Tampilkan postingan dengan label Khotorot (Editorial). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Khotorot (Editorial). Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 September 2020

Mencederai Keyakinan Sendiri

Mencederai Keyakinan Sendiri[1] 

(Hal-04) Betapa perlu kita akan yakin. Untuk segala urusan. Sebagian keyakinan itu dibangun diatas kalkulasi realitas, hitungan matematis, dan rumus-rumus. Seperti urusan-urusan teknis di dalam hidup. sebagian lagi dibangun di atas kepercayaan. Ini berkaitan dengan apa-apa yang di luar jangkauan kemanusiaan kita. Bahwa ada Yang Maha Kuat di atas segala yang kuat.



Tapi sebesar itu kebutuhan kita akan yakin, seringkali sebesar itu pula kita menciderainya. Itu tidak saja pada dimensi kepercayaan. Tapi kadang juga pada soal teknisnya. Seperti verifikasi partai peserta pemilu, saling protes datang dari berbagai pihak. Ada yang menuding seharusnya lolos tetapi tidak diloloskan. Atau yang marah keras seharusnya lolos tapi tak diloloskan. Itu semua semestinya urusan data administrasi dan pembuktian faktual. Tidak lebih dan tidak kurang. Tetapi yang terjadi seringkali adalah mengaburkan hal-hal yang terang. Itu menciderai salah satu pilar keyakinan.

Betapa perlu kita akan keyakinan. Untuk segala urusan. Tetapi tidak juga lantas kita bebas mengaduk-aduk antara iman dan akal sehat. Sebab itu tidak saja mencederai keyakinan. Tetapi juga melahirkan kerancuan cara pandang, bila akhirnya yang kita yakini secara salah itu berantakan.

Itulah yang kita saksikan dari ruwatan mobil seorang menteri. Dengan sangat lengkap semua dimensi kepercayaan di jalani, untuk menguatkan keyakinan itu. Bila akhirnya mobil itu hancur, seketika semua dimensi kepercayaan yang telah dilakoni. Setidaknya, tidak ada sedikitpun penjelasan, bagaimana dimensi kepercayaan memandang kecelakaan tersebut. Akhirnya soal teknis juga yang disalahkan.

Bila anak seorang pejabat penting melakukan kesalahan, apalagi menyebabkan kematian orang lain, maka diperlukan keyakinan kuat untuk melakukan proses hukumnya. Tentu, urusannya dikembalikan ke fakta-fakta hukum. Dan, di situ pula ujian keyakinan itu. Sebab setiap fakta, bisa dimaknai dengan apa tafsir hukum atas fakta itu.

Betapa kita perlu keyakinan. Dalam bentuknya yang sangat kuat dan benar, itu bisa memberikan energi yang sangat besar. Nyaris tak terbayangkan, kadang. Begitulah seorang perempuan kecil di Palestina, Ahed Tamimi, ditemani beberapa anak seusianya, dengan berani mengintimidasi tentara Israel, lalu meneriakkan kata-kata keras, memprotes dan kadang menendang. Itu ia lakukan lantaran saudara laki-lakinya ditangkap tentara Israel.

Tindakannya menggugah banyak pihak. Perdana Menteri Turki, Erdogan, secara khusus mengundangnya. Di sana pula, anak itu disemati penghargaan, Handala Courage Award, sekaligus menjadi salah satu simbol perlawanan atas penjajahan Israel.

Betapa kita perlu keyakinan. Untuk segala urusan. Masalahnya, sebesar apa kebutuhan kita akan keyakinan, seringkali sebesar itu pula kita mencederainya. ***

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 289 Th.14, Rabiul awwal 1434, 24 Januari 2013

Waktu Pendek dan Panjang

Waktu Pendek dan Panjang[1] 

(Hal-06) Setiap kita punya dua waktu. Pendek dan panjang. Waktu pendek adalah rentang yang di situ kita ciptakan periode-periode buatan. Di situ pula kita tentukan awal dan akhirnya. Ini bisa soal jabatan formal atau sukarela. Bisa juga sebuah perasaan berkuasa, pada suatu ketika, di suatu tempat, atas sesuatu tertentu. Waktu panjang adalah rentang hidup yang disudahi oleh kematian. Dikaruniai usia hingga muda atau sampai tua, adalah waktu yang sangat panjang untuk menyejarahi wujud, lalu kelak mempertanggungjawabkan.



Uniknya, waktu pendek seringkali adalah saat di mana sebagian orang mengambil peran yang sangat besar, untuk pekerjaaan-pekerjaan besar. Namun mereka sering lupa, bahwa waktu tidak pernah cukup. Apalagi sepotong dua potong periode. Sebab hidup selalu memperbaharui masalahnya, jauh lebih cepat dari kapasitas individual setiap orang.

Maka negara maju sebesar Australia, dengan perdana menteri silih berganti, dalam laporan terbarunya, masih menghadapi meningkatnya jumlah tunawisma dalam enam tahun terakhir. Angkanya sampai 17 persen. Sedangkan kita, dengan segala lembaga negara yang kita punya, masih saja dihinakan oleh ulah polisi Malaysia, yang menistakan secara biadab tenaga kerja asal Indonesia.

Obama terpilih kedua kali pun mengahadapi masalah ekonomi yang berat. Analis politik Stephen Lendman, menilai, akan banyak kekacauan yang lebih parah terkait fiskal. Anggaran militer meningkat, sementara pemotongan dana sosial akan terus membebani orang biasa. Lendman menyebut itu teror negara dan kejahatan kemanusiaan.

Di waktu pendek biasanya kita menciptakan satuan ukur. Kadang kita menyebutnya rencana, misi, tahapan atau target. Ada juga evaluasi. Itu ada perspektif ilmiahnya. Pada saat yang sama itu hanya bahasa lain untuk menghaluskan keterbatasan di hadapan jatah waktu. Maka defisit yang muncul dari situasi itu, seringkali kemudian dikompensasi dengan pencitraan, bahkan kadang sampai urusan fisik.

Seperti Presiden Perancis yang lau, Nicolas Sarkozy. Ia tergolong bertubuh pendek. Tetapi AFP menyebut Sarkozy justru merasa lebih tinggi dari yang sesungguhnya. Ternyata, penelitian Michelle Duguid dan Jack Goncalo, menemukan adanya korelasi yang jelas antara merasa berkuasa dan merasa tinggi secara fisik. “pengalaman psikologi akan kekuasaan bisa menyebabkan orang merasa lebih tinggi dari keadaan sebenarnya,” tulis kedua ilmuwan itu. Ini pasti lebih rumit dari sekedar dari seorang menteri yang selalu merasa favorit di mata semua orang. Atau seorang Gubernur yang mengira semua masalah bisa diselesaikan dengan sederhana.

Setiap kita punya dua waktu. Pendek dan panjang. Bila suatu hari, takdir membawa kita memikul pekerjan besar yang dibatasi periode, jangan terlena. Kadang, itu hanya saat yang tidak menyenangkan untuk tampak pintar atau tampak bodoh.***



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 286  Th.14, Muharram 1434, 29 November 2012

Retorika Atas Kematian

Retorika Atas Kematian[1] 

(Hal-06) Kematian itu nyata. Selalu. Karena sangatnya, tak akan pernah bisa dikisahkan seperti apa rasanya terputus dari dunia. Sebab tak pernah ada kematian yang sekedar bisa dicoba. Maka kematian senantiasa menyisakan duka.

Kematian akibat tindakan biadab lebih menyakitkan. Selalu. Seperti tawuran anak-anak sekolah yang berujung pembunuhan. Ini bukan tentang remaja yang bergurau dengan kata-kata untuk mengasah kecakapan narasi. Atau berlomba ketangkasan fisik yang meliatkan otot dan tulang belulang. Ini tentang kejahatan menggunakan bermacam senjata tajam.



Sesudah itu banyak orang yang berbincang panjang. Seakan ini sebuah misteri. Tentang kurikulum pendidikan, pola asuh, mata pelajaran, serangan budaya. Tanpa sadar, kadang bursa retorika dan wacana mewah itu sampai pada tingkat yang mengaburkan. Bahwa seorang siswa pembunuh dianggap korban dari segala sistim yang melingkupinya. Padahal pembunuhan tetaplah pembunuhan. Seorang yang telah dewasa, terikat dengan kaidah umum, bahwa ia pasti mengerti membunuh itu kriminal, dosa dan nista.

Kematian itu nyata. Tetapi pada jalan cerita yang menyertai sesudahnya, kadang ada saja orang yang senang mengarang misteri dan retorika. Ini bisa dilakukan oleh para pedagang cerita, yang mengais nafkah dari keahlian merangkai tafsir tipu-tipu. Tiba-tiba anak-anak sekolah yang rajin mengikuti kerohanian Islam, dituding sebagai sumber berbagai tindakan teror yang mematikan.

Para petualang logika, selalu lapar teori dan haus kerangka. Dengan itu ia membolak-balikkan makna. Dengan itu pula, seorang pembunuh kriminal bisa mendapat segala pemakluman. Dengan itu pula, kegiatan rohani Islam, bisa dipalak dengan membayar ongkos tuduhan naïf, atas keterkaitan dengan teror.

Kematian itu nyata. Bahkan pengadilan yang punya kuasa konstitusi untuk menghukum mati bisa tampak bodoh. Lantaran dengan fatal menghukum orang yang tidak bersalah. Baru-baru ini, di Lousiana, Amerika, seorang laki-laki, Damon Thibodeaux, yang telah dipidana mati sejak 15 tahun yang lalu, akhirnya dibebaskan. Hasil tes DNA menunjukkan dia telah didakwa secara keliru atas pemerkosaan dan pembunuhan. Hukuman mati itu hanya didasarkan pada pengakuan setelah interogasi selama 9 jam. Thibodeaux menjadi orang ke delapan belas di Amerika yang dibebaskan dari hukuman mati yang dijatuhkan secara salah.

Di sekolah atau di mana saja, kematian itu nyata. Itu sudah sangat meninggalkan luka. Tak perlu lagi ditimpa dengan ulah hina para pedagang retorika, pembual misteri dan petualang logika ngawur yang sering salah alamat. *

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 283 Th.14, Dzulhijjah 1433, 18 Oktober  2012

Definisi yang Melatari Tragedi

Definisi yang Melatari Tragedi[1] 

(Hal-6) Seorang remaja turut membunuh. Dua orang korbannya. Semua heran dan tak habis mengerti, bagaimana semua itu ditafsirkan dalam ilmu perilaku. Maka beberapa pihak merasa perlu melakukan pendampingan. Tragedy yang mengguncang kota Depok baru-baru ini tidak saja karena kematian yang tragis, tapi juga banyaknya paradoks.



Meski otak pembunuhan itu adalah orang-orang yang berumur, terkait utang-piutang, tapi kerelaan anak-anak itu untuk terlibat sungguh menggenaskan. Memandang ulah keji itu secara menyeluruh, tetap saja melahirkan debat. Bahkan di ranah hukum yang mudah bisa mengolah perkara itu, perbedaan tetap terjadi.  Misalnya apakah mungkin anak itu diancam dengan hukuman mati. Dan, seperti ini bukan kasus pertama.

Tetapi yang lebih mendasar dari itu semua, masalah besarnya terletak pada kerancuan kita dalam mendefinisikan anak dan orang dewasa. Kerancuan itu disebabkan adanya cluster yang kita masukkan di tengahnya: fase remaja. Mereka anak-anak tanggung yang secara akal sudah mengerti mana salah dan mana benar. Tetapi secara hukum kita beri toleransi keterlaluan atas ulah mereka. Remaja adalah status yang diciptakan oleh berbagai kepentingan. Salah satunya industry. Ada bisnis yang sangat besar dengan pasar yang disebut remaja. Tapi ongkos yang harus kita bayar seringkali mahal.

Itulah mengapa dalam Islam, hanya dikenal anak-anak dan dewasa. Anak-anak dengan mudah kita pahami sebagai mereka yang belum baligh. Sehingga salah dan benar tidak punya tuntutan. Sebaliknya orang dewasa, adalah mereka yang secara nyata telah baligh, maka salah dan benarnya punya konsekuensi hukum.

Tetapi dengan fase baru yang bernama remaja, kita menciptakan ambigu yang mengerikan. Mereka layak dihukum atas tindak criminal. Tetapi sisim sosial kita membodohi mereka dengan status aneh, belum sepenuhnya punya konsekuensi hukum apapun atas perangai mereka.

Di Amerika Serikat, seorang mahasiswa cerdas membunuh penonton bioskop. Itu tragedi mengerikan yang menghilangkan belasan nyawa, melukai puluhan lainnya, sekaligus mengacaukan banyak logika. Logika kebebasan memiliki senjata. Logika rasa aman. Juga perdebatan tentang apakah itu disebut tindakan teror atau tidak. Sebab selama ini, dunia dipaksa memaknai kata teror secara subyektif hanya bila dikaitkan dengan aliran agama. Begitupun, masih aka nada debat, apakah Holmes, penembak maut itu layak di hokum atau tidak? Bila dimungkinkan misalnya tidak waras.

Tidak jarang kita dengan santai mengunyah segala kekacauan definsi. Seakan itu hanya teori tentang usia anak, atau doktrin teror keji tidak datang dari hiburan. Ada banyak kekacauan tersembunyi, yang kita sadari atau tidak. Bahwa kesalahan definisi yang fatal, bisa menjadi awal dari tragedi yang mengerikan.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 280 Th.14, Syawal 1433, 06 September  2012

Ada Banyak Hari Kita Peringati

Ada Banyak Hari Kita Peringati[1] 

(Hal-04) Ada banyak hari yang kita peringati. Sebagiannya pengingat akan prestasi. Yang lainnya penyadar atas tragedi. Bahkan hidup dan mati selalu layak untuk diingat. Sebab di sana ada tawa dan tangis. Namun apa yang diperingati dari hari anti narkoba sedunia tidak sekadar pilu korban di tengah gelegak Bandar narkoba. Tapi ironi tentang penembuhan luka-luka akut di tengah keterbatasan kemampuan perang melawan kartel.



Hari anti narkoba diperingati di bulan Juni. Lalu hari ulang tahun kepolisian di negeri kita diperingati setiap awal Juli. Datang berkelindan. Rasanya seperti itu pula narkoba dan kepolisian saling susul dalam pengejaran dan segala upaya penindakan. Lalu datang Agustus, di mana diperingati hari Remaja Internasional. Di Agustus itu kita juga memperingati peristiwa besar kemerdekaan. Ini siklus tiga bulan istimewa ang bila kita baca ketersambungannya dalam realitas masa kini, akan membuat hati kita menangis. Kita memperingati kemerdekaan, di tengah perang aparat melawan narkoba yang kian menggila di pasar utama para remaja.

Indonesia bahkan telah bertumbuh secara menyakitkan dari negara transit narkoba, menjadi negara pasar. Lalu kini menjadi negara produsen. Dari sana subur industri premanisme bengis, yang membunuh tanpa bersembunyi, menyebar takut tanpa takut, menistakan rasa aman yang dinaungi hukum yang mengamankan. Naifnya lagi, pengorganisasian jaringan distribusinya banyak dikendalikan dari dalam penjara. Orang yang seharusnya menjalani hukuman dengan kekang fisik maupun akses, justru secara digdaya bisa mengatur bisnis triliunan rupiah itu.

Sebagian dari jatuhnya hari di peringatan itu memang ulang tahun kelahiran. Yang lain dikreasi oleh momentum dan kesepakatan. Itu sejarah yang telah tercipta. Tetapi di tengah tantangan kejahatan yang semakin canggih, terkelola, maupun kejahatan yang mengeksploitasi kecanduan, peringatan hari-hari itu seharusnya melecut penuh kerja semua pihak untuk semakin gigih.

Secara kebetulan pula kita umat Islam, di Agustus ini datang bulan kita yang istimewa, Ramadhan nan mulia. Itulah adalah energi turbo untuk semua pertarungan melawan bandit. Tapi bahkan untuk sebagian orang, Ramadhan bisa saja sekadar hari-hari peringatan. Tanpa serapan ketundukan, apalagi berlimpah amalan.

Ada banyak hari yang kita peringati. Sebagiannya pengingat akan prestasi. Yang lain penyadar akan tragedi. Tapi bisa juga itu semua hanya sebuah ironi.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 279 Th.14, Ramadhan 1433, 26 Juli  2012

Rabu, 02 September 2020

Sukhoi dan Harapan Baru

Sukhoi dan Harapan Baru[1] 

(Hal-06) Sukhoi jatuh di tengah harapan. Para pengusaha yang hendak atau telah membeli pesawat baru itu pasti punya kesadaran, bahwa Indonesia memerlukan keterhubungan yang terus menjangkau. Sangat banyak kawasan di negeri kita tercinta yang membutuhkan penerbangan pembuka. Di tengah keterbatasan pemerintah dalam memudahkan mobilitas rakyat, para pihak swasta adalah harapan lain. Begitu pula mereka yang turut menyuarakan spirit itu, dengan ikut serta terbang, dengan maksud sesudah itu akan turut menebar harapan.



Dibandingkan pesawat buatan Amerika atau buatan konsorsium Eropa yang lebih mahal, Sukhoi adalah terobosan. Apalagi secara teknologi pun menurut para ahli, pesawat itu cukup canggih. Begitu juga bagi Negara-negara yang memerlukan jalur-jalur perintis, dengan jarak tempuh menengah, sukhoi adalah harapan.

Bagi Rusia sendiri Sukhoi adalah harapan yang lain. Dengan pesawat super jet ini Rusia ingin membangun reputasi baru di dunia penerbangan. Bahkan itu merupakan pesawat untuk penrbangan sipil pertama yang dibuat setelah runtuhnya Uni Soviet. Beragam sertifikasi telah diperoleh. Berbagai pasar baru pun terus diberikan penawaran.

Era baru mengubah dominasi. Perlahan namun pasti. Harapan terus menyebar di banyak kawasan. Dunia tidak melulu Amerika. Eropa sendiri masih berkutat dengan gejolak hebat di sector keuangan. Terlebih setelah pemilihan presiden Perancis yang baru. Hasil pemilu Yunani juga rumit. Lantaran tak ada yang menang mayoritas, pembentukan pemrintahan koalisi pun carut marut.

Di Amerika Latin, juga bermunculan harapan baru. Brazil mulai menjadi pemain penting di dunia penerbangan. Produk andalannya, pesawat jet Embraer, terus berkibar. Itu menjadi pesawat yang cukup laris dan di minati. Khususnya di Negara-negara berkembang. Salah satu maskapai di Indonesia telah memesan tak kurang dari 20 Embraer.

Kadang di sela harapan besar ada bergumpal duka. Datang tiba-tiba. Saat sebagian kita kehilangan orang-orang tercinta. Kematian adalah rahasia. Itu terasa cepat bukan karena mereka mendahului waktunya. Tapi kematian dalam tragedy selalu melipatgandakan segalanya. Mengaduk segala rasa, antara sesal, harap, pedih, dan pasrah.

Sukhoi jatuh di tengah harapan. Para pengusaha yang berminat dengan pesawat itu pasti meyakini, bahwa Indonesia memerlukan harapan baru dalam ketersambungan. Maka mereka yang pergi dalam kecelakaan itu setidaknya turut menyambung harapan itu. Bahwa dunia tidak seharusnya dicengkram dominasi segelintir negara. Semua tengah bangkit. Tidak semata di sektor penerbangan. Perlahan namun signifikan. Menyongsong harapan baru.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 276 Th.13, Rajab 1433, 31 Mei 2012

Minyak dan Industri Uang

Minyak dan Industri Uang[1] 

(Hal-04)Kisruh energi tak sekedar minyak. Ini soal ledakan gaya hidup yang hampir seluruh negara di muka bumi yang dengan brutal mengonsumsi energi. Sebab energi menjadi penggerak dan nyawa utama industri-industri raksasa mereka. Tetapi energi, pada saat yang sama adalah industriuang itu sendiri. Maka dunia yang selalu bergolak terkait energi tidak semata pada fungsi vitalnya. Tapi juga transaksi manis diatasnya, sekaligus pada penaklukan atas sumber-sumber eksplorasinya.



Manusia kini menikmati isi perut bumi tidak hanya emasnya. Ada bermacam hasil tambang lain yang melimpah. Jumlah uang dari itu semua sangat fantastis. Yang lebih mengagumkan, industri uang yang melekat pada isi perut bumi, adalah industry dengan bahan baku yang telah disediakan Tuhan dengan gratis. Maka biaya produksi pada industri itu lebih pada pengolahannya dan distribusinya. Karena itu, penguasaan atas lahan yang disediakan Tuhan itu, selalu menggunakan logika lain.

Logika lain itulah yang kemudian kita temukan beragam bentuknya. Dari intimidasi, perjanjian kontrak karya yang tidak seimbang, merampas dan menunggangi demokrasi suatu negara, hingga menciptakan perang mengerikan yang membunuh ratusan ribu orang sipil. Semua demi penguasaan atas lahan yang menyimpan harta karun pertambangan. Sebab lahan itu sendiri secara administratif melekat pada teritori suatu negara. Di luar cara-cara itu, sumber-sumber eksplorasi tak akan mudah dikuasai.

Di Indonesia, baru saja ditetapkan peraturan bahwa perusahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan harus mendisvestasi sahamnya sahamnya hingga 51% untuk dijual ke pihak Indonesia. Prosesnya bertahap hingga tahun kesepuluh. Tetapi begitu aturan ini dikumandangkan, seketika perusahaan tambang asing terbesar di negeri ini merasa tidak harus taat pada peraturan itu. Ia beralasan, sudah ada kontrak karya sebelumnya.

Pada akhirnya konflik kita tentang energi bukan soal ketersediaan, bukan pula soal kecukupan. Tapi soal pengelolaan. Terlalu banyak unsur di luar negeri yang mempermainkan energi. Energy bukan semata energi. Tapi juga koordinat bermacam pertarungan. Tidak saja di medan perang yang meruntuhkan peradaban, tapi juga di ranah politik, dunia intelejen, premanisme, mafia di tubuh Negara ataupun pasar, dan kartel.

Dahulu di era primitif orang berebut air dan tanah. Itu tentang apa yang ada di atas bumi, dan bukan apa yang di dalam bumi. Kebutuhan inti energi melekat pada diri mereka sebagai makhluk bergerak, atau binatang yang mengangkut mereka berpindah-pindah.

Maka ketegangan di perairan teluk atau di kawasan lain tidak selalu seperti tampaknya. Ada urat dan pamer kuat belum tentu tentang Negara melawan Negara. Ini tentang industri uang raksasa yang digerakkan diatas segala permainan energi.***

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1432, 5 April 2012.

Dunia Duga

Dunia Duga[1] 

(Hal-04) Banyak yang tidak kita tahu. Tapi sangat banyak yang kita duga. Sebab menjadi tahu lebih sulit dari sekadar menduga. Sebab menjadi berpengetahuan lebih berat dari menjadi penumpuk dugaaan. Pengetahuan sangat berbeda dengan dugaan. Hakikatnya beda.  Strukturnya beda. Faktanya beda. Pengetahuan memberikan asupan nalar pada kita. Dugaan menyuplai emosi egois kita. Penegetahuan cenderung mengarahkan. Dugaan cenderung menjerumuskan.



Begitupun, kita lebih menikmati apa yang sebenarnya tidak kita tahu, ketimbang apa yang seharusnya kita tahu. Kita asik dengan dunia duga-duga. Sebab kebanyakan kita merelakan hari-harinya dipandu oleh apa yang tidak penting untuk kehidupan kita: industri duga-duga.

Setiap hari kita menelan berita, tapi tidak setiap hari kita menambah pengetahuan. Setiap waktu kita mencari informasi baru, tapi kita tak bertambah ilmu. Di panggung kehidupan yang iramanya diatur arus informasi, kita tiba-tiba menjadi sekumpulan penonton yang dungu. Sebab kita tidak pernah sadar, bahwa kini setiap peristiwa ada behind the scene-nya.

Informasi punya kastanya. Benar, setengah benar, tidak benar dan palsu. Di masa ketika informasi berpindah ke tempat jauh hanya menggunakan kuda dan burung merpati, kita punya sedikit kabar, sedikit alat sebar. Kini setelah era industri media dan arus deras koneksi internet, kita punya mesin informasi yang lapar kabar.

Di batas ini kita akan kewalahan. Tak berdaya. Tapi kita terus menampakkan diri digdaya di hadapan makhluk yang bernama mesin informasi itu. Yang terus meraung minta disuplai, dijejali, dan digelontorkan ke dalamnya segala kabar dan berita. Maka apa-apa yang setengah benar, tidak benar bahkan palsu, bisa diubah menjadi kabar yang tampak benar. Kita akan terus mengalami kesenjangan yang menyedihkan. Kesenjangan antara bahan baku informasi yang bermutu, dengan kehausan informasi itu, lalu kehausan kita kepada produksi informasi dari mesin informasi itu. Begitupun banyak diantara kita yang belum sadar.

Itu sebabnya, pelanggaran kode etik di kalangan pewarta sendiri tahun ini naik lebih 300 persen. Salah satu lembaga independen di bidang kewartawanan, melaporkan bahwa tahun 2011 ini pelanggaran kode etik di kalangan pewarta meningkat tajam. Itupun hanya didasarkan pada jumlah pelanggaran yang diadukan. Bila tahun 2010 hanya berjumlah 128, tahun ini tercatat 442 pengaduan pelanggaran.  Lebih lanjut, survey yang mereka lakukan, hanya 20 persen pewarta yang membaca kode etik, sesuatu yang mengatur tata cara dan etika kepatutan dalam cara mereka bekerja.

Banyak yang tidak kita tahu. Tapi terlalu banyak yang kita duga. Membiarkan diri terus-menerus menikmati dugaan setiap hari, akan membunuh cita rasa pengetahuan kita. Lalu tunggu saatnya kita turut serta menjadi sampah.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 265 Th.13, Shafar 1433, 29 Desember 2011

Disiplin Eksakta dan Sosial Kita

Disiplin Eksakta dan Sosial Kita[1] 

(Hal-04) Di dunia sosial ada kelenturan. Di dunia eksakta ada kepastian. Keduanya punya peran untuk menopang kehidupan. Maka keduanya saling melengkapi dan saling menguatkan.

Dunia eksakta memerlukan disiplin takaran, konsistensi skala, dan tentu saja kesungguhan. Sebab semua berada dalam logika hukum alam yang telah dipatrikan Allah bersama struktur penciptaan alam itu, beserta segala isi dan turunannya. Tentu ada ruang mukjizat yang berjalan di luar akal. Tapi itu tak bisa disentuh oleh kapasitas manusiawi kita. Dunia sosial menghajatkan penalaran juga keteguhan. Asumsi-asumsi tafsir, tapi juga kesimpulan-kesimpulan. Duplikasi-duplikasi, tapi juga pembaruan.



Jembatan runtuh adalah fenomena eksakta. Tetapi pendorongnya kecuali karena bencana alam adalah perilaku sosial. Seperti kecerobohan, pembiaran, dan tentu saja standarisasi yang mungkin saja tak dipenuhi. Pada akhirnya ilmu apapun yang kita kuasai, pengetahuan ahli apapun yang kita miliki, sangat bergantung pada perilaku dan mentalitas kita.

Setelah satu jembatan runtuh di Kalimantan, satu lagi runtuh di Jawa timur. Lalu kita segera mengaudit jembatan-jembatan lain yang masih ada. Audit eksakta meskipun perlu kerja keras dan menyita waktu, pasti lebih mudah dari audit sosial.

Begitulah dalam banyak kejadian, kita semakin maju secara eksakta, tapi seringkali semakin mundur secara sosial. Kemunduran perilaku sosial, ketika dipraktikkan pada kerja-kerja eksakta, pasti akan melahirkan berbagai bencana. Itu mengerikan. Sebab tak jarang memakan banyak korban.

Produk makanan olahan kita punya standar eksaktanya. Tapi banyak diintervensi oleh perilaku pedagang yang buruk. Maka banyak dari kita yang memakan pewarna kain, pengawet mayat, atau daging daur ulang sampah. Minuman kita punya standar eksakta. Tapi banyak dari kita yang minum air tanah dan es batu yang bahan bakunya dari air sungai yang penuh e-coli.

Jalan raya kita punya standar eksakta. Tapi banyak dicederai oleh perilaku sosial buruk pemborongnya. Standarisasi dilanggar demi untung besar dan setoran politik yang mengintimidasi. Mengendarai mobil dan motor diatasnya memiliki standar eksakta. Tapi banyak dari kita yang mengemudi dengan kacau.

Di laut ada standar eksakta untuk segala pelayaran. Tapi banyak diciderai oleh sikap sosial yang rusak: penggampangan. Maka penumpangnya sangat berlebih. Sarana keselamatan minim. Dan alat-alat pendukung lain banyak tak berfungsi. Di udara ada standar eksakta untuk segala penerbangan. Detil, rinci dan kompleks. Mengabaikan itu semua adalah kebodohan.*

Dunia eksakta punya area toleransi. Tapi pasti tidak banyak. Dunia sosial memang kaya dengan toleransi. Adapun ilmu dan keahlian kita, akan sangat dipengaruhi oleh perilaku dan mentalitas kita. Pada akhirnya, kita memerlukan disiplin eksakta dan sosial yang sama baiknya.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 264 Th.13, Muharram 1433, 15 Desember 2011

Menggambar Kebijakan

Menggambar Kebijakan[1] 

(Hal-04) Bernegara adalah soal menggambar kebijakan. Oleh siapapun, di level manapun, pada seluruh lingkaran penentu yang mendapat mandat dan kuasa. Maka ini bukan soal menteri baru atau wakil menteri baru. Ini tentang skema yang muncul dari semua sumber kebijakan dan bagaimana menyelaraskan antara kebijakan yang satu dengan yang lainnya. Lalu akan seperti apa nasib warga dan masyarakat setelah kebijakan-kebijakan itu.



Maka sebagai warga Negara, dari dulu dan sampai kapanpun, semua sejatinya berpindah dari satu alur kebijakan ke alur lainnya. Tidak peduli siapapun yang berkuasa. Dengan begitu, alangkah keliru bila ada masyarakat yang merasa harus hanyut ke wilayah drama pergantian kekuasaannya. Sebab, pergulatan yang sesungguhnya bagi kita masyarakat adalah pada efek dari semua kebijakan yang lahir dari pusaran-pusaran kekuasaan itu.

Kebijakan punya keunikannya. Bila dia salah, maka jaraknya dengan kerusakan begitu dekat, begitu nyata. Anehnya, bila kebijakan itu baik, jaraknya dengan keberhasilan yang diharapkan, seringkali begitu jauh, bahkan kadang absurd. Kebijakan punya kekhasannya. Begitu kebijakan salah, untuk memperbaikinya tidak begitu saja mudah dengan membuat kebijakan baru. Itu tidak gampang. Sementara kebijakan yang baik dan benar, memerlukan mata rantai yang panjang untuk benar-benar bisa terlaksana.

Kita pernah punya menteri yang dengan mudah menandatangani berbagai perjanjian perdagangan bebas. Sebebasnya. Seketika produk impor banjir dan tumpah memasuki negeri ini. Pasar bebas disikapi dengan berlebihan dan tanpa ada konsolidasi yang benar-benar matang. Maka yang terjadi kemudian adalah terpuruknya usaha kecil dan menengah kita. Bahkan industri-industri paling strategis pun dikuasai asing. Maka semua gerakan Cinta Produk Indonesia seperti angin. Karena faktanya, pemerintah sendiri yang membuka jalan bagi melimpah ruahnya produk-produk asing.

Di sector perbankan, kebijakan kita dengan mudah memberikan keleluasaan bagi pemilik asing untuk memborong bank di Indonesia. Sementara bank dari Indonesia sendiri, banyak yang kesulitan membuka cabang di beberapa negara karena negara tersebut memberlakukan kebijakan yang ketat.

Di sektor energi, kita pernah punya presiden yang menjual Gas Alam Cair ke China dengan harga yang sangat-sangat murah. Negara dirugikan milayaran dolar. Apalagi kontrak dilakukan untuk jangka waktu 25 tahun. Padahal energi di dalam negeri sendiri masih kekurangan.

Bernegara adalah soal menggambar kebijakan. Segala pembolehan yang dilindungi konstitusi memang indah dalam pasal dan ayat, tapi seringkali pahit setelah diterjemahkan oleh para pembuat kebijakan. Begitupun, masih saja ada masyarakat yang hanyut dalam gempita pergantian menteri, padahal hidupnya digencet oleh bermacam kebijakan. *



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 261 Th.13, Dzulhijjah 1432, 03 November  2011

Kesungguhan Menghindari Mati

Kesungguhan Menghindari Mati[1]

(Hal-04) Alangkah banyak kecelakaan kita. Di darat, laut dan di udara. Meski mati punya cara dan jadwalnya, sepanjang hidup kita terikat kuat dengan hokum wajib menghindari mati, dengan segala cara. Maka semua kecelakaan yang mematikan selalu layak dievaluasi. Setidaknya terkait seberapa sungguh kita menjauhi mati. Tentu ada pengecualian bagi segelintir orang, seperti anak-anak bau kencur di Cirebon yang sengaja mencari mati di balapan liar.



Bulan lalu di Jawa Timur, tabrakan ekstrim antara bus dan minibus menewaskan seketika 20 orang. Mereka hendak melanjutkan perjuangan hidup nun jauh ke pulau seberang. Tapi di ujung malam, kematian merenggut nyawa mereka dengan sangat mengerikan. Dalam apa yang disebut kecelakaan adu banteng, kedua kendaraan tersebut benar-benar beradu berhadapan.

Sesudah itu seperti biasa penelusuran mengalir sampai jauh. Pemilik minibus bukan pemilik travel. Penjual tiket bukan pemilik minibus. Jumlah penumpang berlebih. Semua carut marut itu pasti sudah berjalan lama. Tetapi hanya ketika kematian datang dengan caranya yang tragis, kita baru mengakui ada yang salah di sana-sini. Namun semua sudah terlambat. Kita tak bisa menolak mati, tapi kita bisa memilih untuk membawa penumpang sesuai kapasitas, menyetir kendaraan dengan santun, dan menegakkan aturan ketat tentang jasa angkutan dan perjalanan.

Di laut dan sungai yang menghidupi negeri ini masih banyak kecelakaan. Di Barito kapal penumpang bertabrakan dengan tongkang. Di Bali dan Madura kapal tenggelam. Di Surabaya kapal terbakar. Empat kecelakaan itu terjadi hanya dalam kurun satu pekan. Puluhan orang mati mengenaskan. Yang lain hilang lenyang terjun ke laut. Kita tak bisa menolak mati, tapi kita bisa memilih untuk tidak menjejali kapal melampaui jatah. Kita bisa menyediakan pelampung sama dengan jumlah penumpang. Kita bisa memastikan ada sekci yang memadai. Kalau kita mau. Di batas antara kesungguhan menghindari mati dan kecerobohan menantang maut di situlah kesalahan dan tanggung jawab bahkan dosa akan dibebankan.

Di Bahorok, Medan, pesawat jatuh. Belasan orang meninggal. Tapi bahkan dalam kecelakaan udara yang penyebabnya alam sekalipun, ruang bagi tanggung jawab mengupayakan hidup tetap kuat melekat dalam bentuknya yang lain: kecekatan evakuasi. Maka yang kita evaluasi kemudian adalah standar pertolongan, teknologi, kecepatan, ketersediaan sarana,koordinasi, hingga alur informasi. Di negeri dengan medan rumit dan pulau-pulau beralam ganas, evakuasi kecelakaan pasti punya tuntutannya yang tinggi. Alangkah banyak kecelakaan kita. Di darat, di laut dan di udara. Di batas antara kesungguhan menghindari mati dan kecerobohan menantang maut, disitulah kesalahan dan tanggung jawab bahkan dosa akan dibebankan.*

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 260  Th.13, Dzulqaidah 1432, 20 Oktober 2011

Rahasia Itu Beban

Rahasia Itu Beban[1] 

(Hal-06) Tak mudah memegang rahasia orang. Bisa jadi itu beban. Bukan pada cara dan sarana apa yang bisa kita gunakan untuk menyimpannya. Tapi pada mentalitas dan perangai kita dalam menyikapinya. Sebab dalam kadar tertentu, rahasia-rahasia tentang orang lain yang kita bisa menyuntikkan suasana kompulsif ke dalam perasaan dan pikiran kita. Itu berbahaya. Hanya karena memegang rahasia pihak lain, orang memang bisa berulah: merusak karakter, menebar ancaman kekerasan, hingga melakukan pemerasan.



Kini, di era teknologi yang serba canggih, orang bisa mendapatkan rahasia orang lain bahkan dengan jalan rahasia. Bukan karena orang lain itu membagi rahasianya secara sukarela. Rahasia kini bisa didapat dengan mencuri akun, atau membobol identitas. Ada juga rahasia yang dengan sangat istimewa bisa didapatkan oleh sebagian aparat, seperti mereka yang ditakdirkan duduk di KPK.

Di Negara maju sekalipun, seperti Amerika, penyadapan, sebagai salah satu sarana memperoleh informasi rahasia, diatur ketat dengan undang-undang yang sangat detil dan jauh dari pasal-pasal karet. Di ranah hokum, penyadapan juga hanya untuk memperkaya kasus, dan bukan sebagai bukti awal di persidangan. Di sana, penyadapan hanya bisa dilakukan dengan persetujuan pengadilan. Itu sebabnya, Rancangan Undang-Undang Intelijen dan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang diajukan pemerintah kita, dikritisi keras banyak pihak. Tidak semata soal pencarian rahasia melalui berbagai cara yang tidak detil, atau keanehan tentang diperbolehkannya intelijen melakukan penangkapan. Juga karena definisi keamanan Negara justru lebih diarahkan pada memosisikan rakyat sendiri sebagai musuh. Sementara musuh sesungguhnya, para pihak asing yang mencuri besar-besaran sumber daya alam kita, secara sembunyi-sembunyi, maupun dengan kontrak karya yang aneh, justru tidak dengan tegas dijadikan musuh keamanan Negara.

Memegang rahasia itu tidak ringan. Di industry media, dunia baru saja diguncang skandal penyadapan yang dilakukan tabloid Inggris, News of The world. Para pewarta di tabloid itu memburu informasi rahasia dengan cara menyongok polisi, menjebol kotak suara telepon milik ratusan selebriti, politisi, bahkan para korban pembunuhan. Setelah terbit selama 168 tahun, tabloid di bawah jaringan raksasa media milik Rupert Murdoch itu tidak terbit lagi dan harus mengakhiri hidupnya dengan berbagai tuntutan hokum. Banyak pihak terseret. Beberapa telah ditangkap. Termasuk mantan juru bicara Perdana Menteri Inggris.

Memegang rahasia itu beban. Apalagi bila rahasia itu terlalu banyak dan sensitive. Bahkan para konsultan pribadi, konsultan kesehatan, konsultan kejiwaaan, atau para ustadz sekalipun yang menerima konsultasi hubungan suami istri, tidak semuanya punya daya tahan. Sebab itu semua ada zat-zat candunya.

Memegang rahasia itu tidak gampang. Semua kita adalah makhluk subyektif. Karenanya, memegang rahasia orang sangat bisa menggelincirkan.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 258 Th.13, Syawal 1432, 22 September 2011

Bulan Berkaca

Bulan Berkaca[1] 

(Hal-06) Ini sangat baik untuk berkaca. Mengenali lebih dekat dan dekat lagi, tentang siapa kita. Hidup dalam segala bentuk perburuan seringkali membuat kita lupa. Alih-alih kita berhasil menaklukkan realitasyang kemudian berbalik memburu kita. Dunia yang kian rata – The World is Flat, kata Friedman misalnya, kini semakin mempersempit batas-batas hirarki. Kecuali bila benar-benar berfungsi. Orang tidak bisa mudah lagi bersembunyi di balik jabatannya, statusnya, pangkatnya, bila secara individu terlalu cacat prilaku. Setiap kali seorang rela menjadi atasan bagi segala jenis bawahan untuk beragam pekerjaan, kini bebannya tidak semata bagaimana memutar roda-roda peran. Tapi juga harus memastikan bahwa dirinya memang punya integritas.



Tanpa integritas, jabatan akan menjadi pembunuh karakter sendiri, lambat atau cepat. Terlebih di zaman baru di mana manusia bumi terkoneksi dari ujung ke ujung. Apa yang ganjil di ujung barat, bisa tersebar dengan cepat hingga ke ujung timur. Apa yang aneh di timur jauh, bisa dengan singkat tersiar sampai ke barat.

Integritas adalah modal dasar utama. Dengan itu sebenarnya setiap kita ditimbang dan dipandang. Bila kerumunan orang belum juga menakar kita dengan wajar, waktu akan membela kita, bila kita punya integritas. Dengan integritas, kita sudah menyelesaikan setengah dari kebutuhan konsistensi, sesudah itu. Kenyataannya memang, di dunia sempit maupun di dunia yang lapang hanya diperlukan satu mental: Integritas lalu konsistensi.

Tanpa integritas, siapapun dengan posisi setinggi apapun, akhirnya akan bertarung melawan bayangannya sendiri. Itu hantunya.itu pintu apesnya. Tak soal seperti apa upayanya untuk memoles diri dalam berbagai wahana. Siapapun yang miskin integritas, sejenak bisa menutupi dirinya dengan berlagak konsisten akan jati dirinya. Sesudah itu, segalanya bisa buyar dan tak terkendali.

Ini bulan sangat baik untuk menengok ke dalam. Mengenali lebih dekat tentang siapa kita. Seharusnya membaca diri bukan semata seremoni tahunan, tapi panggilan kesadaran. Di tengah kegaduhan di mana-mana, perlu kiranya kita membaca ulang tentang siapa diri kita yang sesungguhnya. Kadang untuk menjadi baik tidak selalu harus pintar. Kadang untuk menjadi baik tidak harus selalu terkenal. Bila menjadi baik harus dengan terkenal, alangkah sempitnya dunia. Bila menjadi baik harus dengan banyak bicara alangkah ciutnya harapan. Bila menjadi baik harus dengan banyak membela diri, alangkah lelahnya hidup.

Ini bulan sangat baik bercermin. Kita adalah akumulasi perkataan kita sendiri tentang kita. Kita adalah kumpulan persepsi tentang kita. Kita adalah tautan  perilaku demi perilaku kita sendiri yang kita pilih secara sukarela. Ini bulan sangat baik untuk banyak merenungi diri. *



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 257 Th.13, Ramadhan 1432, 11 Agustus 2011