Tampilkan postingan dengan label Wijhat (perspektif). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wijhat (perspektif). Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 April 2024

Merekayasa Sejarah

 

Merekayasa Sejarah

Oleh Mahfudz Siddiq

 

EraRuhiyah. (Hal-42) Dalam sejarah dakwah menuju pembentukan institusi masyarakat dan negara yang Islami, pemahaman atas konsep pemikiran dan transformasi operasional selalu berjalan bertahap dan seimbang. Ini di dasari oleh gap antara idealita dan realita yang tidak bisa diuah secara sim-salabim . Alam semesta terus bergerak mengalami perubahan dan perkembangan, dengan tetap berlandaskan prinsip bertahap dan seimang ini.

Merekayasa Sejarah


Indonesia untuk menyebut suatu Kawasan geografis dan demografis yang terbentang dari Sabang sampai Merauke mengalami perjalanan dan perkembangan panjang dan rumit untuk menjadi sebuah negara bangsa (Nation state). Secara Antropologis, bergerak dari masyarakat primitive menuju masyarakat berperadaban (civilized). Secara sosiologis, ia bergerak dari masyarakat suku menuju masyarakat kolektif. Secara religi, ia juga bergerak dari masyarakat animis-paganis menuju masyarakat Muslim terbesar di dunia.

Fakta subtantifnya, proses pembentukan Indonesia sebagai suatu negara bangsa tetap diwarnai oleh pluralitas dan heterogenitas dalam berbagai aspek. Suku, Bahasa, Budaya, Agama, Aliran Politik hingga fragmentasi dalam entitas umat Islam itu sendiri. Pada titik tertentu perjalanan bangsa ini, dibangun konsensus politik nasional yang dikenal sebagai (ideologi) politik negara, konstitusi, wawasan nusantara dalam bingkai NKRI dan semangat kesatuan dalam keberagaman.

Minggu, 06 September 2020

Teknologi Plus

Teknologi Plus[1][2]

Edi Santoso[3]

(Hal-50)Melihat perubahan yang menyertainya, memang beralasan jika muncul anggapan bahwa teknologi mendeterminasi kehidupan manusia. Lihat saja fase-fase peradaban manusia, mulai dari era agraris, industri hingga era informasi. Semuanya dipicu, atau setidaknya ditandai, oleh kemunculan teknologi tertentu.



Kemunculan mesin uap misalnya, telah mendorong tren produks imassal, yang kemudian menandai era industri. Barang-barang produk manufaktur melimpah, dengan harga yang murah. Kekuatan ekonomi bertumpu pada buruh, dengan kualitas utama berupa fisik dan stamina pribadi. Ketika internet muncul, peta ekonomipun berubah. Informasi dan pengetahuan menyebar luas, dengan figur sentral para pekerja intelektual.

Sekarang kita bayangkan, teknologi hampir memungkinkan segalanya: kemudahan, kecepatan, efisiensi. Lalu, dimana letak keunggulan seseorang tau sebuah komunitas, ketika akses teknologi telah menjadi milik bersama? Misalnya otomatisasi yang disediakan berbagai software, tiba-tiba menjadikan orang bisa melakukan banyak hal. Kita mungkin tak perlu menjadi akuntan profesional untuk sekadar menganalisis cashflow perusahaan kita. Banyak software yang siap melayani. Bahkan untuk mendiagnosa penyakit, beberapa alat bisa menggantikan kemampuan dokter.

Teknologi mencerminkan kapasitas para pencipta dan penggunanya. Betapa proses yang rumit dan panjang telah mengawali kemunculan teknologi. Tetapi begitu diterapkan, apa yang menjadi pembeda antara pengguna teknologi dengan yang lainnya? Dalam konteks produktivitas misalnya, apa yang layak kita unggulkan melalui teknologi yang kita pakai, sementara kompetitor (hal 51) kita juga menggunakan perangkat yang sama. Kita saat ini berada dalam puncak keunggulan teknologi. Maka, kata Daniel H. Pink- pemikir bisnis, mereka yang unggul adalah mereka yang bisa ‘mengalahkan’ teknologi, maka itu harus menjadi sisi plus-nya.

Pink lebih lanjut mengatakan, kemampuan teknik tinggi yang kita miliki membutuhkan tambahan kemampuan konsep tinggi dan menyentuh hati. Konsep tinggi (high concept) menyangkut kemampuan menciptakan keindahan yang artistik dan emosional,mengenali pola dan kesempatan, memaparkan narasi yang memuaskan, dan menggabungkan ide-ide yang seakan-akan tidak berkaitan menjadi penemuan baru. Menyentuh hati (high touch) menyangkut kemampuan berempati, memahami kepekaan interaksi manusia, menemukan kebahagian dalam diri sendiri, menyebarkannya kepada sesama, dan kemampuan mengejar makna dan tujuan.

Jika teknologi adalah merupakan produk otak kiri, maka keunggulannya terletak pada otak kanan penggunanya. Seperti diceritakan pink, sekarang ini kurikulum medis di Amerika sedang mengalami perubahan besar dalam sejarahnya. Para mahasiswa kedokteran Colombia University dan perguruan tinggi lainnya, sedang mempelajari ‘pengobatan cerita’ karena riset memperlihatkan bahwa meskipun kekuatan diagnosa ada pada komputer, bagian penting diagnosa terdapat dalam cerita si pasien. Di Yale University, para mahasiswa kedokteran pun mempertajam kemampuan observasi pada Pusat Karya Seni Inggris – Yale, karena mereka yang mempelajari lukisan terampil mengatasi detail halus kondisi pasien.

Bahkan dalam industri ‘kasar’ semacam otomotifpun, sentuhan seni merupakan hal yang vital. Bob Lutz- eksekutif pada General Motor, ketika ditanya tentang pendekatannya, mengatakan,”lebih dengan otak kanan, saya memandang kami sedang melakukan bisnis seni. Seni, hiburan dan patung mobil, yang kebetulan menghasilkan alat transportasi.”

Di era kemelimpahan seperti saat ini, persaingan kian sengit didukung oleh globalisasi yang makin nyata. Ketika teknologi telah menjadi milik bersama, keunggulannya terletak pada kemampuan kita untuk menggunakannya bersama-sama dengan segenap potensi otak kanan: emosi, intuisi dan kreasi. Inilah teknologi plus. ***

 

 



[1]Majalah Tarbawi, Edisi 313 Th,15, Rabiul Akhir 1435, 6 Februari 2014

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Teknologi yang Menginisiasi

Teknologi yang Menginisiasi[1][2]

Edi Santoso[3]


(Hal-48)Dunia  teknologi penuh dengan paradoks. Misalnya, manusia berharap, kehadiran teknologi memudahkan kehidupan. Tetapi begitu muncul teknologi, kekhawatiran pun datang. Maka muncul perdebatan panjang antara paradigma ‘people centered’ dan ‘object centered’ dalam teknologi. Antara teknologi yang berfokus pada orang dan teknologi yang lebih mementingkan barang atau produk teknologi itu sendiri.



Howard Rosenbrock, seorang insunyur yang juga filsuf, termasuk yang khawatir kehadiran teknologi membawa efek pada melemahnya penghargaan atas nilai kemanusiaan. Misalnya, selama tahun 1970 an, ketika menulis tentang Computer Aided Design (CAD), Rosenvrock memberikan penghatian pada penggunaan komputer untuk otomatisasi desain, yang menurutnya, “seperti mempresentasikan kenyataan hilangnya keyakinan atas kemampuan manusia.” Karena, desainer mereduksi dirinya dengan pilihan tetap atas pilihan-pilihan yang sudah ditentukan.

Ketika menulis tentang produksi pabrik, Rosenbrock juga menyatakan kemampuan orang yang bekerja di pabrik-pabrik dihargai lebih rendah dari robot. Kesalahan sering ditumpahkan pada orang (human error), dan bukan pada desain mesin. Tokoh yang terkenal dengan teori kontrol inipun menawarkan sebuah paradigma alternatif, yakni ‘teknologi yang menginisiasi’. Misalnya, dalam hal desain, dia mengusulkan sistem display grafis interaktif yang memungkinkan desainer tetap menjaga inisiatif personalnya, juga mengembangkan keterampilannya.

Sebuah contoh klasik tentang teknologi yang menginisiasi kemampuan personal adalah alat pintal (spinning jenny). Alat temuan Hargreave ini dioperasionalkan secara manual, dan dipakai oleh masyarakat pada tahun 1760 an di rumah-rumah. Dengan alat ini, para penenun bisa memintal beberapa benang sekaligus. Sebuah lompatan yang sangat luarbiasa, dibanding dengan penggunaan alat sebelumnya (spinning wheel) yang hanya bisa memintal benang satu demi satu. Menariknya, mesin tersebut tetap mensyaratkan keahlian dan konsentrasi untuk menghasilkan tingkat produksi yang tinggi.

Hal berbeda terjadi pada temuan mesin pintal yang dipakai di pabrik-pabrik, bukan (Hal-49) di rumah. Mesin ini menggunakan prinsip ‘bekerja dengan sendirinya’ (self acting), sehingga tidak memerlukan tenaga terampil. Beberapa mesin bahkan bisa dioperasikan oleh anak-anak sekalipun. Otomatisasi memang menaikkan tingkat produksi di satu sisi, tetapi mereduksi kreativitas personal orang di sisi lain. Pabrik lebih membutuhkan tenaga-tenaga kasar untuk operator mesin, bukan tenaga ahli dan kreatif dalam urusan pemintalan benang.

Para pendukung model otomatisasi tak kurang-kurang, termasuk para filsuf di masa itu. Andrew Ure misalnya, pada tahun 1835, menerbitkan buku ‘Philosophy of Manufactures’ . buku ini mengkampanyekakan bahwa industri produktif harus didukung oleh mesin-mesin otomatis, dan manufaktur yang paling sempurna terjadi ketika tenaga-tenaga manual terganatikan oleh mesin. Karena pendapatnya ini, Ure sering dijuluki sebagai juru bicara para pemilik pabrik.

Otomatisasi, faktanya, kemudian menjadi ideologi para pemilik modal di era revolusi industri yang berlomba kuantitas produk (massifikasi). Sebuah kondisi yang kemudian juga diratapi oleh pemikir sosial, antara lain, ‘The Frankfurt School’. Menurut mereka produksi massal membuat segalanya standar. Inilah era budaya massa, yang sering disebut sebagai Fordism.Fordism adalah istilah yang munculkan untuk menggambarkan kesuksesan Henry Ford dalam industri mobil, khususnya dalam penerapan metode produksi massal. Teknik produksi massalnya menjadikan mobil-mobil bisa  dibuat dengan murah, namun miskin model.

Otomatisasi, sekian tahun kemudian, di saat kita berada sekarang, memang mencatatkan berbagai capaian yang mencengangkan. Tetapi, satu yang tak bias kita tampik, kini sentuhan personal makin mahal harganya. Tenaga-tenaga untuk mengoperasikan system otomatisasi semakin banyak dan murah, seiring dengan semakin banyakny alulusan berbagai lembaga pendidikan teknis. Maka Daniel Pink meramalkan, tenaga kerja berbasis keterampilan teknis seperti insinyur, akuntan, dokter, akan semakin tidak popular dengan adanya otomatisasi.

Pada akhirnya, sentuhan kemanusiaanmemang yang paling berharga.Mesin-mesin industry bolehlah unggul dalam kecepatan dan ketepatan, tetapi tanpa ruang inisiasi atas tangan-tangan kreatif, produksi besar hanya akan bermuara pada kejenuhan. ***

 

 



[1]MajalahTarbawi, Edisi 299 Th.15, Sya’ban 1434, 27 Juni 2013

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Arogansi Teknologi

Arogansi Teknologi[1][2]

Edi Santoso[3]

 

(Hal-48) Tak diragukan lagi, capaian dan kontribusi teknologi bagi kehidupan manusia sangatlah dominan. Bagi sebagian orang, teknologi bahkan dianggap segalanya, sampai-sampai dalam beberapa hal mengambil peran Tuhan. Para Ilmuwan telah lama mendiskusikan bagaimana menciptakan kehidupan dengan dukungan teknologi.



Gagasan hidup abadi (immortal) pun tak pernah mati, terlebih temuan-temuan teknologi terkini seolah mengantar ke sana. David Dietle misalnya, menulis ‘5 Ways Science Could Make Us Immortal’. Dia mencatat beberapa perkembangan sains yang akan membawa manusia pada keabadian, seperti terapi gen untuk mencegah penuaan, tranformasi pemikiran (Mind Uploading), perbaikan sel dengan nanoteknologi, teknologi cloning, dan pemanfaatan teknologi sibernatik yang abadi.

Impian liar manusia memang tidak ada batasnya. Para ilmuwan meyakini tak ada yang tak mungkin. Tapi mungkinkah manusia menciptakan dirinya sendiri, atau mengendalikan kehidupan sepenuhnya? Bagi orang beriman, jawabannya jelas, tak ada perdebatan. Dan secara sains, juga tak perlu didebat, karena semua masih bersifat hipotetis, hanya bicara kemungkinan. Hanya saja, di luar harapan berlebih pada teknologi itu, ada baiknya kita renungkan sisi lain, betapa banyak hal yang belum bisa diselesaikan oleh teknologi.

Guy Berger menyebutnya sebagai Arogansi Teknologi (Techno-Arogant), semacam over estimasi atas apa yang teknologi bisa berikan pada kehidupan manusia. Capaian teknologi, faktanya, memang tidak selalu cemerlang. Arnold Pacey memberikan contoh dalam dunia kedokteran, betapa banyak yang masih menjadi PR bagi para peneliti bidang kesehatan. Di luar kesuksesan berbagai temuan untuk pengendalian panyakit atau pengobatan, misalnya dengan ditemukan antibiotik dan imunisasi untuk berbagai penyakit pada anak-anak, banyak penyakit yang belum menemukan penanganan yang tepat. Penanganan Kanker, AIDS, dan transplantasi organ (Hal-49) misalnya, belum bisa disebut sukses. Pacey menyebutnya sebagai contoh ‘teknologi setengah jalan’ (Halfway Technology).

Gary Mefe menyebut contoh lain, yakni kegagalan teknologi dalam konservasi alam. Penggunaan teknologi penetasan ikan salmon di Pantai Pasifik, Amerika Utara, ternyata menurunkan jumlah populasi ikan secara drastic. Termasuk dalam kegagalan teknologi adalah lemahnya prediksi atas dampak-dampak yang ditimbulkan.

Di satu sisi teknologi mencengangkan capaiannya, tetapi tanpa disadari, menyimpan masalah laten yang meresahkan. Misalnya isu produk transgenik. Baru-baru ini, perusahaan bioteknologi raksasa Amerika, Monsanto, yang memproduksi tanaman GMO (Transgenic Modified Organism) dipaksa oleh publik anti GMO untuk melakukan studi membuktikan efek buruk produk tersebut bagi kesehatan dan lingkungan. Monsanto pun mempercayakan studi tersebut pada peneliti Perancis, Dr Gilles Eric Seralini dari University of Caen. Hewan percobaan yang diberi tiga tipe jagung hasil modifikasi genetic dilaporkan mengalami gejala kerusakan organ liver dan ginjal.

Bukannya menyelesaikan masalah, teknologi justru seringkali menciptakan masalah baru. Maka, gagalnya sebuah system teknologi bisa mengakibatkan terjadinya malapetaka teknologi (technological disaster). Masalahnya berpangkal pada kesalahan system yang bersumber pada desain system yang tidak sesuai dengan kondisi di mana sistem itu bekerja. Hal ini terjadi karena perancangan sistem yang gagal mempertemukan system teknis dan system sosial. Inilah yang sering terjadi di Indonesia dan menjadi bencana yang mengakibatkan kerugian jiwa, seperti kecelakaan transportasi, kecelakaan industry, dan kecelakaan rumah tangga.

Bahkan dalam teknologi informasi yang sedang dalam masa-masa puncaknya, berbagai kegagalan selalu bisa kita catat. CNN misalnya, dalam setiap tahun selalu membuat rangkuman tentang teknologi-teknologi yang gagal. Tahun 2012, sebagai contoh, CNN menyebut Apple Maps sebagai kegagalan teknologi. Aplikasi pemetaan ini dinilai gagal, karena sering terjadi banyak kesalahan dalam memberikan arah lokasi yang diinginkan pengguna. Sehingga, banyak pengguna yang tersesat, seperti yang terjadi di Australia beberapa waktu lalu. Inilah yang menjadi alasan kenapa banyak wisatawan dan pendatang kemudian tidak menggunakan Apple Maps.

Teknologi pada akhirnya tak lebih dari ikhtiar manusia untuk memudahkan manusia. Maka segala impian hidup yang mudah dan nyaman, dengan dukungan teknologi, selalu abash saja. Namun, di luar segala harapan, kita harus sadar, bahwa selalu ada batas dari apa yang bisa kita upayakan. ***

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 286 Th.14, Muharram 1434, 29 November 2013

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Interpretasi Teknologi

Interpretasi Teknologi[1][2]

Edi Santoso[3] 

(Hal-44) Mengandaikan bahwa teknologi memiliki dunianya sendiri, sehingga tak bisa dikontrol, tentu saja merisaukan. Bagaimana bisa, manusia yang menciptakan alat yang kemudian tak bis dikuasainya dan bahkan alat itu menguasainya. Kondisi nyatanya tak seekstrim itu, tetapi bahwa ada dampak yang kadang tak kuasa kita bendung itu nyata.



Menurut Don Ihde, penulis buku ‘Technology and Lifeworld’, dampak teknologi sangat terkait dengan relasi antara teknologi dengan kebudayaan manusia. Ketika terjadi adopsi teknologi, maka ada interpretasi atas artefak teknologi. Inilah yang disebutnya sebagai proses hermeneutis, penafsiran teknologi itu menjadi sangat konstektual-kultural.

Ketika nilai praktis dapat dimengerti, proses transfer teknologi menjadi mudah. Pada beberapa suku pedalaman misalnya, dapat mengkonversi peralatan berburu (pisau/kapak) dari batu menjadi peralatan berbasis logam atau besi, karena nilai praktis yang dapat dimengerti. Lain cerita saat mereka pertama kali melihat senapan modern (bedil/pistol). Mereka tidak mengerti nilai praktis senapan, sehingga perlu adanya hermenutis sebelum senapan menjadi penting dan berguna.

Nilai praktis memberikan persepsi yang berbeda dalam melihat teknologi. Bagi beberapa nelayan di pedesaan dulu, kehadiran listrik dilihat sebagai sarana yang mungkin bisa membantu mereka dalam mencari ikan. Karena itu, mereka kemudian memanfaatkan listrik untuk ‘nyetrum’ ikan.

(Hal-45) Sementara bagi masyarakat pegunungan yang hidupnya komunal, impian utama listrik adalah sarana penerangan, sehingga mereka selalu terfasilitasi untuk kumpul-kumpul. Maka lahirlah inovasi-inovasi untuk memproduksi listrik, misalnya lewat mikrohidro, melalui sumber daya alam yang mereka miliki.

Karena faktor budaya pula, pemanfaatan mesiu berbeda-beda pada awalnya. Di Cina bubuk mesiu pertama kali digunakan untuk petasan, karena mereka membutuhkannya dalam perayaan-perayaan. Sementara di negara-negara Barat, mereka menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, karena lekat dengan budaya peperangan. Karena mungkin kita masih merasa berlimpah sumber energi berbasis fosil, pemanfaatan teknologi angin, panas matahari atau gelombang laut tidak berkembang. Sementara di negara-negara lain, kincir angin, solar sel, atau gelombang laut telah dimanfaatkan untuk banyak hal, mulai dari irigasi sampai pelistrikan.

Menurut Filsuf Habermas, teknologi telah menciptakan kesadaran teknis  yang pada akhirnya menjebak manusia sendiri. Sebuah jaring-jaring logika teknik yang kemudian menjadi determinan utama kesadaran manusia. Aksi –intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku dalam dunia teknologi. Akibatnya, pengejawantahan rasio menjadi bersifat teknis semata. Kita kemudian hanya berpikir tentang efisiensi dan fungsionalisasi.

Perspektif teknis mengarahkan manusia untuk melihat sains dan teknologi sebatas sarana untuk mengendalikan atau memanipulasi alam. Masyarakat modern pun tenggelam dan terkungkung oleh dimensi teknis dari pengetahuan. Sehingga, kata Habermas, tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial) dari teknologi menjadi terlupakan.

Seringkali tidak imbang laju perkembangan pemikiran dan kesadaran akan dampak teknologi. Wacana etik jauh tertinggal dari wacana teknis dari teknologi itu sendiri. Setelah jutaan orang menjadi korban persenjataan modern, orang baru berpikir tentang pengendalian senjata. Setelah jutaan hektar tanah rusak akibat zat-zat kimiawi, kita baru berpikir serius tentag ekses bahan sintetis.

Kesadaran instrumental memang harus diikuti kesadaran reflektif. Kita menggunakan alat pada awalnya untuk memudahkan hidup. ketika alat itu justru menciderai hidup, mungkin ada yang salah dalam interpretasi kita atas teknologi. Karena itulah, fungsi teknologi semestinya tidak hanya memudahkan kehidupan, tetapi juga harus memuliakan hidup.***



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 289 Th.14, Rabiul Awwal 1434, 24  Januari  2013

[2] Diketik Ulang Eddy SYahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Mengendalikan Teknologi

Mengendalikan Teknologi[1] [2]

Edi Santoso[3]

(Hal-48) Kehadiran teknologi sering bermata dua, membawa manfaat sekaligus menyimpan mudharat. Wacana tentang dampak teknologi tidak ada habisnya, sampai-sampai ada yang beranggapan teknologi telah mendeterminasi hidup manusia sedemikian rupa (technological determinism). Manusia kemudian terkesan tidak berdaya oleh ekses teknologi yang diciptakannya sendiri.



Pandangan ini mengandaikan, teknologi berkembang dengan logikanya sendiri sebagai produk sains. Ada penemuan-penemuan ilmiah, ada penciptaan alat, dan kemudian bertemu dengan kehidupan praktis manusia. Ada kemudahan-kemudahan hidup yang ditawarkan teknologi, tetapi orang juga selalu merasakan eksesnya. Kehadiran mesin-mesin produksi misalnya, menghadirkan efisiensi kerja yang luarbiasa, tetapi di sisi lain mengancam penyerapan tenaga kerja manusia.

Karena itulah, sulit mengatakan teknologi itu netral. Jika dilihat secara teknis, misalnya pada konstruksi mesin dan prinsip-prinsip kerjanya, teknologi tentu saja netral. Artinya, secara teknis, teknologi bisa diterapkan dimanapun, dalam konteks budaya apapun. Dalam perspektif teknis, penerapan teknologi tak lebih dari adaptasi dan fungsionalisasi.

Namun, kata Arnold Pacey – pemikir MIT, penerapan teknologi tidak pernah bisa bisa lepas dari dimensi budaya. Seperti orang Eskimo yang mengadopsi kendaraan bersalju berbasis mesin, menggantikan kereta anjing mereka. Ada aktifitas yang berubah, seperti kebiasaan memanaskan mesin di pagi hari, perhatian pada konstruksi mesin, spart part, perlunya bengkel, dan lain-lain. Dimensi moral pada teknologi akan Nampak ekstrim pada teknologi tempur, seperti penggunaan nuklir dalam peperangan yang akan menimbulkan tragedy kemanusiaan. Dalam dimensi politik teknologi adalah medium penguasaan. Misalnya teknologi komunikasi, bisa menjadi kendali penguasaan khalayak.

Teknologi, tandas Pacey, tak pernah bebas nilai dan ideology. Nilai dan ideologi mewakili cara pandang kita atas teknologi. Atau dalam bahasa Pacey, nilai dan ideologi itulah yang mendasari kita dalam mendefinisikan atau memaknai teknologi. Secara garis besar, dia mengatakan bahwa teknologi didefinisikan berdasarkan tiga aspek, yakni budaya, organisasi, dan aspek (hal – 49) teknis.

Aspek teknis berkenaan dengan teknologi sebagai buah pengetahuan, yang berisi konstruksi teknis, misalnya mesin dengan segala kerumitan dan prosedurnya. Aspek budaya memandang teknologi berdasarkan tujuan penggunaan, nilai dan etika, keyakinan dan sebagainya. Dalam aspek ini, teknologi bisa ditafsirkan secara beragam oleh berbagai komunitas. Seperti di sebuah perkampungan di Bogor, para tetua masyarakat setempat mengharamkan radio dan televisi, karena dianggap merusak nilai-nilai lokal.

Sedangkan aspek organisasi memandang teknologi sebagai buah aktivitas ekonomi. Maka, di dalamnya dipertimbangkan aktivitas profesionalnya, industrinya, pengguna, dan lembaga-lembaga perdagangan. Pertimbangan-pertimbangan ekonomi, dalam beberapa hal, mengarahkan lau teknologi. Seperti diilustrasikan oleh Raymond Williams, perkembangan teknologi audio visual berkaitan erat dengan kebutuhan industry perfilman di Hollywood yang terus menuntut kesempurnaan visual dan tata suara.

Mempersoalkan siapa mempengaruhi siapa, teknologi atau masyarakat, nampaknya tidak akan ketemu, karena faktanya memang saling mempengaruhi. Seperti dalam teknologi seluler, perkembangan smartphone pesatnya bukan main. Selalu ada fitur-fitur baru untuk menjawab permintaan pasar yang menggiurkan. Kecenderungan masyarakat pun diafirmasi sedemikian rupa, misalnya kebiasaan kita ngerumpi atau ngobrol dijawab dengan perangkat-perangkat yang memudahkan layanan media sosial. Pada sisi yang berbeda, inovasi-inovasi gadget tak urung selalu merangsang orang untuk terus mengganti perangkat lamanya. Kita serasa digiring untuk terus mengikuti tren teknologi, baik dari sisi software ataupun hardware-nya.

William menegaskan teknologi adalah entitas budaya. Kita sepenuhnya yang membentuk dan mengendalikan teknologi. Kita yang memaknai secara sosial budaya bagaimana teknologi semestinya berperan dalam hidup kita. Ini soal barang dan pemakaian, bentuk dan isi. Kita mungkin tak bisa mengendalikan penciptaan barang, tetapi kita bisa mengatur pemakaiannya. Kita mungkin tak kuasa menentukan bentuk teknologi, tetapi kita punya peluang untuk memilih isinya. Maka baik buruknya teknologi semua akan kembali kepada kita sendiri.

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 287 Th. 14, Muharram 1434 H, 13 Desember 2012 M.

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi[1][2][3]

(Hal-36) Jarak (distance) bisa mendekatkan sekaligus menjauhkan. Karena, jarak bisa menciptakan rasa. Hubungan berjarak, ketika ruang memisahkan orang-orang yang berkomunikasi, memang sebuah persoalan. Ada kedekatan fisik yang hilang, namun ada kerinduan yang menjadi energi tersendiri bagi sebuah hubungan. Selalu dekat secara fisik memang memudahkan, tetapi juga berpotensi melahirkan kebosanan.



Ketika jarak menjadi tanda nonverbal, ukurannya pun menjadi relatif. Bukan soal jauh atau dekat, tetapi bagaimana kita mendudukkan jarak dalam sebuah konteks komunikasi secara tepat. Seperti melihat benda, dengan ukurannya yang beragam, hanya akan bisa kita lihat secara jelas dalam sebuah jarak tertentu. Logikanya, semakin dekat akan semakin jelas, tetapi ada batasnya. Lebih dekat lagi, bisa jadi benda itu justru kelihatan kabur dan kehilangan detail.

Membaca Bahasa Cinta

Membaca Bahasa Cinta[1][2][3]

(Hal-40) Komunikasi nonverbal memang unik. Di satu sisi, ekspresi non verbal bisa sangat kaya pesan, melebihi kata-kata. Di satu sisi, ekspresi nonverbal bisa sangat kaya pesan, melebihi kata-kata. Pada sisi lain, komunikasi jenis ini juga menyimpan potensi kesalahpahaman yang besar. Selain berdimensi budaya, komunikasi nonverbal juga sangat personal, dimungkinkan  berbeda dengan konvensi sosial yang ada. Seperti orangtua mencintai kita, betapa uniknya.



Setiap orangtua punya gaya dan cara sendiri dalam mencintai kita. Karena banyak diungkapkan secara nonverbal, kita sering salah memahaminya. Meminjam istilah Edward T Hall, mereka lebih banyak menggunakan ‘bahasa senyap’ (silent language). Tak berkata-kata, tetapi ekspresi cinta itu selalu ada, melalui banyak cara.

Orangtua, baik ayah ataupun ibu, kadang mengungkapkannya dalam dimensi ruang. Mereka ingin dekat dengan kita secara fisik, misalnya duduk bersebelahan dengan kita, layaknya orangtua yang ingin selalu menimang atau memangku anaknya. Selalu ingin membersamai aktivitas kita. Saat kita tumbuh dewasa, keinginan itu kadang terasa menjengkelkan. Seperti keresahan seorang ibu ketika anaknya enggan diantarkan ke batas kota untuk suatu perjalanan jauh. “Aku sudah besar, Ma, gak usah diantar-antar segala,” kata sang anak sewot. Padahal, sang bunda hanya ingin mengekspresikan cintanya.

Ekspresi cinta itu juga berdimensi materi, betapapun sederhananya. Memberi, selalu menjadi ekspresi cinta tersendiri. Begitupun bagi orangtua. Usia yang semakin senja, tubuh yang kian renta, tak menghalangi niatnya untuk terus memberi. Ini lebih sekadar nilai barang. Maka betapapun rendahnya nilai nominal barang itu, sejatinya adalah ungkapan cinta yang mendalam. Seperti kisah seorang ibu yang selalu repot membawakan atau mengirim oleh-oleh untuk anaknya di seberang pulau. Oleh-oleh itu mungkin nampak tak berharga bagi anaknya yang hidup (Hal 41) mapan itu. Tetapi, di balik itu, ada pesan cinta yang tak terkatakan.

Tak ada cinta tanpa perhatian. Maka, orangtua punya caranya sendiri dalam memperhatikan anak-anaknya. Salah satunya, mereka selalu memastikan anak-anaknya dalam kondisi terbaik, tak kurang suatu apa. Seperti kebiasaan seorang ayah di malam hari, sebelum tidur, selalu melongok kamar anak-anaknya. Melihat anak-anaknya yang sudah sudah pulas dibalut mimpi. Dia tak berkata-kata, tapi dari tatapannya itu terpancar kebahagiaan tersendiri, karena anaknya masih ‘utuh’ dan aman. Ketika hubungan itu berjarak, mereka menyempatkan untuk berkomunikasi jarak jauh. Tak banyak yang dikatakan, apalagi ungkapan verbal cinta. Tak ada sama sekali. “Hanya ingin mendengar suaramu,” kata mereka pada anaknya.

Memang ada dimensi budaya, kenapa mereka tidak pernah mengungkapkan ekspresi cinta itu secara verbal. Ada budaya ‘konteks tinggi’ (high context) yang melatarinya. Tak elok untuk diucapkan, toh mereka telah membuktikan cintanya sejak anak-anak lahir hingga dewasa, bahkan ketika telah lahir cucu dan cicit. Kata-kata bisa jadi justru mendangkalkan kedalaman rasa cinta itu. Tak perlu kata-kata indah, apalagi bunga, layaknya muda-mudi yang dimabuk asmara.

Tak ada salah cara mereka dalam mencintai kita. Masalahnya mungkin ada pada kita, kenapa sering tak paham juga pesan-pesan cinta itu. Di sinilah diperlukan kepekaan atas tanda-tanda (semiotic skill), yakni kemampuan memaknai pesan, khususnya yang berdimensi nonverbal dalam komunikasi. Prinsip dasarnya, tak ada tindakan yang tak bermaksud (unintentionally). Selalu ada makna dalam setiap tindakan.

Dalam konteks itu pupa kita harus bisa memahami fakta bahwa tidak semua orang pandai berartikulasi atau hebat dalam menciptakan suasana untuk mengekspresikan cintanya. Ada seorang istri yang frustasi kenapa suaminya tak romantis sama sekali, atau sebaliknya. Ada harapan yang tak bertaut dalam pasangan itu. Bukan karena suami atau istri itu tak mencintai pasangannya, tapi mereka tak cakap dalam mengungkapkannya. Dalam kasus semacam itu, ekspresi cinta lebih banyak diungkapkan secara nonverbal.

Sulit memaksa orang untuk menjadi romantis, karena sebagiannya sangat berdimensi masa lalu, juga karena karakter (bawaan lahir) dari yang bersangkutan. Kearifan pasangan menjadi sangat relevan. Coba perhatikan dalam sudut pandang yang berbedabagaimana cinta itu diungkapkan. Mungkin lewat kerja keras, melalui kesetiaan total, atau kepercayaan mereka. Mungkin mereka tidak pandai membuat puisi, tetapi mereka selalu memenuhi janji. Mungkin mereka tak pernah memberikan kita mawar, tetapi mereka selalu membuktikan dirinya sebagai orang yang benar.

Akhirnya kita harus sadar bahwa ternyata banyak jalan untuk menautkan hati. Artikulasi kata memang bisa membantu, tetapi ketulusan akan membuatnya abadi. Cinta tak semata janji, tetapi juga pembuktian. Bahasa cinta, betapapun rumitnya, pasti bisa dipahami.

 

 



[1] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 242 Th.12, Muharram  1432H, 30 Desember 2010M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal