Rabu, 21 Mei 2025

Da’wah dan Loyalitas Khusus

  

Da’wah dan Loyalitas Khusus 

Oleh Imam Nurwahyo  

Da’wah dan Loyalitas Khusus
Da’wah dan Loyalitas Khusus  

 

(Hal 24) Tak ada yang tak terikat dalam hidup ini. Air terikat dengan anatomi H2O-nya. Matahari, Bumi, dan Bulan terpaku pada lintasan orbitnya. Binatang terbelenggu dengan habitatnya. 

Meski, ada monyet pandai berjoget, beruang menggenjot sepeda, lumba-lumba pandi berhitung, singa menerobos lingkaran api, gajah bermain bola, tapi toh mereka tetap binatang yang tak kan berubah jadi manusia. Semua terika t dengan berbagai status dirinya itu.

Keterikatan dengan status itulah dasar loyalitas. Bila loyalitas ini rusak, rusak pula semuanya. Sekali harimau mendekam di kebun binatang, ia tak akan selincah kala masih di hutan. Begitu juga manusia, begitu unsur loyalitasnya tumpul, mata buta, hati mati, telinga tuli,

”Mereka bagaikan hewan ternak, bahkan lebih sesat.”

(QS Al A’raf: 179)

Baca Juga: LuruskanNiat Rapatkan Barisan

Lalu, apa bentuk loyalitas seorang Muslim yang harus digengam erat? Ada dua loyalitas utama yang mengikat seorang Muslim. Jika loyalitasnya kacau, akan binasalah dirinya. Lebih-lebih seorang da’i, ulama atau tokoh ummat. Bila loyalitasnya hancur, hancur pula ummat semuanya. Ada pepatah yang mengatakan,

”Tergelincirnya ulama, adalah tergelincirnya dunia.”

(Zallatul ’alim, zallatul ’alam).

Dua loyalitas itu, pertama, loyalitas kepada syariat Islam (Iltizam Syar’i). Di sini seorang Muslim diukur sejauh mana loyalitasnya kepada hukum Islam. Batasan yang digunakan meliputi lima hukum Islam: wajib, sunnah, makruh, halal, haram. Dengan hukum ini seorang Muslim diikat.

 Saat dia berdagang, berdiam di rumah, bertetangga, bertamu, mengajar, mengelola perusahaan, menjadi pejabat, semuanya harus dijalankan sesuai rambu-rambu syariat. Tidak boleh menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.

Loyalitas dalam bidang ini, tak terbatas pada apa-apa yang harus terekspresikan secara lahiriyah semata. Namun, juga berbicara soal bathin dan hati yang tersembunyi. 

Karenanya, riya’ yang tersembunyi amat ditakutkan Rasulullah pada ummatnya. Sebab ia wujud unloyality bathin kepada syariat. Sebagaimana Al Qur’an juga menegaskan, tidak hanya kejahatan aktual yang dilarang,

”Katakanlah: Sesungguhnya Rabb-ku mengharamkan kekejian yang nampak maupun yang tersembunyi.”

(QS Al A’raf: 33)

Baca Juga: Memahami‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Loyalitas syariat membutuhkan daya dukung loyalitas komunitas (iltizam jama’i). secara jelas, kebutuhan akan loyalitas syariat dan loyalitas komunitas dapat kita fahami dalam firman Allah, yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”

(QS Ali Imran: 102-103)

Ayat tersebut berbicara tentang dua masalah utama. Loyalitas syar’i yaitu menjadi (Hal 25) orang yang bertakwa dan berpegang teguh kepada tali Allah membutuhkan daya dukung loyalitas (Dan janganlah kamu bercerai-berai).

Secara kultur, orang sulit menjadi baikatau bertahan dalam kebaikan bila ia secara gegabah berani hidup sebatang kara. Apalagi, tak mungkin seorang Muslim dengan egois ingin balik sendiri dan masuk surga sendiri. Ketahanan diri seorang Muslim memerlukan partner untuk saling menasehati.

Siapa saja komunitas yang layak diberikan kepada loyalitas seorang Muslim? Loyalitas sesama Muslim, menduduki tingkat pertama. Sebut saja Loyalitas Kemusliman. 

Loyalitas Kemusliman, akan banyak berdimensi sosial dan moral. Seperti dalam soal muamalah, bisnis, infak, kerjasama, dan semisalnya. Karenanya, dalam bahasa Rasulullah,

”Orang Muslim itu adalah orang yang Muslim lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”

(HR Bukhari Muslim)

Baca Juga : Profesional

Dalam konteks sosial seorang Muslim harus menjadi rahmat bagi orang lain. Melalui lidah dan tangan itulah seorang Muslim mengekspresikan jati dirinya.

Dalam hadits-hadits lain juga bisa ditemukan tentang keharusan seorang Muslim membangun loyalitas Kemusliman. Dengan cara memenuhi hak-hak sesama Muslim, dan mendahulukan mereka dalam urusan-urusan moral dan sosial. Seperti disabdakan Rasulullah,

”Hak seorang Muslim atas Muslim ada enam. Mengucapkan salam bila bertemu, menjenguk bila sakit, menasehati bila dimintai nasehat, menghadiri undangannya, mendoakannya saat bersin, dan mengikuti jenazahnya.”

(Muttafaq ’alaihi)

Di atas Loyalitas Kemusliman, ada loyalitas untuk komunitas orang-orang beriman. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an, yang artinya,

”Dan orang Mukmin laki-laki dan orang-orang Mukmin perempuan adalah sesama mereka itu saling memberi loyalitas.”

(QS At Taubah: 71)

Kedudukan loyalitas ini lebih tinggi, karena keimanan memang lebih tinggi dari keislaman, meskipun keduanya saling beririsan. Makanya, di zaman Rasulullah, orang-orang Badui yang merasa telah beriman padahal baru masuk Islam ditegur langsung oleh Allah.

Baca Juga: Karena Syaitan itu Musuh …

”Katakanlah (kepada mereka):”Kami telah beriman.” katakanlah (kepada mereka): ”Kamu belum beriman.” katakanlah (kepada mereka):”Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ’Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ’kami telah Islam (tunduk).’ Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.”

(QS Al Hujurat: 14)

Loyalitas seperti ini sebut saja dengan loyalitas kemukminan. Yaitu loyalitas yang diberikan seorang Mukmin kepada orang Mukmin lainnya. Dimensinya tidak saja pada aspek sosial dan moral, tapi juga soal politik dan ideologi. Banyak ditemukan hadits-hadits yang berbicara dalam konteks loyalitas kemukminan dan dimensi sosial serta moral. Misalnya sabda Rasulullah:

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menghormati tamunya.” atau sabdanya yang lain, ”Demi Allah, di tidak beriman.” Para Sahabat bertanya,”Siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Orang yang tetangganya tidak aman dari ulahnya.”

(Muttafaq Alaihi).

Namun, loyalitas kemukminan yang berdimensi sosial moral ini tekanannya pun lebih kuat. Seperti sabda Rasulullah,

”Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam saling mencintai, mengasihi, dan saling menyayangi adalah seperti satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota (Hal 26) yang sakit seluruh anggota tubuh akan ikut terjaga dan merasakan demam.”

(Muttafaq’alaihi)

Adapun loyalitas kemukminan dalam bidang ideologi dan politik, sangat tegas bisa di lihat dalam firman Allah,

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi  pemimpin-pemimpinmu.”

(QS Al Maidah: 51)

”Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang Mukmin, yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah.”

(QS Al Mujadilah: 22)

Baca Juga: Bisakahkita Buktikan Keimanan Kita?

Nabiyullah Ibrahim adalah sosok agung yang loyalitas kemukminannya diabadikan dalam Al Qur’an, ketika ia berlepas diri dari kemusyrikan Ayahnya dan kaumnya. Sebab, kepada orang kafir, hanya bisa diberikan loyalitas kemanusiaan, itu pun harus dalam bingkai untuk mendakwahi mereka. Secara manusiawi mereka tetap harus diberikan hak-hak kemanusiaannya.

”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dari karena agama dan tidak pula (pula)mengusir dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

(QS Al Mumtahanah: 8)

Dakwah dan Loyalitas Khusus

Bila kita berbicara dalam konteks dakwah, maka loyalitas di atas masih membutuhkan loyalitas lain, sebut saja loyalitas Komunitas Dakwah. Tuntutan dakwah kian hari kian berat. Interaksi dakwah tidak bisa terpaku hanya dari mimbar ke mimbar. Peluang dakwah untuk memasuki medan yang amat luas sudah terbuka lebar. Dakwah akan menemui jati dirinya. Karena memang begitulah aslinya.

Karenanya, dakwah perlu loyalitas tambahan lagi dari sekadar loyalitas kemusliman dan kemukminan. Dakwah perlu loyalitas khusus dari orang-orang Mukmin yang secara khusus mengikrarkan diri untuk berjuang membela Islam dan menegakkan kebenaran.

Adanya komunitas khusus seperti ini sah-sah saja. Demikian pula loyal kepada komunitas tersebut, tak ada salahnya. Ada banyak dasar pembenarannya. Pertama, dari sisi aqidah, orang yang secara khusus berjanji untuk setia membela Islam adalah berjanji untuk Allah. Dan, karenanya, ia tak disia-siakan Allah. Seperti diabadikan Allah dalam Al Qur’an,

”Sesungguhnya orang-orang yang berjanji kepadamu di bawah pohon adalah berjanji kepada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka. Maka barangsiapa yang melanggar janji itu, sesungguhnya akibatnya kepada diri mereka sendiri. Dan barangsiapa memenuhi janji itu, maka Allah akan memberi balasan yang sebaik-baiknya.”

(QS Al Fath:10)

Baca Juga: HanyaKarena Kehendak Allah ....

Kedua, dari landasan sirah, ini hal yang sangat lumrah dalam tradisi perjuangan Islam, bahkan dalam kehidupan umumnya. Kala itu Rasulullah memiliki orang-orang khusus yang berjanji setia untuk mengikuti dan membela Rasulullah. Seperti dua belas orang yang berbaiat kepadanya pada Baiat Aqabah pertama, atau tujuh puluh tiga orang para baiat aqobah kedua.

Ketiga, secara fiqih, sesama mukmin boleh memuat konsensus (musyarathah), atau saling membuat keterikatan. Seperti disabdakan Rasulullah,

”orang-orang Muslim itu terikat dengan syarat-syarat yang dibuat diantara mereka.”

(Hadits Shahih, diriwayatkan Abu Dawud dan Al Hakim).

Tentu saja consensus yang tidak melanggar syariat Allah.

(Hal 27) Rasulullah saw bersabda,

”Setiap syarat yang tidak dibenarkan kitabullah maka hukumnya bathil meski seratus syarat.”

(Abu Dawud dan Al Hakim)

Dan, berjanji untuk membela Islam, adalah termasuk konsensus (Musyarathah) yang dibenarkan.  

Keempat, bisa juga ia dasarkan kepada semangat ukhuwah khusus. Maksud dari ukhuwah khusus adalah apa yang dilakukan Rasulullah ketika melakukan persaudaraan khusus begitu tiba di Madinah. 

Seperti Ja’far bin Abi Thalib dipersaudarakan dengan Mu’adz bin Jabal, Abu Bakar dengan Kahrizah bin Zuhair, Abu Ubaidah bin Jarrah dengan Sa’ad bin Mu’adz, Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Waktu itu, persaudaraan khusus di Madinah tersebut melahirkan banyak hak-hak khusus dan keterikatan khusus. Bahkan sampai saling mewarisi. Hanya, kemudian soal waris dibatalkan dengan peraturan khusus melalui ayat-ayat waris.

Mengomentari persaudaraan khusus, Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat Imam Ahmad mengatakan hukum ukhuwah khusus tidak dihapus (tidak mansukh). Artinya, ia masih bisa diterapkan, kecuali soal yang telah ditetapkan hukumnya seperti hukum waris. 

Baca Juga: AndaiBukan Karena Cinta-Nya Kepadaku

Minimal diberlakukannya ukhuwah khusus bisa dilandaskan untuk mewujudkan apa yang memang seharusnya ada dalam ukhuwah umum sebagaimana diperintahkan dalil-dalil Al Qur’an dan sunnah.

Hubungan para da’i dengan dakwah melalui loyalitas khusus, adalah hubungan timbal balik. Artinya, tidak saja dakwah yang perlu dukungan loyalitas komunitas khusus, tapi para da’i juga perlu kepada loyalitas tersebut. 

Sebab, ketika dakwah makin melebar, dan profesi da’i sudah banyak tersebar di berbagai sektor, maka peluang terjadi iritasi iman, moral dan semangat dakwah akan besar.

Era dunia kali ini memang kotor. Banyak yang tidak punya kekebalan menghadapi lingkungan yang penuh dosa. Tapi tak mungkin sebagai mukmin lantas lari dan ber-uzlah dari realitas ini. 

Sebaliknya, bagaimana setiap mukmin punya ”tempat kembali” yang jelas, tempat meluruskan kembali hati dan niat, tempat sesama orang beriman saling mengambil nasehat, dan tempat para da’i menyusun strategi.

Tempat itu adalah komunitas dakwah. Dan, komunitas dakwah itu adalah jama’ah dakwah. Dalam bahasa yang lebih sederhana, seperti yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib ketika ditanya oleh Ibnu Kawa’,

”Berjamaah adalah setia bersama komunitas orang-orang yang memegang teguh kebenaran (al-haq) meskipun mereka sedikit. Sedangkan meninggalkan berjama’ah adalah bergabung dengan orang-orang yang bathil meskipun mereka banyak.”

Baca Juga: DosaYang Terus Mengalir 

Dakwah dan para da’inya sekali lagi membutuhkan loyalitas komunitas khusus. Apa sebabnya,

”Sesungguhnya Syaithan itu serigala bagi manusia. Sebagaimana serigala, ia akan menerkam domba yang menyendiri dan terlepas dari rombongannya. Maka, jauhilah oleh kalian menyendiri, dan hendaklah kalian selalu loyal kepada jama’ah.”

(HR. Ahmad)

”Jauhilah oleh kalian bercerai berai, dan hendaklah kalian berpegang teguh berjama’ah, karena sesungguhnya syaithan itu bersama  orang yang sendirian, dan ia bersama dua orang akan lebih.”

(HR. Tirmidzi)

Wallahu a’lam bishawab.


Majalah Tarbawi, Edisi 002 Th.I,  Rabiul Akhir 1420, 20 Juli 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar