Selasa, 01 September 2020

Untuk Kita Renungkan

Untuk Kita Renungkan[1] 

(Hal-04) Selalu saja ada gelisah. Di setiap hati yang belum mati. Juga hati yang masih peduli pada nasib negeri ini. Betapa tidak, kekacauan susul menyusul. Bencana demi bencana beriring berkelindan. Badai dari krisis ekonomi dan politik hingga gempa bumi. Rumah megah yang bernama Indonesia itu kini sudah tak lagi nyaman. Meski sejak dulu pun tak pernah benar-benar nyaman.



Selalu saja ada gundah. Mengombak-ombak, lalu menjadi gelombang nestapa yang menggunung-gunung. Betapa tidak, saat jutaan orang merintih menahan beban hidup, dengan enaknya seorang pensiunan TNI mengedarkan uang palsu. Di Jakarta Utara, ia ditangkap beserta tiga kawannya, beserta pecahan uang palsu 50.000 senilai 23 juta. Sementara dari Jawa Timur dikabarkan, Kabiro Umum Pemda Jatim di duga menilap uang Rp. 500 juta, dengan modus pembuatan kwitansi palsu. Sedangkan Clara Sitompul, Ketua Umum Partai Krisna resmi dinyatakan tersangka kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum. Ia telah membagi-bagi uang sebesar 5.283.838.683 rupiah, terkait dengan dana pengadaan bendera. Konflik di kalangan pejabat semakin menajam. Syahril Sabirin yang kini jadi tersangka kasus Bank Bali, berencana menggugat Presiden sebesar 35 miliar rupiah pun kembali terpuruk.

Sementara itu, dana Bulog 35 miliar yang raib belum lagi bisa diusut, sudah muncul bencana baru: kasus Bulog edisi dua. Bahkan, menurut salah seorang anggota DPR, di duga angkanya mencapai 2,7 triliun. Dari maskapai penerbangan pemerintah, Garuda Indonesia Airways, dilaporkan bahwa Negara dirugikan 8,5 triliun akibat KKN yang selama ini terjadi di BUMN itu.

Selalu saja ada duka yang menganga. Meleleh, lalu menyumbat saluran-saluran rasa kemanusiaan. Betapa tidak, begitu banyak uang rakyat yang selalu disebut uang Negara dihisap segelitir orang. Pencurian kayu di Kalimatan Timur, misalnya, menurut Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Ir. Robian, telah merugikan Negara sampai 1 triliun. Ia mengeluh, untuk mengamankan hutan di Kaltim seluas 265.000 hektar sebenarnya diperlukan 500-700 jagawana. Tapi yang ada kini hanya 80 orang. Itupun dengan sarana dan prasarana sangat terbatas. Sementara dana reboisasi hutan pun banyak disikat tikus kerah putih. Tak kurang dari Rp. 4 triliun dana reboisasi telah diselewengkan. Bahkan, sebagian dari dana itu digunakan untuk belanja istri para pejabat.

Selalu ada resah. Meledak-ledak menjadi bara. Di lubuk sanubari yang belum membatu. Betapa tidak, angka-angka fantastis itu tak pernah terbayangkan oleh para nelayan di Puger, Jember. Hari-hari ini mereka harus berjibaku menyambung nyawa. Musim paceklik yang ganas telah memaksa mereka menggadaikan barang apa saja. Dari perkakas dapur hingga dipan tempat tidur. Dari lampu hingga sarung sekalipun. Jangankan  untuk bermimpi memiliki uang sebesar itu. Untuk membayangkan deretan angka nol di belakangnya saja sudah sulit. Angka 50 juta, 23 juta, 500 juta, 35 miliar, 280 miliar, 180 triliun …. Mungkin saja tak pernah ada pada lembar-lembar khayal mereka.

Selalu saja ada luka. Menghampar menjadi padang kepedihan. Luas, nyaris tak berbatas. Mungkin kita harus sering-sering untuk meniru do’a Umar bin Khatab, “Ya, Allah, akau berlindung kepada-Mu dari orang shalih yang lemah, dan dari orang fasik yang perkasa.”

Asal jangan sampai, orang shalih yang lemah itu adalah kita. Dan, orang fasik yang perkasa itu juga kita.*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 010 Th.1, 13 Rabiul Awal 1421, 15 Juli 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar