Untuk Kita
Renungkan[1]
(Hal-04) Selalu saja
ada gelisah. Di setiap hati yang belum mati. Juga hati yang masih peduli pada
nasib negeri ini. Betapa tidak, kekacauan susul menyusul. Bencana demi bencana
beriring berkelindan. Badai dari krisis ekonomi dan politik hingga gempa bumi.
Rumah megah yang bernama Indonesia itu kini sudah tak lagi nyaman. Meski sejak
dulu pun tak pernah benar-benar nyaman.
Selalu saja ada gundah. Mengombak-ombak, lalu
menjadi gelombang nestapa yang menggunung-gunung. Betapa tidak, saat jutaan
orang merintih menahan beban hidup, dengan enaknya seorang pensiunan TNI
mengedarkan uang palsu. Di Jakarta Utara, ia ditangkap beserta tiga kawannya,
beserta pecahan uang palsu 50.000 senilai 23 juta. Sementara dari Jawa Timur
dikabarkan, Kabiro Umum Pemda Jatim di duga menilap uang Rp. 500 juta, dengan
modus pembuatan kwitansi palsu. Sedangkan Clara Sitompul, Ketua Umum Partai
Krisna resmi dinyatakan tersangka kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum. Ia telah
membagi-bagi uang sebesar 5.283.838.683 rupiah, terkait dengan dana pengadaan
bendera. Konflik di kalangan pejabat semakin menajam. Syahril Sabirin yang kini
jadi tersangka kasus Bank Bali, berencana menggugat Presiden sebesar 35 miliar
rupiah pun kembali terpuruk.
Sementara itu, dana Bulog 35 miliar yang raib
belum lagi bisa diusut, sudah muncul bencana baru: kasus Bulog edisi dua.
Bahkan, menurut salah seorang anggota DPR, di duga angkanya mencapai 2,7
triliun. Dari maskapai penerbangan pemerintah, Garuda Indonesia Airways,
dilaporkan bahwa Negara dirugikan 8,5 triliun akibat KKN yang selama ini
terjadi di BUMN itu.
Selalu saja ada duka yang menganga. Meleleh,
lalu menyumbat saluran-saluran rasa kemanusiaan. Betapa tidak, begitu banyak
uang rakyat yang selalu disebut uang Negara dihisap segelitir orang. Pencurian
kayu di Kalimatan Timur, misalnya, menurut Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Ir.
Robian, telah merugikan Negara sampai 1 triliun. Ia mengeluh, untuk mengamankan
hutan di Kaltim seluas 265.000 hektar sebenarnya diperlukan 500-700 jagawana.
Tapi yang ada kini hanya 80 orang. Itupun dengan sarana dan prasarana sangat
terbatas. Sementara dana reboisasi hutan pun banyak disikat tikus kerah putih.
Tak kurang dari Rp. 4 triliun dana reboisasi telah diselewengkan. Bahkan,
sebagian dari dana itu digunakan untuk belanja istri para pejabat.
Selalu ada resah. Meledak-ledak menjadi bara.
Di lubuk sanubari yang belum membatu. Betapa tidak, angka-angka fantastis itu
tak pernah terbayangkan oleh para nelayan di Puger, Jember. Hari-hari ini
mereka harus berjibaku menyambung nyawa. Musim paceklik yang ganas telah
memaksa mereka menggadaikan barang apa saja. Dari perkakas dapur hingga dipan
tempat tidur. Dari lampu hingga sarung sekalipun. Jangankan untuk bermimpi memiliki uang sebesar itu.
Untuk membayangkan deretan angka nol di belakangnya saja sudah sulit. Angka 50
juta, 23 juta, 500 juta, 35 miliar, 280 miliar, 180 triliun …. Mungkin saja tak
pernah ada pada lembar-lembar khayal mereka.
Selalu saja ada luka. Menghampar menjadi
padang kepedihan. Luas, nyaris tak berbatas. Mungkin kita harus sering-sering
untuk meniru do’a Umar bin Khatab, “Ya,
Allah, akau berlindung kepada-Mu dari orang shalih yang lemah, dan dari orang
fasik yang perkasa.”
Asal jangan sampai, orang shalih yang lemah
itu adalah kita. Dan, orang fasik yang perkasa itu juga kita.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar