Narasi di
Mimbar Publik[1]
[2]
Edi Santoso
(Hal-40) Di sebuah
sholat hari raya, seorang khatib tampil dengan selayaknya, setidaknya dalam hal
berpakaian. Jubah putih, peci putih, dan sorban mengesankan bahwa yang
bersangkutan memang telah siap memberikan khutbah. Namun, dengan segala hormat
kita padanya, khotbah di hari istimewa itu ternyata miskin perhatian. Bahkan
seusai acara ada jamaah yang berbisik,”Khotbah kok isinya keluh kesah
semua.” Sebuah respon yang wajar, mengingat harapan banyak orang di hari kemenangan
itu, mestinya lebih banyak muncul adalah motivasi dan semangat. Jika pun ada
masalah, mestinya juga dilengkapi dengan tawaran solusi dan harapan-harapan
yang menyemangati.
Hal serupa mungkin sering kita jumpai dalam
panggung berbeda. Betapa banyak mimbar tetapi miskin isi. Mimbar adalah
representasi dari segala ‘panggung’ dimana orang mendapat kesempatan untuk
berkomunikasi dengan public. Tak hanya penceramah, tetapi juga ada guru,
pengamat, atau pemimpin di sana. Sementara isi, merujuk pada narasi yang sedang
dibawakannya, seperti gagasan atau perspektif yang ditawarkan.
Maka ruang-ruang komunikasi public itu
seringkali menjadi lesu dan menjemukan. Ada pengamat yang berkomentar dengan
dangkal, semata mensistematisasi gagasan
yang sejatinya tak lebih dari commonsense di forum-forum terhormat
seperti seminar atau sarasehan. Ada guru atau dosen yang selalu ‘memutar kaset’
di kelas-kelas yang disambanginya. Apa yang disampaikan seolah sekadar dihafal,
sayangnya tak pernah di-update, dan disampaikan terus-menerus,
layaknya kaset tape recorder. Dan banyak pemimpin (Hal-41) yang mati gaya di depan
pengikutnya. Bukannya memotivasi, sang pemimpin justru ‘curhat’ dan berkeluh
kesah.
Mungkin tak ada yang salah dengan teknik
pidatonya. Kata-katanya runtut, intonasinyapun naik turun berirama. Tapi,
retorika memang tak semata soal atikulasi. Kekuatan retorika juga amat
ditunjang oleh gagasan yang disampaikan. Itulah yang kita pelajari dari dari
para orator besar. Benar, Soekarno memang dahsyat dalam merangkai kata,
parallel dengan suara baritonnya yang menggelegar. Tapi lebih dari itu, pidato
sang proklamator ini sungguh kaya isi.
Lihatlah bagaimana Soekarno menguraikan
gagasan tentang kebangsaan saat peringatan HUT RI tahun 1963, betapa dalam dan
berisi. “Dari sabang Sampai Merauke empat perkataan ini bukanlah sekedar
rangkaian kata ilmu bumi. Dari Sabang Sampai Merauke bukanlah sekedar
menggambarkan suatu geographs begrip. Dari Sabang Sampai Merauke bukanlah sekedar geographical
entity. Ia adalah satu National entity. Ia adalah pula satu
kesatuan kenegaraan, satu state entity yang bulat kuat. Ia
adalah satu kesatuan tekad, kesatuan ideology….”
Bahkan Hitler, terlepas dari paham
Chauvanismenya yang mengerikan, pidatonya sangat kaya akan gagasan. Jerman yang
terpuruk secara ekonomi dan hancurnya harga diri bangsa akibat kekalahan perang
Dunia I memang menjadi faktor khusus yang menjadi mobilisasi perang, tetapi
lihatlah bagaimana Hitler mengkomunikasikan visinya yang radikal. Lewat
orasinya, Hitler sukses dalam mencekoki rakyat tentang buruknya pemerintahan
pada masa itu. Dia menjanjikan perubahan yang ambisius.
Maka, pada akhirnya retorika lebih dari
rangkaian kata. Retorika adalah bagaimana kita membangun makna, berdasarkan
argumentasi dan perspektif yang kuat. Kata tanpa gagasan adalah kesia-sian.
Narasi tanpa solusi adalah ironi, sebagaimana yang diungkapkan filosof klasik
Epicurus,”Kata-kata seorang filsuf yang tidak menawarkan penyembuhan bagi
penderitaan manusia adalah kata-kata kosong dan sia-sia.”
Tak semua orang memiliki kesempatan berdiri
di mimbar-mimbar publik. Dan tak semua orang datang duduk, karena daya tarik
kita. Mungkin ada ritual atau system yang mengharuskan kita berdiri dan
berbicara, sementara mereka mendengarkan. Maka, orang bijak yang selalu bisa
menghargai keistimewaan ini, dengan mempertimbangkan setiap kata yang keluar.
Ini bukan soal siapa kita, tetapi apa yang keluar dari kita. Karena kata-adalah
alat hitung bagi orang-orang bijak, kata Thomas Hobbes, yang mereka lakukan tak
lain adalah memperhitungkannya. *