Nurani[1]
(Hal-04) Ada
kenangan unik yang tersisa dari pemilu. Setidaknya bagi saya. Bukan soal
penghitungan suara yang banyak dituding curang. Bukan pula soal nasib
partai-partai yang tak mungkin lagi ikut pemilu. Saya tertarik dengan ramainya
orang bicara soal nurani, pada hari-hari menjelang pencoblosan. Dalam tajuknya
Republika menulis, “Hari ini kita
melaksanakan pemilihan Umum. Ucapkanlah Bismillahirrahmanirrahim sebelum Anda
menusuk. Pilihlah partai yang sesuai hati nurani Anda sebagai Muslim.”Tak
ada kata-kata lain kecuali kalimat itu. Sementara Presiden Habibie berkata,
“Jadikanlah hati nurani sebagai penentu dalam pencoblosan.”
Nurani? Mengapa tidak setiap hari orang
bicara nurani. Di manakah nurani Edi
Wuryanto saat menuduh Dwi Sumaji alias Iwik yang membunuh Udin? Kemana
nurani para pembantai rakyat Aceh semasa DOM? Digadaikan kemana nurani para
penghisap darah rakyat selama Orde Baru? Inga’,
inga’, sejak tahun 1967, Orde Baru telah mengorupsi 10 miliar US$ dari
total 30 miliar US $ pinjaman Bank Dunia. Maka, tak aneh bila tahun lalu
Indonesia menjadi Negara terkorup di Asia versi lembaga riset di Hongkong, PERC
(Political and Economic Risc
Consultancy).
Aneh. Selama ini, apa saja selalu
dipolitisir, termasuk nurani. Namun,
hari itu saya menyaksikan upaya menuranikan politik. Nurani digugah,
karena,”Suara Anda benar-benar menentukan nasib bangsa.” Padahal, nurani
pemilih masih bergantung kepada nurani penghitung suara, nurani pembawa berita
acara, nurani Jacob Tobing, Nurani Rudini, dan nurani siapa saja yang turut
mempengaruhi hasil pemilu.
Banyak retorika hidup yang harus dikembalikan
kepada nurani. Bagi seorang mukmin nurani adalah titian rabbani. Al-Qur’an menyebutnya dengan fitrah. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada fitrah yang telah
ditetapkan Allah. Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah itu… (QS.Ar-Rum:30)
Bila nurani telah mati, segala perangkat kejujuran
tak kan begitu berarti. Kecuali bila perangkatnya seperti tinta pemilu yang
sulit dihilangkan. Betapa sulit dibayangkan, bila semua transaksi dan interaksi
sosial harus diamankan dengan tinta. Seluruh jari tangan dan kaki pasti tidak
mencukupi. Lalu seperti apa rupa manusia?
Karenanya, “suarakan suaramu” harus dilanjutkan dengan “Suarakan Nuranimu.” Dan, itu artinya pekerjaan berat menanti. Apa
pasal? Di Indonesia yang populasi penduduknya amat besar dan budaya feodalistik
yang sangat dominan, melakukan transformasi pendidikan nurani tak kan semudah
membalik telapak tangan.
Apalagi bila tipologi pemilih Indonesia
adalah wajah asli kepribadian mereka. Seperti kata Eep Saefulloh Fatah, hanya
10 persen pemilih yang kategorinya kalkulatif rasional, sisanya adalah
masyarakat feodal danorang-orang yang teralienasi secara politik. “Mereka tak
punya bangunan argumentasi rasional ketika akan menentukan pilihannya. Ikatan
yang sifatnya personal, emosional bahkan irrasional akan gampang mengikat
mereka.” Papar Eep.
Cukup sampai di sini? Tidak. Nurani yang kita
inginkan bukan sebatas nurani kemanusiaan, tapi nurani keislaman. Bila nurani
tidak on-line dengan niat dan misi ibadah, ia hanya akan menjadi komoditas
politik sementara.
Semoga Indonesia baru menjadi kenyataan. Barakallahu li wa lakum fi nuraniku dan nuranikum.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar