SUDAH
MEMBUKA LEMBAR KEBERAPA?[1]
(Hal-76) Seorang ulama, mengibaratkan waktu kehidupan ini dengan
ilustrasi sederhana, tapi sangat menyentuh. Katanya, hidup ini ibarat kita
membuka lembar demi lembar sebuah buku. Dan setiap lembar buku yang kita buka,
adalah ibarat satu hari yang kita lewati. Semakin banyak lembar buku yang telah
kita buka, berarti semakin tipis sisa lembar buku yang kita buka. Hingga
akhirnya lembar demi lembar buku itupun habis kita buka. Dan itulah ajal.
Saudaraku,
Dalam setiap lembaran itu,
ada catatan dan warnanya sendiri-sendiri. Berapa lemar yang sudah kita buka?
Mari periksa kembali, apa isi catatan yang ada di lembar demi lembar yang telah
kita buka itu. Ada warna apa di sana? Apakah gambar dan peristiwa yang tertera
di sana? Indahkah catatan dan warnanya? Lalu, berpikirlah tentang berapa banyak
lagi lembaran yang tersisa bagi kita untuk (Hal-77)
kita isi? Jawabannya, pasti tidak ada yang tahu.
Ibnul Jauzi rahimahullah
pernah berkisah tentang keadaan manusia di zamannya, “Aku menyaksikan
banyak kebiasaan orang-orang yang isinya adalah menyia-nyiakan waktu. Padahal
orang-orang shalih dahulu sangat hati-hati dengan waktu.” Fudhail bin Iyadh rahimahullah
juga mengisahkan penggalan peristiwa penting yang ada di masyarakatnya ketika
itu. Ia mengatakan, “Saya kenal dengan seseorang yang bisa menghitung
perkataannya dari satu Jum’at ke Jum’at berikutnya, ....”Masih menurut Fudhail,
dahulu ada sekelompok orang yang lebih cenderung untuk diam, tidak mau aktif
untuk membuat kebaikan. Kepada mereka Fudhail mengatakan,”sesungguhnya Malaikat
yang menjalankan matahari tidak pernah diam menjalankan tugasnya menyinari alam
semesta, apakah kalian tetap tidak ingin berdiri dan bergerak?”
Saudaraku,
Rasulullah shallallahu
alaihi wasalam pernah memegang pundak Abdullah bin Umar radhiallahu anh,
lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di didunia seakan-akan sebagai orang asing
atau pengembara. Jika engkau hidup hingga waktu sore, janganlah menunggu pagi
dan jika engkau hidup hingga waktu pagi, jangan menunggu sore. Pergunakanlah
waktu sehatmu sebelum kamu sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati.’(HR.
Bukhari)
Orang-orang shalih dahulu,
sangat ketat memeriksa waktu-waktu hidupnya. Diantara mereka ada yang bernama
Amir bin Abdi Qais rahimahullah, seorang ahli ibadah yang terkenal
sangat memelihara waktu. Suatu ketika, seseorang mengatakan
kepadanya,”Berhentilah sejenak, saya perlu berbicara padamu ...”Secara cepat ia
menjawab,”Jika engkau ingin saya berhenti, hentikanlah matahari memancarkan sinarnya
...” Lain lagi dengan Daud Ath-Tah’i rahimahullah.
Ia makan roti yang telah
dibasahkan dengan air dan tidak mau makan roti kering. Saat memakannya ia
mengatakan,”Antara makan roti dengan roti basah, ada bacaan 50 ayat.”
Waktu hidup ini memang tak
pernah berhenti berdetak, bergerak dan berjalan menuju akhirnya. Dan setiap
kita tak pernah tahu di mana titik akhir diamnya. Tak peduli waktu kecil, muda
maupun dewasa apalagi tua. Itu sebabnya, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam
sebuah ceramahnya yang begitu menggugah mengatakan,”wahai, pemuda-pemuda dua
puluhan tahun, berapa banyak teman-teman seusia kalian yang telah meninggal dan
mendahului kalian? Wahai pemuda-pemuda tiga puluhan (Hal-78)
tahun, kalian berada di rentang akhir usia muda, apa yang telah kalian
lakukan selama ini? Wahai, orangtua empat puluhan tahun, telah terlewati masa
kecil dan masa muda, dan kalian terlalu lama bermain dan bersenda gurau hingga
saat ini. Wahai para orangtua lima puluhan tahun, usia kalian telah menempuh
separuh dari seratus tahun, apa yang sudah kalian hasilkan? Wahai para orangtua
enam puluhan tahun, terlalu lama kalian ada di ujung harapan yang selama
ini telah memulikanmu, apakah kalian
akan tetap bermain dan bersenda gurau, padahal engkau sudah hampir sampai ...”
Saudaraku,
Termasuk kelompok manakah
kita? Usia dua puluhan, tiga puluhan, empat puluhan, atau enam puluhan? Atau
bahkan lebih dari itu? Fudhail pernah berkata pada seseorang,”Berapa usia yang
telah kau lewati?” Orang itu menjawab,”Enam puluh tahun.” Fudhail
mengatakan,”Engkau, selama enam puluh tahun, menempuh perjalanan menuju Tuhanmu
dan sebentar lagi engkau akan sampai ke tujuan.”
Mungkin, ada diantara kita
yang bangga dan bersyukur dengan bertambahnya usia. Seharusnya kita semakin
banyak merenung dengan kian berkurangnya usia. Seperti dikatakan Abu Darda dan
Al Hasan radhiallahu anhuma, “Dirimu hanyalah gugusan hari demi hari.
Setiap berlalu satu hari berarti berkuranglah bagian dari dirimu. Mengapa kita
bergembira dengan hari-hari yang telah kita lewati? Padahal setiap hari
berlalu, artinya kian mendekatkan kita pada ajal ...”
Saudaraku,
Mari bekerja keras untuk
kematian. Ketentuan untung atau rugi, ada pada bagaimana kita beramal dan
bekerja saat ini, sekarang. “Bagaimanakah penghuni dunia bisa gembira dengan
harinya yang melahap bulannya, dengan bulannya memakan tahunnya, dan tahunnya
yang semakin menghancurkan usianya? Bagaimana seseorang bisa gembira bila
usianya sebenarnya mengarahkannya pada ajalnya dari dunia, dan merubah
kehidupannya pada kematiannya?”
Sungguh indah detik-detik
waktu yang dilewati para orang-orang shalih. Mubarak rahimahullah bercerita,”Aku
berkunjung kepada Tsabit al Bunani rahimahullah di saat sakit menjelang
ajalnya. Ketika itu, ia tetap mengingat teman-temannya. Ketika kami masuk
menemuinya, ia berkata:’Wahai saudaraku, kemarin aku tidak bisa shalat seperti
biasanya, dan aku tidak bisa puasa seperti biasanya, aku juga tidak bisa mendatangi
teman-temanku lalu berzikir kepada Allah bersama mereka seperti biasanya.’
Kemudian ia berkata,’Ya Allah, apabila engkau menghalangi aku dari tiga perkara
ini jangan Engkau biarkan aku di dunia sesaatpun.’ Lalu ia meninggal dunia saat
itu.”
Saudaraku,
Sudah membuka lembar ke
berapa? Berapa banyak catatan di lembar-lembar waktu kita yang tak ada
hubungannya dengan dunia apalagi akhirat?
(Bangkinang,
Selasa, 21 April 2010, 08:08:09 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar