Minggu, 30 Agustus 2020

UCAPKANLAH “ALHAMDULILLAH....

 

UCAPKANLAH “ALHAMDULILLAH......”[1]

 

(Hal-76) As-syukru (syukur) dalam bahasa Arab, artinya ‘irfan al ihsan wa nasyruhu atau mengakui kebaikan dan menyebarkan kebaikan itu. Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, “Syukur itu ketetapan hati dalam mencintai Yang Memberi nikmat, juga ketetapan anggota tubuh untuk mentaati-Nya, serta terus-menerusnya lisan untuk berdzikir dan memuji-Nya. (Madarij Salikin, 2/136)



Saudaraku,

Dalam ungkapan yang lebih sederhana tapi mendalam, Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Syukur itu mengakui nikmat dan melakukan pengabdian pada yang memberi nikmat.” Lalu, Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, “Mensyukuri semua nikmat itu adalah tidak bermaksiat pada Allah setelah menerima nikmat itu.” Ia juga mengatakan,”Hakikat syukur itu adalah ketika kondisi seseorang tidak mampu lagi mensyukuri nikmat Allah, karena banyaknya.”

Syukur nikmat itu tak hanya dengan lisan. Tidak hanya sekadar (Hal-77) memuji Allah dan berdzikir, tetapi juga termasuk membaca Al Quran yang juga menggunakan lisan, menyampaikan nasihat yang baik kepada orang lain, berbicara tentang nikmat Allah dan tidak mengingkarinya yang semuanya menggunakan lisan. Syukur  dengan cara seperti ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Itu sebabnya, dalam hadist disebutkan bahwa Rasul saw kerap bertanya pada sahabatnya,”Bagaimana kabarmu wahai Fulan?” Kemudian dijawab,”Aku memuji Allah swt” Rasulullah lalu bersabda,”Inilah yang aku inginkan darimu..” (HR. Thabrani dishahihkan oleh Al Abani).

Karena suasana yang dibangun Rasulullah saw itu, para sahabat radhiallahu anhum, meski sering bertemu, mereka tetap menanyakan kabar satu sama lain. Seperti perkataan Ibnu Umar radhiallahu anhu, “Kami bisa saja berulangkali bertemu dalam satu hari, tapi satu sama lain dari kami tetap saling bertanya kabar. Kami tidak ingin dari itu, kecuali saudara kami memuji Allah swt.” (HR Baihaqi)

Saudaraku,

Apakah syukur dipraktikkan hanya saat seseorang menerima nikmat saja? Jawabannya, bisa iya, bisa juga tidak. Sebab, saat kita mengalami suatu kedukaanpun, sebenarnya, ada banyak nikmat yang Allah swt berikan di sekeliling kedukaan atau bencana itu. Dan itulah cara syukur yang didalami oleh orang-orang shalih.

Perhatikanllah Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, saat menceritakan bagaimana sebagian ahli ilmu menyebutkan bahwa Allah swt memerintahkan pada Malaikat-Nya untuk memberikan sesuatu yang membahagiakan pada seorang hamba-Nya yang beriman. Setiap kali diberikan sesuatu yang membahagiakan, hamba itu mengatakan,”Alhamdulillah ... Alhamdulillah ... maa syaa Allah ...” Kemudian Allah swt memerintahkan Malaikat-Nya untuk memberikan sesuatu yang menyedihkan dan menakutkan hamba-Nya itu. Tapi tetap saja hamba itu meski mendapatkan sesuatu yang tidak ia sukai, mengatakan, ”Alhamdulillah,alhamdulillah”. Maka, Allah swt berfirman,”Aku melihat hamba-Ku memujiku ketika Aku memberikan sesuatu yang menakutkannya, sebagaimana ketika Aku memberi kesenangan padanya. Masukkanlah hambaku itu ke dalam surga-Ku karena ia telah memuji-Ku dalam segala keadaan.” (Syu’abul Iman 4/117)

Mari merenungkan bagaimana sikap orang-orang shalih selalu memuji Allah swt, dalam kondisi apapun keadaan mereka. Syuraih rahimahullah mengatakan, “Sungguh aku ditimpa musibah, tapi aku tetap memuji Allah atas musibah itu karena empat perkara. (Hal-78)  Pertama, aku memuji Allah, karena aku tidak ditimpa musibah yang lebih besar dari yang aku terima. Kedua, aku memuji Allah karena aku diberikan kesabaran oleh Allah dalam menghadapi musibah. Ketiga, aku memuji Allah swt karena Allah swt telah menempatkan aku dalam kondisi aku bisa berharap pahala dari-Nya. Dan keempat, aku memuji Allah karena tidak ditimpakan musibah dalam urusan agamaku.”Dari mana mereka mendapatkan energi untuk bisa tetap bersyukur dan mengucap “Alhamdulillah”? Jawabnya adalah, dari kesadaran dan pengetahuan mereka yang begitu mendalam terhadap nikmat Allah swt yang diberikan kepada mereka.

Saudaraku,

Pernah ada seorang sahabat yang terburu-buru datang berusaha bergabung dalam shaff shalat berjamaah. Setelah sampai di shaff, ia mengatakan,”Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih?” Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya, “Siapa diantara kalian yang mengatakan, ”Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih?” Para sahabat awalnya terdiam. Namun kemudian, seorang sahabat berkata, “Aku ya Rasulullah. Aku terburu-buru berjalan untuk bisa bergabung dalam shaff shalat berjamaah. Lalu aku mengatakan itu.” Rasulullah saw bersabda,”Aku melihat duabelas Malaikat berlomba mengangkat orang yang mengucapkan kalimat itu.” Setelah itu Rasulullah Saw bersabda,”Bila salah seorang kalian berjalan untuk shalat, hendaklah berjalan dengan tenang. Lalu Shalatlah, sebagaimana yang ia dapatkan. Lalu tunaikanlah yang tertinggal.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Saudaraku,

Bersyukur bukan hal mudah. Tanpa terus menggali untuk mengenal Allah swt, kita akan sulit merasakan kesyukuran. Tanpa berupaya merenungi nikmat demi nikmat Allah swt kepada kita, tidak akan mudah menghadirkan kedamaian syukur dalam hati. Tanpa berusaha mengalahkan kecenderungan manusiawi yang selalu menginginkan lebih baik, kita akan susah memiliki sikap syukur. Tanpa menghadirkan rasa tunduk dan patuh pada kehendak Allah Swt Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu, Maha Kasih Sayang, kita sulit mengucapkan kesyukuran atas keadaan yang kita terima.

Mari banyak-banyak mengucapkan “Alhamdulillah”. Semakin banyak kita mengucapkannya, tekanan dalam jiwa akan semakin berkurang dan hati menjadi kian lapang. Semakin banyak kita mengucapkan “Alhamdulillah” akan selalu membawa keberkahan, lalu wajah menjadi lebih menarik, berseri dan penuh sabar. Semakin banyak kita mengucapkan “Alhamdulillah” berarti tak akan ada yang dapat melukai hati kita, dan menyakiti kita.

Saudaraku,

Mari mulai kebiasaan untuk mensyukuri nikmat Allah swt dengan menghidupkan kembali sunnah para sahabar dulu yang bertanya kepada saudaranya,”Bagaimana kabarmu saudaraku?”

Bagaimana jawabmu saudaraku?

( Sekretariat Masjid Arfaunnas Universitas Riau ,Kamis, 21 April 2010, 09:51:32WIB )

 

        

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 225 Th.11, Jumadil Awal 1431 H, 22 April 2010, hal. 76-78

BIARKAN AIRNYA MENETES

 

BIARKAN AIRNYA MENETES[1][2]

 

(Hal-76) Islam banyak sekali meninggalkan pesan yang berisi membangun semangat dan optimis dalam jiwa. Sebaliknya, Islam juga banyak sekali menuangkan pesan yang menutup pintu pesimis dan putus asa bagi umatnya. Ayat-ayat yang menerangkan kebersamaan Allah Swt pada orang yang bersabar, ayat  yang melarang sikap sedih, ayat yang menggambarkan Allah Swt Maha Pemaaf, Maha Luas Ampunan-Nya, dan lain sebagainya benar-benar menyimpulkan bahwa kita, dilarang bersedih dan tidak boleh (Hal-77) putus asa, dalam kondisi apapun.



Saudaraku,

Ada satu hal yang terlihat sangat sederhana dalam proses kita menjalani ibadah, ternyata membawa pesan-pesan penting untuk tidak putus asa, pantang bersedih, terus semangat dan optimis menyongsong kebaikan. Salah satu pesan penting itu ada dalam tetes-tetes air wudhu kita.

Coba perhatikan lebih detail lagi, satu persatu, aktivitas wudhu yang sering kita lakukan itu. Dari Abdullah Ash-Shanaji ra, Rasulullah Saw bersabda:”Apabila seorang hamba berwuduhu, lalu berkumur, maka dikeluarkanlah (dihapuskan) kesalahan-kesalahan itu dari mulutnya. Apabila ia memasukkan air ke rongga hidung, maka keluarlah kesalahan-kesalahan itu dari hidungnya. Apabila ia membasuh wajahnya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan yang dibuat wajahnya, sehingga kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi keluar dari bawah tempat tumbuh rambutnya, dari kedua matanya. Apabila ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan itu dari kedua tangannya, sehingga kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi dari bawah (celah) kukunya. Apabila ia mengusap kepalanya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan itu dari kepalanya, sehingga kesalahan-kesalahan keluar dari kedua telinganya. Apabila ia membasuh kakinya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan tersebut dari kedua kakinya, sehingga kesalahan-kesalahan yang terjadi dari bawah kedua kakinya. Kemudian perjalanannya ke mesjid dan shalatnya merupakan nilai ibadah tersendiri baginya” (HR. Imam Malik, An-Nasaai, Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Saudaraku,

Maka, ketika siraman air wudhu itu menitik dan menetes dari wajah, tangan dan bagian-bagian tubuh kita, bayangkanalah itu adalah jatuhnya satu-persatu dosa-dosa yang kita lakukan. Ketika siraman air wudhu itu terbasuh di telapak tangan, lalu mulut, lalu hidung, lalu muka, lengan, rambut hingga telinga dan telapak kaki kita, bayangkanlah bahwa air yang menetes dari bagian tubuh kita itu adalah pertanda seluruh tubuh kita sedang dibersihkan untuk menyongsong lembar baru dalam hidup ini. Renungkanlah hal-hal seperti ini. Jika kita berhasil memahami (Hal-78) dan memahami sabda Rasulullah Saw ini, rasakanlah perbandingan antara perasaan kita sebelum dan sesudah berwudhu.

Ya... Bahwa kita kini baru saja memiliki kunci untuk bisa memulai perjumpaan dengan Allah Rabb semesta alam, dalam shalat.

Saudaraku,

Tahukah kita, bila ternyata pandangan Rasulullah Saw itu mendapat penjelasan yang lebih detail dalam ilmu kedokteran? Beberapa waktu lalu, melalui artikel di majalah Al Ishlah yang mengulas seminar Kemukjizatan Ilmiyah Al Quran, di Kairo, disebutkan perkataan DR. Ahmad Syauqi, salah seorang anggota ikatan dokter Inggris sekaligus konsultan penyakit jiwa. Ia mengatakan bila sampai saat ini, para ilmuwan membenarkan bahwa jatuhnya sinar terhadap air tatkala seseorang berwudhu, berpengaruh sehingga membangkitkan ion yang hilang dan menyedikitkan ion yang bisa memberikan efek lemah pada anggota tubuh. Lalu, tetesan-tetesan air yang memantulkan sinar itu, juga bisa menghilangkan tekanan darah dan rasa sakit persendian anggota tubuh, meringankan suasana kegundahan dalam jiwa.

Saudaraku, mari lanjutkan perenungan kita pada firman Allah Swt, dalam surat Al Maidah ayat 6, yang artinya: “ Wahai orang-orang beriman, apabila kalian hendakmengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai ke siku. Kemudian sapulah kepala kalian dan basuhlah kaki kalian sampai pada kedua mata kaki.”

Berwudhu mungkin aktifitas rutin yang sudah sangat biasa kita lakukan. Namun tanpa mengetahui sandaran nilai dan keutamaan dari Al Quran dan hadist, mungkin wudhu yang kita lakukan tanpa mengetahui sandaran nilai dan keutamaannya dari Al Quran dan hadist, mungkin wudhu yang kita lakukan menjadi tak bernilai bagi jiwa. Tapi akan sangat berbeda suasananya, bila kita mengetahui landasan nilainya dari Al Quran dan hadist, ditambah penemuan ilmiah yang luarbiasa tentangnya.

Optimisme yang ditumbuhkan melalui wudhu, akan terus tertanam hingga kita memasuki kehidupan akhirat. Rasulullah bersabda, “sungguh umatku kelak akan datang pada hari kiamat dalam keadaan (muka dan kedua tangannya) kemilau bercahaya karena bekas wudhu. Karenanya barangsiapa dari kalian yang mampu memperbanyak kemilau cahayanya (dengan memperlebar basuhan wudhunya)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Saudaraku,

Biarkanlah air wudhu itu membasahi bagian-bagian tubuh kita. Biarkanlah tetes-tetes air wudhu jatuh keatas bumi. Berdoalah semoga kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah swt karena kemilau wudhu. “Pada hari kiamat kelak umatku akan dipanggil al gurr muhajjaluun karena (cahaya) bekas wudhu mereka. Siapa yang dapat meluaskan wilayah cahayanya, haruslah memperluaskannya.” (HR.Bukhari)

(Sekretariat Masjid Kampus UR, Sabtu, 01 Mei 2010 M, 07:38:12WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 223 Th.11, Rabiul Awal 1431 H, 11 Maret 2010

[2] M.Lili Nur Aulia

Mimpi-Mimpi Besar

 

Mimpi-Mimpi Besar[1][2]

Oleh M lili Nur Aulia

[Hal-76] Letakkan telapak tangan kita diatas dahi. Berusaha merenung dan konsentrasi berpikir. Bertanya pada diri sendiri:”Apa mimpiyang ingin kita raih dalam hidup ini? Apa obsesi yang begitu menyibukkan kita dalam hidup ini? Apa yang kita pikirkan siang malam? Apa yang kita pikirkan itu bersifat duniawi? Atau ukhrawi? Apakah obsesi dan mimpi kita itu sifatnya umum, atau spesifik?



Saudaraku,

Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu dan simpanlah baik-baik dalam ingatan. Panggillah anak dan tanyakanlah,”Apa kondisi yang ia inginkan di masa mendatang?”  Bandingkanlah antara apa yang menjadi keinginan mereka dan keinginan kita di masa depan. Hampir pasti anak-anak akan menjawab secara ideal, tinggi, bahkan mungkin ada yang tak mungkin diwujudkan. Sedangkan obsesi dan keinginan kita umumnya lebih rendah, tidak terlalu tinggi, dan pandangan terbatas. Bahkan, boleh jadi ada sebagian kita merasa berat sekadar bersobsesi atau bermimpi dan menginginkan sesuatu yang tinggi serta ideal.

Saudaraku,

Kita, hidup di zaman yang penuh [Hal-77] kelemahan. Wajar bila obsesi serta mimpi kita dan masyarakat kita pun menjadi rendah, kurang berbobot, tujuannya pendek. Kita semua sama dalam hal ini. Sebabnya banyak, tapi setidaknya ada sebab penting yang harus kita sadari. Yakni, minim atau tidak adanya, “contoh ideal” yang hidup diantara kita. Termasuk contoh dari para orangtua kita, kita para bapak dan ibu bagi anak-anak, para pendidik, para guru, para pejabat, para tokoh dan sebagainya. Minim atau tidak adanya figur atau contoh itu, mau tidak mau menciptakan lemahnya motivasi kita, untuk memiliki cita-cita atau keinginan yang tinggi. Seperti yang kita alami sekarang ini.

Mari perhatikan bagaimana kondisi orang-orang yang memiliki mimpi-mimpi besar. Barangkali kondisi mereka bisa mendorong dan menumbangkan penghalang mimpi yang kini sedang mengepung kita. Barangkali keadaan mereka bisa mengeluarkan kita dari mimpi kecil menjadi mimpi besar. Barangkali peran-peran mereka bisa menjadikan kita memiliki peran-peran yang lebih luas dari sekarang.

Saudaraku,

Adalah Hindun binti Utbah Ummu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, seorang wanita yang termasuk memiliki besar itu. Suatu saat, ia berada di Mina bersama puteranya Mu’awiyah yang baru saja tersandung batu dan terjatuh di atas tanah. Hindun berkata pada anaknya, Mu’awiyah,

”Bangunlah, bila engkau bisa bangkit maka engkau akan ditinggikan derajatnya oleh Allah.” Seseorang yang mendengarkan perkataan ini bertanya,”Mengapa engkau mengatakan seperti itu? Saya yakin bahwa dia (Mu’awiyah) akan memimpin kaumnya.” Hindun balik bertanya,”Kaumnya? Allah tidak akan meninggikan kedudukannya kecuali bila ia tidak memimpin bangsa Arab semuanya.”

Ini episode kecil tentang bagaimana mimpi besar seorang ibu. Ia ingin anaknya menjadi pemimpin bangsa Arab semuanya. Dan mimpi itu hadir di pelupuk matanya, dan mimpi itulah yang menjadi panduannya sehari-hari dalam mendidik anaknya. Ia terus menanamkan mimpi itu pada anaknya, dan meyakinkannya. Ia kondisikan keadaannya untuk mencapai mimpi itu. Ia beri asupan apa yang bisa membekalinya mewujudkan mimpinya. Hingga akhirnya, Mu’awiyah menjadi khalifah pertama dari Khulafa daulah umawiyah. Mu’awiyah memimpin bangsa Arab sekaligus umat Islam selama kurang lebih 20 tahun yakni tahun 661-680 H.

[Hal-78] saudaraku,

Ada kisah di zaman kita, tentang ibu dari DR. Ahmad Zeweil, yang juga memiliki mimpi besar. Sejak Ahmed masih kecil, sang Ibu sudah menuliskan di pintu kamar Ahmed sebuah kalimat “Kamar DR. Ahmed Zewail.” Apa yang dituliskannya, tak lain merupakan saluran keinginan atau mimpi yang ada dalam diri sang ibu. Dan tampaknya telah sampai dalam diri anaknya. Ahmad zewail meraih penghargaan Nobel bidang Kimia tahun 1999, dan menjadi salah satu ilmuwan besar dunia. Zewail sendiri mengakui pengaruh motifasi dan mimpi ibunya itu pada dirinya. Tentu bukan hal yang mudah bagi seorang ibu untuk mewujudkan mimpi besar itu pada Zewail. Karena hari-hari merawat, mendidik dan membesarkan Zewaillah yang juga menjadi kunci keberhasilan Zewail.

Saudaraku,

Lagi. Tentang bagaimana seorang ibu dari Syaikh Abdurrahman As Sudais yang kini menjadi Imam Masjidil Haram. Bagaimana sang ibu menanamkan dan mengarahkan mimpi besar itu kepada anaknya. Bagaimana sang ibu hari demi hari bersama As Sudais kecil itu mengingatkannya untuk bisa mencapai mimpinya? Ibunya sering mengingatkan,

”Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghapal kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram, ...” “ Wahai Abdurrahman jangan malas menghapal kembali hafalan harianmu, bagaimana kamu bisa menjadi Imam Masjidil Haram bila kamu malas?”

Akhirnya, Syaikh Abdurrahman As Sudais kini menjadi Imam Masjidil Haram. Dan menjadi salah satu ulama besar yang disegani di dunia Islam.

Saudaraku,

Salah satu kisah lain yang boleh jadi kita juga sudah mendengarnya. Seorang sahabat, Rabi’ah bin Kaab Al Aslami radhiallahu anhu.

Dialah yang mengatakan kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, aku ingin menjadi pendampingmu di surga.” Rasulullah saw mengatakan,”Adakah yang selain itu Rabi’ah?” Rabi’ah menjawab, “Hanya itu ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah saw mengatakan,”Jika begitu, bantulah aku untuk mencapai keinginanmu itu dengan memperbanyak sujud.”

 (HR. Muslim)

Diriwayatkan,  Rabi’ah  atas bimbingan orantuanya, sejak kecil memang sudah kerapkali terlihat dalam kondisi shalat dan sujud. Dan sepanjang usianya, Rabi’ah diriwayatkan tak pernah tertinggal shalat berjamaah. Mengapa Rabi’ah mampu melakukan itu semua? Karena ia ingin meraih mimpinya yang besar tadi. Mimpi ingin menjadi pendamping Rasulullah saw di surga....

Saudaraku,

Bandingkanlah antara keinginan kita yang tercetus diawal tulisan ini, dengan keinginan mereka yang bermimpi besar itu? Sesungguhnya, mimpi dan obsesi seseorang yang besar, indikator ia akan menjadi orang besar.

(Elqinet, Rabu , 05 Mei 2010 M, 16:17:34WIB)

 



[1]Majalah Tarbawi, edisi 220 Th.11, Shafar 1431 H, 28 Januari 2010 M

[2]M. Lili Nur Aulia

MUNGKINKAH MASJID AL AQSHA RUNTUH ?

 

MUNGKINKAH MASJID AL AQSHA RUNTUH?[1]

(Hal-76) Kita ingin lebih serius, berbicara tentang Masjid Al Aqsha. Kiblat pertama kita, yang penuh peninggalan sejarah. Sebuah masjid tempat di isra’-kannya Rasulullah saw, yang kini tidak bisa bebas diziarahi oleh umat Islam kecuali mereka yang berusia diatas 50 tahun. Sebuah bangunan bersejarah yang begitu unik dan penuh arti bagi keimanan kita, namun berada di bawah cengkraman Zionis Israel selama lebih dari separuh abad. Sebuah masjid, yang pernah menjadi simbol kekuatan Islam. Tapi kini, pondasinya kian rapuh lantaran lorong-lorong bawah tanah yang terus digali oleh orang-orang ekstrim Yahudi yang bermimpi (Hal-77) mendapat peninggalan Kuil Solomon di bawahnya.



Saudaraku,

Mungkinkah Al Aqsha runtuh? Pertanyaan itu mungkin pernah muncul dalam pikiran kita. Menjawabnya, pasti diiringi kedukaan. Tapi, tidak menjawabnya, berarti membiarkan ancaman yang mungkin terjadi. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi atas masjid Al Aqsha. Bisa saja, terjadi bencana alam yang kemudian membuat runtuhnya Masjid Al Aqsha. Atau, bisa saja umat Islam akhirnya berhasil diusir dari seluruh Al Quds dan digantikan penguasaannya oleh Zionis Israel. Mungkin saja Al Quds dikuasai Zionis dan benar-benar menjadi ibukota abadi Israel selama berpuluh tahun. Mengapa? Karena dahulupun, kekuatan Qaramithah pernah menyerang Ka’bah Baitullah Al Haram. Hingga di tahun 317 H, dikabarkan mereka mampu mencuri Batu Hajarul Aswad dari Ka’bah dan membawanya ke ibukota mereka di Hijr, sisi Timur Saudi sekarang. Hajarul Aswad lalu tetap tercuri hingga 22 tahun, yakni hingga tahun 339 H.

Saudaraku,

Kita tidak berada di zaman Abrahah. Dahulu, Abrahah ingin menghancurkan Ka’bah. Lalu Allah Swt mengutus burung-burung ababil untuk melindungi Baitullah Al Haram. Tapi kondisi kita setelah diutusnya Rasulullah saw, sangat berbeda. Burung-burung ababil atau pasukan yang diutus Allah Swt dalam bentuk apapun, takkan datang kecuali kita mengerahkan tenaga, keseriusan, kesungguhan, harta, jiwa dan seluruhnya untuk memelihara Masjid Al Aqsha.

Maka, Masjid Al Aqsha mungkin saja runtuh. Dan memang itulah yang diinginkan Zionis Israel. Itu sebabnya, mereka melakukan tahap demi tahap penghancuran itu sedikit demi sedikit, lewat analisa pertimbangan bahaya paling kecil yang mereka hadapi, jika Masjid Al Aqsha akhirnya roboh. Perhatikanlah, mereka sendiri yang membuka informasi di berbagai media, bahwa ada puluhan lorong bawah tanah yang telah mereka gali, di sekitar pondasi Masjid Al Aqsha. Informasi itu bahkan cuplikan filmnya, yang kian menegaskan bahwa lorong-lorong itu benar-benar telah mereka gali.

Ada apa di balik peristiwa ini? Mari pikirkan lebih jauh. Boleh jadi, Zionis Israel mempunyai target tertentu di balik informasi itu. Pertama, membiasakan umat Islam dengan isu kehancuran Masjid Al Aqsha. Semakin sering umat Islam mendengar berita Masjid Al Aqsha akan hancur, semakin terbiasa umat menyikapi (Hal-78) nya. Bahkan informasi itupun bisa menjadi kata-kata yang tidak lagi menarik perhatian. Lalu, jika kelah kehancuran Masjid Al Aqsha benar-benar terjadi, mungkin tidak mampu menggerakkan dunia Islam secara massif untuk melakukan perlawanan.

Logika ini, mirip dengan terapi yang dilakukan oleh para dokter. Dokter memberi suatu asupan yang bisa melindungi manusia dari mikroba tertentu. Seseorang diberi suplai makanan mikroba sedikit demi sedikit, hingga akhirnya tubuh terbiasa dengannya. Jika kelak mikroba sesungguhnya menyerang tubuh, maka serangan itu tidak terlalu memberi efek pada tubuh.

Begitulah Zionis Israel. Mereka terus-menerus memberikan informasi umat Islam dengan pemberitaan bertahap, terkait kehancuran Al Aqsha. Lalu jika kehancuran itu benar-benar terjadi- semoga Allah melindunginya- umat Islam tidak terpicu untuk melakukan aksi penolakan seperti yang dikhawatirkan. Dan Zionis Israel bisa melanjutkan proyek penting lainnya.

Saudaraku,

Sasaran kedua, untuk mengantisipasi tingkat reaksi umat Islam bila kehancuran itu terjadi. Orang-orang Yahudi Zionis pasti khawatir dengan reaksi umat Islam, yang boleh dikatakan bila bersatu sangat mampu memerangi dan mengusir mereka dari Al Quds. Karenanya, mereka berusaha mengantisipasi reaksi umat Islam itu secara bertahap. Mereka mengukur sejauh mana respon umat Islam terhadap upaya penghancuran Masjid Al Aqsha. Hingga akhirnya mereka bisa menganggap mampu mengatasi aksi balasan bila target penghancuran Masjid Al Aqsha itu terjadi.

Saudaraku,

Zionis Israel sangat yakin, hingga sekarang tidak ada bukti secuilpun tentang sisa Kuil Solomon yang mereka yakini. Mereka juga tahu, bahwa klaim peradaban Yahudi di Al Quds, sangat mungkin merupakan hasil manipulasi orang-orang mereka sendiri. Lalu kenapa mereka ingin menguasai dan menghancurkan Masjid Al Aqsha?

     Orang-orang Zionis Israel sangat menyadari bahwa Al Aqsha bagi umat Islam sama dengan panji-panji peperangan bagi suatu pasukan. Selama panji itu ada, panji-panji itulah yang akan memberikan semangat dan keberanian bagi pasukannya. Itulah sebabnya panji harus segera berkibar dan berdiri hingga dapat dilihat pasukan. Seperti itu pulalah kedudukan Al Aqsha. Andai Al Aqsha jatuh, Zionis Israel yakin itu akan meruntuhkan juga mentalitas umat Islam. Sebagaimana dahulu, direbutnya Masjid Al Aqsha diawal-awal perang salib telah menipiskan semangat umat Islam selama puluhan tahun dalam menghadapi kaum Salib. Dan kini, target penghancuran itu terjadi, Zionis Israel yakin akan mampu memenangkan seluruh medan peperangan.

Saudaraku,

Uraian ini bisa saja, membuat kita sedih bahkan terluka. Tapi kita juga tidak boleh berbasa-basi untuk masalah yang sangat penting ini. Tunjukkan bahwa umat Islam di Al Quds (Jerussalem) tidak sendiri menentang pendudukan dan serangan Zionis Israel. Buktikan bahwa mampu bekerja dengan bidang dan ruang apapun yang kita miliki, untuk menghalangi kehancuran dari Masjid Al Aqsha.

(Bangkinang, Selasa, 20 April 2010, 20:36:28 WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 225 Th.11, Rabiul Akhir 1431 H, 8 April 2010, hal. 76-78

SEPERTI ENGKAU MALU TERHADAP ORANG SHALIH

 

SEPERTI ENGKAU MALU TERHADAP ORANG SHALIH[1]

(Hal-76) Saudaraku,

Salah satu rahasia mahalnya anugerah Allah swt kepada kita berada di jalan orang-orang yang shalih adalah, karena kita mendapat pencerahan dan penyegaran yang luarbiasa dari mereka. Bisa karena ruh keshalihan yang otomatis terpancar dari dirinya, atau bahkan dari kata-katanya. Atau bahkan suasana  yang menjadi lebih tunduk, takut kepada Allah, urung melakukan kemaksiatan, karena keberadaan mereka.



Seperti dahulu, para sahabat Rasulullah kerap meminta nasihat dan wasiat pada Rasulullah saw, dalam banyak kesempatan. Dan Rasulullah saw, menyanpaikan nasihatnya dengan sangat bijak dan begitu mengesankan. Hingga ketika seseorang (Hal-77) sahabat bernama Sa’id bin Yazid Al Azdi ra meminta pada Rasulullah saw. “Nasihatilah aku ...” ujarnya kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw menjawab,”Aku wasiatkan engkau agar malu kepada Allah swt sebagaimana engkau malu dari orang yang shalih.” (HR.Ahmad)

Saudaraku,

Memberikan nasihat kepada seorang mukmin yang meminta nasihat kepada saudaranya, termasuk sunnah Rasulullah saw untuk dipenuhi. Hadist itu memberi memberi permisalan yang mendekatkan logika penanya, terhadap subtansinya nasihat yang disampaikan Rasulullah saw. Tentang bagaimana cara kita bisa menghalangi diri dari dosa. Tentang bagaimana kita bisa memaknai rasa malu dari dosa dengan rasa malu kita terhadap sesuatu yang kita segani. Tentang bagaimana pikiran dan prilaku kita seharusnya bisa terpengaruh oleh kondisi orang yang melihat kita, terlebih oleh Allah swt yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui.

Malu kepada Allah swt, jelas sikap mulia. Sikap malu kepada Allah swt, juga jelas tidak sama dengan sikap malu terhadap manusia, berapapun tingkat dan derajat manusia itu. Tapi hadist tadi hanya memunculkan gambaran yang bisa dipahami, tentang rasa malu berbuat dosa. Dan bila seseorang telah sikap malu kepada Allah swt, sikap itulah yang mampu menjadi benteng penghalang seseorang dari prilaku jahat, kapanpun, dimanapun, dalam kondisi apapun. Penghalang dosa seperti itu takkan datang bila sikap malu, hanya berasal dari manusia atau keadaan tertentu.

Saudaraku,

Barangkali banyak orang yang belum terlalu merasakan bila Allah swt memantau dan Maha Mengetahui keadaan dirinya. Sementara orang-orang shalih yang terdahulu, adalah orang-orang yang memiliki rasa malu yang tinggi kepada Allah swt, sampai dalam bentuk tidak melakukan sesuatu yang harus dilakukan.  Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas ra ditanya tentang firman Allah swt, surat Hud ayat 5, yang artinya: “Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada untuk menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka lahirkan, sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala isi hati.”

Ibnu Abbas mengomentari ayat ini dengan mengatakan,”Dahulu orang-orang yang memiliki rasa malu menyendiri dan (Hal-78) menjauh dari keadaan berada langsung di bawah langit, dan tidak mau berhubungan badan dengan istri-istri mereka.” Abu Bakar shiddiq mengatakan,”Malulah kalian kepada Allah, sungguh aku pergi membuang hajat lalu aku berlindung dengan bajuku karena malu dengan Rabbku ...” Bahkan Abu Musa mengatakan, “Bila ia mandi di rumah yang gelap, ia tidak berani berdiri karena malu kepada Allah swt.”

Karena rasa malu itu pula, Aisyah ra tidak masuk lokasi pemakman Rasulullah saw kecuali dengan aurat tertutup rapat. “Dahulu aku sering mendatangi makam Rasulullah saw dan makam ayahku (Abu Bakar shiddiq) dan aku mungkin melepas sebagian kainku dengan mengatakan bahwa itu adalah makam suamiku dan ayahku. Tapi ketika Umar ra juga dimakamkan di lokasi pemakaman itu, aku tidak datang ke sana kecuali dalam kondisi pakaianku tertutup rapat karena malu dengan Umar ra.” (HR. Hakim)

Saudaraku,

Itulah sebabnya, Rasulullah saw mengatakan bahwa rasa malu selalu saja mendatangkan kebaikan. Sebab andai hilang rasa muncul, munculnya rasa biasa dan tidak peduli dengan penilaian orang, terlebih penilaian Allah swt, maka itu merupakan salah satu pemicu prilaku dosa. Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Termasuk hukuman terhadap pelaku kemaksiatan adalah, hilangnya rasa malu yang sebenarnya malu itu adalah unsur hidupnya hati dan asal muasal semua kebaikan. Hilangnya rasa malu, berarti hilangnya kebaikan seluruhnya. Karena dalam hadits shahih, Rasulullah saw bersabda,”Rasa malu itu seluryhnya adalah baik.”

Coba kita perhatikan lagi lebih jauh perkataan Ibnul Qayyim lebih lanjut dalam kitab Ad daa’u wa ad-dawaa’ itu yang mengatakan, bahwa orang yang tidak memiliki rasa malu, berarti ia tidak mempunyai anasir kemanusiaannya, kecuali hanya daging dan darah serta bentuk tubuh lahir mereka saja.” Artinya, dalam kondisi seperti itu, manusia sudah sama seperti hewan, perbedaannya hanya masalah daging, darah dan bentuk lahirnya.

Saudaraku,

Rasa malu bisa diwujudkan dengan menumbuhkan pengenalan kitayang lebih dalam atas kekuasaan Allah swt. Sebaba semakin sadar seseorang atas ke-MahaKuasaan Allah swt, semakin kecillah ia menyadari nilai dirinya. Rasa malu juga bisa didorong dengan bagaimana ia melihat orang lainyang begitu menjaga dirinya dari dosa. Rasa malu, juga bisa tersentuh oleh keberadaan kita bersama orang-orang baik, orang-orang yang terbiasa memaksa diri untuk berlaku lurus, di manapun dan kapanpun.

Kita harus belajar dari mereka saudaraku,

Mari sama-sama berdo’a dan meminta pertolongan kepada Allah swt dari menjadi golongan orang-orang yang tidak tahu malu. Dari mereka yang tak kenal malu kepada manusia, terlebih kepada Allah swt, Umar mengatakan,”Barangsiapa yang sedikit rasa malunya, berarti sedikit pula sikap wara’nya. Dan hatinya telah mati.”

(Sekretariat Masjid Kampus UR, Sabtu, 24 April 2010 M, 22:16:56 WIB)



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 224 Th.11, Rabiul Akhir 1431 M, 25 Maret 2010 M. Hal.76-78

SUDAH MEMBUKA LEMBAR KEBERAPA?

 

SUDAH MEMBUKA LEMBAR KEBERAPA?[1]

(Hal-76) Seorang ulama, mengibaratkan waktu kehidupan ini dengan ilustrasi sederhana, tapi sangat menyentuh. Katanya, hidup ini ibarat kita membuka lembar demi lembar sebuah buku. Dan setiap lembar buku yang kita buka, adalah ibarat satu hari yang kita lewati. Semakin banyak lembar buku yang telah kita buka, berarti semakin tipis sisa lembar buku yang kita buka. Hingga akhirnya lembar demi lembar buku itupun habis kita buka. Dan itulah ajal.



Saudaraku,

Dalam setiap lembaran itu, ada catatan dan warnanya sendiri-sendiri. Berapa lemar yang sudah kita buka? Mari periksa kembali, apa isi catatan yang ada di lembar demi lembar yang telah kita buka itu. Ada warna apa di sana? Apakah gambar dan peristiwa yang tertera di sana? Indahkah catatan dan warnanya? Lalu, berpikirlah tentang berapa banyak lagi lembaran yang tersisa bagi kita untuk (Hal-77) kita isi? Jawabannya, pasti tidak ada yang tahu.

Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkisah tentang keadaan manusia di zamannya, “Aku menyaksikan banyak kebiasaan orang-orang yang isinya adalah menyia-nyiakan waktu. Padahal orang-orang shalih dahulu sangat hati-hati dengan waktu.” Fudhail bin Iyadh rahimahullah juga mengisahkan penggalan peristiwa penting yang ada di masyarakatnya ketika itu. Ia mengatakan, “Saya kenal dengan seseorang yang bisa menghitung perkataannya dari satu Jum’at ke Jum’at berikutnya, ....”Masih menurut Fudhail, dahulu ada sekelompok orang yang lebih cenderung untuk diam, tidak mau aktif untuk membuat kebaikan. Kepada mereka Fudhail mengatakan,”sesungguhnya Malaikat yang menjalankan matahari tidak pernah diam menjalankan tugasnya menyinari alam semesta, apakah kalian tetap tidak ingin berdiri dan bergerak?”

Saudaraku,

Rasulullah shallallahu alaihi wasalam pernah memegang pundak Abdullah bin Umar radhiallahu anh, lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di didunia seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara. Jika engkau hidup hingga waktu sore, janganlah menunggu pagi dan jika engkau hidup hingga waktu pagi, jangan menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum kamu sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati.’(HR. Bukhari)

Orang-orang shalih dahulu, sangat ketat memeriksa waktu-waktu hidupnya. Diantara mereka ada yang bernama Amir bin Abdi Qais rahimahullah, seorang ahli ibadah yang terkenal sangat memelihara waktu. Suatu ketika, seseorang mengatakan kepadanya,”Berhentilah sejenak, saya perlu berbicara padamu ...”Secara cepat ia menjawab,”Jika engkau ingin saya berhenti, hentikanlah matahari memancarkan sinarnya ...” Lain lagi dengan Daud Ath-Tah’i rahimahullah.

Ia makan roti yang telah dibasahkan dengan air dan tidak mau makan roti kering. Saat memakannya ia mengatakan,”Antara makan roti dengan roti basah, ada bacaan 50 ayat.”

Waktu hidup ini memang tak pernah berhenti berdetak, bergerak dan berjalan menuju akhirnya. Dan setiap kita tak pernah tahu di mana titik akhir diamnya. Tak peduli waktu kecil, muda maupun dewasa apalagi tua. Itu sebabnya, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam sebuah ceramahnya yang begitu menggugah mengatakan,”wahai, pemuda-pemuda dua puluhan tahun, berapa banyak teman-teman seusia kalian yang telah meninggal dan mendahului kalian? Wahai pemuda-pemuda tiga puluhan (Hal-78) tahun, kalian berada di rentang akhir usia muda, apa yang telah kalian lakukan selama ini? Wahai, orangtua empat puluhan tahun, telah terlewati masa kecil dan masa muda, dan kalian terlalu lama bermain dan bersenda gurau hingga saat ini. Wahai para orangtua lima puluhan tahun, usia kalian telah menempuh separuh dari seratus tahun, apa yang sudah kalian hasilkan? Wahai para orangtua enam puluhan tahun, terlalu lama kalian ada di ujung harapan yang selama ini  telah memulikanmu, apakah kalian akan tetap bermain dan bersenda gurau, padahal engkau sudah hampir sampai ...”

Saudaraku,

Termasuk kelompok manakah kita? Usia dua puluhan, tiga puluhan, empat puluhan, atau enam puluhan? Atau bahkan lebih dari itu? Fudhail pernah berkata pada seseorang,”Berapa usia yang telah kau lewati?” Orang itu menjawab,”Enam puluh tahun.” Fudhail mengatakan,”Engkau, selama enam puluh tahun, menempuh perjalanan menuju Tuhanmu dan sebentar lagi engkau akan sampai ke tujuan.”

Mungkin, ada diantara kita yang bangga dan bersyukur dengan bertambahnya usia. Seharusnya kita semakin banyak merenung dengan kian berkurangnya usia. Seperti dikatakan Abu Darda dan Al Hasan radhiallahu anhuma, “Dirimu hanyalah gugusan hari demi hari. Setiap berlalu satu hari berarti berkuranglah bagian dari dirimu. Mengapa kita bergembira dengan hari-hari yang telah kita lewati? Padahal setiap hari berlalu, artinya kian mendekatkan kita pada ajal ...”

Saudaraku,

Mari bekerja keras untuk kematian. Ketentuan untung atau rugi, ada pada bagaimana kita beramal dan bekerja saat ini, sekarang. “Bagaimanakah penghuni dunia bisa gembira dengan harinya yang melahap bulannya, dengan bulannya memakan tahunnya, dan tahunnya yang semakin menghancurkan usianya? Bagaimana seseorang bisa gembira bila usianya sebenarnya mengarahkannya pada ajalnya dari dunia, dan merubah kehidupannya pada kematiannya?”

Sungguh indah detik-detik waktu yang dilewati para orang-orang shalih. Mubarak rahimahullah bercerita,”Aku berkunjung kepada Tsabit al Bunani rahimahullah di saat sakit menjelang ajalnya. Ketika itu, ia tetap mengingat teman-temannya. Ketika kami masuk menemuinya, ia berkata:’Wahai saudaraku, kemarin aku tidak bisa shalat seperti biasanya, dan aku tidak bisa puasa seperti biasanya, aku juga tidak bisa mendatangi teman-temanku lalu berzikir kepada Allah bersama mereka seperti biasanya.’ Kemudian ia berkata,’Ya Allah, apabila engkau menghalangi aku dari tiga perkara ini jangan Engkau biarkan aku di dunia sesaatpun.’ Lalu ia meninggal dunia saat itu.”

Saudaraku,

Sudah membuka lembar ke berapa? Berapa banyak catatan di lembar-lembar waktu kita yang tak ada hubungannya dengan dunia apalagi akhirat?

(Bangkinang, Selasa, 21 April 2010, 08:08:09 WIB)

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 222 Th.11, Rabiul Awal 1431 H/ 25 Februari 2010, hal. 76-78