Drama
Sejak semula hidup
memang drama. Dalam maknanya yang nyata, kita tak kekurangan kisah dan cerita.
Berjuta peristiwa memenuhi seluruh hari-hari yang pernah datang. Di sini, di
sana, di situ dan di mana saja. Bermacam suasana datang dan pergi menghampiri setiap
jiwa.
Kini kita hidup di era industri
drama. Begitu banyak realitas yang direka ulang untuk kepentingan panggung.
Beragam unsur dan kepentingan tumpah ruah di sana; uang, popularitas, rating,
kue iklan, penokohan, adrenalin, tren gaya, citra, pesan titipan, misi
tersembunyi, perang media, persaingan akses dan seterusnya. Maka hidup tidak
cukup dipotret sebagai drama nyata apa adanya. Tapi diciptakan dramatisasi yang
bahkan dramatis.
Di panggung televisi,
orang bisa di dorong denga heroik untuk menyumbang. Ada suasana dramatis yang
dibangun sedemikian rupa, melalui
diskusi dengan pertanyaan yang dianggap tajam, visualisasi, narasi, kutipan,
efek gambar, intonasi, pilihan kata, wawancara, pandangan mata, dan semua
atribut yang sangat melimpah. Maka berbondong-bondong orang menitipkan
sumbangannya. Tetapi seharusnya semua orang tahu, bahwa menyumbang dengan cara
apapun, dengan sarana apapun, terikat dengan hukum agama.
Apa
yang sudah kita berikan sebagai sumbangan, oleh agama ditetapkan sebagai
kepindahan hak milik yang sah kepada orang lain atas dasar sukarela, dan tidak
bisa ditarik kembali. Maka sangat aneh, bila kemudian ada upaya menciptakan
drama kembali, dengan tujuan agar uang yang telah disumbangkan itu bisa diminta
kembali. Para penyumbang punya wilayah
hukum dengan Tuhannya terkait ikhlas tidaknya, sebagaimana para penerima
sumbangan terikat hukum dengan Tuhannya terkait cara dia menggunakan sumbangan
yang diterima. Tapi aturan agama tentang kepemilikan tidak begitu saja bisa
diubah paksa hanya dengan dramatisasi media.
Sejak
semula hidup sudah drama. Tapi di batas ini, seharusnya semua tahu bahwa
berlebihan dalam mendramatisasi segala hal hingga melanggar aturan agama
sungguh tidak pantas. Padahal, biarpun tanpa dramatisasi berlebihan, sejatinya
hidup mampu memberi kita sumber kehidupan itu sendiri. Tapi para pengusung
ideology panggung punya banyak retorika dan alasan yang mereka anggap benar.
Kita
hidup dalam kepungan industry drama. Bahkan ajaran agama banyak dipaksakan
hadir ke hadapan kita dengan cita rasa itu. Yang kita lihat kemudian ruh agama
dikaji tanpa spiritualitas ketundukan, hukum fikih yang mengikat dibedah dengan
pandangan alternatif yang tak berdasar, dan tema akhlak dikisahkan tanpa hasrat
kemuliaan. Di panggung lain ada penceramah laki-laki yang kadang bergaya
perempuan, atau pemain panggung yang tergoda untuk mematenkan ucapan Alhamdulillah.
Hidup
memang drama. Tapi bahkan ketika agama kita mengulang-ulang, bahwa hidup di
dunia ini hanya permainan dan senda gurau sekalipun, ia punya batasan hukum dan
aturan ketat yang tidak boleh kita permainkan.
Majalah tarbawi Edisi 259 Th. 13, Dzulqaidah 1432 H, 6 Oktober 2011 M.
Hal-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar