Rabu, 07 Mei 2025

Baitu Da’wah: Dari Rumah Biasa Menuju Generasi Luar Biasa

  

Baitu-d Da’wah 

KH Rahmat Abdullah  

Baitu Da’wah: Dari Rumah Biasa Menuju Generasi Luar Biasa
Baitu Da’wah: Dari Rumah Biasa Menuju Generasi Luar Biasa 

(Hal 20) suatu malam menjelang fajar, dalam inspeksi rutinnya, Khalifah II Umar bin Khattab mendengar dialog yang menarik antara seorang ibu dengan gadis kencurnya.

”Cepatlah bangun! Perah susu kambing kita dan campurkan dengan air sebelum orang bangun dan melihat kerja kita.” ”Bu, saya tidak berani, ada yang selalu melihat gerak-gerik kita.” ”Siapa sih, sepagi ini mengintai kita.” ” Bu, Allah tak pernah lepas memperhatikan kita.”

Khalifah kembali dengan satu tekad yang esok dilaksanakannya, melamar sang gadis untuk puteranya yang bernama ’Ashim bin Umar. Kelak dari pernikahan ini lahir seorang cucu: Umar bin Abdul Aziz, Khalifah kelima.

Tuan dan Nyoya Da’wah yang saya hormati

Tentu saja istilah baitu da’wah tidak dimaksudkan sebagai rumah tempat warganya setiap hari berpidato. Juga bukan keluarga dengan aktifitas belajar mengajar seperti laiknaya sebuah sekolah formal. Ia adalah sebuah wahana tempat pendidikan berlangsung secara mandiri dan alami namun tertarget jelas.

Ada kegawatan yang sangat ketika roda keluarga meluncur tanpa kendali. Saat salah seorang anggotanya sadar apa yang sedang terjadi, segalanya mungkin terlambat.

Baca Juga : LuruskanNiat Rapatkan Barisan

 ”keterlambatan” itu dapat mengambil bentuknya pada ABG yang asing dari nilai-nilai ayah ibunya, atau ayah yang lupa dengan basis keluarganya oleh kesibukan di luar kerja, atau ibu yang terpuruk dalam rutinitas yang membunuh kreatifitasnya, atau karir yang menggilas peran dan fitrah keibuannya.

Banyak orang yang merasa telah menjadi suami, isteri atau ayah dan ibu sungguhan, padahal mereka baru menjadi ayah, ibu, suami atau istri biologis. Sangat kasar kalau diistilahkan menjadi jantan, betina atau induk dan biang. Walaupun, dalam banyak hal ada kesamaan.

 Kalau hanya memberi makan dan minum kepada anak-anak: kambing, ayam dan kerbau telah memerankan fungsi tersebut dengan sangat baik. Dan, isu sentral ”pewarisan nilai-nilai kehidupan” dalam kehidupan mereka tak ada soal.

 Buktinya, tak satupun anak ayam berkelakuan kerbau, atau anak kerbau berkelakuan belut, atau anak kambing berkelakuan serigala. Adalah suatu penyimpangan bahwa ada anak manusia bertingkah laku babi, serigala, harimau atau musang.

Tentu saja ini tidak dimaksud mendukung program robotisasi anak yang dipaksa menghafal seluruh program yang dijejalkan bapak ibunya tanpa punya peluang menjadi dirinya sebagai hamba Allah, karena mereka harus menjadi hamba  ayah, hamba ibu, dan hamba guru. 

Ini tidak ada hubungannya dengan program tahfizh atau apresiasi seni Islami yang menjadi bagian dari sungai fitrah tempat air kehidupan mengalir sampai jauh.

Baca Juga: Memahami‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Misteri Berkah

Saat ini beberapa keluarga sederhana, dibimbing oleh ”intuisi” kebapakan dan keibuan, mendapat berkah dalam mendidik anak-anak mereka. Anak SMU-nya lulus dengan baik, plus hapal 1.000 Alfiah Imam Malik, rujukan utama gramatika Arab (Nahwu). Lumayan mengagumkan, jebolan SMU menjadi rujukan sesama mahasiswa di sebuah Universitas terkemuka di negara Arab. 

Tahun-tahun berikutnya sang adik menyusul dengan hak beasiswa ke sebuah universitas unggulan ke Eropa. Lainnya bisa melakoni dua kuliah yang ”pelik”: bahasa Arab di sebuah kolase yang paling representatif sementara siangnya mengambil jurusan ekonomi. 

Kemenakannya hafal Al Qur’an 30 juz menjelang akhir semester delapan di institut teknologi paling bergengsi di negeri ini. Kemenakan (Hal 21)  yang lain lulus akademi militer angkatan darat tanpa kehilangan kesantriannya yang pekat.

Sang bapak jauh dari penguasaan teori ilmu-ilmu pendidikan. Ketika digali hal  yang spesial dari kelakuannya, muncul jawaban yang significan: kecintaan keluarga tersebut kepada ulama (dalam arti yang sesungguhnya) dan keberaniannya amar ma’ruf nahi mungkar tanpa harus selalu mengandalkan mimbar tabligh. Mengesankan sekali ucapan Ali Zainal Abidin, cucu Ali bin Abi Thalib,

”Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, maka anak, istri dan pembantunya pun akan membangkang kepadanya.”

Ternyata memang, keikhlasan seseorang atau keluarga kerap menembus beberapa generasi sesudahnya. Boleh jadi seseorang merasa telah menjadi bagian dari dakwah yang besar dan berkah, tetapi bukan sikap da’i yang dirawatnya. 

Baca Juga: Bisakahkita Buktikan Keimanan Kita?

Alih-alih dari membimbing masyarakat dengan fiqh dan akhlak daiyah, justru sebaliknya, hanya ghibah dan pelecehan yang digencarkan terhadap masyarakat. Padahal, besar kemungkinan mereka tidak tersentuh dakwah atau tidak mendapatkan komunikasi yang memadai.

Ikhlas, nilai plus yang menembus lintas generasi

Keikhlasan yang ”naif” Nabi Ibrahim yang rela demi melaksanakan perintah Allah meninggalkan istri dan bayinya di lembah yang tak bertanaman di dekat rumah Allah yang dihormati (QS Ibrahim: 37) menghasilkan bukan hanya turunan nasab yang konsisten, tetapi juga turunan fikrah yang militan.

Ummu Sulaim ibu Anas bin Malik yang begitu stabil emosinya dan begitu mendalam keikhlasannya menerima kematian bayinya, mendapatkan 100 anak dan cucu, semuanya telah hapal Al Qur’an dalam usia sangat dini. 

Itu hasil hubungan yang penuh berkah ditingkahi doa berkah Rasulullah SAW di malam yang sangat beralasan baginya untuk ”meratapi” bayinya yang tiada. Demikian pula pengkhianatan istri Nabi Luth dan Nabi Nuh yang karenanya Allah menyebutnya Imra-ah (perempuan) bukan zaujah (istrinya) melahirkan generasi yang sangat berbeda.

Yang satu generasi sangat Rabbani seperti Nabi Ismail as, yang cermin kepribadiannya membersit dalam ungkapan pekat nilai-nilai tauhid:

”Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, akan kau temukan daku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar.”

(QS 37:102)  

Baca Juga:   SepertiBurung yang Serius Menjalani Hidup

Di seberang lain dengan pongahnya Yam bin Nuh berkata, saat ayahnya mengajak naik bahtera penyelamat:

”Aku akan berlindung ke gunung yang akan menyelamatkanku dari air bah.”

(QS 11: 43)  

Di zaman ketika setiap serigala dengan mudah menyerbu masuk ke rumah-rumah yang tak lagi berpagar dan berpintu, siapa yang merasa aman dan mampu melindungi anak-anak fitrah dari terkamannya? 

Siapa yang tabah melindungi gelas bening dan kertas putih suci itu dari ancaman yang setiap waktu dapat memecah hancurkan dan mencemari mereka? Siapa yang tergetar hatinya melihat cermin bening yang semestinya ia perhatikan betul raut wajahnya di sana, seraya merintihkan desakan suara hatinya dalam sujud panjang di keheningan malam:

”Dan Kami telah berpesan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya yang mengandungnya dengan susah dan melahirkannya dengan susah. (Masa) hamil dan menyapih tiga puluh bulan. Sehingga ketika ia mencapai masa kuatnya dan mencapai usia empat puluh tahun ia berkata: Ya Rabbi ajarkan daku agar dapat mensyukuri nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan beramal shalih yang Engkau Ridhai serta perbaikilah untukku dalam keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu, dan aku termasuk kaum yang menyerahkan diri.”


Majalah Tarbawi, Edisi 002 Th.I,  Rabiul Akhir 1420, 20 Juli 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar