Senin, 31 Agustus 2020

Izinkan Aku Bercerita

 

 

Izinkan Aku Bercerita[1]

 

(Hal-03) Jakarta, 1 Mei 1999

La-Nina, benar-benar membuat kering udara Jakarta. Suhu politik yang kian memanas, rasanya turut membuat Ibu Kota Gerah. Di beberapa ruas jalan Jakarta, kemacetan masih menjadi langganan. Itupun, masih ditingkahi tawuran pelajar yang punya beberapa shift, pagi, siang dan petang. Harga sembako masih sulit terjangkau. Laju inflasi memang tak akan bisa berhenti, sebab ia berhulu kepada system ekonomi makro yang berbasis riba.



Semua orang sibuk dengan urusan sendiri. Setiap hari, tak kurang sebelas juta anak manusia mengais rezeki di Jakarta. Hidup yang keras, rasa aman yang kian tipis, moralitas religi dan sosial makin sirna, menjadi lautan keluh kesah tak bertepi. Orang harus berjibaku, bila ingin idealismenya tak ikut tewas.

Suasana itu, kadang membuat orang lupa, bahwa hari-hari ini adalah penantian kelahiran demokrasi di Indonesia. Penantian itu sangat berarti, karena lebih dari 32 tahun ia terpasung. Terserah Anda, mau mengibaratkan seperti apa. Kita hanya berharap, bagaimana bayi demokrasi ini tidak lahir dengan cesar.meski pahit, ada bahagia yang bisa direngkuh, bila kelahiran itu alami. Sebab, prose salami, adalah bagian dari sunnatullah.

Ibarat pertarungan, sebenarnya umat Islam sedang bertanding dalam logika politik yang tidak fair. Betapa tidak, bila geliat politik ummat Islam menampakkan kuncupnya, semua kepentingan yang anti Islam serta merta bersatu padu menghadang. Dan, itu artinya terjadi pengeroyokan. Itulah mentalitas perampok. Lalu, apa jadinya kondisi bangsa ini, yang sebentar lagi akan menghadapi momen pemilihan umum?

Apapun, ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi pasca pemilu. Pertama, pemilu akan dianulir bila ternyata hasilnya menetapkan dominasi kekuatan politik Islam. Kasus ini pernah terjadi di Aljazair. Kedua, Islam bisa saja unggul tapi tidak dominan. Dan karenanya, akan terjadi persaingan politik yang sangat ketat dengan kekuatan lain. Kemungkinan kedua ini, persis terjadi di Turki. Ketiga, bisa jadi kelompok status quo akan berjaya kembali. Dan ini sama artinya mengulang kesalahan yang sama, untuk kedua, bahkan ketiga kalinya. Akan terjadi koalisi kepentingan kelompok dan pembagian kue.

Mereka-reka kemungkinan tidaklah aib. Bukan untuk apa-apa, kecuali sekedar, agar jika kondisi terburuk pun terjadi, kita tak sampai harus terpuruk, apalagi future. Seperti sikap Imam Abu Hanifah yang banyak mengandai suatu perkara, yang belum terjadi di masanya. Ketika muridnya bertanya tentang sikapnya tersebut, Abu Hanifah menjelaskan, “kita bicarakan hokum tentang sesuatu yang belum terjadi, agar nanti bila peristiwa itu terjadi, kita telah siap dan tahu bagaimana menghukuminya.”

Hanya doktrin Islam yang mengaitkan teori kemungkinan dengan aspek aqidah. “dan tidaklah ada satu jiwa yang mengetahui apa yang terjadi esok. Dan tidaklah ada yang mengetahui di negeri mana ia akan mati.” (QS Luqman:31. Karenanya, selain sikap responsif dan antisipatif, dakwah harus menjadi mainsistem. Dan, yang paling penting, bagaimana kita tak sampai menjadi ummat bermental buih.

Jakarta masih saja panas. Dan inilah ceritaku, sampai jumpa dengan cerita yang lain, bulan depan, Insya Allah.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar