Kamis, 03 September 2020

Diri Yang Otentik

Diri Yang Otentik[1] [2]

Edi Santoso

(Hal-50) Salah satu keistimewaan ibadah puasa adalah sifatnya yang privat. Ini urusan kita kita dengan Allah semata, karena orang tak akan tahu apakah kita puasa atau tidak. Kita bisa sembunyi saat makan atau minum dari pandangan orang, tapi tidak di hadapan Allah. Maka, seperti dikatakan banyak penceramah, puasa sejatinya adalah upaya kita untuk menjadi diri yang otentik, yang sejati.



Jika otentisitas diri adalah persoalan yang ada dalam lingkungan sosial, maka sangkut pautnya adalah praktik komunikasi kita. Lewat komunikasilah kita mempresentasikan diri di depan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, cara komunikasi sosial kita menunjukkan seberapa otentik kita sesungguhnya.

Baiklah kita mulai dari hakikat diri (self). Dalam kajian sosiologi dan komunikasi, self banyak dikupas dalam teori-teori populer semisal interaksionisme simbolik atau dramaturgi. Para teorisi sepakat bahwa self selalu berdimensi sosial. Singkatnya, diri kita sangat dipengaruhi lingkungan. The self, kata Herbert Mead, lebih dari sebuah internalisasi struktur budaya dan sosial, di mana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, di dalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsiran atas hal-hal tersebut.

Gagasan Cooley tentang ‘the looking glass self’ mungkin lebih memudahkan kita untuk memahami betapa  kita sangat dibentuk oleh situasi sosial. Dalam perilaku, kata Cooley, pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman (Hal-51) teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpengaruh olehnya.

Singkat kata, komunikasi kita baik verbal maupun nonverbal, misalnya tingkah laku, cara berpakaian, atau yang lainnya, lahir dari definisi situasi yang kita buat. Di sinilah, problem otentisitas itu muncul. Jika faktanya kita adalah produk sosial, bisakah kita menjadi otentik? Bisakah kita menjadi diri sendiri, diri yang asli?

Para ilmuwan menjelaskannya dengan logika bahasa ‘I’ dan ‘Me’ yang sama-sama merujuk makna ‘saya’. ‘I’ adalah sisi dari diri kita yang otentik, aktif, yang punya otoritas memilih dan bertindak sepihak. Sementara ‘Me’, merujuk pada diri kita yang labil, mudah dibentuk dipengaruhi dan pasif. Kedua-duanya ada dalam diri kita, seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Jika kita dominan pada salah satunya, pasri menjadi masalah. Bayangkan apa jadinya jika kita selalu mengafirmasi keinginan atau komentar orang lain. Pasti serba salah, sebagaimana hikayat Nasrudin Hoja, dan anaknya yang hendak pergi ke pasar. Bapak naik keledai, anak jalan kaki, salah. Anak naik keledai, Bapak berjalan kaki, salah. Kedua-duanya naik keledaipun salah. Begitu pula ketika mereka berjalan kaki dan membiarkan keledainya berjalan tanpa beban, juga salah. Upaya menyenangkan semua orang merupakan contoh konkrit krisis otentisitas diri.

Pun ketika kita secara ekstrim mengabaikan semua yang datang dari luar, pasti juga membawa persoalan, karena kita menjadi diri yang asosial. Bayangkan apajadinya jika kita berperilaku seenaknya, berpakaian sesukanya, berbicara suka-suka kita, dengan alasan menjadi diri sendiri. Tentu bukan otentik seperti yang kita harapkan.

Menjadi otentik bukan berarti tanpa afiliasi, sebagaimana pelajaran puasa, karena pada akhirnya kita mengikuti  apa yang kita yakini benar. Dalam puasa kita berlatih melepaskan afiliasi pada orang dan memantapkan afiliasi pada Tuhan. Kita berlatih menjalin relasi khusus dengan Yang Maha Kuasa terlepas dari apa komentar orang. Kita berlatih menjadi diri sendiri. Diri yang terarahkan dengan benar.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 258 Th.13, Syawal 1433, 23 September  2011

[2] Diketik ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar