Senin, 31 Agustus 2020

Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?

 

Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?[1][2]


(Hal-76) Menekuni hadist dan sabda Rasulullah saw, selalu menghasilkan nilai-nilai yang begitu dalam maknanya. Sabda Rasulullah saw, disebut para ulama memiliki sifat “jawaami’ul kamil”, perkataan yang singkat, padat dan berbobot. Salah satu sabdanya yang kita coba renungkan kali ini. “Ada tiga sikap”, kata Rasulullah saw. “Bila ketiganya berkumpul pada diri seseorang, terhimpunlah makna keimanan dalam diri orang itu. Yaitu sikap objektif terhadap diri sendiri, menyebarkan salam kepada siapapun (yang dikenal maupun yang tidak dikenal), dan berinfaq di saat kebutuhan terhadap yang diinfaqkan.”



(Hal-77) perhatikanlah satu persatu sikap itu. Teliti perlahan. Lalu ucapkanlah subhanallah, Maha Suci Allah swt yang memberikan ilham kepada Rasulullah saw dalam perkataan yang sangat penuh nilai itu. Mari kita renungkan.

Saudaraku,

Sikap jujur meskipun diri sendiri, seimbang dalam menilai walaupun terhadap diri sendiri, objektif dalam menghukumi meski terhadap diri sendiri. Itu semua juga berarti mempertahankan sikap netral di saat kita berselisih dengan pihak lain. Artinya, kita tetap bisa memandang sisi baik orang yang berbeda dan kita anggap salah, dan sebaliknya tetap bisa melihat sisi negatif yang mungkin ada dalam diri kita, saat kita menyalahkan perilaku orang lain. Sebagian besar orang mengatakan, seperti itu mustahil dimiliki. Alasannya, hampir tidak ada manusia yang terlepas dari keakuan dan ego, sehingga dia sulit sekali memposisikan dirinya, sama, seimbang dalam menilai pihak lain yang sedang berselisih dengannya.

Saudaraku,

Biasanya, kita memiliki pandangan lebih istimewa terhadap diri kita sendiri. Atau, biasanya juga, kita akan selalu memcoba mencari posisi mana yang bisa membenarkan apa yang kita lakukan. Kita, bagaimanapun umumnya merasakan, memiliki unsur kebenaran yang lebih banyak ketimbang orang lain. Lalu, bila kita dalam posisi sulit membela diri karena telah jelas melakukan kesalahan, kita menelisik dan mencari-cari, sisi mana yang masih mungkin diambil dan diangkat, agar sedikit banyak bisa menambah pembenaran kesalahan yang kita lakukan. Misalnya kita akan berusaha membenarkan sikap keliru yang kita lakukan, dengan melihat dari sisi niat atau keinginan baik yang kita lakukan. Sehingga, meskipun salah, setidaknya kita berniat baik. Poin niat baik itu mengandung unsur ego agar setidaknya bisa menambah sisi baik dari sebuah kesalahan. Atau, jika sudah benar mengakui salah, kita akan mengatakan,”Saya memang salah, tapi mungkin cara pengungkapannya yang salah. Sedangkan maksudnya baik.” Begitulah.

Memang selalu sulit sekali berlaku adil, objektif, jujur, tatkala harus berurusan dengan diri sendiri. Dan itulah sikap pertama yang bila dimiliki, menurut Rasulullah saw, adalah bagian penting dari makna keimanan. Para ulama saat menguraikan hadist ini menjelaskan, bahwa orang yang jujur, yang adil, adalah orang yang mengenal dan mengakui apa yang dilakukannya. Mengakui terhadap dirinya sendiri bahwa ia telah melakukan sesuatu yang salah terhadap fulan. Atau mengakui bahwa ia telah berlaku merendahkan fulan.

(Hal-78) Saudaraku,

Masih dalam konteks yang sama, sangat berbeda sekali bila kita melihat kesalahan yang sama dilakukan oleh orang lain. Rasulullah saw memberikan pemisahan lain tentang hal ini. “Salah seorang kalian melihat bintik kotoran di mata saudaranya. Tapi ia melupakan kotoran besar yang ada di matanya sendiri,” demikian dalam hadist riwayat Bukhari. Kita cenderung hanya melihat kesalahan pihak lain saja, tanpa mau membuka kemungkinan adanya kebenaran yang biasanya kita gunakan dalam menilai bila kondisi itu ada pada diri sendiri. Kita cenderung tidak melihat apa latarbelakang, niat dan maksud orang yang kita anggap melakukan kesalahan itu. Apalagi bila berpikir, bahwa orang tersebut akan bertaubat, beristigfar dan menyesali kesalahannya. Coba bandingkan dua hal ini.

Sikap yang sama juga harusnya berlaku bila kita berhadapan dengan suatu kelompok, organisasi atau lembaga. Tidak menisbatkan kesalahan seseorang dari kelompok tertentu, menjadi kesalahan semua orang yang ada dalam kelompok atau organisasi itu. Persis sama dengan keinginan kita, agar pihak lain tidak menyamarakan kekeliruan satu dua orang kelompok kita, menimpa sepuruh orang yang ada dalam organisasi termasuk kita.

Saudaraku,

Sikap kedua dalam hadist diatas juga memiliki irisan makna yang jelas dengan sikap pertama. Memberi salam kepada siapapun, baik yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal. Sepertinya mudah, tapi ini merupakan ciri dari ketawadu’an sekaligus keimanan seseorang.

Sedangkan sikap ketiga, berinfaq dengan sesuatu yang diperlukan. Memberikan dan mengeluarkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan di saat kita sendiri sedang membutuhkan sesuatu itu. Pasti tidak mudah. Karena jiwa manusia, cenderung menahan yang ia miliki, dan cenderung tidak memberikan kepada orang lain, sesuatu yang ia butuhkan. Maka, seandainya, ada orang yang memiliki sikap ini seperti ini, hampir dipastikan, tidak ada kesombongan dalam dirinya, tidak ada ego dalam hatinya. Yang ada adalah empati, mendahulukan orang lain, yang otomatis berarti lebih menghargai orang lain.

Saudaraku,

Tiga sikap yang sungguh padat nilainya dan bukan mudah memilikinya. Tiga sikap yang saling berkait dan benar-benar menunjukkan kualitas iman yang luarbiasa bagi orang yang melakukannya. Bersikap jujur terhadap diri sendiri, tak memandang kondisi orang dalam bersikap baik dan bersikap baik, lalu memberikan kepada orang lain, dengan sesuatu yang sedang dibutuhkan.

Adakah diantara kita yang sanggup membuktikan keimanan kita dengan melakukan sikap-sikap itu semua?

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 235 Th.12, Muharram 1432H, 30 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar