Pada Suatu
Masa[1]
(Hal-04)Kita harus
tetap optimis. Seburuk apapun kondisi bangsa ini. Bahwa perubahan itu harus
dilakukan, dan sesudah itu Allah akan menjalankan pula janji pengubahannya.
Di panggung politik jalan perubahan itu ada.
Tidak semua yang melenggag di ranah itu bisa sukses. Yang gagal banyak. Yang
hancur banyak. Yang tergelincir lalu memilih jalan hina juga banyak.
Secara teori politik adalah jalan terdekat
menuju kekuasaan. Sementara kekuasaan adalah
terdekat untuk melakukan perubahan yang mengikat, massif dan ada
anggarannya. Tapi faktanya politik juga jalan terdekat menuju kehancuran.
Sebagaimana kekuasaan juga jalan terdekat menuju penghancuran. Maka, tak ada
yang mengerikan, dari penghancuran yang dilakukan oleh orang-orang hancur dan
berlindung di balik peraturan.
Pernah pada suatu masa, negeri ini dipimpin
dengan bedil. Orang-orang yang tidak disukai mati dengan cara yang penuh
misteri. Hak dan kebebasan dibatasi. Keberagaman disederhanakan dalam symbol
yang memaksa. Terlalu banyak kaki tangan yang mencengkeram hak-hak sipil. Beras
mungkin ada, minyak barangkali ada. Tapi taka a tempat untuk pikiran terbuka.
Pernah pada suatu waktu, negeri ini diurus
dengan sangat keliru. Perusahaan bluechip
milik Negara di jual murah. Seperti indosat yang menyedihkan. Setelah saham
mayoritasnya dijual ke Singapura dengan harga 5 trilyun lebih sedikit, kini
perusahaan itu di jual ke Qatar oleh Singapura dengan harga 16 Trilyun lebih.
Dahulu para ahli sudah memberi saran. Bahwa privatisasi itu bisa dilakukan
tidak harus selalu dijual ke pada asing. BUMN yang sifatnya strategis cukup
dilakukan korporatisasi dengan kepemilikan di tangan pemerintah tapi
pengelolaannya swasta.
Pernah suatu ketika, negeri ini dikelola
dengan terlalu banyak aib. Sebab institusi pentingnya dihancurkan sendiri oleh
orang-orang yang ada di dalamnya. Kejaksaan Agung, Bank Sentral, Menteri, juga
Dewan perwakilan rakyatnya. Di selingi bencana-bencana yang sangat langka.
Tsunami yang membunuh ratusan ribu orang. Menyengsarakan ribuan lainnya. Gempa
yang menyentak kesadaran dalam beberapa detik. Lalu lumpur abadi yang memupus
segala harapan.
Kita harus tetap optimis. Separah apapun
masalah di negeri ini. Tapi jujur saja kadang kita tidak benar-benar bisa
menemukan energy optimism itu pada wajah-wajah politik di iklan-iklan. Siapapun
memang boleh berjanji. Dengan artikulasi, script dan tentu saja lakon serta
adegan. Tapi kita memerlukan lebih dari sekadar janji. Kita memerlukan
integritas, komitmen dan kapasitas. Integritas adalah modal dasar. Komitmen
adalah pengikatnya. Kapasitas adalah alat untuk melaksanakannya. Agar kelak
sejarah menulis, bahwa pernah ada suatu masa, negeri ini mampu bangkit dan
sukses melawan keterpurukan.*