Minggu, 30 Agustus 2020

Drama


Drama  

Sejak semula hidup memang drama. Dalam maknanya yang nyata, kita tak kekurangan kisah dan cerita. Berjuta peristiwa memenuhi seluruh hari-hari yang pernah datang. Di sini, di sana, di situ dan di mana saja. Bermacam suasana datang dan pergi menghampiri setiap jiwa.



Kini kita hidup di era industri drama. Begitu banyak realitas yang direka ulang untuk kepentingan panggung. Beragam unsur dan kepentingan tumpah ruah di sana; uang, popularitas, rating, kue iklan, penokohan, adrenalin, tren gaya, citra, pesan titipan, misi tersembunyi, perang media, persaingan akses dan seterusnya. Maka hidup tidak cukup dipotret sebagai drama nyata apa adanya. Tapi diciptakan dramatisasi yang bahkan dramatis.

Di panggung televisi, orang bisa di dorong denga heroik untuk menyumbang. Ada suasana dramatis yang dibangun sedemikian rupa, melalui diskusi dengan pertanyaan yang dianggap tajam, visualisasi, narasi, kutipan, efek gambar, intonasi, pilihan kata, wawancara, pandangan mata, dan semua atribut yang sangat melimpah. Maka berbondong-bondong orang menitipkan sumbangannya. Tetapi seharusnya semua orang tahu, bahwa menyumbang dengan cara apapun, dengan sarana apapun, terikat dengan hukum agama.

Apa yang sudah kita berikan sebagai sumbangan, oleh agama ditetapkan sebagai kepindahan hak milik yang sah kepada orang lain atas dasar sukarela, dan tidak bisa ditarik kembali. Maka sangat aneh, bila kemudian ada upaya menciptakan drama kembali, dengan tujuan agar uang yang telah disumbangkan itu bisa diminta kembali.  Para penyumbang punya wilayah hukum dengan Tuhannya terkait ikhlas tidaknya, sebagaimana para penerima sumbangan terikat hukum dengan Tuhannya terkait cara dia menggunakan sumbangan yang diterima. Tapi aturan agama tentang kepemilikan tidak begitu saja bisa diubah paksa hanya dengan dramatisasi media.

Sejak semula hidup sudah drama. Tapi di batas ini, seharusnya semua tahu bahwa berlebihan dalam mendramatisasi segala hal hingga melanggar aturan agama sungguh tidak pantas. Padahal, biarpun tanpa dramatisasi berlebihan, sejatinya hidup mampu memberi kita sumber kehidupan itu sendiri. Tapi para pengusung ideology panggung punya banyak retorika dan alasan yang mereka anggap benar.

Kita hidup dalam kepungan industry drama. Bahkan ajaran agama banyak dipaksakan hadir ke hadapan kita dengan cita rasa itu. Yang kita lihat kemudian ruh agama dikaji tanpa spiritualitas ketundukan, hukum fikih yang mengikat dibedah dengan pandangan alternatif yang tak berdasar, dan tema akhlak dikisahkan tanpa hasrat kemuliaan. Di panggung lain ada penceramah laki-laki yang kadang bergaya perempuan, atau pemain panggung yang tergoda untuk mematenkan ucapan Alhamdulillah.

Hidup memang drama. Tapi bahkan ketika agama kita mengulang-ulang, bahwa hidup di dunia ini hanya permainan dan senda gurau sekalipun, ia punya batasan hukum dan aturan ketat yang tidak boleh kita permainkan.

 



Majalah tarbawi Edisi 259 Th. 13, Dzulqaidah 1432 H, 6 Oktober 2011 M. Hal-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar