Da’wah
dan Loyalitas Khusus
Oleh
Imam Nurwahyo
(Hal 24) Tak ada yang tak terikat dalam hidup ini. Air terikat dengan anatomi H2O-nya. Matahari, Bumi, dan Bulan terpaku pada lintasan orbitnya. Binatang terbelenggu dengan habitatnya.
Meski, ada monyet pandai berjoget, beruang
menggenjot sepeda, lumba-lumba pandi berhitung, singa menerobos lingkaran api,
gajah bermain bola, tapi toh mereka tetap binatang yang tak kan berubah jadi
manusia. Semua terika t dengan berbagai status dirinya itu.
Keterikatan dengan status itulah dasar loyalitas.
Bila loyalitas ini rusak, rusak pula semuanya. Sekali harimau mendekam di kebun
binatang, ia tak akan selincah kala masih di hutan. Begitu juga manusia, begitu
unsur loyalitasnya tumpul, mata buta, hati mati, telinga tuli,
”Mereka bagaikan hewan ternak,
bahkan lebih sesat.”
(QS Al A’raf: 179)
Baca Juga: LuruskanNiat Rapatkan Barisan
Lalu,
apa bentuk loyalitas seorang Muslim yang harus digengam erat? Ada dua loyalitas
utama yang mengikat seorang Muslim. Jika loyalitasnya kacau, akan binasalah
dirinya. Lebih-lebih seorang da’i, ulama atau tokoh ummat. Bila loyalitasnya
hancur, hancur pula ummat semuanya. Ada pepatah yang mengatakan,
”Tergelincirnya ulama, adalah
tergelincirnya dunia.”
(Zallatul ’alim, zallatul ’alam).
Dua loyalitas itu, pertama, loyalitas kepada syariat Islam (Iltizam Syar’i). Di sini seorang Muslim diukur sejauh mana loyalitasnya kepada hukum Islam. Batasan yang digunakan meliputi lima hukum Islam: wajib, sunnah, makruh, halal, haram. Dengan hukum ini seorang Muslim diikat.
Saat dia berdagang, berdiam di rumah, bertetangga, bertamu, mengajar,
mengelola perusahaan, menjadi pejabat, semuanya harus dijalankan sesuai
rambu-rambu syariat. Tidak boleh menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang
halal.
Loyalitas dalam bidang ini, tak terbatas pada apa-apa yang harus terekspresikan secara lahiriyah semata. Namun, juga berbicara soal bathin dan hati yang tersembunyi.
Karenanya, riya’ yang
tersembunyi amat ditakutkan Rasulullah pada ummatnya. Sebab ia wujud unloyality
bathin kepada syariat. Sebagaimana Al Qur’an juga menegaskan, tidak hanya
kejahatan aktual yang dilarang,
”Katakanlah: Sesungguhnya
Rabb-ku mengharamkan kekejian yang nampak maupun yang tersembunyi.”
(QS Al A’raf: 33)
Baca Juga: Memahami‘Jarak’ Dalam Komunikasi
Loyalitas syariat membutuhkan daya dukung loyalitas
komunitas (iltizam jama’i). secara jelas, kebutuhan akan loyalitas
syariat dan loyalitas komunitas dapat kita fahami dalam firman Allah, yang
artinya,
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah
kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”
(QS Ali Imran: 102-103)
Ayat tersebut berbicara tentang dua masalah utama. Loyalitas syar’i yaitu menjadi (Hal 25) orang yang bertakwa dan berpegang teguh kepada tali Allah membutuhkan daya dukung loyalitas (Dan janganlah kamu bercerai-berai).
Secara
kultur, orang sulit menjadi baikatau bertahan dalam kebaikan bila ia secara
gegabah berani hidup sebatang kara. Apalagi, tak mungkin seorang Muslim dengan
egois ingin balik sendiri dan masuk surga sendiri. Ketahanan diri seorang
Muslim memerlukan partner untuk saling menasehati.
Siapa saja komunitas yang layak diberikan kepada loyalitas seorang Muslim? Loyalitas sesama Muslim, menduduki tingkat pertama. Sebut saja Loyalitas Kemusliman.
Loyalitas Kemusliman, akan
banyak berdimensi sosial dan moral. Seperti dalam soal muamalah, bisnis,
infak, kerjasama, dan semisalnya. Karenanya, dalam bahasa Rasulullah,
”Orang Muslim itu adalah orang
yang Muslim lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
(HR Bukhari Muslim)
Baca Juga : Profesional
Dalam konteks sosial seorang Muslim harus menjadi
rahmat bagi orang lain. Melalui lidah dan tangan itulah seorang Muslim
mengekspresikan jati dirinya.
Dalam hadits-hadits lain juga bisa ditemukan tentang
keharusan seorang Muslim membangun loyalitas Kemusliman. Dengan cara memenuhi
hak-hak sesama Muslim, dan mendahulukan mereka dalam urusan-urusan moral dan
sosial. Seperti disabdakan Rasulullah,
”Hak seorang Muslim atas Muslim
ada enam. Mengucapkan salam bila bertemu, menjenguk bila sakit, menasehati bila
dimintai nasehat, menghadiri undangannya, mendoakannya saat bersin, dan
mengikuti jenazahnya.”
(Muttafaq ’alaihi)
Di atas Loyalitas Kemusliman, ada loyalitas untuk
komunitas orang-orang beriman. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an, yang
artinya,
”Dan orang Mukmin laki-laki dan
orang-orang Mukmin perempuan adalah sesama mereka itu saling memberi
loyalitas.”
(QS At Taubah: 71)
Kedudukan loyalitas ini lebih tinggi, karena
keimanan memang lebih tinggi dari keislaman, meskipun keduanya saling
beririsan. Makanya, di zaman Rasulullah, orang-orang Badui yang merasa telah
beriman padahal baru masuk Islam ditegur langsung oleh Allah.
Baca Juga: Karena Syaitan itu Musuh …
”Katakanlah (kepada
mereka):”Kami telah beriman.” katakanlah (kepada mereka): ”Kamu belum beriman.”
katakanlah (kepada mereka):”Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ’Kamu belum
beriman, tetapi katakanlah ’kami telah Islam (tunduk).’ Karena iman itu belum
masuk ke dalam hatimu.”
(QS Al Hujurat: 14)
Loyalitas seperti ini sebut saja dengan loyalitas
kemukminan. Yaitu
loyalitas yang diberikan seorang Mukmin kepada orang Mukmin lainnya. Dimensinya
tidak saja pada aspek sosial dan moral, tapi juga soal politik dan ideologi. Banyak
ditemukan hadits-hadits yang berbicara dalam konteks loyalitas kemukminan dan
dimensi sosial serta moral. Misalnya sabda Rasulullah:
”Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menghormati tamunya.” atau sabdanya
yang lain, ”Demi Allah, di tidak beriman.” Para Sahabat bertanya,”Siapa wahai
Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Orang yang tetangganya tidak aman dari
ulahnya.”
(Muttafaq Alaihi).
Namun, loyalitas kemukminan yang berdimensi sosial
moral ini tekanannya pun lebih kuat. Seperti sabda Rasulullah,
”Perumpamaan orang-orang Mukmin
dalam saling mencintai, mengasihi, dan saling menyayangi adalah seperti satu
tubuh. Apabila ada salah satu anggota (Hal 26) yang sakit seluruh anggota tubuh
akan ikut terjaga dan merasakan demam.”
(Muttafaq’alaihi)
Adapun loyalitas kemukminan dalam bidang ideologi
dan politik, sangat tegas bisa di lihat dalam firman Allah,
”Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu.”
(QS Al Maidah: 51)
”Sesungguhnya wali kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang Mukmin, yang mendirikan shalat,
menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah.”
(QS Al Mujadilah: 22)
Baca Juga: Bisakahkita Buktikan Keimanan Kita?
Nabiyullah Ibrahim adalah sosok agung yang loyalitas
kemukminannya diabadikan dalam Al Qur’an, ketika ia berlepas diri dari
kemusyrikan Ayahnya dan kaumnya. Sebab, kepada orang kafir, hanya bisa
diberikan loyalitas kemanusiaan, itu pun harus dalam bingkai
untuk mendakwahi mereka. Secara manusiawi mereka tetap harus diberikan hak-hak
kemanusiaannya.
”Allah tidak melarang kamu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi
kamu dari karena agama dan tidak pula (pula)mengusir dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
(QS Al Mumtahanah: 8)
Dakwah dan Loyalitas Khusus
Bila kita berbicara dalam konteks dakwah, maka
loyalitas di atas masih membutuhkan loyalitas lain, sebut saja loyalitas
Komunitas Dakwah. Tuntutan dakwah kian hari kian berat. Interaksi dakwah tidak bisa terpaku
hanya dari mimbar ke mimbar. Peluang dakwah untuk memasuki medan yang amat luas
sudah terbuka lebar. Dakwah akan menemui jati dirinya. Karena memang begitulah
aslinya.
Karenanya, dakwah perlu loyalitas tambahan lagi dari
sekadar loyalitas kemusliman dan kemukminan. Dakwah perlu loyalitas khusus dari
orang-orang Mukmin yang secara khusus mengikrarkan diri untuk berjuang membela
Islam dan menegakkan kebenaran.
Adanya komunitas khusus seperti ini sah-sah saja. Demikian
pula loyal kepada komunitas tersebut, tak ada salahnya. Ada banyak dasar
pembenarannya. Pertama, dari sisi aqidah, orang yang secara khusus
berjanji untuk setia membela Islam adalah berjanji untuk Allah. Dan, karenanya,
ia tak disia-siakan Allah. Seperti diabadikan Allah dalam Al Qur’an,
”Sesungguhnya orang-orang yang
berjanji kepadamu di bawah pohon adalah berjanji kepada Allah, Tangan Allah
diatas tangan mereka. Maka barangsiapa yang melanggar janji itu, sesungguhnya
akibatnya kepada diri mereka sendiri. Dan barangsiapa memenuhi janji itu, maka
Allah akan memberi balasan yang sebaik-baiknya.”
(QS Al Fath:10)
Baca Juga: HanyaKarena Kehendak Allah ....
Kedua, dari landasan sirah, ini
hal yang sangat lumrah dalam tradisi perjuangan Islam, bahkan dalam kehidupan
umumnya. Kala itu Rasulullah memiliki orang-orang khusus yang berjanji setia
untuk mengikuti dan membela Rasulullah. Seperti dua belas orang yang berbaiat
kepadanya pada Baiat Aqabah pertama, atau tujuh puluh tiga orang para baiat
aqobah kedua.
Ketiga, secara fiqih, sesama mukmin
boleh memuat konsensus (musyarathah), atau saling membuat keterikatan. Seperti
disabdakan Rasulullah,
”orang-orang Muslim itu terikat
dengan syarat-syarat yang dibuat diantara mereka.”
(Hadits Shahih, diriwayatkan Abu Dawud dan Al Hakim).
Tentu saja consensus yang tidak melanggar syariat
Allah.
(Hal 27) Rasulullah saw bersabda,
”Setiap syarat yang tidak
dibenarkan kitabullah maka hukumnya bathil meski seratus syarat.”
(Abu Dawud dan Al Hakim)
Dan, berjanji untuk membela Islam, adalah termasuk
konsensus (Musyarathah) yang dibenarkan.
Keempat, bisa juga ia dasarkan kepada semangat ukhuwah khusus. Maksud dari ukhuwah khusus adalah apa yang dilakukan Rasulullah ketika melakukan persaudaraan khusus begitu tiba di Madinah.
Seperti Ja’far bin Abi Thalib dipersaudarakan dengan Mu’adz bin Jabal,
Abu Bakar dengan Kahrizah bin Zuhair, Abu Ubaidah bin Jarrah dengan Sa’ad bin
Mu’adz, Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Waktu itu, persaudaraan
khusus di Madinah tersebut melahirkan banyak hak-hak khusus dan keterikatan
khusus. Bahkan sampai saling mewarisi. Hanya, kemudian soal waris dibatalkan
dengan peraturan khusus melalui ayat-ayat waris.
Mengomentari persaudaraan khusus, Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat Imam Ahmad mengatakan hukum ukhuwah khusus tidak dihapus (tidak mansukh). Artinya, ia masih bisa diterapkan, kecuali soal yang telah ditetapkan hukumnya seperti hukum waris.
Baca Juga: AndaiBukan Karena Cinta-Nya Kepadaku
Minimal diberlakukannya ukhuwah
khusus bisa dilandaskan untuk mewujudkan apa yang memang seharusnya ada dalam
ukhuwah umum sebagaimana diperintahkan dalil-dalil Al Qur’an dan sunnah.
Hubungan para da’i dengan dakwah melalui loyalitas khusus, adalah hubungan timbal balik. Artinya, tidak saja dakwah yang perlu dukungan loyalitas komunitas khusus, tapi para da’i juga perlu kepada loyalitas tersebut.
Sebab, ketika dakwah makin melebar, dan profesi da’i sudah banyak
tersebar di berbagai sektor, maka peluang terjadi iritasi iman, moral dan
semangat dakwah akan besar.
Era dunia kali ini memang kotor. Banyak yang tidak punya kekebalan menghadapi lingkungan yang penuh dosa. Tapi tak mungkin sebagai mukmin lantas lari dan ber-uzlah dari realitas ini.
Sebaliknya,
bagaimana setiap mukmin punya ”tempat kembali” yang jelas, tempat meluruskan
kembali hati dan niat, tempat sesama orang beriman saling mengambil nasehat,
dan tempat para da’i menyusun strategi.
Tempat itu adalah komunitas dakwah. Dan, komunitas
dakwah itu adalah jama’ah dakwah. Dalam bahasa yang lebih sederhana, seperti
yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib ketika ditanya oleh Ibnu Kawa’,
”Berjamaah adalah setia bersama
komunitas orang-orang yang memegang teguh kebenaran (al-haq) meskipun mereka
sedikit. Sedangkan meninggalkan berjama’ah adalah bergabung dengan orang-orang
yang bathil meskipun mereka banyak.”
Baca Juga: DosaYang Terus Mengalir
Dakwah dan para da’inya sekali lagi membutuhkan
loyalitas komunitas khusus. Apa sebabnya,
”Sesungguhnya Syaithan itu
serigala bagi manusia. Sebagaimana serigala, ia akan menerkam domba yang
menyendiri dan terlepas dari rombongannya. Maka, jauhilah oleh kalian
menyendiri, dan hendaklah kalian selalu loyal kepada jama’ah.”
(HR. Ahmad)
”Jauhilah oleh kalian bercerai
berai, dan hendaklah kalian berpegang teguh berjama’ah, karena sesungguhnya
syaithan itu bersama orang yang
sendirian, dan ia bersama dua orang akan lebih.”
(HR. Tirmidzi)
Wallahu a’lam bishawab.
Majalah Tarbawi, Edisi 002 Th.I, Rabiul Akhir 1420, 20 Juli 1999

Tidak ada komentar:
Posting Komentar