Edi Santoso
(Hal-50) Salah satu
keistimewaan ibadah puasa adalah sifatnya yang privat. Ini urusan kita kita
dengan Allah semata, karena orang tak akan tahu apakah kita puasa atau tidak.
Kita bisa sembunyi saat makan atau minum dari pandangan orang, tapi tidak di
hadapan Allah. Maka, seperti dikatakan banyak penceramah, puasa sejatinya
adalah upaya kita untuk menjadi diri yang otentik, yang sejati.
Jika otentisitas diri adalah persoalan yang
ada dalam lingkungan sosial, maka sangkut pautnya adalah praktik komunikasi
kita. Lewat komunikasilah kita mempresentasikan diri di depan orang lain dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, cara komunikasi sosial kita
menunjukkan seberapa otentik kita sesungguhnya.
Baiklah kita mulai dari hakikat diri (self).
Dalam kajian sosiologi dan komunikasi, self banyak dikupas dalam
teori-teori populer semisal interaksionisme simbolik atau dramaturgi. Para teorisi
sepakat bahwa self selalu berdimensi sosial. Singkatnya, diri kita sangat
dipengaruhi lingkungan. The self, kata Herbert Mead, lebih
dari sebuah internalisasi struktur budaya dan sosial, di mana para pelakunya
memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, di dalam situasi
dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsiran atas
hal-hal tersebut.
Gagasan Cooley tentang ‘the looking glass self’
mungkin lebih memudahkan kita untuk memahami betapa kita sangat dibentuk oleh situasi sosial.
Dalam perilaku, kata Cooley, pertama, kita mengembangkan
bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagaimana
penilaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis
perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan
penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran
orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan,
karakter teman (Hal-51) teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai
cara kita terpengaruh olehnya.
Singkat kata, komunikasi kita baik verbal maupun
nonverbal, misalnya tingkah laku, cara berpakaian, atau yang lainnya, lahir
dari definisi situasi yang kita buat. Di sinilah, problem otentisitas itu
muncul. Jika faktanya kita adalah produk sosial, bisakah kita menjadi otentik?
Bisakah kita menjadi diri sendiri, diri yang asli?
Para ilmuwan menjelaskannya dengan logika
bahasa ‘I’ dan ‘Me’ yang sama-sama merujuk makna ‘saya’. ‘I’ adalah sisi dari
diri kita yang otentik, aktif, yang punya otoritas memilih dan bertindak
sepihak. Sementara ‘Me’, merujuk pada diri kita yang labil, mudah dibentuk
dipengaruhi dan pasif. Kedua-duanya ada dalam diri kita, seperti dua sisi mata
uang yang tak bisa dipisahkan.
Jika kita dominan pada salah satunya, pasri
menjadi masalah. Bayangkan apa jadinya jika kita selalu mengafirmasi keinginan
atau komentar orang lain. Pasti serba salah, sebagaimana hikayat Nasrudin Hoja,
dan anaknya yang hendak pergi ke pasar. Bapak naik keledai, anak jalan kaki,
salah. Anak naik keledai, Bapak berjalan kaki, salah. Kedua-duanya naik keledaipun
salah. Begitu pula ketika mereka berjalan kaki dan membiarkan keledainya
berjalan tanpa beban, juga salah. Upaya menyenangkan semua orang merupakan
contoh konkrit krisis otentisitas diri.
Pun ketika kita secara ekstrim mengabaikan
semua yang datang dari luar, pasti juga membawa persoalan, karena kita menjadi
diri yang asosial. Bayangkan apajadinya jika kita berperilaku seenaknya,
berpakaian sesukanya, berbicara suka-suka kita, dengan alasan menjadi diri
sendiri. Tentu bukan otentik seperti yang kita harapkan.
Menjadi otentik bukan berarti tanpa afiliasi,
sebagaimana pelajaran puasa, karena pada akhirnya kita mengikuti apa yang kita yakini benar. Dalam puasa kita
berlatih melepaskan afiliasi pada orang dan memantapkan afiliasi pada Tuhan.
Kita berlatih menjalin relasi khusus dengan Yang Maha Kuasa terlepas dari apa
komentar orang. Kita berlatih menjadi diri sendiri. Diri yang terarahkan dengan
benar.*

Tidak ada komentar:
Posting Komentar