Tampilkan postingan dengan label Etika Komunikasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Etika Komunikasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 September 2020

Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi[1][2][3]

(Hal-36) Jarak (distance) bisa mendekatkan sekaligus menjauhkan. Karena, jarak bisa menciptakan rasa. Hubungan berjarak, ketika ruang memisahkan orang-orang yang berkomunikasi, memang sebuah persoalan. Ada kedekatan fisik yang hilang, namun ada kerinduan yang menjadi energi tersendiri bagi sebuah hubungan. Selalu dekat secara fisik memang memudahkan, tetapi juga berpotensi melahirkan kebosanan.



Ketika jarak menjadi tanda nonverbal, ukurannya pun menjadi relatif. Bukan soal jauh atau dekat, tetapi bagaimana kita mendudukkan jarak dalam sebuah konteks komunikasi secara tepat. Seperti melihat benda, dengan ukurannya yang beragam, hanya akan bisa kita lihat secara jelas dalam sebuah jarak tertentu. Logikanya, semakin dekat akan semakin jelas, tetapi ada batasnya. Lebih dekat lagi, bisa jadi benda itu justru kelihatan kabur dan kehilangan detail.

Membaca Bahasa Cinta

Membaca Bahasa Cinta[1][2][3]

(Hal-40) Komunikasi nonverbal memang unik. Di satu sisi, ekspresi non verbal bisa sangat kaya pesan, melebihi kata-kata. Di satu sisi, ekspresi nonverbal bisa sangat kaya pesan, melebihi kata-kata. Pada sisi lain, komunikasi jenis ini juga menyimpan potensi kesalahpahaman yang besar. Selain berdimensi budaya, komunikasi nonverbal juga sangat personal, dimungkinkan  berbeda dengan konvensi sosial yang ada. Seperti orangtua mencintai kita, betapa uniknya.



Setiap orangtua punya gaya dan cara sendiri dalam mencintai kita. Karena banyak diungkapkan secara nonverbal, kita sering salah memahaminya. Meminjam istilah Edward T Hall, mereka lebih banyak menggunakan ‘bahasa senyap’ (silent language). Tak berkata-kata, tetapi ekspresi cinta itu selalu ada, melalui banyak cara.

Orangtua, baik ayah ataupun ibu, kadang mengungkapkannya dalam dimensi ruang. Mereka ingin dekat dengan kita secara fisik, misalnya duduk bersebelahan dengan kita, layaknya orangtua yang ingin selalu menimang atau memangku anaknya. Selalu ingin membersamai aktivitas kita. Saat kita tumbuh dewasa, keinginan itu kadang terasa menjengkelkan. Seperti keresahan seorang ibu ketika anaknya enggan diantarkan ke batas kota untuk suatu perjalanan jauh. “Aku sudah besar, Ma, gak usah diantar-antar segala,” kata sang anak sewot. Padahal, sang bunda hanya ingin mengekspresikan cintanya.

Ekspresi cinta itu juga berdimensi materi, betapapun sederhananya. Memberi, selalu menjadi ekspresi cinta tersendiri. Begitupun bagi orangtua. Usia yang semakin senja, tubuh yang kian renta, tak menghalangi niatnya untuk terus memberi. Ini lebih sekadar nilai barang. Maka betapapun rendahnya nilai nominal barang itu, sejatinya adalah ungkapan cinta yang mendalam. Seperti kisah seorang ibu yang selalu repot membawakan atau mengirim oleh-oleh untuk anaknya di seberang pulau. Oleh-oleh itu mungkin nampak tak berharga bagi anaknya yang hidup (Hal 41) mapan itu. Tetapi, di balik itu, ada pesan cinta yang tak terkatakan.

Tak ada cinta tanpa perhatian. Maka, orangtua punya caranya sendiri dalam memperhatikan anak-anaknya. Salah satunya, mereka selalu memastikan anak-anaknya dalam kondisi terbaik, tak kurang suatu apa. Seperti kebiasaan seorang ayah di malam hari, sebelum tidur, selalu melongok kamar anak-anaknya. Melihat anak-anaknya yang sudah sudah pulas dibalut mimpi. Dia tak berkata-kata, tapi dari tatapannya itu terpancar kebahagiaan tersendiri, karena anaknya masih ‘utuh’ dan aman. Ketika hubungan itu berjarak, mereka menyempatkan untuk berkomunikasi jarak jauh. Tak banyak yang dikatakan, apalagi ungkapan verbal cinta. Tak ada sama sekali. “Hanya ingin mendengar suaramu,” kata mereka pada anaknya.

Memang ada dimensi budaya, kenapa mereka tidak pernah mengungkapkan ekspresi cinta itu secara verbal. Ada budaya ‘konteks tinggi’ (high context) yang melatarinya. Tak elok untuk diucapkan, toh mereka telah membuktikan cintanya sejak anak-anak lahir hingga dewasa, bahkan ketika telah lahir cucu dan cicit. Kata-kata bisa jadi justru mendangkalkan kedalaman rasa cinta itu. Tak perlu kata-kata indah, apalagi bunga, layaknya muda-mudi yang dimabuk asmara.

Tak ada salah cara mereka dalam mencintai kita. Masalahnya mungkin ada pada kita, kenapa sering tak paham juga pesan-pesan cinta itu. Di sinilah diperlukan kepekaan atas tanda-tanda (semiotic skill), yakni kemampuan memaknai pesan, khususnya yang berdimensi nonverbal dalam komunikasi. Prinsip dasarnya, tak ada tindakan yang tak bermaksud (unintentionally). Selalu ada makna dalam setiap tindakan.

Dalam konteks itu pupa kita harus bisa memahami fakta bahwa tidak semua orang pandai berartikulasi atau hebat dalam menciptakan suasana untuk mengekspresikan cintanya. Ada seorang istri yang frustasi kenapa suaminya tak romantis sama sekali, atau sebaliknya. Ada harapan yang tak bertaut dalam pasangan itu. Bukan karena suami atau istri itu tak mencintai pasangannya, tapi mereka tak cakap dalam mengungkapkannya. Dalam kasus semacam itu, ekspresi cinta lebih banyak diungkapkan secara nonverbal.

Sulit memaksa orang untuk menjadi romantis, karena sebagiannya sangat berdimensi masa lalu, juga karena karakter (bawaan lahir) dari yang bersangkutan. Kearifan pasangan menjadi sangat relevan. Coba perhatikan dalam sudut pandang yang berbedabagaimana cinta itu diungkapkan. Mungkin lewat kerja keras, melalui kesetiaan total, atau kepercayaan mereka. Mungkin mereka tidak pandai membuat puisi, tetapi mereka selalu memenuhi janji. Mungkin mereka tak pernah memberikan kita mawar, tetapi mereka selalu membuktikan dirinya sebagai orang yang benar.

Akhirnya kita harus sadar bahwa ternyata banyak jalan untuk menautkan hati. Artikulasi kata memang bisa membantu, tetapi ketulusan akan membuatnya abadi. Cinta tak semata janji, tetapi juga pembuktian. Bahasa cinta, betapapun rumitnya, pasti bisa dipahami.

 

 



[1] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 242 Th.12, Muharram  1432H, 30 Desember 2010M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Kemudahan Yang Menyulitkan

Kemudahan Yang Menyulitkan[1][2][3]

(Hal-38) Dunia maya semakin nyata. Orang terus berbondong-bondong, lebih dari eksodus, masuk ke ruang virtual melalui internet. Pasti, jumlahnya melebihi angka imigrasi di manapun dalam sejarah kehidupan manusia. Pertumbuhan internet jauh lebih tinggi dibandingkan media-media lain. Tahun 1999, pengguna internet di dunia 250 juta orang. Tahun 2008, populasi internet dunia menembus angka 1,5 milyar.



Lompatan angka pengguna internet itu juga berkorelasi dengan bertambahnya kasus-kasus sebagai eksesnya. Seperti kasus perselingkuhan yang susul-menyusul, seiring semakin terkoneksinya orang. Beragam modus dengan berbagai motif. Tetapi pada awalnya adalah keterhubungan. Ya, kita tersambung dengan banyak orang. Sebagiannya pernah kita kenal, sebagian yang lain memang baru kita kenal di dunia online itu.

Keterhubungan sebenarnya adalah berkah, sebagaimana silaturahmi di dunia nyata. Ada komunikasi yang tersambung lagi. Ada teman-teman baru yang menambah daftar orang-orang di sekitar kita. Ada jaringan besar yang kita di dalamnya. Maka ada peluang rezeki di dalamnya, juga peluang membangun harmoni dengan cara yang berbeda. Ada keterbatasan yang teratasi. Ruang dan waktu tak lagi relevan disebut sebagai penghalang. Di manapun, kapanpun kita bisa menjalin komunikasi.

Namun potensi itu bukan tanpa masalah. Keterhubungan yang luas memberikan kita banyak pilihan. Kita semakin bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Mungkin kita dulu pernah membangun komunikasi yang intens dengan seseorang, kemudian karena suatu sebab terputus, dan internet kembali menyambungkannya. Ada kesempatan di depan mata kita. Pilihannya, muara mana yang hendak kita tuju.

(Hal-39) maka ada kisah cinta yang terbangun kembali. Komunikasi telah membawa lagi kenangan yang terpendam. Ada haru biru, goncangan perasaan, romantisme yang kembali datang. Terjalin kembali hubungan asmara secara virtual yang sangat mungkin berujung di dunia nyata.

Dengan karakternya yang impersonal, keterhubungan secara virtual bisa membangun kedekatan secara lebih. Orang menjadi sangat terbuka dalam komunikasi ini. Dia berani megungkapkan seluruh isi hatinya yang dalam dalam pertemuan langsung mungkin sulit terjadi. Orang yang paling pendiam sekalipun berani berterus-terang. Di sinilah muasalnya, ketika curahan hati itu bertaut. Ada perasaan-perasaan terpendam yang kemudian tergali.

Komunikasi virtual juga membangun perasaan individual. Ketika seseorang berkomunikasi dengan yang lainnya, dia merasa berada di sebuah line khusus, tak ada yang tahu selain mereka berdua. Maka ada perasaan aman karena menganggap pasangannya tidak tahu, begitu pula sebaliknya. Yang punya status sosial tertentu, misalnya ulama atau tokoh masyarakat yang lain, tetap merasa aman, karena merasa tak akan ada yang meruntuhkan kredibilitasnya.

Komunikasi virtual yang berjejaring global ini pun memberikan banyak pilihan. Ada orang-orang baru yang selalu membuka dirinya untuk diajak berbincang. Internet sangat mungkin menjadi ruang pelarian orang-orang yang punya masalah komunikasi di dunia nyata. Ada remaja yang tak menemukan sosok untuk mencurahkan isi hatinya kemudian bertemu sosok virtual. Atau, kisah seorang istri yang gelisah dengan hubungannya yang gersang dengan suaminya kemudian terobati oleh teman ngobrolnya di internet.

Begitulah, kemudahan yang ditawarkan internet bisa berujung pada kesulitan. Pada masalah-masalah yang sejatinya kita ciptakan sendiri. Agar tak terjebak, pastikan kita memiliki cara pandang yang konstruktif atas komunikasi virtual itu. Pertama, batas antara maya dan nyata itu sebenarnya sangat tipis. Naif kalau kita berpikir,’Toh ini Cuma virtual’. Semua berawal dari sini. Kontak fisik kemudian adalah soal kesempatan semata yang menunggu untuk diwujudkan.

Kedua, masalah-masalah kita di dunia nyata harus selesai di dunia nyata juga. Membawa masalah ke dunia virtual hanya akan menjebak kita pada uluran tangan-tangan tak bertanggungjawab. Ketiga, jangan pernah berharap dunia virtual akan membangkitkan masa lalu. Masa lalu mungkin indah dalam kenangan, tapi pasti mustahil diulang. Keempat, seberapapun intensitas kita dalam dunia maya, kita tetap ada di dunia nyata. Kita harus sadar bahwa kita masih hidup dengan orang-orang yang nyata, di sekitar kita. Ada istri, suami, anak-anak, saudara dan yang lainnya. Yakinlah selalu, ada implikasi dari setiap pilihan kita.

Jadi biarkan jejaring global itu menawarkan fitur-fitur yang kian memikat. Manfaatkan saja kemudahan yang ditawarkannya. Manfaatkan seperlunya, semoga tidak ada kesulitan diujungnya. (end)

 



[1] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 241 Th.12, Muharram  1432 H, 16 Desember 2010 M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Realitas Subjektif

Realitas Subjektif[1][2][3]

(Hal-40) Sungguh berat beban para pengungsi itu. Mereka harus meninggalkan kampung halaman.  Beberapa diantaranya harus kehilangan sanak saudara. Tak ada pilihan selain tinggal di barak pengungsian yang pasti tak nyaman dalam hal apapun. Sudah begitu, mereka harus dicekam rasa takut, khawatir, akibat rumor yang justru diciptakan oleh sebuah media massa nasional.



Pada awalnya adalah motif sensasi, ingin mencari sudut pandang yang berbeda tentang liputan bencana. Perspektif mistis dengan segala ramalan yang tak bertanggungjawab akhirnya mendominasi isi media. Informasi terus menyebar dengan bantuan seluler (sms). Sambung menyambung menjadi nomor, kemudian membentuk realitas baru tentang bencana, mengalahkan realitas nyata (objektif) yang mereka alami sendiri.

Itulah uniknya hidup di era dominasi media massa, ketika realitas subyektif (constructed reality) menjadi lebih relevan. Lewat media, realitas itu bahkan dilebih-lebihkan (hyperreality). Antara yang nyata dan maya menjadi kabur. Antara fakta dan gosip semakin sulit dibedakan. Orang lebih mempercayai apa yang dilihatnya di televisi ketimbang apa yang mereka alami sendiri.

Kejadian itu bisa jadi tak terelakkan, karena beberapa alasan. Pertama, orang menyadari keterbatasannya, sehingga kemudian menggantungkan kebutuhan informasinya pada media massa. Media pun mengukuhkan perannya sebagai ‘the extension of man.’ Media telah menjadi perpanjangan indera manusia. Dari media, kita melihat dan mendengar. Dari media, kita tahu tentang dunia sekitar.

Kedua, teknologi tak saja menjadikan pesan tersebar secara luas (eksesif), namun juga menjadikan pesan tampil ekspresif. Di sinilah simulasi tanda terjadi, sehingga realitas dimungkinkan benar-benar diciptakan dan tak berhubu- (Hal-41)ngan sama sekali dengan fakta objektif. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai ‘simulacra’. Permainan grafis, tata suara, narasi, drama, dan olah efek visual lainnya telah menjadikan pesan tampil demikian memikat dan terasa riil, meskipun tak berakar pada kenyataan yang sesungguhnya.

Pesan rekaan (simulatif) kemudian terasa lebih masuk akal ketimbang pesan faktual (objektif). Nyata atau fiktif tidak lagi menjadi penting.

Dalam bingkai hiperealitas ini, rumor menemukan bentuk baru. Tak lagi soal kaburnya sumber informasi, tetapi misinformasi sebagai produk simulasi. Khalayak semestinya bisa menilai kualitas dan integritas sumber informasi, tetapi strategi visualisasi telah mengaburkan semuanya. Nampaknya, ‘bagaimana pesan itu disampaikan’ menajdi lebih relevan ketimbang ‘siapa yang menyampaikan’. Kekaburan informasi bukan karena ketidakjelasan asal muasalnya, tetapi karena ilusi produk narasi dan teknologi yang mengemasnya.

Karena realitas itu dibentuk oleh media, sayangnya, kita seringkali gagal menghadirkan realitas yang lain sebagai alternatif. Terlebih, jika sebagian besar media yang ada kompak menghadirkan berita dengan  sudut pandang yang relatif seragam. Itu semua seolah berjalan alami saja. Begitu bangun tidur, kita nyalakan televisi, dengarkan radio, baca koran, atau menyimak kabar online. Hari itu, kita mulai membangun realitas dengan tangan media.

Begitulah kenyataannya, ketika media menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita. Sebetulnya, ketika media menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Sebetulnya, kita tak harus menjadi antimedia untuk menemukan kejernihan. Cukup bagaimana kita mendudukkan media dengan semestinya. Pertama, karena realitas itu subjektif, maka sejatinya terdapat banyak realitas dari satu peristiwa atau fenomena. Jika media adalah agen-agen pembentuk realitas itu, maka ada sekian banyak media berarti sebanyak itu pula realitas bisa disampaikan. Di sinilah, relevansi kenapa kita perlu melihat informasi dari berbagai media, sehingga dimungkinkan adanya keseimbangan.

Kedua, selalu ada ideologi dalam setiap pesan media, seperti dikatakan Stuart Hall. Kata-kata-kata atau pilihan bahasa tak pernah turun dari langit begitu saja, tetapi lahir secara ideologis meski pembuatnya sendiri kadang tak menyadarinya (unconsciously). Begitu juga dengan sudut pandang yang dipilih. Ideologi itulah yang mengarahkan seleksi fakta dan penonjolan informasi. Kesadaran bahwa media selalu ideologis semestinya melahirkan khalayak yang kritis.

Ketiga, pada akhirnya, makna ada pada diri khalayak, bukan pada media. Kritisisme itu bisa kita wujudkan dengan membangun makna yang berbeda dari apa yang diinginkan media. Khalayak, kata Hall, bisa membuat makna alternatif, sebagai counter makna yang ditawarkan media. Ini berarti, beragamnya realitas bergantung pada khalayak sendiri.

Ini sejatinya adalah ikhtiar membangun keberdayaan. Jika kita belum memiliki akses dalam produksi pesan, maka kita tetap punya kesempatan untuk leluasa memaknai pesan. Dari pemaknaaan inilah, realitas bisa kita hadirkan sesuai dengan yang kita inginkan.***

 



[1]Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2]Majalah Tarbawi, Edisi 240 Th.12, Dzulhijjah 1432H,2 Desember 2010M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Sabtu, 05 September 2020

Interaksi, Variasi dan Harmoni

Interaksi, Variasi dan Harmoni[1][2][3]

(Hal-40) Kalau kita sepakat bahwa masalah utama komunikasi ada pada makna, maka akar persoalannya ada pada interaksi. Karena, makna selalu lahir dari interaksi, dalam konteks komunikasi apapun, baik komunikasi massa, interpersonal ataupun kelompok. Ruang makna kita ditentukan oleh dengan siapa kita berbicara, media apa yang kita konsumsi atau dalam kelompok mana kita bergaul.



Dalam komunikasi interpersonal misalnya, selalu ada korelasi antara apa yang kita rasakan dengan siapa yang menjadi teman bicara kita. Ada teman yang selalu menjadi variabel pengaruh. Begitu pula komunikasi massa, media selalu berkontribusi dalam pilihan tindakan kita.

Jika komunikasi adalah proses yang terus-menerus, maka sejatinya kita beralih dari satu bentuk komunikasi ke bentuk lainnya. Ada saat berbincang secara personal dengan orang lain. Ada waktu untuk berinteraksi dengan lingkungan, juga ada kesempatan untuk menyimak informasi dan hiburan dari media massa. Jika ini semua terjadi secara proporsional, maka akan muncul keseimbangan. Karena masing-masing konteks komunikasi menyediakan kebutuhan yang berbeda.

Komunikasi interpersonal mengafirmasi kebutuhan psikologis individu: perhatian, kesungguhan, kedekatan, dan empati. Inilah jenis komunikasi yang paling sering dan tentu saja, paling awal dilakukan dalam sejarah pertumbuhan manusia. Komunikasi kelompok muncul seiring bertambahnya jumlah manusia. Mulailah muncul kebutuhan bahwa pesan ada pesan yang harus disampaikan pada beberapa orang sekaligus. Kebutuhan yang menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Perubahan yang paling drastis terjadi ketika teknologi elektronik memfasilitasi arus informasi. Telekomunikasi menjadikan kebutuhan bertemu secara fisik tak lagi relevan. Dari sinilah fase impersonalitas dalam komunikasi di (Hal-41) mulai. Bahkan di perkampungan, suasana sore, ketika orang saling bercengkrama di bawah pohon waru, semakian sulit ditemukan. Indahnya bulan purnama tidak lagi memikat anak-anak untuk bermain petak umpet di luar rumah. Mereka sudah merasa cukup terhibur dengan berbagai perangkat hiburan di dalam rumah.

Ketidakseimbangan interaksi mulai terjadi. Komunikasi interpersonal nampak semakin mewah karena kian jarang di lakukan. Bagi orang yang merasa sibuk, pertemuan fisik secara langsung dianggap buang-buang waktu, meskipun mereka tak merasakan hal yang sama ketika berjam-jam bertukar informasi di dunia maya. Bagi anak-anak dan remaja, tak hanya televisi yang menyandera, bahkan beraneka videogame pun menguras waktu dan energi mereka. Bukannya berinteraksi dengan manusia sungguhan, mereka justru menguras tenaga untuk berkomunikasi dengan tokoh-tokoh rekaan (virtual) di dunia permainan.

Itu belum termasuk dunia online yang kian memikat dengan daya jangkau (konektifitas) dan kemampuan konvergensinya. Kecepatan dan kepraktisan semakin masuk akal untuk menggantikan kedekatan dan kehangatan. Ditambah biaya akses yang semakin murah, lengkap sudahlah komunikasi virtual saat ini.

Inilah saatnya kita menata ulang ruang interaksi kita. Karena, sekali lagi, interaksi akan menentukan bagaimana pemaknaan kita. Jika kita mengeluh dengan isi televisi yang semakin jauh dari semangat edukasi, kenapa kita tidak mengurangi dominasinya? Jika kita khawatir pengaruh buruk teman pada anak-anak kita, kenapa kita tidak risau dengan dampak negatif televisi yang telah menjadi teman akrab anak-anak kita? Jika konten kekerasan dalam video game kian mengkhawatirkan, kenapa kita tidak pernah menyeleksi isi permainan si buah hati?

Saatnya kearifan bermedia kita tradisikan. Tempatkan semua pada proporsinya. Perlu variasi ragam komunikasi. Di keluarga, sediakan selalu waktu berkomunikasi secara personal, dengan anak, saudara, suami atau istri. Arahkan anak untuk beraktifitas konstruktif, sehingga perhatiannya tak melulu tertuju pada televisi. Ruang-ruang publik, meski sebagian semakin tidak representatif dan kurang atraktif, bisa dimanfaatkan. Aktifitas luar ruang yang terkontrol tak hanya menyehatkan secara fisik, tetapi juga secara sosial bagi mereka.

Di bulan puasa, ini akan menjadi tantangan tersendiri. Dengan alasan berhemat energi, terutama anak-anak dan remaja menghabiskan waktunya di depan televisi. Padahal, selain tak serta merta Islami, isi televisi juga selalu membawa jebakan adiksi. Sinetron yang bersambung-sambung itu, bahkan hingga usai lebaran, sering membuat orang ketagihan. Jangan heran jika anak-anak nanti  malas bersilaturrahmi, karena tidak ingin ketinggalan cerita di layar kaca.

Dengan semangat membersihkan diri, semoga Ramadhan juga menjadi momen untuk menyehatkan interaksi kita, pada siapa dan apapun, termasuk dengan media. Sehingga, dihari fitri nanti, kita juga akan mendapatkan harmoni.



[1] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 235 Th.12, Ramadhan-Syawal 1431H, 23 September 2010M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

SUATU WAKTU, DIAMLAH!

SUATU WAKTU, DIAMLAH![1][2][3] 

(Hal-44) Diam, dalam komunikasi, bisa menjadi pisau bermata dua. Bisa merekatkan, bisa menjauhkan. Seperti kata pakar etika komunikasi J.Vernon Jensen, diam berpotensi merekatkan dan menghangatkan pertemanan, tetapi di lain waktu bisa pula memisahkannya.



Ini memang soal momentum: kapan kita harus bicara, kapan saatnya diam. Ketika orang menuntut atau mengharapkan kita bicara, tetapi kita jawab dengan aksi tutup mulut, maka ketegangan yang akan terjadi. Pada umumnya orang harus saling bicara, terutama diantara yang saling kenal, apalagi diantara sahabat dekat. Kalau kemudian ada yang melakukan ‘silent treatment’, maka dipastikan ketegangan akan meningkat. Itulah kenapa, dalam agama, haram hukumnya mendiamkan saudara lebih dari tiga hari.

Kewajiban bicara melekat pada pemegang otoritas tertentu. Dia bisa jadi seorang pemimpin yang selalu dinanti sikap, penjelasan dan arahan-arahannya, ada kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan semacam statemen resmi dari seorang pemimpin. Kebijakan harus dikomunikasikan, tidak bisa disimpan dalam kepala semata. Jika seorang pemimpin sering diam, kredibilitasnya akan diragukan.

Aksi diam juga harus dijauhkan dari orang yang mengetahui duduk perkara. Ini bisa jadi menyangkut persoalan hukum atau sosial. Saksi mata akan banyak membantu jika dia tak hemat bicara. Saksi ahli akan dihargai jika bisa mengurai sebuah persoalan, mungkin dengan panjang lebar. Begitu pula saksi hidup, akan memberikan banyak arti ketika bersedia memberikan testimoni. Di sini, kesediaan untuk (Hal-45) bicara akan mengurangi ketidakpastian (uncertainty), sehingga berkembangnya rumor dan fitnah bisa dihindari. Tetapi di luar itu, aksi diam seringkali sangat kita butuhkan. Diam, kata Robert Fulghum-penulis buku-buku best seller-, menjadi bagian penting dari upaya menciptakan hidup yang nyaman (a big part of a satisfying life). Banyak masalah hidup yang selesai dengan diam. Sebaliknya, kekeruhan hubungan antar manusia seringkali muncul karena mereka tak mau berhenti untuk bicara.

Mengapa kita kadang harus diam? Karena kita menghormati orang lain yang berusaha mengatakan sesuatu. Ini semacam penghargaan pada seorang komunikator. Beri kesempatan dia atau mereka untuk bicara. Yakinkanlah bahwa kita mendengarkan ucapan-ucapannya. Buatlah orang itu nyaman, merasa penting bersama segala informasi yang disampaikannya.

Tak semua komunikasi membutuhkan respon verbal dalam konteks komunikasi sebagai kanal psikologis, ketika orang ingin mencurahkan isi hatinya, keluh kesahnya, tanggapan berupa saran atau solusi tak selalu dibutuhkan. Dia sebetulnya sudah tahu apa yang mesti dilakukannya. Dia sebetulnya hanya ingin menumpahkan beban yang ada di dadanya. Maka, cukup dengarkan saja. Diam saja, sampai dia rasakan dadanya yang lebih ringan.

Kita juga harus diam, ketika kata-kata tidak diperlukan. Misalnya, ketika konflik mereda, saat dua orang orang dekat saling memandang dan memegang tangan, tak perlu lagi berkata-kata. Diam, dalam konteks ini, bisa jadi lebih efektif untuk membuat orang merasa lebih dekat.

Diam, bagi seorang pemimpin juga bisa menjadi lebih ketika dia tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan dan masuk akal. Apalagi jika itu dilakukannya untuk melawan pendapat umum. Pernyataannya tak akan menyelesaikan masalah, tetapi, justru menambah runyam persoalan. Retorik politik yang tak disusun dengan akal sehat hanya akan menurunkan kredibilitasnya.

Bagi para cendikia, tidaklah menjadi aib ketika dia mengatakan ‘tidak tahu’. Tak ada orang yang tahu segala-galanya. Maka bicara pada bidang tertentu, dan diam dalam wilayah yang lain bisa jadi merupakan wujud kesantunan para ilmuwan. Masing-masing kapasitas memiliki porsinya sendiri.

Diam juga merupakan rentang untuk berpikir dan merenung. Ada saatnya kita mencerna baik-baik pesan yang datang. Tak usah buru-buru ditanggapi, apalagi dengan letusan emosi. Salah merespon sama saja dengan menciptakan masalah baru. Ada dampak dari setiap kata yang terucap. Dan ingat, kata-kata yang keluar tak akan bisa ditarik kembali. Diamlah sejenak, pertimbangkan betul kata-kata balasannya. Jika tak perlu ditanggapi, maka ‘terus diam’ bisa jadi lebih baik.

Dalam dunia wacana yang menjadikan ‘panggung-panggung’ penuh cahaya, ‘aksi diam’ memang tak populer. Tapi yakinlah, ditengah-tengah hiruk pikuk ada saatnya kita perlu diam. Tak semua masalah selesai dengan bicara. Suatu waktu, diamlah!

 

( Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Jum’at, 23 April 2010, 08:50:54 WIB)

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 224, Rabiul Akhir 1431 H, 25 Maret 2010 M. Hal.44-45

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

MEMPERTANYAKAN PERTANYAAN

 

 MEMPERTANYAKAN PERTANYAAN[1][2][3]

(Hal-42) Pertanyaan itu perlu, bahkan kadang menjadi keharusan. Pertanyaan, dalam komunikasi, berarti sebuah umpan balik (feed back), yang akan memperjelas arti pesan. Pertanyaan akan menggambarkan penerimaan dan memperjelas makna yang berhasil ditangkap sang penanya. Maka, banyak guru yang memulai pembelajaran dengan meminta muridnya mengajukan pertanyaan. Para pendidik akan kebingungan jika murid-muridnya diam. Karena, sulit memastikan mereka sebetulnya mudeng (paham) atau mubeng (kepalanya berputar-putar, karena bingung).



Namun, tidak semua pertanyaan bersifat konstruktif. Ada beberapa jenis pertanyaan yang justru menjadi persoalan komunikasi. Akarnya adalah motif dari pertanyaan ini keluar. Ada pertanyaan yang hadir karena kesombongan. Ini biasanya penyakit ‘pecintan popularitas’ tau orang-orang ‘pemburu perhatian’. Pada forum-forum yang melibatkan banyak orang, para penanya ini akan selalu tampil. Sejatinya mereka tidak butuh jawaban, tetapi sekadar mencari perhatian. Pertanyaannya, biasanya panjang lebar dan tidak fokus, sekadar pamer pengetahuan, data atau artikulasi. Jika hadirin bertepuktangan, itu lebih dari cukup bagi mereka.

Ada pertanyaan yang muncul karena latah semata. Awalnya mungkin iseng. Tapi sepenuhnya sadar, pertanyaan ini mempunyai konsekuensi panjang. Seperti orang Yahudi yang mempertanyakan sapi betina yang harus disembelih: yang tua atau yang muda, warnanya apa, kuning seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat repot (Hal-43) mereka sendiri, sehingga nyaris tidak bisa dikerjakan.

Pertanyaan juga bisa muncul karena kebodohan. Niatnya bisa jadi tulus, untuk memperjelas duduk perkara. Tapi, dia tak cukup tahu bawa tak semua harus diperjelas. Pun dalam soal hukum. Bayangkan, kalau di negeri mayoritas Muslim ini kita selalu skeptik menyikapi kehalalan makanan. Suatu saat, kita disuguhi makan ayam goreng. Tak ada tanda-tanda haram, tapi kita mengkhawatirkan kehalalannya, sampai-sampai kita bertanya agak berlebihan. Dari manakah ayam ini berasal? Benarkah tidak bangkai? Bagaimana penyembelihannya? Sungguh, sebuah sikap yang tidak perlu, selain juga amat merepotkan.

Dan yang paling mengerikan adalah pertanyaan-pertanyaan yang dimaksudkan untuk mempermaluka seseorang. Si penanya tahu atau yakin, orang yang dituju tidak akan bisa menjawab. Dia lemparkan pertanyaan di sebuah forum, dimana banyak mata menyaksikan, semata-mata untuk menjatuhkan martabat seseorang. Ada semacam kepuasan jika orang lain turun kredbilitas atau reputasinya di depan umum. Sungguh, pertanyaan-pertanyaan sadis, yang lahir dari hati yang kronis.

Pertanyaan-pertanyaan yang melebihi batasnya juga problematik. Pertanyaan tentang hakikat ketuhanan misalnya, tak akan menemukan jawaban tanpa keterlibatan wahyu. Sebagaimana kisah para filosof yang gagal menemukan Tuhan. Sayangnya, pertanyaan ketuhanan mereka yang tak bertaut pada keyakinan yang aksiomatik.

Pertanyaan-pertanyaan artifisial ini tak akan membawa cerah, tetapi justru menambah masalah. Pertanyaan-pertanyaan semu tidak akan menjadi tahu, melainkan berujung pada perdebatan yang menghabiskan waktu. Pertanyaan-pertanyaan yang tak memerlukan jawaban, apalagi perhatian.

Tentu saja, ini bukan nasihat untuk mematikan kritisisme atau anjuran untuk mengkerdilkan otak. Karena, pertanyaan sejatinya adalah jalan menuju  kedewasaan. Bukankah hidup ini merupakan dinamika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan? Dialektis: tidak tahu, tahu, tidak tahu, begitu seterusnya. Manusia tak akan mencapai kemajuan-kemajuan hidup jika berhenti bertanya.

Inilah lebih merupakan persoalan bagaimana kita menempatkan pertanyaan pada porsinya. Cukuplah nasihat Rasulullah saw berikut ini menjadi renungan kita:

Dari Abu Hurairah bin Sakhr radhiallahuanhu, dia berkata: saya mendengar Rasulullah bersabda: Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka (HR. Bukhori dan Muslim)

(Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Kamis, 06 Mei 2010, 06:00:23WIB)

 

 



[1] Majalah Tarbawi, edisi 227 Th.11, Jumadil Awal 1431 H, 6 Mei 2010 M

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3]