Selasa, 01 September 2020

Kabar Untuk Rakyat

 Kabar Untuk Rakyat[1] 

(Hal-04) Tak mudah rupanya hidup ini. Meski hanya menjadi rakyat. Justru di situ biang kesulitannya. Karena tak bisa memerintah, tetapi selalu disuruh-suruh. Sebab rakyat tak bisa membuat keputusan, tapi senantiasa dibuatkan “kebijakan”. Di negeri ini bahkan  rakyat sulit menentukan masa depannya sendiri. Lantaran mereka harus ikut dalam pusaran goncangan massal. Ekonomi yang goncang, iklim politik yang goncang, padahal mereka merasa tak pernah ikut membuat rentetan kegoncangan itu.



Mungkin ungkapan ini terlalu ekstrim. Tak mengapa. Itu masih lebih terhormat ketimbang kelakuan seorang budayawan, yang hanya meributkan “pilihan kata” para politikus yang menurutnya tidak sesuai dengan idiom politik. Dalam sebuah acara ‘Debat Polemik’ yang disponsori salah satu TV swasta beberapa pekan yang lalu, sang budayawan berkali-kali mengkritisi  habis lawan diskusinya juga lawan politiknya. Tapi, saying sekali, yang dilakukan hanya menggaris bawah mana pilihan kata yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan mana yang anti demokrasi. Padahal kezaliman demi kezaliman menghiasi keseharian negeri ini. Padahal kalau ia berdiskusi soal kezaliman pun yang dilakukan hanya mengumbar kata-kata, bukan mencabut kezaliman itu sendiri. Menggenaskan, memang.

Menjadi rakyat memang tidak mudah. Untuk mengais hak dan mengejar keadilan saja harus terlunta-lunta tanpa kepastian. Seringkali sudah jatuh masih tertimpa tangga. Sudah sulit hidup, masih harus pusing melihat ulah penguasa yang susah dicerna. Apalagi semuanya berbentuk berita yang hanya bisa didengar atau dibaca: “kabarnya Soeharto sakit dan karenanya tidak bisa diadili. Kabarnya rencana kenaikan BBM karena subsidi selama ini dinikmati segelintir orang. Kabarnya penyeludupan ribuan liter minyak dan solar ke luar negeri dibekengi oknum aparat. Kabarnya kenaikan tarif angkutan karena biaya operasional tak tertutupi lagi. Kabarnya pencopotan du mentri oleh Gus Dur karena keduanya terlibat KKN. Kabar lain mengatakan pencopotan itu adalah kalkulasi politik Gus Dur, menyingkirkan siapa yang bisa mengancam posisinya. Kabar lain mengatakan, itu dilakukan untuk strategi jangka panjang, mengumpulkan dana bagi partainya menyongsong pemilu yang akan datang. Kabarnya salah satu pengganti  menteri itu orang dekat Gus Dur. Kabarnya orang tersebut suka mencampuri  hal-hal di luar kewenangan. Kabarnya beberapa menteri lain juga menyusul akan diganti. Kabarnya perjudian di Jakarta susah diberantas karena para pemiliknya setiap bulan menyetor upeti ke oknum-oknum Pemda DKI sebesar satu milyar.” Mungkin kabar-kabar itu ada yang tidak betul. Tapi tak mustahil bila banyak yang benar.

Sulit rupanya menjadi rakyat. Tapi bukan suara perlawanan rakyat, dalam tafsiran kaum “kiri baru” yang suka mengeksploitasi kata ‘rakyat’ (juga orangnya). Ini hanya nurani yang tak pernah tenang. Karena kezaliman berlawanan dengan fitrah nurani. Karena nurani selalu bisa bicara sendiri tanpa perlu juru bicara.

Tak mudah agaknya menjadi rakyat. Tapi bersyukurlah menjadi rakyat. Apalagi bila anda tak mampu menjadi penguasa. Karena menjadi penguasa pun tak lebih enak dari rakyat. Setidaknya kelak mereka akan dihisab lebih lama ketimbang rakyat, yang wilayah kekuasaannya paling atas anak-anak dan istrinya. Tetapi lebih bersyukurlah bila kita menjadi orang-orang shalih, saat jadi rakyat atau penguasa. Saat jadi pejabat atau orang biasa. Saat kaya atau tak punya. Saat sendiri atau bersama-sama. Saat kita mampu berenang di samudera kepasrahan yang indah: “sesungguhnya, shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb sekalian alam.”*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 009 Th.1, 27 Shafar 1421, 31 Mei 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar