Selasa, 01 September 2020

Pada Suatu Masa

 

Pada Suatu Masa[1]

 

(Hal-04)Kita harus tetap optimis. Seburuk apapun kondisi bangsa ini. Bahwa perubahan itu harus dilakukan, dan sesudah itu Allah akan menjalankan pula janji pengubahannya.

Di panggung politik jalan perubahan itu ada. Tidak semua yang melenggag di ranah itu bisa sukses. Yang gagal banyak. Yang hancur banyak. Yang tergelincir lalu memilih jalan hina juga banyak.



Secara teori politik adalah jalan terdekat menuju kekuasaan. Sementara kekuasaan adalah  terdekat untuk melakukan perubahan yang mengikat, massif dan ada anggarannya. Tapi faktanya politik juga jalan terdekat menuju kehancuran. Sebagaimana kekuasaan juga jalan terdekat menuju penghancuran. Maka, tak ada yang mengerikan, dari penghancuran yang dilakukan oleh orang-orang hancur dan berlindung di balik peraturan.

Pernah pada suatu masa, negeri ini dipimpin dengan bedil. Orang-orang yang tidak disukai mati dengan cara yang penuh misteri. Hak dan kebebasan dibatasi. Keberagaman disederhanakan dalam symbol yang memaksa. Terlalu banyak kaki tangan yang mencengkeram hak-hak sipil. Beras mungkin ada, minyak barangkali ada. Tapi taka a tempat untuk pikiran terbuka.

Pernah pada suatu waktu, negeri ini diurus dengan sangat keliru. Perusahaan bluechip milik Negara di jual murah. Seperti indosat yang menyedihkan. Setelah saham mayoritasnya dijual ke Singapura dengan harga 5 trilyun lebih sedikit, kini perusahaan itu di jual ke Qatar oleh Singapura dengan harga 16 Trilyun lebih. Dahulu para ahli sudah memberi saran. Bahwa privatisasi itu bisa dilakukan tidak harus selalu dijual ke pada asing. BUMN yang sifatnya strategis cukup dilakukan korporatisasi dengan kepemilikan di tangan pemerintah tapi pengelolaannya swasta.

Pernah suatu ketika, negeri ini dikelola dengan terlalu banyak aib. Sebab institusi pentingnya dihancurkan sendiri oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Kejaksaan Agung, Bank Sentral, Menteri, juga Dewan perwakilan rakyatnya. Di selingi bencana-bencana yang sangat langka. Tsunami yang membunuh ratusan ribu orang. Menyengsarakan ribuan lainnya. Gempa yang menyentak kesadaran dalam beberapa detik. Lalu lumpur abadi yang memupus segala harapan.

Kita harus tetap optimis. Separah apapun masalah di negeri ini. Tapi jujur saja kadang kita tidak benar-benar bisa menemukan energy optimism itu pada wajah-wajah politik di iklan-iklan. Siapapun memang boleh berjanji. Dengan artikulasi, script dan tentu saja lakon serta adegan. Tapi kita memerlukan lebih dari sekadar janji. Kita memerlukan integritas, komitmen dan kapasitas. Integritas adalah modal dasar. Komitmen adalah pengikatnya. Kapasitas adalah alat untuk melaksanakannya. Agar kelak sejarah menulis, bahwa pernah ada suatu masa, negeri ini mampu bangkit dan sukses melawan keterpurukan.*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 187 Th.10, Ramadhan 1429 H, 11 September 2008 M

Magma Kebencian

Magma Kebencian[1] 

(Hal-06) Sebuah ledakan bom adalah hamburan pesan. Di era Perang Dunia Kedua, hujan bom di laut pasifik adalah pertaruhan untuk tetap bernafas, adu gengsi, dan penaklukan tiada akhir. Bahkan ketika Jepang terjepit, hunjaman pesawat mereka di cerobong kapal sekutu, dengan para pilot berani mati, adalah ledakan pesan yang heroic, setidaknya dalam kaca militer. Pesannya jelas, para pelaku kamikaze itu berharap bisa memberi kehidupan dengan mempersembahkan kematian yag dianggap aneh dan tak disangka oleh Amerika dan konco-konconya.



Tetapi di zaman ketika penjahat tak lagi jantan, sebuah gelegar bom adalah ledakan kesumat. Dari dan oleh siapa saja. Yang ingin mengguncang stabilitas pemerintahan, ia ledakkan bom. Yang tak puas dengan atasannya, ia ledakkan bom. Yang marah karena pacarnya lari dari Bali dan menikahi perempuan asing, mengancam akan meledakkan bom. Yag ingin membunuh karakter umat Islam, ia ledakkan bom. Begitulah. Bahkan yang ingin menikmati kepuasan membunuh tanpa diketahui, ia ledakkan bom.

Hari ini ledakan bom adalah muntahan magma-magma kebencian yang memuncak menembus langit. Dentuman-dentuman bom di Tentena itu, atau ancaman-ancamannya yang menghantui Jakarta, juga ketakutan-ketakutan beberapa kedutaan besar asing, adalah serangan terhadap Indonesia yang tengah bergeliat menuju cita-cita jauhnya. Ya. Indonesia pasca reformasi adalah negeri dengan kebangkitan yang bergairah dan kesegaran harapan pada banyak sisinya. Tentu dengan kekurangan di sana-sini. Tapi demokratisasi, yang menjadi tuhan dan kiblat ajaran dunia internasional,  toh telah dipilih dan di jalani dengan segenap partisipasi rakyat yang luar biasa. Sepanjang Indonesia merdeka, baru sekali itu presiden dipilih langsung. Baru kali ini kepala daerah dipilih langsung, bupati maupun gubernurnya. Di tengah hancurnya kredibilitas KPU, masyarakat masih menyisakan kemauan untuk menyukseskan semua prosesi demokrasi itu. Bahkan, pelaku peledakan bom itu, tidak ingin melihat Indonesia hidup akrab dalam satu rumah besarnya, setelah bersama-sama membagi rasa, dalam simpul bencana Aceh yang mengguncang.

Para rakyat di akar rumput punya cara sendiri untuk dewasa menyikapi. Mereka memang ngeri dan pilu menyaksikan korban-korban itu. Tapi mereka tidak merasa perlu untuk berspekulasi. Bila membeli beras dan minyak tanah itu lebih penting bagi mereka. Bahasa kebencian mereka satu, bahwa membunuh secara tidak sah, dengan bom di pasar atau dengan palu di lampu merah, adalah kejahatan yang harus dibasmi. Justru para elitlah yang harus arif bersikap. Para aparat harus bertindak tegas, jelas dan adil. Tegas, bahwa hokum harus ditegakkan dengan sepenuh ketegasan. Jelas, artinya jangan asal tangkap, tapi salah atau cepat menyimpulkan, tetapi hanya berdasarkan indikasi-indikasi yang lemah. Kasus salah tangkap atau memaksakan seseorang menjadi tersangka, sudah sering terjadi. adil, artinya, bahwa siapa yang tidak bersalah, harus bebas dari tuduhan, apalagi hukuman.

Sebuah bom adalah ledakan konspirasi. Seorang anak sekolah menengah di Jakarta pun bisa berpura-pura diculik setelah kabur dan menjual mobil ayahnya. Bagaimana pula dengan seorang Jenderal? Intel asing atau Melayunya? Pengusaha? Politisi? Bandit? Siapa saja yang menyimpan kebencian mendidih di dalam nafsu busuknya, sangat mudah baginya untuk melampiaskannya dalam ledakan bom. Di zaman di mana para penjahatnya pengecut dan para pengecutnya belajar jadi penjahat.*

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 111 Th.7, Jumadal Ula 1426, 23 Juni 2005

Untuk Kita Renungkan

Untuk Kita Renungkan[1] 

(Hal-04) Selalu saja ada gelisah. Di setiap hati yang belum mati. Juga hati yang masih peduli pada nasib negeri ini. Betapa tidak, kekacauan susul menyusul. Bencana demi bencana beriring berkelindan. Badai dari krisis ekonomi dan politik hingga gempa bumi. Rumah megah yang bernama Indonesia itu kini sudah tak lagi nyaman. Meski sejak dulu pun tak pernah benar-benar nyaman.



Selalu saja ada gundah. Mengombak-ombak, lalu menjadi gelombang nestapa yang menggunung-gunung. Betapa tidak, saat jutaan orang merintih menahan beban hidup, dengan enaknya seorang pensiunan TNI mengedarkan uang palsu. Di Jakarta Utara, ia ditangkap beserta tiga kawannya, beserta pecahan uang palsu 50.000 senilai 23 juta. Sementara dari Jawa Timur dikabarkan, Kabiro Umum Pemda Jatim di duga menilap uang Rp. 500 juta, dengan modus pembuatan kwitansi palsu. Sedangkan Clara Sitompul, Ketua Umum Partai Krisna resmi dinyatakan tersangka kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum. Ia telah membagi-bagi uang sebesar 5.283.838.683 rupiah, terkait dengan dana pengadaan bendera. Konflik di kalangan pejabat semakin menajam. Syahril Sabirin yang kini jadi tersangka kasus Bank Bali, berencana menggugat Presiden sebesar 35 miliar rupiah pun kembali terpuruk.

Sementara itu, dana Bulog 35 miliar yang raib belum lagi bisa diusut, sudah muncul bencana baru: kasus Bulog edisi dua. Bahkan, menurut salah seorang anggota DPR, di duga angkanya mencapai 2,7 triliun. Dari maskapai penerbangan pemerintah, Garuda Indonesia Airways, dilaporkan bahwa Negara dirugikan 8,5 triliun akibat KKN yang selama ini terjadi di BUMN itu.

Selalu saja ada duka yang menganga. Meleleh, lalu menyumbat saluran-saluran rasa kemanusiaan. Betapa tidak, begitu banyak uang rakyat yang selalu disebut uang Negara dihisap segelitir orang. Pencurian kayu di Kalimatan Timur, misalnya, menurut Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Ir. Robian, telah merugikan Negara sampai 1 triliun. Ia mengeluh, untuk mengamankan hutan di Kaltim seluas 265.000 hektar sebenarnya diperlukan 500-700 jagawana. Tapi yang ada kini hanya 80 orang. Itupun dengan sarana dan prasarana sangat terbatas. Sementara dana reboisasi hutan pun banyak disikat tikus kerah putih. Tak kurang dari Rp. 4 triliun dana reboisasi telah diselewengkan. Bahkan, sebagian dari dana itu digunakan untuk belanja istri para pejabat.

Selalu ada resah. Meledak-ledak menjadi bara. Di lubuk sanubari yang belum membatu. Betapa tidak, angka-angka fantastis itu tak pernah terbayangkan oleh para nelayan di Puger, Jember. Hari-hari ini mereka harus berjibaku menyambung nyawa. Musim paceklik yang ganas telah memaksa mereka menggadaikan barang apa saja. Dari perkakas dapur hingga dipan tempat tidur. Dari lampu hingga sarung sekalipun. Jangankan  untuk bermimpi memiliki uang sebesar itu. Untuk membayangkan deretan angka nol di belakangnya saja sudah sulit. Angka 50 juta, 23 juta, 500 juta, 35 miliar, 280 miliar, 180 triliun …. Mungkin saja tak pernah ada pada lembar-lembar khayal mereka.

Selalu saja ada luka. Menghampar menjadi padang kepedihan. Luas, nyaris tak berbatas. Mungkin kita harus sering-sering untuk meniru do’a Umar bin Khatab, “Ya, Allah, akau berlindung kepada-Mu dari orang shalih yang lemah, dan dari orang fasik yang perkasa.”

Asal jangan sampai, orang shalih yang lemah itu adalah kita. Dan, orang fasik yang perkasa itu juga kita.*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 010 Th.1, 13 Rabiul Awal 1421, 15 Juli 2000

Kabar Untuk Rakyat

 Kabar Untuk Rakyat[1] 

(Hal-04) Tak mudah rupanya hidup ini. Meski hanya menjadi rakyat. Justru di situ biang kesulitannya. Karena tak bisa memerintah, tetapi selalu disuruh-suruh. Sebab rakyat tak bisa membuat keputusan, tapi senantiasa dibuatkan “kebijakan”. Di negeri ini bahkan  rakyat sulit menentukan masa depannya sendiri. Lantaran mereka harus ikut dalam pusaran goncangan massal. Ekonomi yang goncang, iklim politik yang goncang, padahal mereka merasa tak pernah ikut membuat rentetan kegoncangan itu.



Mungkin ungkapan ini terlalu ekstrim. Tak mengapa. Itu masih lebih terhormat ketimbang kelakuan seorang budayawan, yang hanya meributkan “pilihan kata” para politikus yang menurutnya tidak sesuai dengan idiom politik. Dalam sebuah acara ‘Debat Polemik’ yang disponsori salah satu TV swasta beberapa pekan yang lalu, sang budayawan berkali-kali mengkritisi  habis lawan diskusinya juga lawan politiknya. Tapi, saying sekali, yang dilakukan hanya menggaris bawah mana pilihan kata yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan mana yang anti demokrasi. Padahal kezaliman demi kezaliman menghiasi keseharian negeri ini. Padahal kalau ia berdiskusi soal kezaliman pun yang dilakukan hanya mengumbar kata-kata, bukan mencabut kezaliman itu sendiri. Menggenaskan, memang.

Menjadi rakyat memang tidak mudah. Untuk mengais hak dan mengejar keadilan saja harus terlunta-lunta tanpa kepastian. Seringkali sudah jatuh masih tertimpa tangga. Sudah sulit hidup, masih harus pusing melihat ulah penguasa yang susah dicerna. Apalagi semuanya berbentuk berita yang hanya bisa didengar atau dibaca: “kabarnya Soeharto sakit dan karenanya tidak bisa diadili. Kabarnya rencana kenaikan BBM karena subsidi selama ini dinikmati segelintir orang. Kabarnya penyeludupan ribuan liter minyak dan solar ke luar negeri dibekengi oknum aparat. Kabarnya kenaikan tarif angkutan karena biaya operasional tak tertutupi lagi. Kabarnya pencopotan du mentri oleh Gus Dur karena keduanya terlibat KKN. Kabar lain mengatakan pencopotan itu adalah kalkulasi politik Gus Dur, menyingkirkan siapa yang bisa mengancam posisinya. Kabar lain mengatakan, itu dilakukan untuk strategi jangka panjang, mengumpulkan dana bagi partainya menyongsong pemilu yang akan datang. Kabarnya salah satu pengganti  menteri itu orang dekat Gus Dur. Kabarnya orang tersebut suka mencampuri  hal-hal di luar kewenangan. Kabarnya beberapa menteri lain juga menyusul akan diganti. Kabarnya perjudian di Jakarta susah diberantas karena para pemiliknya setiap bulan menyetor upeti ke oknum-oknum Pemda DKI sebesar satu milyar.” Mungkin kabar-kabar itu ada yang tidak betul. Tapi tak mustahil bila banyak yang benar.

Sulit rupanya menjadi rakyat. Tapi bukan suara perlawanan rakyat, dalam tafsiran kaum “kiri baru” yang suka mengeksploitasi kata ‘rakyat’ (juga orangnya). Ini hanya nurani yang tak pernah tenang. Karena kezaliman berlawanan dengan fitrah nurani. Karena nurani selalu bisa bicara sendiri tanpa perlu juru bicara.

Tak mudah agaknya menjadi rakyat. Tapi bersyukurlah menjadi rakyat. Apalagi bila anda tak mampu menjadi penguasa. Karena menjadi penguasa pun tak lebih enak dari rakyat. Setidaknya kelak mereka akan dihisab lebih lama ketimbang rakyat, yang wilayah kekuasaannya paling atas anak-anak dan istrinya. Tetapi lebih bersyukurlah bila kita menjadi orang-orang shalih, saat jadi rakyat atau penguasa. Saat jadi pejabat atau orang biasa. Saat kaya atau tak punya. Saat sendiri atau bersama-sama. Saat kita mampu berenang di samudera kepasrahan yang indah: “sesungguhnya, shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb sekalian alam.”*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 009 Th.1, 27 Shafar 1421, 31 Mei 2000

Masyarakat Tanpa Teladan

 Masyarakat Tanpa Teladan[1] 

(Hal-04) Kita ini miskin teladan. Tak punya tokoh yang bisa jadi panutan. Mencari contoh orang-orang baik serasa mencari bayangan pada cermin yang retak-retak. Kita memang punya Rasulullah, punya para sahabat, punya tabi’in dan para salafusshalih lainnya. Tapi semua itu hari ini hanya ada di dalam buku. Atau paling dalam semburat kata-kata, belum lagi berwujud perilaku nyata.



Kita ini miskin teladan. Orang-orang ‘besar’ yang mestinya menurunkan didikan baik justru banyak yang jadi biang kebobrokan. Apa yang bisa diharapkan dari anggota dewan ‘yang terhormat’ dari F-PDI-P yang melakukan pesta seks di Kediri? Atau enam belas lainnya di Medan yang menelan suap 25 juta? Atau yang triping di diskotik di Surabaya? Keteladanan secara lembaga tak jauh berbeda nasibnya. Sulit kita dapatkan instansi yang bersih dan berwibawa. Mahkamah Agung, yang mestinya menebar keadilan, kini justru sedang rebut soal pemalsuan putusan.

Kita ini miskin teladan. Tapi sebagian besar masyarakat merasa masih punya contoh orang-orang ‘hebat’. Sebab, setiap pekan mereka bisa menonton Cek& Ricek, Halo Selebriti, Panaroma, Kisah seputar Selebriti (KISS), Kabar-Kabari, Serenada, dll. Acara rutin TV-TV swasta yang menguliti kehidupan para artis, dari soal dapur sampai tempat tidur itu seakan menjadi alternative teladan. Padahal, seperti bahasa dasarnya, celebrate, mereka umumnya orang-orang yang suka pesta, hidup dengan gaya glamour, dan karenanya menjadi terkenal. Dunia itulah yang sejak 1977 sudah dijauhi oleh Yusuf Islam, mantan penyanyi rock terkenal Inggris yang punya nama kecil Stephen Demitri Georgiou.

Tak heran bila rakyat Filipina hari-hari ini mengeluhkan presiden mereka yang artis itu. Konon, Joseph Estrada, tidak bisa meninggalkan gaya hidupnya sebagai artis yang suka menenggak minuman keras. Belum lagi soal tuduhan penggelapan uang oleh keluarganya sebesar 430,3 juta peso atau sekitar 78,8 milyar. Sementara Amerika, Monica Lewinsky yang pernah punya skandal menjijikkan dengan Bill Clinton, justru menangguk untung besar. Sebab, orang kini memburu tas-tas kecil buatannya yang berbubuh tanda tangan, meski di jual antara 110 hingga 130 US $. Bukti barunya di Manhattan setiap hari dipadati pengunjung.

Kita ini miskin teladan. Digantikan dalam iklan demi iklan, yang setahunya menghabiskan seratus delapan puluhan milyar rupiah. Orang membeli produk tak selalu karena mutu atau perlu. Tapi karena ada ikatan emosi psikologi antara dirinya dengan bintang iklan produk itu. Maka, apalah artinya kalimat “peringatan pemerintah: Merokok dapat merusak kesehatan” pada iklan rokok? Buktinya, setiap tahun, 57.000 orang di negeri ini mati karena rokok, total 3,5 juta yang tewas di dunia karena nasib yang sama.

Semua “teladan” di atas mengajari orang untuk menyukai yang remeh-remeh. Enggan bekerja keras dan mengambil risiko hidup. karenanya, kita berharap semoga saja jargon Presiden Gusdur, “gitu saja kok repot” yang laris di tiru masyarakat, tak berarti ia sedang mengajari rakyatnya untuk menjadi kaum pragmatis dan pemalas.

Namun, semua itu tak serta merta harus membuat kita binasa. Sebab secara fitrah kita masih punya rambu-rambu. Menjadi baik pada batas tertentu tak harus berdasarkan ilmu yang rumit-rumit. Orang bodoh pun bisa menata dirinya untuk menjadi baik, asal ia mau. Karenanya, tak aneh bila ajaran-ajaran awal disampaikan Rasulullah adalah “Bila engkau tak punya rasa malu, maka berbuatlah sesuka kehendakmu.”

Tapi entahlah kini, bila rasa malu pun ternyata sudah tak ada lagi pada diri kita.*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 008 Th.1, 25 Muharram 1421, 30 April 2000

Undang-Undang yang Malang

 Undang-Undang yang Malang[1] 

(Hal-04) Dengan apa kita mengukur keadilan? Dengan apa kita menimbang kejujuran? Dengan undang-undang? Mungkin. Tapi segudang undang-undang dibuat, setumpuk peraturan disusun, akhirnya ‘untuk’ dilanggar juga. Di rimba jalan raya misalnya, alangkah seram ancaman bagi pelanggarnya. “mengemudikan kendaraan bermotor, tidak memiliki SIM di pidana kurungan maksimal 6 (enam) bulan atau denda maksimal Rp. 6.000.000 (pasal 59 ayat (1) UU No.14 1992). Tapi, pernahkah Anda mendengar, ada orang mengeluarkan uang enam juta karena tak punya SIM? Entahlah. Umumnya orang memilih jalan ‘perdamaian’, dengan lipatan uang di bawah tangan.



Di kalangan dokter ada kode etik profesi. Tidak boleh melakukan mal praktek, mendulang kekayaan dibalik wajah-wajah sekarat pasiennya. Atau menyalahgunakan keahliannya untuk tujuan tercela. Tapi masih banyak oknum dokter yang bandel. Di Jakarta utara ada dokter yang mengaborsi dua ratusan janin. Harian sore di Jakarta pernah memuat jumlah bonus yang diberikan pabrik obat kepada para dokter yang mau meresepkan obat-obat keluarannya. Bulan lalu, hakim Tayne Forbes dari pengadilan Preston, menjatuhi dr. Harold Frederick Shipman vonis lima belas kali hukuman seumur hidup, atau selama 810 tahun penjara. Dengan motif merebut warisan, dokter berwajah dingin itu terbukti membunuh 200 pasien selama 20 tahun (atau 10 orang per tahun).

Wartawan juga terikat etika. PWI punya empat ratus delapan puluhan kata pada pasal-pasal etika jurnalistik. Militer punya sumpah prajurit. Tapi anak dua jenderal dicokok aparat sedang membawa shabu-shabu dan senjata api. ‘pagar’, benar-benar banyak makan ‘tanaman’. Tragis, seperti tragisnya kisah spanduk-spanduk anti narkoba. Para Bandar narkoba tak kalah semangat ikut memasang spanduk-spanduk itu.

Dunia penerbitan undang-undang pembajakan. Pasal 44, Undang-Undang Hak Cipta, tahun 1987, mengancam para pembajak dengan pidana penjara paling lamatujuh tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta. Tapi semua orang tahu, pembajakan hak cipta di Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Anehnya, ketika baru-baru ini ada sosialisasi soal HAKI (Hak Atas Karya Intelektual), justru banyak pakar tak antusias. Alasannya lucu, mereka para khawatir para perajin tempe di Indonesia, kelak harus membayar royalti kepada pakar tempe Amerika yang sudah mematenkan penemuannya di bidang tempe.

Tak jarang undang-undang justru bisa berubah menjadi ‘jaket anti jerat hukum’ bagi para penjahat. Karena banyak undang-undang yang isinya tumpukan pasal karet. Bisa ke kanan atau ke kiri, tergantung penafsirnya.

Memang, masih banyak orang baik-baik. Tetapi ada dua tipe kejahatan yang bencananya massif: kejahatan pada profesi strategis (seperti dokter dan semisalnya), dan kejahatan oleh pemilik ‘kekuatan’ (seperti tentara yang bersenjata dan semisalnya). Meski dilakukan sedikit orang, secara psikologis bisa mengguncang ketenangan jutaan orang.

Kita perlu undang-undang. Ajaran Islam sendiri tak lain adalah kumpulan undang-undang. Tapi lebih dulu kita sangat berhajat pada “kesadaran diri” para penegak undang-undang. Kesadaran diri adalah kunci. Sebab, “bukanlah mata yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada,”(QS Al-Hajj: 46). Tak pelak lagi, harus ada proyek raksasa, yang mampu menggebrak kesadaran diri kita, memahat integritas diri kita, apapun jabatan kita.

Tak sulit mengawalinya. Tanya saja pada diri kita, pada lubuk hati kita yang paling dalam. Lalu buktikan kebenaran kata-kata Imam Hasan Al-hudhaibi, “Tegakkan Islam di hatimu, niscaya akan tegak di atas bumimu.”*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 007 Th.1, 25 Dzulhijjah 1420, 30 Maret 2000

Pada Siapa Kita Pecaya

Pada Siapa Kita Pecaya[1] 

(Hal-04) Bangsa ini tertatih menuju bangkit. Menggeliat mencari-cari labuhan kepercayaan. Amerika yang Kapitaliskah? Cina yang Komuniskah? Israel yang Zioniskah? Atau Eropa yang Nasranikah?



Memang, tak semua orang yang menimbang negeri-negeri itu dengan neraca ideologi. Tapi hampir semua kebangkitan selalu berbasiskan ideologi. Mungkin itu sudah tradisi sejarah. Rahasianya adalah, ideologi memberi suplai energi yang sangat besar bagi setiap kebangkitan, meski harus berdarah-darah. Maka, Soekarno membiayai logika-logika politiknya dengan meretas ideologi Nasakom. Sedang Soeharto memilih mensakralkan ideologi Pancasila, atau doktrin trilogi pembangunan yang melahirkan kebangkrutan. Kebangkitan industrialisasi kapitalis tetap kebangkitan ideologi juga, ideologi kapitalis itu sendiri.

Nampaknya, bangsa-bangsa ‘besar’ di dunia ini tak terlalu bergairah melirik ideologi Islam. Apalagi sebagai basis kebangkitan. Bahkan, kian hari yang Nampak hanya kebencian yang membuncah. Di Amerika, misalnya, baru saja tahun 2000 merambah perlahan, agenda penting FBI adalah mewaspadai teroris 2000. Akhir bulan lalu, di Los Angeles, Rick Hahn, mantan agen khusus FBI, membuka forum yang membahas situasi keamanan nasional AS. Dalam forum itu diangkat isu kebijakan kontra terorisme. Anehnya, forum itu diberi nama “Forum Muslim”.

Masih dari Amerika juga, departemen pertahanan Amerika memperingatkan panitia penyelenggara reli Paris-Dakar tentang ancaman teroris. Nasehat serupa juga diberikan Prancis. Buahnya, 3000 km etape di Nigeria dibatalkan. Salah satu Negara termiskin itu pun terpukul. Untuk kekhawatiran atas teroris itu, tiga pesawat kargo raksasa Antonov buatan Rusia dikerahkan untuk melakukan 18 kali penerbangan evakuasi, melintasi jarak 1.500 km diatas gurun sahara. Bagi kita, tak penting reli itu batal atau tidak. Tapi masalah besarnya, siapa sebenarnya yang teroris.

Lain lagi berita dari Balkan. Tokoh penjagal Serbia, Zeljko “Arkan” Raznatovic, tewas pertengahan Januari lalu. Tubuhnya terhempas di lobi hotel intercontinental setelah matanya tertembus peluru. Anehnya, oleh sebagian rakyat Serbia ia dianggap sebagai pahlawan. Padahal penjahat perang itu telah membantai sadis 250 lebih Muslim Kroasia di Vulkokra. Belum lagi di Bijeljna, Bosnia. Ia juga dalang dan pelaku pemerkosaan sistematis di negeri itu.

Dunia memang sesak oleh “maling teriak maling”. Dengan ringan pejabat Presiden Rusia, Vladimir Putin, memperingatkan rakyatnya dari “bahaya aksi teroris” di negerinya. Teroris yang ia maksud tak lain adalah para mujahidin Chechnya. Lalu, dengan apa kita menyebut kelakuan pasukan Rusia yang terus-menerus membom Grozny, Ibu Kota Chechnya? Dengan apa pula kita menafsirkan sikap Dewan Eropa, yang tidak akan merekomendasikan Moskow untuk dibekukan keanggotaaannya dari hak asasi manusia? Bila masih ada kata-kata, coba katakan apa untuk semua angkara murka mereka itu.

Maka, adalah fatal menjadikan bangsa ini tumbal bagi konsepsi-konsepsi ideologis barat. Kecuali bila ingin menggali kubur sendiri. Atau menyeret ummat ini ke pusaran kebangkitan yang hampa. Padahal, sejak dulu para salafusshalih umat ini mewanti-wanti, bahwa kemuliaan kita hanya ada pada Islam. Orang barat tak lebih mengerti tentang kita, apalagi menghargai agama kita. Kini tak bisa ditawar lagi, umat ini harus percaya pada diri sendiri. Dan, itu artinya kita harus banyak belajar lagi tentang agama kita.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 006 Th.1, 23 Dzulqa’idah 1420 H, 29 Februari 2000 M

Elegi 2000

Elegi 2000[1] 

(Hal-04) Jaman makin tua.  Dalam hitungan masehi bila tidak ada halangan seribu tahun kedua akan berganti ke awal seribu tahun ketiga. Ada harapan baru (minimal semangat baru). Tapi sederet luka lama masih menganga. Pengangguran, krisis ekonomi, pemerintahan baru yang muram, meningkatnya kriminalitas, kebobrokan moral, hanyalah sebagian kecil dari borok dan bopeng wajah sosial kita.



Yang paling mengerikan adalah munculnya ‘gerakan obyektifitas’. Sebuah gelombang baru pemahaman manusia tentang dirinya sendiri. Bahwa segalanya adalah manusiawi bila sesuai dengan kehendak kemanusiaannya. Meski unsure yang dominan adalah hawa nafsunya. Mereka memperkosa semena-mena teori obyektivitas Paul B. Horton, (1984): “obyektifitas adalah kemampuan untuk melihat dan menerima fakta sebagaimana adanya, bukan sebagai apa yang diharapkan.”  Maka lahirlah keyakinan bahwa segala kehendak harus dipandang apa adanya. Inilah yang kemudian menjadi ruh bagi gerakan revolusi ‘orang-orang gila’ itu.

Maka jangan heran bila banyak orang dengan gegabah mengatakan bahwa foto bugil di sampul popular dan matra itu tidak porno. Tapi sebuah seni yang indah, bila dipandang apa adanya, tanpa preferensi agama, moral, pribadi, apalagi politis. Atau sikap beberapa mahasiswa yang menganggap seks bebas itu biasa-biasa saja. Karena ia seperti kebutuhan makan, tak perlu diikat etika yang rumit. Atau seperti yang dilakukan sebuah biro di Amerika baru-baru ini. Melalui jaringan internet, biro itu menjual sel-sel telur para bintang dan model perempuan. Dalam penjualan perdananya, ditawarkan delapan model cantik. Harga satu sel telur antara 15.000 sampai 100.000 US $. Angka belum termasuk biaya lain-lain seperti proses pembuahan dan perawatan.

Jaman makin tua. Setengah dari 6 milyar penduduk dunia hidup dalam kemiskinan. Dengan pendapatan rata-rata 3 dolar per hari, bahkan lebih buruk. Padahal di Paris, pemerintah menghabiskan lebih 140 miliar rupiah hanya untuk membersihkan kotoran anjing milik warga yang nge-pup sembarangan di jalan-jalan kota wisata dunia itu. Sementara masyarakat Inggris telah membelanjakan tujuh triliun lebih untuk kucing piaraan mereka sekaligus perhiasannya. Ironis memang.

Jaman makin tua. Indonesia menjadi penyumbang ketiga penyakit TBC di dunia. Menurut Prof. Anfasa Muluk, satu tahun ke depan jumlah penderita TBC di Indonesia bisa menjadi 100 juta orang, atau hamper setengah dari penduduk negeri ini. Sementara penyakit mental tak kalah mengerikan. Kepolisian Metro Jaya belum lama ini menggagalkan penyeludupan 54 ribu lebih VCD porno. Sebulan sebelumnya, mereka menangkap pembawa 990 kg kilo gram ganja kering, atau hampir satu ton. Padahal menurut seorang sumber di Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta, dari seluruh pasien yang berobat, hanya 1% yang dimungkinkan bisa sembuh.

Jaman makin tua. Kebiadaban belum berhenti. Kebrutalan merajalela. Apalagi kala sejarah kerusakan manusia menemukan kemasan yang necis, elegan dan mungkin ‘terhormat’. Karenanya, sekjen PBB Kofi Annan menyebut abad 20 abad paling kejam. Meski seharusnya tuan Kofi sadar, sebagian kekejaman itu adalah karya nyata organisasi yang dipimpinnya.

Dunia kian renta, menanti manusia-manusia pembangun. Walau seorang penyair sempat galau:

Bila seribu pembangun

Dibelakangnya ada seorang penghancur

Cukuplah sudah

Bagaimana jadinya bila seorang pembangun

Di belakangnya ada seribu penghancur *

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 005  Th.I, 08 Syawal 1420 H, 15 Januari 2000 M

Profesional

 

Profesional[1] 

(Hal-04) Baru-baru ini LP3ES melakukan jajak pendapat. Siapakah sebaiknya yang duduk di kabinet mendatang?  Hasil polling itu menunjukkan bahwa masyarakat ingin agar kabinet mendatang diisi oleh kaum professional. Bukan oleh para politikus.



Keinginan dan harapan masyarakat itu bukan tanpa alasan. Bertahun-tahun umat ini menjadi orang-orang yang terjajah di negeri sendiri. Semua atas nama stabilitas atau pembangunan. Padahal segalanya untuk dan demi politik semata. Akibatnya, seperti kata K.H. Zainuddin MZ di negeri ini lebih banyak politisinya ketimbang negarawannya. Karena memang Negara ini bak lahan pembiakan untuk para politikus, dan bukan mesin pembinaan bagi para negarawan.

Dari sekian politikus itu, banyak yang modalnya hanya retorika. Mereka kerap berbicara berdasar asumsi-asumsi dan andai-andai belaka. Orang-orang yang berperilaku seperti itu sering dikategorikan sebagai tipe manusia primitif. Sebab orang modern menurut jargon kaum peneliti berbicara berbasis data bukan menduga-duga.

Ini jurang yang curam. Yang memisahkan antara harapan masyarakat akan profesionalisme dengan realitas kepemimpinan bangsa ini. Tetapi ironi tersebut masih menyisakan berderet-deret ironi lain, saat profesionalisme di negeri ini tak lagi punya tenaga. Meski sekadar untuk kepentingan duniawi saja. Lihatlah hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) belum lama ini. Menghadapi millennium bug,  Indonesia bersama Thailand, Malaysia dan Vietnam akan menghadapi kesulitan untuk memasuki ‘industri padat pengetahuan’ karena keterbatasan tenaga kerja terampil. Bahkan, dari 12 negara di Asia yang disurvei, Indonesia berada di urutan terakhir. Sedang peringkat  diduduki Jepang. Padahal masih menurut lembaga yang bermarkas di Hongkong itu, daya saing suatu Negara pada masa mendatang akan ditentukan pada mutu pekerja terampilnya.

Renungan ini tak sekadar sebuah keprihatinan. Tetapi tuntutan profesionalisme layak dihayati karena memang sunnatullah sendiri tegak atas asas profesionalitas. Langit yang tujuh dan buminya pula, matahari, bulan, bintang-bintang dalam lintas edarnya, malam dan siang, (QS. 36:37-40) adalah wajah bulat tentang profesionalisme dalam sunnatullah itu.

Karenanya, professional bagi seorang mukmin seharusnya tidak saja berkonotasi the right man in the right place, tapi sejauh mana ia meletakkan niat dan tindakan sesuai kehendak dan sunnah Allah. Sebab tak ada gunanya hidup jika tidak ditujukan kepada Allah. Dari sanalah profesionalisme keimanan itu diharapkan menjadi landasan dari segala tindakan dan kerja teknis berikutnya, hingga lahir profesionalisme amal shalih.

Rumusan ini akan menjadikan seorang mukmin tidak saja puas secara konvensional atas ihsan dan itqonnya di hadapan orang. Tapi lebih jauh akan membuatnya mampu bersyukur kepada Allah sekaligus merindukan keridhaan dan balasan yang lebih besar di akhirat kelak. Lalu, bila profesionalisme itu menginduk secara ilmiah kepada teori-teori manajemen, maka menarik sekali statemen DR.Muh. A. Al-Buraey. Pakar manajemen dari King Fahd University of Petroleum and Mineral itu mengatakan,”pada prinsipnya manajemen sekuler dan manajemen Islam itu sama. Yang membedakannya mungkin syura versus voting. Bila voting lebih mengutamakan suara yang lebih besar maka syura memilih maslahat yang lebih besar.”

Pada akhirya bila kita tambahkan ke dalam profesionalisme itu semangat ukhuwah, ta’awun dan rasa tanggung jawab, maka Insya Allah produktivitas amal kita akan meningkat. Dan dalam tataran interaksi sosial, bila sekali lagi Kiai Zainuddin MZ mengatakan di negeri ini lebih banyak ‘tukang kompor’ dibanding ‘tukang lem’, maka dengan semua itu kita akan bisa menjadi tukang-tukang lem itu. Semoga.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 004 Th.I, 05 Rajab 1420 H, 15 Oktober 1999

Instanisme

 

Instanisme[1] 

(Hal-04) Mungkin Anda juga tahu, di Swedia, belum lama ini, ada perusahaan yang mengeluarkan produk menarik: sebuah rumah bongkar yang unik. Agar mudah membayangkannya, kira-kira seperti lemari bongkar pasang. Tapi ini rumah, yang kuat dan kokoh. Hanya perlu enam hari untuk memasang bagian-bagian rumah tersebut hingga siap huni. Diperkirakan, produk ini akan mempengaruhi dunia properti di sana, mengingat jumlah pesanan terus meningkat. Rumah yang dibuat berlantai dua itu sungguh indah. Interior maupun eksteriornya sangat cantik. Alangkah cepatnya manusia meluncur menuju atmosfir “ínstanisasi” yang luar biasa.



Masalahnya, kini instanisasi tak hanya merasuki dunia teknologi dan perangkat hidup semata. Ia telah merambahi budaya dan sikap hidup. maka, lahirlah manusia-manusia pragmatis. Yang memilih jalan hidup cepat dan pintas, secepat merebus mie instan, atau menyeduh jahe instan. Seperti slogan gila sebuah iklan radio FM di Jakarta, “Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.”

Di Negara-negara miskin, gaya instan jadi pilihan cara mendulang pertumbuhan ekonomi. Modal? Utang luar negeri. SDM? Sama saja. Cara ini telah menjadikan Indonesia bangsa yang menurut Zaim Uchrowi sangat kapitalis, lebih kapitalis dari Amerika sekalipun. Di Negara kapitalisme tidak saja “guru yang baik” bagi materialism, tapi juga bagi konsumerisme yang stadiumnya kian akut. Orang membeli bukan lagi karena perlu atau sekadar suka, tapi orang membeli karena kalau tidak membeli merasa terbelakang.

Implikasinya bagi manusia Indonesia? Mungkin jawabannya adalah apa yang diumumkan UNDP (United Nation Development Programme), sebuah lembaga otonom PBB dalam bidang pembangunan manusia. Dalam laporan 1999-nya, Indonesia tercatat berada pada urutan 105 dalam soal pembangunan manusia, diantara 174 negara di dunia. Jauh dibawah Singapura yang berada di urutan 22 dan Brunei di urutan 25.

Semua ini berbanding lurus dengan besarnya jumlah ‘rakyat instan’ di Indonesia. Mereka, adalah 70 juta orang lebih yang hidup di bawah garis kemiskinan sebuah tragedi lost generation tengah mengancam Indonesia.

Rakyat instan selalu menjadi santapan lezat otoritarianisme para penguasa. Dengan euphoria yang dibangun: rakyat adalah kekuatan sejati, kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei. Rakyat-rakyat instan itulah yang kini sedang ‘bahagia’. Sebab mereka kini menjadi landasan utama bagi banyak keputusan politik yang besar. Semua orang bicara untuk dan atas nama rakyat, meski dalam suatu babakan drama politik yang ke atas tak berpucuk ke bawah tak berakar.

Memang, ketika komunitas masih terikat dalam city state (Negara kota), mereka bisa secara aklamasi bisa dengan mudah menentukan terlepas baik atau buruk apa yang mereka kehendaki bersama. Namun ketika manusia menjadi sebuah bangsa yang besar, dengan ratusan juta penduduknya, banyak berbagai-bagai lapis jarring membungkus kekuasaan.

Saya mencoba merindukan sebuah masyarakat yang semua system transformasinya sangat instan, namun segala subtansinya mengejar kompetisi dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Meski saya menyadari, dalam konstruksi da’wah tak banyak ruang untuk instanisme. Namun fenomena teknologi dan budaya hanyalah bagian kecil dari taqdir qauni Allah, yang bila dikawinkan dengan taqdir qauli-Nya, kerinduan itu bisa diharapkan. Semoga.*

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 003 Th.I,19  Jumadil Awal 1420 H, 31 Agustus 1999 M