Kabar Untuk
Rakyat[1]
(Hal-04) Tak mudah
rupanya hidup ini. Meski hanya menjadi rakyat. Justru di situ biang
kesulitannya. Karena tak bisa memerintah, tetapi selalu disuruh-suruh. Sebab
rakyat tak bisa membuat keputusan, tapi senantiasa dibuatkan “kebijakan”. Di
negeri ini bahkan rakyat sulit
menentukan masa depannya sendiri. Lantaran mereka harus ikut dalam pusaran
goncangan massal. Ekonomi yang goncang, iklim politik yang goncang, padahal
mereka merasa tak pernah ikut membuat rentetan kegoncangan itu.
Mungkin ungkapan ini terlalu ekstrim. Tak
mengapa. Itu masih lebih terhormat ketimbang kelakuan seorang budayawan, yang
hanya meributkan “pilihan kata” para politikus yang menurutnya tidak sesuai
dengan idiom politik. Dalam sebuah acara ‘Debat Polemik’ yang disponsori salah
satu TV swasta beberapa pekan yang lalu, sang budayawan berkali-kali
mengkritisi habis lawan diskusinya juga
lawan politiknya. Tapi, saying sekali, yang dilakukan hanya menggaris bawah
mana pilihan kata yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan mana yang anti
demokrasi. Padahal kezaliman demi kezaliman menghiasi keseharian negeri ini.
Padahal kalau ia berdiskusi soal kezaliman pun yang dilakukan hanya mengumbar
kata-kata, bukan mencabut kezaliman itu sendiri. Menggenaskan, memang.
Menjadi rakyat memang tidak mudah. Untuk
mengais hak dan mengejar keadilan saja harus terlunta-lunta tanpa kepastian. Seringkali
sudah jatuh masih tertimpa tangga. Sudah sulit hidup, masih harus pusing
melihat ulah penguasa yang susah dicerna. Apalagi semuanya berbentuk berita
yang hanya bisa didengar atau dibaca: “kabarnya Soeharto sakit dan karenanya
tidak bisa diadili. Kabarnya rencana kenaikan BBM karena subsidi selama ini
dinikmati segelintir orang. Kabarnya penyeludupan ribuan liter minyak dan solar
ke luar negeri dibekengi oknum aparat. Kabarnya kenaikan tarif angkutan karena
biaya operasional tak tertutupi lagi. Kabarnya pencopotan du mentri oleh Gus
Dur karena keduanya terlibat KKN. Kabar lain mengatakan pencopotan itu adalah
kalkulasi politik Gus Dur, menyingkirkan siapa yang bisa mengancam posisinya.
Kabar lain mengatakan, itu dilakukan untuk strategi jangka panjang,
mengumpulkan dana bagi partainya menyongsong pemilu yang akan datang. Kabarnya
salah satu pengganti menteri itu orang
dekat Gus Dur. Kabarnya orang tersebut suka mencampuri hal-hal di luar kewenangan. Kabarnya beberapa
menteri lain juga menyusul akan diganti. Kabarnya perjudian di Jakarta susah
diberantas karena para pemiliknya setiap bulan menyetor upeti ke oknum-oknum
Pemda DKI sebesar satu milyar.” Mungkin kabar-kabar itu ada yang tidak betul.
Tapi tak mustahil bila banyak yang benar.
Sulit rupanya menjadi rakyat. Tapi bukan
suara perlawanan rakyat, dalam tafsiran kaum “kiri baru” yang suka mengeksploitasi kata ‘rakyat’ (juga
orangnya). Ini hanya nurani yang tak pernah tenang. Karena kezaliman berlawanan
dengan fitrah nurani. Karena nurani selalu bisa bicara sendiri tanpa perlu juru
bicara.
Tak mudah agaknya menjadi rakyat. Tapi
bersyukurlah menjadi rakyat. Apalagi bila anda tak mampu menjadi penguasa.
Karena menjadi penguasa pun tak lebih enak dari rakyat. Setidaknya kelak mereka
akan dihisab lebih lama ketimbang rakyat, yang wilayah kekuasaannya paling atas
anak-anak dan istrinya. Tetapi lebih bersyukurlah bila kita menjadi orang-orang
shalih, saat jadi rakyat atau penguasa. Saat jadi pejabat atau orang biasa.
Saat kaya atau tak punya. Saat sendiri atau bersama-sama. Saat kita mampu
berenang di samudera kepasrahan yang indah: “sesungguhnya,
shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb sekalian alam.”*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar