Senin, 31 Agustus 2020

Nurani

 

Nurani[1] 

(Hal-04) Ada kenangan unik yang tersisa dari pemilu. Setidaknya bagi saya. Bukan soal penghitungan suara yang banyak dituding curang. Bukan pula soal nasib partai-partai yang tak mungkin lagi ikut pemilu. Saya tertarik dengan ramainya orang bicara soal nurani, pada hari-hari menjelang pencoblosan. Dalam tajuknya Republika menulis, “Hari ini kita melaksanakan pemilihan Umum. Ucapkanlah Bismillahirrahmanirrahim sebelum Anda menusuk. Pilihlah partai yang sesuai hati nurani Anda sebagai Muslim.”Tak ada kata-kata lain kecuali kalimat itu. Sementara Presiden Habibie berkata, “Jadikanlah hati nurani sebagai penentu dalam pencoblosan.”



Nurani? Mengapa tidak setiap hari orang bicara nurani. Di manakah nurani Edi  Wuryanto saat menuduh Dwi Sumaji alias Iwik yang membunuh Udin? Kemana nurani para pembantai rakyat Aceh semasa DOM? Digadaikan kemana nurani para penghisap darah rakyat selama Orde Baru? Inga’, inga’, sejak tahun 1967, Orde Baru telah mengorupsi 10 miliar US$ dari total 30 miliar US $ pinjaman Bank Dunia. Maka, tak aneh bila tahun lalu Indonesia menjadi Negara terkorup di Asia versi lembaga riset di Hongkong, PERC (Political and Economic Risc Consultancy).

Aneh. Selama ini, apa saja selalu dipolitisir, termasuk nurani. Namun,  hari itu saya menyaksikan upaya menuranikan politik. Nurani digugah, karena,”Suara Anda benar-benar menentukan nasib bangsa.” Padahal, nurani pemilih masih bergantung kepada nurani penghitung suara, nurani pembawa berita acara, nurani Jacob Tobing, Nurani Rudini, dan nurani siapa saja yang turut mempengaruhi hasil pemilu.

Banyak retorika hidup yang harus dikembalikan kepada nurani. Bagi seorang mukmin nurani adalah titian rabbani. Al-Qur’an menyebutnya dengan fitrah. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada fitrah yang telah ditetapkan Allah. Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah itu… (QS.Ar-Rum:30)

Bila nurani telah mati, segala perangkat kejujuran tak kan begitu berarti. Kecuali bila perangkatnya seperti tinta pemilu yang sulit dihilangkan. Betapa sulit dibayangkan, bila semua transaksi dan interaksi sosial harus diamankan dengan tinta. Seluruh jari tangan dan kaki pasti tidak mencukupi. Lalu seperti apa rupa manusia?

Karenanya, “suarakan suaramu” harus dilanjutkan dengan “Suarakan Nuranimu.” Dan, itu artinya pekerjaan berat menanti. Apa pasal? Di Indonesia yang populasi penduduknya amat besar dan budaya feodalistik yang sangat dominan, melakukan transformasi pendidikan nurani tak kan semudah membalik telapak tangan.

Apalagi bila tipologi pemilih Indonesia adalah wajah asli kepribadian mereka. Seperti kata Eep Saefulloh Fatah, hanya 10 persen pemilih yang kategorinya kalkulatif rasional, sisanya adalah masyarakat feodal danorang-orang yang teralienasi secara politik. “Mereka tak punya bangunan argumentasi rasional ketika akan menentukan pilihannya. Ikatan yang sifatnya personal, emosional bahkan irrasional akan gampang mengikat mereka.” Papar Eep.

Cukup sampai di sini? Tidak. Nurani yang kita inginkan bukan sebatas nurani kemanusiaan, tapi nurani keislaman. Bila nurani tidak on-line dengan niat dan misi ibadah, ia hanya akan menjadi komoditas politik sementara.

Semoga Indonesia baru menjadi kenyataan. Barakallahu li wa lakum fi nuraniku dan nuranikum.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 002  Th.I, R. Akhir 1420, 20 Juli 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar