)
Saudaraku,
Selain itu, adalah lebih
mendahulukan untuk memperhatikan soal meninggalkan larangan, dibandingkan
memperhatikan soal melakukan yang diperintahkan. Itu sebabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Jika aku melarang sesuatu atas kalian maka jauhkanlah.
Dan ketika aku perintahkan kalian tentang sesuatu, lakukanlah sebatas kemampuan
kalian.”
Dalam Hadist shahih ini
kita akan merasakan bahwa larangan itu lebih berat daripada perintah. Karena
saat menyebut masalah larangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memberi celah untuk
dilanggar. Sedangkan ketika bicara tentang perintah, disampaikan dengan syarat
sebatas kemampuan.
Baca Juga: Mimpi-Mimpi Besar
Dalam Riwayat Imam At
Turmudzi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan,
“Peliharalah diri kalian dari yang diharamkan, maka
kalian akan menjadi orang yang paling beribadah.”
Imam Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,”Seorang hamba
yang tidak melakukan ibadah yang lebih baik daripada meninggalkan apa yang
dilarang Allah.” Maimun bin Mahran mengatakan,”Mengingat Allah dengan lisan itu
baik, tapi lebih baik dari itu adalah mengingat Allah ketika akan melakukan
kemaksiatan lalu berhasil menahan diri dari melakukan kemaksiatan itu.”
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala, melimpahkan barakah dan inayahnya kepada kita, Saudaraku.***
Majalah Relung Tarbiyah, Edisi 3 Tahun 1

Tidak ada komentar:
Posting Komentar