Rabu, 02 September 2020

Kesungguhan Menghindari Mati

Kesungguhan Menghindari Mati[1]

(Hal-04) Alangkah banyak kecelakaan kita. Di darat, laut dan di udara. Meski mati punya cara dan jadwalnya, sepanjang hidup kita terikat kuat dengan hokum wajib menghindari mati, dengan segala cara. Maka semua kecelakaan yang mematikan selalu layak dievaluasi. Setidaknya terkait seberapa sungguh kita menjauhi mati. Tentu ada pengecualian bagi segelintir orang, seperti anak-anak bau kencur di Cirebon yang sengaja mencari mati di balapan liar.



Bulan lalu di Jawa Timur, tabrakan ekstrim antara bus dan minibus menewaskan seketika 20 orang. Mereka hendak melanjutkan perjuangan hidup nun jauh ke pulau seberang. Tapi di ujung malam, kematian merenggut nyawa mereka dengan sangat mengerikan. Dalam apa yang disebut kecelakaan adu banteng, kedua kendaraan tersebut benar-benar beradu berhadapan.

Sesudah itu seperti biasa penelusuran mengalir sampai jauh. Pemilik minibus bukan pemilik travel. Penjual tiket bukan pemilik minibus. Jumlah penumpang berlebih. Semua carut marut itu pasti sudah berjalan lama. Tetapi hanya ketika kematian datang dengan caranya yang tragis, kita baru mengakui ada yang salah di sana-sini. Namun semua sudah terlambat. Kita tak bisa menolak mati, tapi kita bisa memilih untuk membawa penumpang sesuai kapasitas, menyetir kendaraan dengan santun, dan menegakkan aturan ketat tentang jasa angkutan dan perjalanan.

Di laut dan sungai yang menghidupi negeri ini masih banyak kecelakaan. Di Barito kapal penumpang bertabrakan dengan tongkang. Di Bali dan Madura kapal tenggelam. Di Surabaya kapal terbakar. Empat kecelakaan itu terjadi hanya dalam kurun satu pekan. Puluhan orang mati mengenaskan. Yang lain hilang lenyang terjun ke laut. Kita tak bisa menolak mati, tapi kita bisa memilih untuk tidak menjejali kapal melampaui jatah. Kita bisa menyediakan pelampung sama dengan jumlah penumpang. Kita bisa memastikan ada sekci yang memadai. Kalau kita mau. Di batas antara kesungguhan menghindari mati dan kecerobohan menantang maut di situlah kesalahan dan tanggung jawab bahkan dosa akan dibebankan.

Di Bahorok, Medan, pesawat jatuh. Belasan orang meninggal. Tapi bahkan dalam kecelakaan udara yang penyebabnya alam sekalipun, ruang bagi tanggung jawab mengupayakan hidup tetap kuat melekat dalam bentuknya yang lain: kecekatan evakuasi. Maka yang kita evaluasi kemudian adalah standar pertolongan, teknologi, kecepatan, ketersediaan sarana,koordinasi, hingga alur informasi. Di negeri dengan medan rumit dan pulau-pulau beralam ganas, evakuasi kecelakaan pasti punya tuntutannya yang tinggi. Alangkah banyak kecelakaan kita. Di darat, di laut dan di udara. Di batas antara kesungguhan menghindari mati dan kecerobohan menantang maut, disitulah kesalahan dan tanggung jawab bahkan dosa akan dibebankan.*

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 260  Th.13, Dzulqaidah 1432, 20 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar