Kamis, 03 September 2020

Narasi di Mimbar Publik

Narasi di Mimbar Publik[1] [2]

Edi Santoso

(Hal-40) Di sebuah sholat hari raya, seorang khatib tampil dengan selayaknya, setidaknya dalam hal berpakaian. Jubah putih, peci putih, dan sorban mengesankan bahwa yang bersangkutan memang telah siap memberikan khutbah. Namun, dengan segala hormat kita padanya, khotbah di hari istimewa itu ternyata miskin perhatian. Bahkan seusai acara ada jamaah yang berbisik,”Khotbah kok isinya keluh kesah semua.” Sebuah respon yang wajar, mengingat harapan banyak orang di hari kemenangan itu, mestinya lebih banyak muncul adalah motivasi dan semangat. Jika pun ada masalah, mestinya juga dilengkapi dengan tawaran solusi dan harapan-harapan yang menyemangati.



Hal serupa mungkin sering kita jumpai dalam panggung berbeda. Betapa banyak mimbar tetapi miskin isi. Mimbar adalah representasi dari segala ‘panggung’ dimana orang mendapat kesempatan untuk berkomunikasi dengan public. Tak hanya penceramah, tetapi juga ada guru, pengamat, atau pemimpin di sana. Sementara isi, merujuk pada narasi yang sedang dibawakannya, seperti gagasan atau perspektif yang ditawarkan.

Maka ruang-ruang komunikasi public itu seringkali menjadi lesu dan menjemukan. Ada pengamat yang berkomentar dengan dangkal, semata mensistematisasi gagasan  yang sejatinya tak lebih dari commonsense di forum-forum terhormat seperti seminar atau sarasehan. Ada guru atau dosen yang selalu ‘memutar kaset’ di kelas-kelas yang disambanginya. Apa yang disampaikan seolah sekadar dihafal, sayangnya tak pernah di-update, dan disampaikan terus-menerus, layaknya kaset tape recorder. Dan banyak pemimpin (Hal-41) yang mati gaya di depan pengikutnya. Bukannya memotivasi, sang pemimpin justru ‘curhat’ dan berkeluh kesah.

Mungkin tak ada yang salah dengan teknik pidatonya. Kata-katanya runtut, intonasinyapun naik turun berirama. Tapi, retorika memang tak semata soal atikulasi. Kekuatan retorika juga amat ditunjang oleh gagasan yang disampaikan. Itulah yang kita pelajari dari dari para orator besar. Benar, Soekarno memang dahsyat dalam merangkai kata, parallel dengan suara baritonnya yang menggelegar. Tapi lebih dari itu, pidato sang proklamator ini sungguh kaya isi.

Lihatlah bagaimana Soekarno menguraikan gagasan tentang kebangsaan saat peringatan HUT RI tahun 1963, betapa dalam dan berisi. “Dari sabang Sampai Merauke empat perkataan ini bukanlah sekedar rangkaian kata ilmu bumi. Dari Sabang Sampai Merauke bukanlah sekedar menggambarkan suatu geographs begrip. Dari Sabang Sampai Merauke bukanlah sekedar geographical entity. Ia adalah satu National entity. Ia adalah pula satu kesatuan kenegaraan, satu state entity yang bulat kuat. Ia adalah satu kesatuan tekad, kesatuan ideology….”

Bahkan Hitler, terlepas dari paham Chauvanismenya yang mengerikan, pidatonya sangat kaya akan gagasan. Jerman yang terpuruk secara ekonomi dan hancurnya harga diri bangsa akibat kekalahan perang Dunia I memang menjadi faktor khusus yang menjadi mobilisasi perang, tetapi lihatlah bagaimana Hitler mengkomunikasikan visinya yang radikal. Lewat orasinya, Hitler sukses dalam mencekoki rakyat tentang buruknya pemerintahan pada masa itu. Dia menjanjikan perubahan yang ambisius.

Maka, pada akhirnya retorika lebih dari rangkaian kata. Retorika adalah bagaimana kita membangun makna, berdasarkan argumentasi dan perspektif yang kuat. Kata tanpa gagasan adalah kesia-sian. Narasi tanpa solusi adalah ironi, sebagaimana yang diungkapkan filosof klasik Epicurus,”Kata-kata seorang filsuf yang tidak menawarkan penyembuhan bagi penderitaan manusia adalah kata-kata kosong dan sia-sia.”

Tak semua orang memiliki kesempatan berdiri di mimbar-mimbar publik. Dan tak semua orang datang duduk, karena daya tarik kita. Mungkin ada ritual atau system yang mengharuskan kita berdiri dan berbicara, sementara mereka mendengarkan. Maka, orang bijak yang selalu bisa menghargai keistimewaan ini, dengan mempertimbangkan setiap kata yang keluar. Ini bukan soal siapa kita, tetapi apa yang keluar dari kita. Karena kata-adalah alat hitung bagi orang-orang bijak, kata Thomas Hobbes, yang mereka lakukan tak lain adalah memperhitungkannya. *

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 260 Th.13, zulqidah 1432, 20 Oktober  2011

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Umpan Balik

Umpan Balik[1][2]

Edi Santoso

(Hal-50) Di sebuah pertemuan ibu-ibu, kegaduhan tak terhindarkan. “Ibu-ibu, tak ada gunanya saya bicara jika ramai begini. Tolong didengarkan ya! Sekali lagi, tolong didengarkan!” ujar seorang ibu yang kebetulan bertugas menyampaikan ‘kultum’. Kondisi hening sejenak tapi tak lama kemudian gaduh kembali. Petugas ‘kultum’ itu semakin tak nyaman, wajahnya kian mengkerut. Gertakannya yang biasa ampuh di ruang kelas, di depan murid-muridnya, kini tak lagi mempan. Inilah ‘tragedi kecil’ komunikasi dalam kelompok.



Peristiwa serupa pasti sering kita alami atau saksikan sehari-hari. Di rumah misalnya, betapa banyak orang tua yang nyaris frustasi ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya. Gertakan dan ancaman tak lagi bertuah di rumah. Anak-anak sekarang keluh seorang ibu, semakin mudah membantah. Bahkan presiden pun sampai marah, ketika berbicara di rapat cabinet, para menterinya justru pada ngomong sendiri. Apa yang salah?

Komunikasi adalah proses memberi dan menerima, mengirim dan menangkap, timbal balik. Kegaduhan dan ‘pembangkangan’ adalah sinyal sebagai respon apa yang telah kita beri. Para pakar komunikasi interpersonal menyebutnya sebagai umpan balik (feed back).  Komunikator yang baik selalu sukses membaca umpan balik dan meresponnya dengan tepat. Kenapa orang ngantuk ketika kita berbicara? Kenapa orang acuh-tak acuh dengan kata-kata kita?

Jadi, kunci pertamanya adalah sejauhmana kita bisa membaca atau memaknai umpan balik. Khalaya ramai bisa karena banyak sebab, mungkin karena suasana ruangan yang tak nyaman, kondisi fisik mereka yang tak mendukung (mungkin karena capai atau lapar), atau karena kegagalan kita menjadi (Hal-51)pembicara yang baik. Dan komunikator yang bijak selalu menyalahkan dirinya sebelum yang lain. Jadi jika ada yang tidak beres, maka pastilah ada yang salah dengan kita.

Dengan melokalisir kesalahan pada kita, semua menjadi tanggungjawab kita. Karena suasana bisa diciptakan, peralatan bisa diusahakan, dan berbagai teknis bisa dicoba. Selalu ada gangguan (noise) itu benar adanya, karena itu kita harus mengantisipasinya. Kita bisa ‘memaksa’ orang untuk mendengarkan, tapi bukan dengan gertakan atau instruksi. Inilah kunci kedua, yakni merespon umpan balik secara tepat.

Mengahadapi anak-anak misalnya, kita sendiri alpa bahwa mereka memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia kita. Kita lupa bahwa mereka, anak-anak normal, tak akan bisa diam tanpa aktivitas. Maka melarang mereka untuk melakukan suatu kegiatan tanpa member alternatif hanya aka membuat teriakan kita makin keras. “Nak, jangan nonton tv!” si anak mungkin menurut, tapi tak lama kemudian menyalakan playstation. “Naak, jangan main game!” Teriak kita makin kencang. Coba kita ganti instruksi, Nak, jalan-jalan yuk.” Anak-anak mungkin akan lebih menurut, dan lupa nonton televisi dan main game.

Jika hidup ini sejatinya adalah proses komunikasi terus-menerus, maka membaca dan merespon umpan balik memiliki dimensi yang sangat luas. Umpan balik itu adalah penanda, baik eksplisit maupun tidak, yang ada di sekitar kita. Ada alam dengan segala fenomenanya, ada dinamika sosial dengan berbagai gejalanya. Itulah yang dilakukan orang-orang di daerah rawan bencana. Dari pengalaman bertahun-tahun, sehingga menjadi kearifan lokal. Mereka tahu bagaimana alam memberikan umpan balik, misalnya saat bencana akan terjadi suhu yang berubah atau kemunculan hewan-hewan tertentu misalnya, adalah sebagian tanda yang sudah dikenali. Mereka tetap bertahan di daerah rawan, karena yakin bisa berkomunikasi dengan alam.

Para pemimpin semestinya peka pada segala penanda sosial, lebih dari angka-angka laporan lembaga resmi. Korupsi, pengangguran, kriminalitas, kemacetan, tingginya angka kecelakaan, dan semakin maraknya penyakit sosial adalah umpan balik yang mendesak respon secepatnya secara tepat dan proporsional. Merespon dengan cara pencitraan, pastilah bukan jawabannya. Khalifah Umar memberikan contoh bagaimana seharusnya membaca realitas sosial dengan cara melihat rakyatnya dari dekat. Maka, tanpa pengawal Umar berkeliling negeri, melihat secara langsung dan alami bagaimana hidup rakyat sesungguhnya. Lewat jalan inilah, Khalifah bisa mendengar langsung tangis janda dan anak-anak yatim yang hidup dalam kelaparan.

Pada akhirnya kepekaan dan kecerdasan membaca umpan balik adalah sebentuk kearifan hidup. orang yang arif adalah mereka yang peka dengan segala penanda itu dan kemudian menyikapinya dengan proporsional. Pemimpin yang arif adalah mereka yang selalu cermat menyimak suasana, cerdas membaca dan merespon umpan balik orang-orang yang dipimpinnya.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 259 Th.13, Dzulqaidah 1432, 06 Oktober  2011

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Diri Yang Otentik

Diri Yang Otentik[1] [2]

Edi Santoso

(Hal-50) Salah satu keistimewaan ibadah puasa adalah sifatnya yang privat. Ini urusan kita kita dengan Allah semata, karena orang tak akan tahu apakah kita puasa atau tidak. Kita bisa sembunyi saat makan atau minum dari pandangan orang, tapi tidak di hadapan Allah. Maka, seperti dikatakan banyak penceramah, puasa sejatinya adalah upaya kita untuk menjadi diri yang otentik, yang sejati.



Jika otentisitas diri adalah persoalan yang ada dalam lingkungan sosial, maka sangkut pautnya adalah praktik komunikasi kita. Lewat komunikasilah kita mempresentasikan diri di depan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, cara komunikasi sosial kita menunjukkan seberapa otentik kita sesungguhnya.

Baiklah kita mulai dari hakikat diri (self). Dalam kajian sosiologi dan komunikasi, self banyak dikupas dalam teori-teori populer semisal interaksionisme simbolik atau dramaturgi. Para teorisi sepakat bahwa self selalu berdimensi sosial. Singkatnya, diri kita sangat dipengaruhi lingkungan. The self, kata Herbert Mead, lebih dari sebuah internalisasi struktur budaya dan sosial, di mana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, di dalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsiran atas hal-hal tersebut.

Gagasan Cooley tentang ‘the looking glass self’ mungkin lebih memudahkan kita untuk memahami betapa  kita sangat dibentuk oleh situasi sosial. Dalam perilaku, kata Cooley, pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman (Hal-51) teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpengaruh olehnya.

Singkat kata, komunikasi kita baik verbal maupun nonverbal, misalnya tingkah laku, cara berpakaian, atau yang lainnya, lahir dari definisi situasi yang kita buat. Di sinilah, problem otentisitas itu muncul. Jika faktanya kita adalah produk sosial, bisakah kita menjadi otentik? Bisakah kita menjadi diri sendiri, diri yang asli?

Para ilmuwan menjelaskannya dengan logika bahasa ‘I’ dan ‘Me’ yang sama-sama merujuk makna ‘saya’. ‘I’ adalah sisi dari diri kita yang otentik, aktif, yang punya otoritas memilih dan bertindak sepihak. Sementara ‘Me’, merujuk pada diri kita yang labil, mudah dibentuk dipengaruhi dan pasif. Kedua-duanya ada dalam diri kita, seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Jika kita dominan pada salah satunya, pasri menjadi masalah. Bayangkan apa jadinya jika kita selalu mengafirmasi keinginan atau komentar orang lain. Pasti serba salah, sebagaimana hikayat Nasrudin Hoja, dan anaknya yang hendak pergi ke pasar. Bapak naik keledai, anak jalan kaki, salah. Anak naik keledai, Bapak berjalan kaki, salah. Kedua-duanya naik keledaipun salah. Begitu pula ketika mereka berjalan kaki dan membiarkan keledainya berjalan tanpa beban, juga salah. Upaya menyenangkan semua orang merupakan contoh konkrit krisis otentisitas diri.

Pun ketika kita secara ekstrim mengabaikan semua yang datang dari luar, pasti juga membawa persoalan, karena kita menjadi diri yang asosial. Bayangkan apajadinya jika kita berperilaku seenaknya, berpakaian sesukanya, berbicara suka-suka kita, dengan alasan menjadi diri sendiri. Tentu bukan otentik seperti yang kita harapkan.

Menjadi otentik bukan berarti tanpa afiliasi, sebagaimana pelajaran puasa, karena pada akhirnya kita mengikuti  apa yang kita yakini benar. Dalam puasa kita berlatih melepaskan afiliasi pada orang dan memantapkan afiliasi pada Tuhan. Kita berlatih menjalin relasi khusus dengan Yang Maha Kuasa terlepas dari apa komentar orang. Kita berlatih menjadi diri sendiri. Diri yang terarahkan dengan benar.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 258 Th.13, Syawal 1433, 23 September  2011

[2] Diketik ulang Eddy Syahrizal

Rasa Ingin Tahu

Rasa Ingin Tahu[1][2]

Edi Santoso

(Hal-48) selalu ingin tahu.  Begitulah karakter dasar manusia. Karena selalu ingin tahu, hidup manusia berkembang, dengannya lahir beragam ilmu pengetahuan. Manusia terus tertantang untuk menjawab misteri yang ada dalam dirinya (mikrokosmos) maupun yang ada di luar dirinya (makrokosmos). Karena selalu ingin tahu, manusia tak pernah berhenti berpikir, bertanya dan mencoba, sehingga muncul berbagai observasi (penelitian) untuk memberikan jawaban-jawaban.



Namun, rasa ingin tahu tak melulu pada persoalan serius seputar hidup manusia, kadang juga pada masalah remeh-temeh misalnya tentang kehidupan orang lain. Orang lain itu seringkali bukan siapa-siapa, bukan sanak saudara kita. Mereka mungkin para pesohor, orang-orang yang bertabur popularitas. Kita bisa jadi tak punya urusan dengan mereka, tapi anehnya kita selalu ingin tahu tentang hidupnya, bahkan sampai pada hal-hal yang paling pribadi.

Jika rasa ingin tahu yang pertama melahirkan pengetahuan, yang kedua memunculkan pergunjingan. Repotnya, inilah yang diafirmasi media-media yang memburu sensasi. Temanya bisa apa saja, termasuk isu-isu politik atau gossip para pesohor. Faktanya, media-media semacam ini laris manis di pasaran. Larisnya beraneka acara gossip dalam dunia televisi menegaskan fakta ini.

Dalam jurnalisme, keiingintahuan khalayak dijawab dengan ekslusifitas liputan. Media massa berlomba untuk menjadi yang pertama, atau bahkan satu-satunya yang memiliki akses pada sumber informasi ‘penting.’ Tentu, ini semua soal uang, muara bagi media pada umumnya di era industrialiasasi pers. Semakin ekslusif narasumber, semakin diburu khalayak, apalagi jika menyangkut sebuah wilayah yang selama ini tertutup atau nyaris tak terjangkau masyarakat pada umumnya.

Itulah yang menjelaskan tragedy ‘News of The World’ di Inggris. Tabloid dengan tiras (Hal-49) 2,6 juta eksemplar itu terbukti melakukan penyadapan ribuan sambungan telepon pada berbagai strata sosial. Demi berita yang ekslusif, media milik Taipan Rupert Murdoch itu melakukan penyadapan dengan berbagai cara, termasuk dengan menyuap polisi setempat. Tentu, terbongkarnya kasus ini menuai kecaman luas. Beberapa bengara seperti Amerika dan Australia pun siaga, khawatir hal yang serupa juga dilakukan media-media di bawah News Corporation lainnya.

Murdoch, raja media itu, pamornya terjun bebas. Warga Amerika serikat itu tak lagi dikagumi atau disegani politisi dan public Inggris. Padahal, taipan kelahiran Australia itu merupakan aktor  dibalik panggung politik Inggris. Murdoch berpengaruh sejak era Pedana Menteri Margaret Thatcher hingga David Cameron, karena kedekatannya. Orang-orang kepercayaan Murdoch di perusahaan medianya pun satu persatu mengundurkan diri.

Rasa ingin tahu pula yang kini dimainkan oleh Nazarudin. Pada kasus korupsi yang pada umunya gelap, mantan bendahara Partai Demokrat itu menyibaknya, sedikit demi sedikit. Terlepas dari benar dan salahnya, Nazarudin memainkan emosi khalayak melalui pesan-pesan di Blackberry Messenger atau lewat suaranya di telepon melalui stasiun televisi. Kepentingan media dan Nazr bertemu, sehingga siapa yang lebih memanfaatkan siapa menjadi tidak jelas. Yang sudah jelas, rasa ingin tahu itu selalu menyeruak dalam perbincangan publik.

Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan rasa ingin tahu itu. Karena pada sebagian rasa ingin tahu itu ada control sosial. Faktanya, kita menyerahkan otoritas pada orang-orang terpilih, baik eksekutif maupun legislative, sehingga menjadi wajar, jika kita selalu ingin tahu sejauhmana kepercayaan kita dijalankan. Adalah hak kita untuk mengetahui segala informasi yang berkaitan dengan nasib kita sebagai warga Negara. Karena itu pula, ada Komisi Informasi Publik yang bertugas menjamin keterbukaan informasi. Singkatnya, pada ranah kepentingan publik, rasa ingin tahu itu relevan, bahkan wajib ada.

Lantas bagaimana jika itu menyangkut kehidupan pribadi orang? Cara paling mudah untuk menjawabnya adalah membayangkan jika kita adalah mereka. Bayangkan, jika hidup kita selalu diawasi, termasuk dalam urusan yang sangat pribadi. Betapa menjijikkan para ‘mata-mata’ itu. Media yang ‘merampok’ privasi jelas tak bisa dibenarkan, tetapi semua juga berawal karena kita, khalayak yang gemar menikmati sensasi.

Mari kita dudukkan ‘rasa ingin tahu’ pada tempatnya. Rasa ingin tahu yang melahirkan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan solusi hidup, bukan pertanyaan yang justru membawa masalah. Pertanyaan sebagaimana dimaksudkan dalam ungkapan Albert Einstein yang populer, “The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its own reason for existing. One cannot help be in awe when he contemplates the mysteries of eternity, of life, the marvelous structure of reality. It is enough if one tries merely to comprehend a little of this mystery every day. Never lose a holy curiosity.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 257 Th.13, Ramadhan 1432, 11 Agustus  2011

[2] Diketik Ulang: Eddy Syahrizal

Jika Kita Adalah Media

Jika Kita Adalah Media[1][2]

Edi Santoso

 

(Hal-54)  Teori-teori keperkasaaan media dibangun berdasarkan asumsi bahwa jumlah media massa relative terbatas dan karakter khalayak cenderung pasif. Maka muncullah anggapan-anggapan seperti bahwa agenda media menentukan agenda khalayak (agenda setting), persepsi khalayak dibentuk oleh media (cultivation), atau pemberitaan mainstream mengarahkan pendapat mayoritas (spiral of silence). Media mendominasi di satu sisi, sementara khalayak ter-subordinasi di sisi yang lain.



Namun, asumsi-asumsi itu nampaknya harus direvisi ketika media baru (new media) datang. Media baru yang berbasis internet (misalnya blog, mikroblog dan social network) telah merubah segalanya. Jika media massa kita maknai sebagai sumber informasi, maka jumlahnya kini makin tidak terbatas. Tak hanya korporat besar yang punya media, kini siapapun bisa melakukan hal yang sama. Sementara itu khalayak, jauh lebih aktif dari yang sebelumnya dibayangkan. Media baru menawarkan interaktifitas dan selektifitas bagi khalayaknya.

Dalam perspektif khalayak, makna penting dari itu semua adalah ‘kita’ (semestinya) makin ‘berdaya’. Khalayak tak lagi semata konsumen, tetapi juga adalah produsen (prosumen). Kita tak hanya menerima berita, tetapi juga bisa membuat berita. Karena, kita bisa menjadi media itu sendiri. Bayangkan Sherina Munaf, pengguna Twitter yang memiliki follower lebih dari satu juta orang, betapa signifikan pengaruhnya. Artinya jika penyanyi muda ini nge-tweet (berkomentar lewat Twitter), dimungkinkan ada sejuta orang lebih yang menyimaknya. Bagi media lama, terlalu sulit untuk mencari khalayak hingga sejuta orang.

Keberdayaan pada akhirnya menaikkan posisi tawar kita sebagai konsumen. Kita bisa belajar dari pengalaman Dave Carrol, seorang (Hal-55) penyanyi dan penulis lagu country, yang memiliki pengalaman tidak menyenangkan saat menggunakan jasa penerbangan. Pada 31 maret 2008, Carrol dan kelompok bandnya, Son of Maxwell, terbang dari Nova Scotia ke Nebraska dengan menggunakan United Airlines. Ketika baru saja mendarat di Chicago O’Hare, seorang penumpang yang duduk di belakangnya melihat handler bagasi telah melempar gitar Carrol ke aspal. Spontan dia mengingatkan petugas penerbangan, tetapi tak diacuhkan.

Gitar akuistik seharga $3,500 itu pun rusak dan untuk memperbaiknya dai harus mengeluarkan $1,200. Komplainya kepada United Airlines ditolak, bahkan ketika Carrol mengancam akan menyebarkan via media sosial. Akhirnya, Carrol menmbuat dan meng-upload video berdurasi 4 menit berjudul ‘United Breaks Guitars’ melalui You Tube. Dalam 24 jam, video itu mendapat 500 komentar dan 24 ribu pengunjung. Hingga kini, lebih dari 8 juta orang melihat testimoni betapa buruknya pelayanan maskapai penerbangan itu di You Tube.

Keberdayaan itu bisa juga berdimensi kolektif. Banyak aksi sosial dan politik yang digerakkan media sosial, misalnya munculnya aksi massa di beberapa Negara Timur Tengah belakangan ini. Bahkan di negeri ini, beberapa aksi kolektif seperti pengumpulan koin untuk Prita dan gerakan ‘Cicak-Buaya’ dalam kasus KPK juga berasal dari pesan dan perbincangan berantai di Media sosial.

Namun istilah ‘keberdayaan’ itu bisa juga hipotetik. Artinya, keberdayaan itu dimungkinkan terjadi dengan syarat tertentu, tak serta merta ada. Karena faktanya memang, fitur interaktifitas dn selektifitas dalam media baru tak selalu kita manfaatkan. Artinya, media berubah karakternya menjadi ‘baru’. Tetapi kita sebagai khalayak tetap bergaya ‘lama’ pasif.

Jika kita adalah media, maka kekuatan itu tak semata menyangkut jangkauan namun juga konten. Koneksi tidak akan membawa banyak arti tanpa kekuatan isi. Inilah tantangan berikutnya bagi khalayak media baru, sejauh mana mampu memberdayakan dirinya melalui narasi yang kuat. Bagi para ‘aktivis’ media sosial, harus ada perubahan dari euphoria narsis menjadi keseriusan berbagi. Ini renungan kita bersama, apa yang telah kita tuliskan di blog-blog kita? Apa yang telah kita bagi melalui kotak status Facebook kita? Apa yang telah kita sebar melalui bilik kapasitas 140 karakter dalam akun Twitter kita?

Jika kita adalah media, maka peotensi keberdayaan itu juga tanggungjawab, karena tidak ada informasi yang bebas nilai. Tanggungjawab ini akan membawa kita pada pertanyaan penting, kita ingin menjadi seperti apa kita? Media penghibur, media informasi, media gado-gado, atau bahkan media tanpa identitas? Apapun itu, adalah pilihan kita, karena makna tanggung jawab adalah cermin dari nilai yang kita yakini.

Meningkatnya akses dan keberdayaan khalayak, faktanya, memang dua hal yang berbeda. Melimpahnya informasi itu kenyataan, tetapi menjadi berdaya itu pilihan. *

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik ulang: Eddy Syahrizal

Mencederai Keyakinan Sendiri

Mencederai Keyakinan Sendiri[1] 

(Hal-04) Betapa perlu kita akan yakin. Untuk segala urusan. Sebagian keyakinan itu dibangun diatas kalkulasi realitas, hitungan matematis, dan rumus-rumus. Seperti urusan-urusan teknis di dalam hidup. sebagian lagi dibangun di atas kepercayaan. Ini berkaitan dengan apa-apa yang di luar jangkauan kemanusiaan kita. Bahwa ada Yang Maha Kuat di atas segala yang kuat.



Tapi sebesar itu kebutuhan kita akan yakin, seringkali sebesar itu pula kita menciderainya. Itu tidak saja pada dimensi kepercayaan. Tapi kadang juga pada soal teknisnya. Seperti verifikasi partai peserta pemilu, saling protes datang dari berbagai pihak. Ada yang menuding seharusnya lolos tetapi tidak diloloskan. Atau yang marah keras seharusnya lolos tapi tak diloloskan. Itu semua semestinya urusan data administrasi dan pembuktian faktual. Tidak lebih dan tidak kurang. Tetapi yang terjadi seringkali adalah mengaburkan hal-hal yang terang. Itu menciderai salah satu pilar keyakinan.

Betapa perlu kita akan keyakinan. Untuk segala urusan. Tetapi tidak juga lantas kita bebas mengaduk-aduk antara iman dan akal sehat. Sebab itu tidak saja mencederai keyakinan. Tetapi juga melahirkan kerancuan cara pandang, bila akhirnya yang kita yakini secara salah itu berantakan.

Itulah yang kita saksikan dari ruwatan mobil seorang menteri. Dengan sangat lengkap semua dimensi kepercayaan di jalani, untuk menguatkan keyakinan itu. Bila akhirnya mobil itu hancur, seketika semua dimensi kepercayaan yang telah dilakoni. Setidaknya, tidak ada sedikitpun penjelasan, bagaimana dimensi kepercayaan memandang kecelakaan tersebut. Akhirnya soal teknis juga yang disalahkan.

Bila anak seorang pejabat penting melakukan kesalahan, apalagi menyebabkan kematian orang lain, maka diperlukan keyakinan kuat untuk melakukan proses hukumnya. Tentu, urusannya dikembalikan ke fakta-fakta hukum. Dan, di situ pula ujian keyakinan itu. Sebab setiap fakta, bisa dimaknai dengan apa tafsir hukum atas fakta itu.

Betapa kita perlu keyakinan. Dalam bentuknya yang sangat kuat dan benar, itu bisa memberikan energi yang sangat besar. Nyaris tak terbayangkan, kadang. Begitulah seorang perempuan kecil di Palestina, Ahed Tamimi, ditemani beberapa anak seusianya, dengan berani mengintimidasi tentara Israel, lalu meneriakkan kata-kata keras, memprotes dan kadang menendang. Itu ia lakukan lantaran saudara laki-lakinya ditangkap tentara Israel.

Tindakannya menggugah banyak pihak. Perdana Menteri Turki, Erdogan, secara khusus mengundangnya. Di sana pula, anak itu disemati penghargaan, Handala Courage Award, sekaligus menjadi salah satu simbol perlawanan atas penjajahan Israel.

Betapa kita perlu keyakinan. Untuk segala urusan. Masalahnya, sebesar apa kebutuhan kita akan keyakinan, seringkali sebesar itu pula kita mencederainya. ***

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 289 Th.14, Rabiul awwal 1434, 24 Januari 2013

Waktu Pendek dan Panjang

Waktu Pendek dan Panjang[1] 

(Hal-06) Setiap kita punya dua waktu. Pendek dan panjang. Waktu pendek adalah rentang yang di situ kita ciptakan periode-periode buatan. Di situ pula kita tentukan awal dan akhirnya. Ini bisa soal jabatan formal atau sukarela. Bisa juga sebuah perasaan berkuasa, pada suatu ketika, di suatu tempat, atas sesuatu tertentu. Waktu panjang adalah rentang hidup yang disudahi oleh kematian. Dikaruniai usia hingga muda atau sampai tua, adalah waktu yang sangat panjang untuk menyejarahi wujud, lalu kelak mempertanggungjawabkan.



Uniknya, waktu pendek seringkali adalah saat di mana sebagian orang mengambil peran yang sangat besar, untuk pekerjaaan-pekerjaan besar. Namun mereka sering lupa, bahwa waktu tidak pernah cukup. Apalagi sepotong dua potong periode. Sebab hidup selalu memperbaharui masalahnya, jauh lebih cepat dari kapasitas individual setiap orang.

Maka negara maju sebesar Australia, dengan perdana menteri silih berganti, dalam laporan terbarunya, masih menghadapi meningkatnya jumlah tunawisma dalam enam tahun terakhir. Angkanya sampai 17 persen. Sedangkan kita, dengan segala lembaga negara yang kita punya, masih saja dihinakan oleh ulah polisi Malaysia, yang menistakan secara biadab tenaga kerja asal Indonesia.

Obama terpilih kedua kali pun mengahadapi masalah ekonomi yang berat. Analis politik Stephen Lendman, menilai, akan banyak kekacauan yang lebih parah terkait fiskal. Anggaran militer meningkat, sementara pemotongan dana sosial akan terus membebani orang biasa. Lendman menyebut itu teror negara dan kejahatan kemanusiaan.

Di waktu pendek biasanya kita menciptakan satuan ukur. Kadang kita menyebutnya rencana, misi, tahapan atau target. Ada juga evaluasi. Itu ada perspektif ilmiahnya. Pada saat yang sama itu hanya bahasa lain untuk menghaluskan keterbatasan di hadapan jatah waktu. Maka defisit yang muncul dari situasi itu, seringkali kemudian dikompensasi dengan pencitraan, bahkan kadang sampai urusan fisik.

Seperti Presiden Perancis yang lau, Nicolas Sarkozy. Ia tergolong bertubuh pendek. Tetapi AFP menyebut Sarkozy justru merasa lebih tinggi dari yang sesungguhnya. Ternyata, penelitian Michelle Duguid dan Jack Goncalo, menemukan adanya korelasi yang jelas antara merasa berkuasa dan merasa tinggi secara fisik. “pengalaman psikologi akan kekuasaan bisa menyebabkan orang merasa lebih tinggi dari keadaan sebenarnya,” tulis kedua ilmuwan itu. Ini pasti lebih rumit dari sekedar dari seorang menteri yang selalu merasa favorit di mata semua orang. Atau seorang Gubernur yang mengira semua masalah bisa diselesaikan dengan sederhana.

Setiap kita punya dua waktu. Pendek dan panjang. Bila suatu hari, takdir membawa kita memikul pekerjan besar yang dibatasi periode, jangan terlena. Kadang, itu hanya saat yang tidak menyenangkan untuk tampak pintar atau tampak bodoh.***



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 286  Th.14, Muharram 1434, 29 November 2012

Retorika Atas Kematian

Retorika Atas Kematian[1] 

(Hal-06) Kematian itu nyata. Selalu. Karena sangatnya, tak akan pernah bisa dikisahkan seperti apa rasanya terputus dari dunia. Sebab tak pernah ada kematian yang sekedar bisa dicoba. Maka kematian senantiasa menyisakan duka.

Kematian akibat tindakan biadab lebih menyakitkan. Selalu. Seperti tawuran anak-anak sekolah yang berujung pembunuhan. Ini bukan tentang remaja yang bergurau dengan kata-kata untuk mengasah kecakapan narasi. Atau berlomba ketangkasan fisik yang meliatkan otot dan tulang belulang. Ini tentang kejahatan menggunakan bermacam senjata tajam.



Sesudah itu banyak orang yang berbincang panjang. Seakan ini sebuah misteri. Tentang kurikulum pendidikan, pola asuh, mata pelajaran, serangan budaya. Tanpa sadar, kadang bursa retorika dan wacana mewah itu sampai pada tingkat yang mengaburkan. Bahwa seorang siswa pembunuh dianggap korban dari segala sistim yang melingkupinya. Padahal pembunuhan tetaplah pembunuhan. Seorang yang telah dewasa, terikat dengan kaidah umum, bahwa ia pasti mengerti membunuh itu kriminal, dosa dan nista.

Kematian itu nyata. Tetapi pada jalan cerita yang menyertai sesudahnya, kadang ada saja orang yang senang mengarang misteri dan retorika. Ini bisa dilakukan oleh para pedagang cerita, yang mengais nafkah dari keahlian merangkai tafsir tipu-tipu. Tiba-tiba anak-anak sekolah yang rajin mengikuti kerohanian Islam, dituding sebagai sumber berbagai tindakan teror yang mematikan.

Para petualang logika, selalu lapar teori dan haus kerangka. Dengan itu ia membolak-balikkan makna. Dengan itu pula, seorang pembunuh kriminal bisa mendapat segala pemakluman. Dengan itu pula, kegiatan rohani Islam, bisa dipalak dengan membayar ongkos tuduhan naïf, atas keterkaitan dengan teror.

Kematian itu nyata. Bahkan pengadilan yang punya kuasa konstitusi untuk menghukum mati bisa tampak bodoh. Lantaran dengan fatal menghukum orang yang tidak bersalah. Baru-baru ini, di Lousiana, Amerika, seorang laki-laki, Damon Thibodeaux, yang telah dipidana mati sejak 15 tahun yang lalu, akhirnya dibebaskan. Hasil tes DNA menunjukkan dia telah didakwa secara keliru atas pemerkosaan dan pembunuhan. Hukuman mati itu hanya didasarkan pada pengakuan setelah interogasi selama 9 jam. Thibodeaux menjadi orang ke delapan belas di Amerika yang dibebaskan dari hukuman mati yang dijatuhkan secara salah.

Di sekolah atau di mana saja, kematian itu nyata. Itu sudah sangat meninggalkan luka. Tak perlu lagi ditimpa dengan ulah hina para pedagang retorika, pembual misteri dan petualang logika ngawur yang sering salah alamat. *

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 283 Th.14, Dzulhijjah 1433, 18 Oktober  2012

Definisi yang Melatari Tragedi

Definisi yang Melatari Tragedi[1] 

(Hal-6) Seorang remaja turut membunuh. Dua orang korbannya. Semua heran dan tak habis mengerti, bagaimana semua itu ditafsirkan dalam ilmu perilaku. Maka beberapa pihak merasa perlu melakukan pendampingan. Tragedy yang mengguncang kota Depok baru-baru ini tidak saja karena kematian yang tragis, tapi juga banyaknya paradoks.



Meski otak pembunuhan itu adalah orang-orang yang berumur, terkait utang-piutang, tapi kerelaan anak-anak itu untuk terlibat sungguh menggenaskan. Memandang ulah keji itu secara menyeluruh, tetap saja melahirkan debat. Bahkan di ranah hukum yang mudah bisa mengolah perkara itu, perbedaan tetap terjadi.  Misalnya apakah mungkin anak itu diancam dengan hukuman mati. Dan, seperti ini bukan kasus pertama.

Tetapi yang lebih mendasar dari itu semua, masalah besarnya terletak pada kerancuan kita dalam mendefinisikan anak dan orang dewasa. Kerancuan itu disebabkan adanya cluster yang kita masukkan di tengahnya: fase remaja. Mereka anak-anak tanggung yang secara akal sudah mengerti mana salah dan mana benar. Tetapi secara hukum kita beri toleransi keterlaluan atas ulah mereka. Remaja adalah status yang diciptakan oleh berbagai kepentingan. Salah satunya industry. Ada bisnis yang sangat besar dengan pasar yang disebut remaja. Tapi ongkos yang harus kita bayar seringkali mahal.

Itulah mengapa dalam Islam, hanya dikenal anak-anak dan dewasa. Anak-anak dengan mudah kita pahami sebagai mereka yang belum baligh. Sehingga salah dan benar tidak punya tuntutan. Sebaliknya orang dewasa, adalah mereka yang secara nyata telah baligh, maka salah dan benarnya punya konsekuensi hukum.

Tetapi dengan fase baru yang bernama remaja, kita menciptakan ambigu yang mengerikan. Mereka layak dihukum atas tindak criminal. Tetapi sisim sosial kita membodohi mereka dengan status aneh, belum sepenuhnya punya konsekuensi hukum apapun atas perangai mereka.

Di Amerika Serikat, seorang mahasiswa cerdas membunuh penonton bioskop. Itu tragedi mengerikan yang menghilangkan belasan nyawa, melukai puluhan lainnya, sekaligus mengacaukan banyak logika. Logika kebebasan memiliki senjata. Logika rasa aman. Juga perdebatan tentang apakah itu disebut tindakan teror atau tidak. Sebab selama ini, dunia dipaksa memaknai kata teror secara subyektif hanya bila dikaitkan dengan aliran agama. Begitupun, masih aka nada debat, apakah Holmes, penembak maut itu layak di hokum atau tidak? Bila dimungkinkan misalnya tidak waras.

Tidak jarang kita dengan santai mengunyah segala kekacauan definsi. Seakan itu hanya teori tentang usia anak, atau doktrin teror keji tidak datang dari hiburan. Ada banyak kekacauan tersembunyi, yang kita sadari atau tidak. Bahwa kesalahan definisi yang fatal, bisa menjadi awal dari tragedi yang mengerikan.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 280 Th.14, Syawal 1433, 06 September  2012

Ada Banyak Hari Kita Peringati

Ada Banyak Hari Kita Peringati[1] 

(Hal-04) Ada banyak hari yang kita peringati. Sebagiannya pengingat akan prestasi. Yang lainnya penyadar atas tragedi. Bahkan hidup dan mati selalu layak untuk diingat. Sebab di sana ada tawa dan tangis. Namun apa yang diperingati dari hari anti narkoba sedunia tidak sekadar pilu korban di tengah gelegak Bandar narkoba. Tapi ironi tentang penembuhan luka-luka akut di tengah keterbatasan kemampuan perang melawan kartel.



Hari anti narkoba diperingati di bulan Juni. Lalu hari ulang tahun kepolisian di negeri kita diperingati setiap awal Juli. Datang berkelindan. Rasanya seperti itu pula narkoba dan kepolisian saling susul dalam pengejaran dan segala upaya penindakan. Lalu datang Agustus, di mana diperingati hari Remaja Internasional. Di Agustus itu kita juga memperingati peristiwa besar kemerdekaan. Ini siklus tiga bulan istimewa ang bila kita baca ketersambungannya dalam realitas masa kini, akan membuat hati kita menangis. Kita memperingati kemerdekaan, di tengah perang aparat melawan narkoba yang kian menggila di pasar utama para remaja.

Indonesia bahkan telah bertumbuh secara menyakitkan dari negara transit narkoba, menjadi negara pasar. Lalu kini menjadi negara produsen. Dari sana subur industri premanisme bengis, yang membunuh tanpa bersembunyi, menyebar takut tanpa takut, menistakan rasa aman yang dinaungi hukum yang mengamankan. Naifnya lagi, pengorganisasian jaringan distribusinya banyak dikendalikan dari dalam penjara. Orang yang seharusnya menjalani hukuman dengan kekang fisik maupun akses, justru secara digdaya bisa mengatur bisnis triliunan rupiah itu.

Sebagian dari jatuhnya hari di peringatan itu memang ulang tahun kelahiran. Yang lain dikreasi oleh momentum dan kesepakatan. Itu sejarah yang telah tercipta. Tetapi di tengah tantangan kejahatan yang semakin canggih, terkelola, maupun kejahatan yang mengeksploitasi kecanduan, peringatan hari-hari itu seharusnya melecut penuh kerja semua pihak untuk semakin gigih.

Secara kebetulan pula kita umat Islam, di Agustus ini datang bulan kita yang istimewa, Ramadhan nan mulia. Itulah adalah energi turbo untuk semua pertarungan melawan bandit. Tapi bahkan untuk sebagian orang, Ramadhan bisa saja sekadar hari-hari peringatan. Tanpa serapan ketundukan, apalagi berlimpah amalan.

Ada banyak hari yang kita peringati. Sebagiannya pengingat akan prestasi. Yang lain penyadar akan tragedi. Tapi bisa juga itu semua hanya sebuah ironi.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 279 Th.14, Ramadhan 1433, 26 Juli  2012