Izinkan Aku
Bercerita[1]
(Hal-03) Jakarta, 1
Mei 1999
La-Nina, benar-benar membuat kering udara
Jakarta. Suhu politik yang kian memanas, rasanya turut membuat Ibu Kota Gerah. Di
beberapa ruas jalan Jakarta, kemacetan masih menjadi langganan. Itupun, masih
ditingkahi tawuran pelajar yang punya beberapa shift, pagi, siang dan petang. Harga sembako masih sulit
terjangkau. Laju inflasi memang tak akan bisa berhenti, sebab ia berhulu kepada
system ekonomi makro yang berbasis riba.
Semua orang sibuk dengan urusan sendiri.
Setiap hari, tak kurang sebelas juta anak manusia mengais rezeki di Jakarta. Hidup
yang keras, rasa aman yang kian tipis, moralitas religi dan sosial makin sirna,
menjadi lautan keluh kesah tak bertepi. Orang harus berjibaku, bila ingin idealismenya
tak ikut tewas.
Suasana itu, kadang membuat orang lupa, bahwa
hari-hari ini adalah penantian kelahiran demokrasi di Indonesia. Penantian itu
sangat berarti, karena lebih dari 32 tahun ia terpasung. Terserah Anda, mau
mengibaratkan seperti apa. Kita hanya berharap, bagaimana bayi demokrasi ini
tidak lahir dengan cesar.meski pahit,
ada bahagia yang bisa direngkuh, bila kelahiran itu alami. Sebab, prose salami,
adalah bagian dari sunnatullah.
Ibarat pertarungan, sebenarnya umat Islam
sedang bertanding dalam logika politik yang tidak fair. Betapa tidak, bila geliat politik ummat Islam menampakkan
kuncupnya, semua kepentingan yang anti Islam serta merta bersatu padu
menghadang. Dan, itu artinya terjadi pengeroyokan. Itulah mentalitas perampok.
Lalu, apa jadinya kondisi bangsa ini, yang sebentar lagi akan menghadapi momen
pemilihan umum?
Apapun, ada beberapa kemungkinan yang bakal
terjadi pasca pemilu. Pertama, pemilu akan dianulir bila ternyata hasilnya
menetapkan dominasi kekuatan politik Islam. Kasus ini pernah terjadi di
Aljazair. Kedua, Islam bisa saja unggul tapi tidak dominan. Dan karenanya, akan
terjadi persaingan politik yang sangat ketat dengan kekuatan lain. Kemungkinan
kedua ini, persis terjadi di Turki. Ketiga, bisa jadi kelompok status quo akan
berjaya kembali. Dan ini sama artinya mengulang kesalahan yang sama, untuk
kedua, bahkan ketiga kalinya. Akan terjadi koalisi kepentingan kelompok dan
pembagian kue.
Mereka-reka kemungkinan tidaklah aib. Bukan
untuk apa-apa, kecuali sekedar, agar jika kondisi terburuk pun terjadi, kita
tak sampai harus terpuruk, apalagi future. Seperti sikap Imam Abu Hanifah yang
banyak mengandai suatu perkara, yang belum terjadi di masanya. Ketika muridnya
bertanya tentang sikapnya tersebut, Abu Hanifah menjelaskan, “kita bicarakan
hokum tentang sesuatu yang belum terjadi, agar nanti bila peristiwa itu
terjadi, kita telah siap dan tahu bagaimana menghukuminya.”
Hanya doktrin Islam yang mengaitkan teori
kemungkinan dengan aspek aqidah. “dan
tidaklah ada satu jiwa yang mengetahui apa yang terjadi esok. Dan tidaklah ada
yang mengetahui di negeri mana ia akan mati.” (QS Luqman:31. Karenanya, selain sikap responsif dan antisipatif,
dakwah harus menjadi mainsistem. Dan,
yang paling penting, bagaimana kita tak sampai menjadi ummat bermental buih.
Jakarta masih saja panas. Dan inilah
ceritaku, sampai jumpa dengan cerita yang lain, bulan depan, Insya Allah.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar