Sabtu, 04 Mei 2024

Betapa Sulitnya Orang Miskin Saat Butuh Pengobatan

 

Betapa Sulitnya Orang Miskin Saat Butuh Pengobatan

 

Betapa Sulitnya Orang Miskin Saat Butuh Pengobatan

(Hal-44) Ipa Yuliana, Ibu yang ditolak beberapa Rumah Sakit saat akan melahirkan.Seperti yang dituturkan Ipa Yuliana Bersama suaminya, Ulung Arif Giyanto, pada wasilah di rumah kontrakan mereka di Cawang Baru Tengah, Jakarta Timur. (Hal-45) Di masa awal pernikahan saya dengan Suami (Ulung Arif Giyanto), kami sempat merasakan hidup yang cukup baik. Memang sederhana, tetapi tidak begitu terjepit seperti sekarang. Suami saya mulanya bekerja sebagai sopir di perusahaan rental mobil. Malah sudah membawa mobil ke berbagai daerah, ke Semarang, Aceh, Bali dan lain-lainnya. Setelah tiga tahun di tempat itu, suami pindah kerja sebagai salah satu armada taksi di Jakarta.

Suami bekerja sebagai supir taksi dari tahun 1998 sampai 2003, Ketika kemudian diberhentikan. Sebabnya, karena sering tidak mencapai target. Mulanya dia sering dipanggil, ditanyakan kenapa tidak mencapai target. Suami bilang,”Maaf Pak, siapa yang tidak mau mencapai target, Cuma kalau rejekinya memang segini, lalu bagaimana.” Suami dikasihkan mobil yang odong-odong, yang jelek dan selama dua bulan ternyata tidak bisa memperbaiki, akhirnya dikatakan gugur kondite. Tapi di suratnya disebutkan mengundurkan diri, padahal diberhentikan.

Saya kasihan, karena kata suami, persaingan di jalan itu berat sekali. Suami sudah berusaha, tapi mungkin itulah salah satu ujian bagi kami. Sebelum diberhentikan, dia berdoa terus di rumah, mudah-mudahan bisa bertahan lama di tempat kerjanya itu. Mudah-mudahan tidak sampai di pecat. Karena dia kan harus menghidupi keluarga, harus menghidupi saya dan dua anak kami. Setelah setahun pernikahan, di tahun 1997, saya melahirkan anak  pertama, Andi Cahyadi. Tahun 2003, adiknya, Hesty Octaviani, lahir. Saat suami masih bekerja, biarpun pemasukan pas-pasan tapi masih bisa dicukup-cukupi.

Waktu itu kami mengontrak di daerah Ciliwung (Jakarta Timur). Kontrakannya tidak besar, tapi bisa dibilang, apa yang orang lain belum punya, kami sudah punya, seperti televisi dan handphone. Tapi setelah suami diberhentikan, mulailah hidup kami terasa semakin susah. Sejak diberhentikan tahun 2003 itu, suami bekerja serabutan. Menjadi kuli bangunan, menjadi pemulung, menjadi tukang cukur, yang penting halal.

Setelah suami diberhentikan, kami juga pindah kontrakan di Cawang (Jakarta Timur), yang biayanya lebih murah (kontrakan itu hanya sepetak kamar di ujung gang sempit, yang diisi tempat tidur dan lemari using, dan kamar mandi tanpa saluran air. Untuk memenuhi kebutuhan air, mereka harus membeli. Persis di samping tembok itu jalan raya, hingga di dalam kontrakan sangat bising). Barang yang dulu kami miliki sudah tidak ada, terjual semua. Mungkin karena kasihan, pemilik kontrakan yang sekarang meminjamkan televisi, yang tentu saja tidak boleh dijual (Ketika dihidupkan, televisi hitam putih itu layarnya bergaris-garis dan bergerak-gerak terus).

sejak tahun 2003 itu rasanya sulit sekali bagi suami untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Bisa dibilang lebih banyak menganggur daripada ada pekerjaan meski serabutan. Kami juga (Hal 46) heran, kenapa begitu sulit rasanya mencari pekerjaan tetap lagi. Pernah suami bekerja lagi sebagai supir, tapi pemasukan dan jam kerjanya sangat tidak seimbang. Pemasukannya sangat kecil buat jam kerja membawa mobil membawa mobil yang begitu lama. Kadang Ketika bekerja serabutan begitu, ada saja orang yang seperti memanfaatkan. Akhirnya tidak bisa bertahan lama.

Dalam kondisi itu, musibah lain datang. Saat banjir besar di Jakarta tahun 2004 lalu, kontrakan kami terendam sampai lima meter. Saat itu kami tidak sempat menyelamatkan apa-apa. Ketika air dengan cepatnya naik makin tinggi, suami menarik tangan saya dan anak-anak, kami buru-buru mengungsi pakai perahu. Saat itulah, KTP dan Suami hilang, mungkin hanyut terbawa banjir. Dalam kondisi terjepit, untuk mengurus kembali SIM, kami terbentur soal biaya. Hingga kondisi yang sudah sulit, dengan ketiadaan SIM jadi makin sulit. Suami melamar pekerjaan sebagai supir tidak gampang karena tidak ada SIM.

Berkali-kali kami bilang pada diri sendiri, ini ujian, sabar, sabar. Saya juga kasihan sama suami, karena dia jadi leih perasa, mungkin karena sebenarnya malu menganggur. Memang ada saja orang yang iseng, mengomentari seperti menghina. Misalnya kalau suami dapat pekerjaan sebagai kuli bangunan, ada saja yang bilang ke saya,”Wah suami  kamu kerja, keluarga kamu bisa makan lancar lagi dong.”

Pernah juga sewaktu suami memulung di pinggir jalan raya, tiba-tiba ada taksi berhenti di dekatnya. Kaca mobil dibuka, supirnya memanggil,”Ulung” Suami mengenali itu sesama supir taksi dulu, di perusahaan yang sama. Saat suami menghampiri, tahu-tahu orang itu meludah ke jalan. Terus mobil dijalankan lagi. Suami bengong, kok tega dia melakukan itu. Akhirnya suami ingat, saat masih bekerja di perusahaan taksi itu, memang suami pernah marah-marah sewaktu mau pinjam uang paguyuban di tolak perusahaan. Padahal uang itu kata perusahaan memang untuk kepentingan pegawai. Dan sebab meminjam itu karena kami memang sangat butuh. Ketika ditolak itu dalam keadaan emosi, suami protes dan teriak,”kit aini driver, tidak usah takut dipecat, cari pekerjaan gampang!” mungkin supir itu mendengar ucapan suami dulu. Mungkin dia menyindir ucapan suami dulu.

Baca Juga : Dosa Yang Terus Mengalir 

Menghadapi berbagai hinaan, mulanya saya sering sedih. Tapi kata suami, biarkan saja, Allah Maha Mendengar, sabar saja. Karena ingin membantu suami, dan kasihan sama Hesty, yang bahkan buat makan satu hari saja kami sering kebingungan (terdiam), akhirnya saya nekat. Kalau sebelumnya saya selalu diam di rumah, jadi ibu rumah tangga total, tapi beberapa tahun yang lalu saya nekat jadi pengamen jalanan (terdiam). Karena Hesty masih kecil, kalau di tinggal di rumah tidak mungkin, akhirnya Hesty saya bawa mengamen (terdiam).

Saya mengamen di jalan raya di Kawasan Cawang (Jakarta Timur). Kalau (Hal 47) lampu merah, saya datangi mobil-mobil, saya nyanyi pakai alat yang saya buat sendiri dari kumpulan tutup botol. Mulanya melakukan itu, saya malu sekali. Dalam mimpi pun, tidak terbayang melakukan itu, saya sedih, kok sampai jatuh begini keadaan kami (terdiam, suaranya bergetar). Tapi bagaimana lagi. Saya terpaksa melakukan itu.

Sering saya diomeli orang-orang yang saya datangi mobilnya saat mengamen. Mereka bilang kok tega banget membawa anak kecil mengamen, panas-panasan di jalan raya. Saya sedih dan marah. Akhirnya sering juga saya menjawab pada orang-orang itu,”Kamu kan cuma tahu di belakang mobil.” Mungkin saya salah bilang begitu. Tapi mereka tidak tahu betapa kami sedang terjepit, sedang serba salah.

Suami tidak melarang saya, tapi saya tahu sebenarnya dia juga malu dan sedih. Dia malu sama  sama tetangga, masak istrinya sampai jadi pengamen di jalanan. Tapi itu kan bukan kemauan suami, itu kemauan saya sendiri, bagi saya yang penting anak saya bisa makan. Pernah saya dan anak saya terkena razia, bersama pengamen jalanan lainnya. Dua hari kami ditaruh di penampungan, tidur di lantai. Alhamdulillah, suami berhasil mengeluarkan kami, setelah dia keliling ke RT/RW, kelurahan mengurus surat-surat buat mengeluarkan kami. Waktu suami menjemput, dia sampai menangis, dia lihat saya sama Hesty tidur di lantai (terdiam).

saya cuma berharap, kami bisa kuat. Bisa tabah. Saya berharap jangan sampai suami gelap mata. Pernah dia cerita pada saya, dalam pikiran kalut, dia pernah memandang terus ke jembatan Cawang. Saat itu seperti ada dorongan untuk berdiri diatas jembatan terus melompat (terdiam). Syukurlah dia masih sadar, berpikir lagi, itu bukan jalan yang benar (terdiam). Biarlah ini cobaan dari Allah, apa pun, kami jalani.

Saat hamil anak ketiga, sampai usia kehamilan Sembilan bulan, saya masih mengamen di jalan. Saya berusaha menabung kecil-kecilan buat biaya melahirkan. Pernah dalam kondisi hamil tua , saya dikejar-kejar tramtib, sampai saya terjatuh. Saya takut sekali ada apa-apa dengan bayi saya. Syukurlah tidak ada apa-apa.

Dengan penghasilan mengamen dan kerja serabutan suami, kami berusaha menabung buat biaya persalinan. Tapi tidak gampang. Sampai saat akan melahirkan, kami cuma ada uang duaratus ribuan. Jam dua pagi, saya merasa akan melahirkan. Saya bilang ke suami. Waktu akan berangkat, ketuban saya sudah pecah, bagian bawah baju saya basah semua. Saya gugup, karena katanya kalau air ketubannya habis,  kan bahaya. Suami juga panik dan takut, karena istri pertamanya dulu meninggal saat melahirkan. Dia tidak mau terjadi apa-apa pada saya, apalagi saya pernah jatuh waktu hamil itu.

Tanpa memikirkan uang yang kami bawa cuma sedikit, suami mencegat taksi. Kami langsung ke salah satu (Hal 48) rumah sakit di Jakarta Pusat. Harapannya, mereka mau menolong dulu persalinan, sedang biayanya akan kami cari mati-matian. Di depan pendaftaran, suami ditanya soal biaya. Saat itu saya juga berdiri di depan bagian pendaftaran. Rok saya sudah basah air ketuban. Saya cemas sekali bagaimana bayi saya. Tapi begitu mengetahui kami saat itu tidak membawa uang yang cukup untuk pendaftaran, dan mungkin mereka juga tidak yakin nantinya kami sanggup membayar, kami dijawab bahwa kamar sudah terisi penuh.

Kami buru-buru naik taksi lagi, pindah ke rumah sakit lain. Tapi yang terjadi sama saja. Kami pergi lagi naik taksi ke rumah sakit yang ketiga, tapi yang terjadi begitu juga. Setelah pembicaraan soal biaya, dan kami bilang apa adanya saat itu cuma bawa uang segitu, mereka bilang kamarnya penuh. Sampai rumah sakit keempat, kami ditolak dengan alasan sama, kamar sudah penuh. Sampai suami saya bilang berbagai hal. Bahwa kami tidak akan lari, biaya pasti dilunasi, bahwa setelah saya dirawat suami akan langsung ke rumah adiknya meminjam uang, dan petugas itu boleh menghubungi adiknya suami supaya yakin, dan macam-macam lagi.

Tapi tetap tidak bisa. Malah ada yang menjawab, yah kalau ngomong saja kan gampang, tapi sudah sering terjadi pasiennya kabur begitu saja. Ada juga orang rumah sakit yang bilang, untuk biaya pendaftaran saja kurang, bagaimana nanti mau melunasi biaya melahirkan. Suami ditanya macam-macam, soal pekerjaannya dan lain-lain. Ketika diketahui kami ini orang miskin, lalu dijawab bahwa kamar sudah penuh.

Baca Juga: Untuk Kita Renungkan 

Saya sedih sekali. Saya ketakutan, nanti bagaimana bayi saya, sementara air ketuban sudah benar-benar membasahi rok saya. Saya takut bayi saya kenapa-napa. Alhamdulillah, waktu mendatangi tempat yang kelima, sebuah Puskesmas di Jakarta Timur, yang memang sering membantu orang melahirkan, kami ternyata langsung diterima. Tanpa ditanya soal biaya, mereka langsung bilang, Ibu ini sudah musti segera ditangani. Rasanya lega sekali, terharu. Akhirnya anak kami Rizki Dewa Daru, lahir dengan selamat pada 13 Mei 2008.

Di klinik itu, saya berusaha tidak lama-lama tinggal, soalnya saya memikirkan biayanya. Sampai sekarang biaya melahirkan itu belum benar-benar lunas, dan anak kami, meski sudah tiga bulan umurnya, belum pernah diimunisasi. Tapi kami akan berusaha terus, supaya bisa membayar sisa biaya dan Rizki diimunisasi. Kata suami, kita berusaha terus, soal rejekinya dapat atau tidak, Allah yang ngatur.

Saya sempat sakit hati, dalam kondisi saya yang sudah seperti itu, air ketuban sudah habis, tapi mereka tega menolak. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa, kalau sampai bayi saya meninggal. Mereka kan kerja di rumah sakit, kok tidak kasihan sama orang yang sakit. Tapi suami bilang, jangan sakit hati sama rumah sakit yang menolak kami. Malah kata suami, (Hal 49) jangan sampai nama-nama rumah sakit itu disebutkan. Jangan sampai mereka jadi susah, jadi cemar namanya.

Dulu, kami pernah membaca rumah sakit yang sama menolak menolak merawat bayi yang terkena demam berdarah. Keluarga yang ditolak itu diwawancarai, dan nama rumah sakit itu disebutkan. Kata suami saat itu, kalau anak-anak kami yang mengalami penolakan itu, suami tidak mau nama rumah sakit itu disebutkan. Buat apa.

Waktu membawa saya ke rumah sakit dan ditolak-tolak terus, sebenarnya suami juga sudah ada dugaan mungkin akan ditolak karena soal biaya. Tapi dia ingin berusaha terus, siapa tahu bisa, karena dia takut terjadi apa-apa kalau tidak dibawa ke rumah sakit yang cukup besar. Dia takut kejadian yang menimpa istrinya dulu terjadi lagi. Apalagi seperti yang sudah saya ceritakan, saya pernah jatuh saat hamil tua. Ketuban pun sudah pecah begitu, kan jadi panik.

Selain penolakan-penolakan itu, kami juga bertemu banyak kebaikan orang. Kami ingat terus sama kebaikan supir taksi yang mengantar ke rumah sakit. Dia tidak marah meski jok mobilnya basah terkena air ketuban. Suami bilang ke dia,”Maaf, joknya jadi kotor.” Karena suami juga pernah jadi supir taksi, dan tahu penumpang tidak jadi naik kalau melihat jok mobil basah begitu. Tapi supirnya bilang,”Enggak apa-apa yang penting istri Bapak bisa ada yang menolong.”

Saat masih di klinik, suami sedang bingung memikirkan bagaimana mencari uang buat membayar biaya melahirkan, seorang teman juga sangat membantu. Waktu itu dia tanya pada suami,”Kok kayaknya kebingungan. Ada apa.” Tapi suami tidak bilang apa-apa. Ternyata teman itu sudah mendengar bahwa saya melahirkan dan masih diklinik bersalin. Mungkin dia menduga, suami kelihatan bingung, mondar-mandir begitu karena belum ada uang untuk mengeluarkan saya dan bayi kami.

Ketika melihat Hesty, temannya itu bertanya lagi kepada suami,”Ini anak kamu yang paling kecil?” Suami bilang,”bukan, ada lagi, masih bayi.” Temannya tanya lagi,”Dimana?” Akhirnya suami bilang,”Di klinik bersalin.” Langsung saja temannya bilang,”Oh jadi itu yang membuat kamu bingung.” Terus dia tanya berapa biayanya dan dia langsung membantu (terdiam).

Selama saya mengamen di jalan, kadang ada yang datang, bertanya macam-macam sama para pengamen di situ. Mungkin mereka dari koran atau majalah. Tidak lama setelah bulan Agustus lalu, pernah saya ditanyakan buat saya merdeka itu apa. Saya merasa belum merdeka. Saya merasa kami ini, orang-orang miskin ini, tidak pernah tahu merdeka itu apa. Kami tahunya, jangan sampai keluarga hari ini tidak makan.

Baca Juga: Mempertanyakan Pertanyaan 

Saya berharap, mudah-mudahan saya dan keluarga sehat-sehat saja. Jangan sampai mengalami sakit lagi, khawatir nanti kesulitan berobatnya. Saya juga berharap, kami bisa kuat. Bisa tabah. Ini ujian dari Yang Maha Kuasa. ***

 

 

 

                     



Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429  H, 11 September  2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar