Tampilkan postingan dengan label Ruhaniyat (Nasehat Ruhani). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ruhaniyat (Nasehat Ruhani). Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 September 2020

Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi[1][2][3]

(Hal-36) Jarak (distance) bisa mendekatkan sekaligus menjauhkan. Karena, jarak bisa menciptakan rasa. Hubungan berjarak, ketika ruang memisahkan orang-orang yang berkomunikasi, memang sebuah persoalan. Ada kedekatan fisik yang hilang, namun ada kerinduan yang menjadi energi tersendiri bagi sebuah hubungan. Selalu dekat secara fisik memang memudahkan, tetapi juga berpotensi melahirkan kebosanan.



Ketika jarak menjadi tanda nonverbal, ukurannya pun menjadi relatif. Bukan soal jauh atau dekat, tetapi bagaimana kita mendudukkan jarak dalam sebuah konteks komunikasi secara tepat. Seperti melihat benda, dengan ukurannya yang beragam, hanya akan bisa kita lihat secara jelas dalam sebuah jarak tertentu. Logikanya, semakin dekat akan semakin jelas, tetapi ada batasnya. Lebih dekat lagi, bisa jadi benda itu justru kelihatan kabur dan kehilangan detail.

Selasa, 01 September 2020

Profesional

 

Profesional[1] 

(Hal-04) Baru-baru ini LP3ES melakukan jajak pendapat. Siapakah sebaiknya yang duduk di kabinet mendatang?  Hasil polling itu menunjukkan bahwa masyarakat ingin agar kabinet mendatang diisi oleh kaum professional. Bukan oleh para politikus.



Keinginan dan harapan masyarakat itu bukan tanpa alasan. Bertahun-tahun umat ini menjadi orang-orang yang terjajah di negeri sendiri. Semua atas nama stabilitas atau pembangunan. Padahal segalanya untuk dan demi politik semata. Akibatnya, seperti kata K.H. Zainuddin MZ di negeri ini lebih banyak politisinya ketimbang negarawannya. Karena memang Negara ini bak lahan pembiakan untuk para politikus, dan bukan mesin pembinaan bagi para negarawan.

Dari sekian politikus itu, banyak yang modalnya hanya retorika. Mereka kerap berbicara berdasar asumsi-asumsi dan andai-andai belaka. Orang-orang yang berperilaku seperti itu sering dikategorikan sebagai tipe manusia primitif. Sebab orang modern menurut jargon kaum peneliti berbicara berbasis data bukan menduga-duga.

Ini jurang yang curam. Yang memisahkan antara harapan masyarakat akan profesionalisme dengan realitas kepemimpinan bangsa ini. Tetapi ironi tersebut masih menyisakan berderet-deret ironi lain, saat profesionalisme di negeri ini tak lagi punya tenaga. Meski sekadar untuk kepentingan duniawi saja. Lihatlah hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) belum lama ini. Menghadapi millennium bug,  Indonesia bersama Thailand, Malaysia dan Vietnam akan menghadapi kesulitan untuk memasuki ‘industri padat pengetahuan’ karena keterbatasan tenaga kerja terampil. Bahkan, dari 12 negara di Asia yang disurvei, Indonesia berada di urutan terakhir. Sedang peringkat  diduduki Jepang. Padahal masih menurut lembaga yang bermarkas di Hongkong itu, daya saing suatu Negara pada masa mendatang akan ditentukan pada mutu pekerja terampilnya.

Renungan ini tak sekadar sebuah keprihatinan. Tetapi tuntutan profesionalisme layak dihayati karena memang sunnatullah sendiri tegak atas asas profesionalitas. Langit yang tujuh dan buminya pula, matahari, bulan, bintang-bintang dalam lintas edarnya, malam dan siang, (QS. 36:37-40) adalah wajah bulat tentang profesionalisme dalam sunnatullah itu.

Karenanya, professional bagi seorang mukmin seharusnya tidak saja berkonotasi the right man in the right place, tapi sejauh mana ia meletakkan niat dan tindakan sesuai kehendak dan sunnah Allah. Sebab tak ada gunanya hidup jika tidak ditujukan kepada Allah. Dari sanalah profesionalisme keimanan itu diharapkan menjadi landasan dari segala tindakan dan kerja teknis berikutnya, hingga lahir profesionalisme amal shalih.

Rumusan ini akan menjadikan seorang mukmin tidak saja puas secara konvensional atas ihsan dan itqonnya di hadapan orang. Tapi lebih jauh akan membuatnya mampu bersyukur kepada Allah sekaligus merindukan keridhaan dan balasan yang lebih besar di akhirat kelak. Lalu, bila profesionalisme itu menginduk secara ilmiah kepada teori-teori manajemen, maka menarik sekali statemen DR.Muh. A. Al-Buraey. Pakar manajemen dari King Fahd University of Petroleum and Mineral itu mengatakan,”pada prinsipnya manajemen sekuler dan manajemen Islam itu sama. Yang membedakannya mungkin syura versus voting. Bila voting lebih mengutamakan suara yang lebih besar maka syura memilih maslahat yang lebih besar.”

Pada akhirya bila kita tambahkan ke dalam profesionalisme itu semangat ukhuwah, ta’awun dan rasa tanggung jawab, maka Insya Allah produktivitas amal kita akan meningkat. Dan dalam tataran interaksi sosial, bila sekali lagi Kiai Zainuddin MZ mengatakan di negeri ini lebih banyak ‘tukang kompor’ dibanding ‘tukang lem’, maka dengan semua itu kita akan bisa menjadi tukang-tukang lem itu. Semoga.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 004 Th.I, 05 Rajab 1420 H, 15 Oktober 1999

Senin, 31 Agustus 2020

Karena Syaitan itu Musuh

 

Karena Syaitan itu Musuh …[1][2]

 

(Hal-78)Syaitan. Apa yang terbayang dalam pikiran kita, atau kebanyakan orang, saat mendengar kata tersebut? Karena pesatnya informasi tidak benar dalam benak banyak orang, mungkin juga kita, maka kata-kata “syaitan” lebih dipahami sebagai sesuatu yang menakutkan secara fisik. Karena fisiknya yang buruk, sehingga harus dijauhi dan ditakuti. Padahal benarkah informasi itu yang digambarkan dalam Islam? Jawabannya, tidak.



Saudaraku,

Al Qur’an memilihkan kata yang sangat tepat memposisikan syaitan. Yaitu sebagai ‘aduww, atau musuh. Karena syaitan itu musuh, maka dia harus dilawan dan dilumpuhkan. Bukan ditakuti. Karena syaitan musuh, maka tidak boleh diberi kesempatan untuk menyerang. Karena syaitan musuh, maka kita harus waspada dan hati-hati terhadap segala tipu daya dan jebakannya yang bisa menjerumuskan. Begitulah. Karena syaitan itu musuh.

Tak satupun manusia yang luput dari godaan syaitan. Syaitan sebagai musuh, selalu mempunyai cara untuk bisa mempengaruhi dan menaklukkan hati hingga perilaku manusia. Betapapun keshalihan orang itu. Syetan sebagai musuh, akan terus mencari (Hal-79) jalan untuk merusak dengan cara yang paling sesuai dengan orang yang digodanya.

Saudaraku,

Setidaknya ada tiga kelompok manusia yang masing-masing diperlakukan dengan cara dan godaan yang berbeda oleh syaitan. Kelompok pertama, manusia yang cenderung kepada dosa dan maksiat. Cara yang dilakukan syaitan untuk kelompok ini adalah dengan selalu menggiring hati manusia agar terlunta, tersesat, semakin menjauh dari petunjuk Allah swt. Syaitan sebagai musuh, akan menarik dan mendekatkan jiwa orang tersebut untuk lebih melekat dan tertarik terhadap apa yang diharamkan dan dilarang Allah swt. Syaitan berupaya menutup hati dan jiwanya dari sikap hati-hati dan kesadaran. Jadi, orang-orang kelompok ini akan leluasa dan tenang melakukan banyak dosa dan kesalahan.

Kelompok kedua, adalah kelompok yang mempunyai jiwa yang lebih terikatdan tunduk kepada perintah Allah swt. Untuk menggoda kelompok ini, syaitan akan mencari jalan yang paling sesuai dengan kondisinya. Syaitan tak menggunakan cara agar orang tersebut menjauh dari hidayah Allah dan tersesat.  Tetapi meletakkan jebakan-jebakan, yang bisa membuat orang kelompok ini, terpeleset lalu jatuh, karena tidak begitu tampak bahayanya.

Kelompok ketiga, orang-orang yang aktif menyadarkan orang lain untuk dekat pada hidayah Allah, yang memerintahkan yang ma’ruf dan munkar, syaitan mempunyai senjata dan cara lain lagi. Berbeda dengan cara yang digunakan kepada dua kelompok tadi. Cara yang digunakan syaitan untuk menggoda orang ini adalah dengan mengarahkan pandangan orang tersebut pada kedudukan,kewibawaan, dan posisi pentingnya dibandingkan orang lain. Syaitan berusaha agar orang ini merasa besar, lebih mulia, lebih dekat kepada Allah swt. Dari situ, muncul sebuah sikap yang absurd melalui ketaatan dan menampilkan ketaatan, tapi diiringi hati yang merasa lebih baik disbanding orang lain.

Saudaraku,

Perintah-perintah Allah swt agar kita melakukan ketaatan, berdzikir, menjauhkan diri dari yang haram, bertujuan untuk membersihkan hati dari kekotoran dan noda, yang menghalangi seorang hamba dari Rabbnya. Itu sebabnya, para (Hal-80)ulama dan para shalihin seperti Imam Al Muhasibi, Imam Al Junaid Al Baghdadi, dan Al Imam Al Qushairi, ketika mereka menasihati tentang keharusan memperbanyak tilawah Al Qur’an, membaca dzikir pagi-sore, memperbanyak shalat sunnah setelah melakukan yang wajib, selalu mengiringi nasihatnya untuk tidak terjerumus pada fitnah merasa puas, merasa lebih karena amal-amal yang dilakukan. Mereka menegaskan bahwa sikap istiqomah dan konsisten melakukan perintah Allah swt itulah yang terpenting.

Mereka mengatakan, saat kita berusaha mengikat diri dengan perintah-perintah Allah, berupa ketaatan, membaca wirid do’a, ibadah wajib dan sunnah, ingatlah bahwa semua itu adalah obat bagi hati. Karena kita menyadari bahwa itu semua adalah obat, maka yang kita pinta adalah agar Allah swt memberi kesembuhan kita dari beragam penyakit hati, yang tersembunyi dan bertumpuk banyak alam hati kita. Inilah yang disinggung oleh Ibnu Athaillah rahimahullah: “Jika engkau masih mengagumi diri sendiri sebagai orang yang memiliki kelebihan dari orang lain, tidak menyukai kenikmatan yang jatuh pada orang lain, memendam rasa tidak enak dengan orang yang lebih terkenal dan lebih tinggi kedudukannya, ketahuilah bahwa sebenarnya ibadah yang engkau lakukan belum mendekatkan dirimu pada Allah.”

Sebab sejatinya manusia setiap ia lebih dekat kepada Allah, maka semakin tambah ma’rifah dan pengetahuannya kepada Allah dan semakin bertambah kesadaraannya akan keagungan hak Allah swt. Semakin sadar pula kekurangan yang dilakukannya di hadapan Allah swt. Semakin waspada dalam melihat keburukan dirinya. Kebalikannya, orang yang merasa tidak menyadari dan tidak mengenal Allah, semakin merasa aman dari kemurkaan Allah, dan semakin tenang karena merasa dirinya tidak ada masalah apa-apa.

Renungkanlah salah satu do’a salafushalih adalah,”Ya Allah jangan jadikan penghormatan orang lain kepadaku, dan kebaikan dugaan mereka kepada diriku, menjadikan aku mabuk dan lupa dengan keburukanku dan besarnya kekuranganku dalam menunaikan hak-hak-Mu. Ya Allah, jangan kau jadikan kenikmatan perlindungan-Mu terhadap aib dan kekuranganku, menyebabkan diriku sombong, atau menjadi sarana yang melupakanku terhadap keburukanku yang sudah pasti Engkau ketahui berdasarkan Ilmu-Mudan engkau sembunyikan dari hamba-Mu …”

Saudaraku,

Demikianlah, ketika para shalihin membicarakan godaan syaitan, mereka menyadari  betapa pembicaraan itupun bisa terselip di dalamnya gangguan syaitan itu sendiri terhadap diri mereka. Ketika mereka membicarakan tentang amal-amal kebaikan, maka mereka tidak lupa mengingatkan bila kebaikanpun bisa menjadi sarana terjerumusnya seseorang dalam jurang kesombongan, ghurur, rasa kecukupan, hingga cenderung melakukannya untuk ditampilkan pada manusia. Bukan untuk Allah swt.

Saudaraku,

Begitulah, karena syaitan itu musuh. ***

 

 



[1]M. Lili Nur Aulia

[2]Majalah Tarbawi Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1432H, 06 April 2012

Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?

 

Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?[1][2]


(Hal-76) Menekuni hadist dan sabda Rasulullah saw, selalu menghasilkan nilai-nilai yang begitu dalam maknanya. Sabda Rasulullah saw, disebut para ulama memiliki sifat “jawaami’ul kamil”, perkataan yang singkat, padat dan berbobot. Salah satu sabdanya yang kita coba renungkan kali ini. “Ada tiga sikap”, kata Rasulullah saw. “Bila ketiganya berkumpul pada diri seseorang, terhimpunlah makna keimanan dalam diri orang itu. Yaitu sikap objektif terhadap diri sendiri, menyebarkan salam kepada siapapun (yang dikenal maupun yang tidak dikenal), dan berinfaq di saat kebutuhan terhadap yang diinfaqkan.”



(Hal-77) perhatikanlah satu persatu sikap itu. Teliti perlahan. Lalu ucapkanlah subhanallah, Maha Suci Allah swt yang memberikan ilham kepada Rasulullah saw dalam perkataan yang sangat penuh nilai itu. Mari kita renungkan.

Saudaraku,

Sikap jujur meskipun diri sendiri, seimbang dalam menilai walaupun terhadap diri sendiri, objektif dalam menghukumi meski terhadap diri sendiri. Itu semua juga berarti mempertahankan sikap netral di saat kita berselisih dengan pihak lain. Artinya, kita tetap bisa memandang sisi baik orang yang berbeda dan kita anggap salah, dan sebaliknya tetap bisa melihat sisi negatif yang mungkin ada dalam diri kita, saat kita menyalahkan perilaku orang lain. Sebagian besar orang mengatakan, seperti itu mustahil dimiliki. Alasannya, hampir tidak ada manusia yang terlepas dari keakuan dan ego, sehingga dia sulit sekali memposisikan dirinya, sama, seimbang dalam menilai pihak lain yang sedang berselisih dengannya.

Saudaraku,

Biasanya, kita memiliki pandangan lebih istimewa terhadap diri kita sendiri. Atau, biasanya juga, kita akan selalu memcoba mencari posisi mana yang bisa membenarkan apa yang kita lakukan. Kita, bagaimanapun umumnya merasakan, memiliki unsur kebenaran yang lebih banyak ketimbang orang lain. Lalu, bila kita dalam posisi sulit membela diri karena telah jelas melakukan kesalahan, kita menelisik dan mencari-cari, sisi mana yang masih mungkin diambil dan diangkat, agar sedikit banyak bisa menambah pembenaran kesalahan yang kita lakukan. Misalnya kita akan berusaha membenarkan sikap keliru yang kita lakukan, dengan melihat dari sisi niat atau keinginan baik yang kita lakukan. Sehingga, meskipun salah, setidaknya kita berniat baik. Poin niat baik itu mengandung unsur ego agar setidaknya bisa menambah sisi baik dari sebuah kesalahan. Atau, jika sudah benar mengakui salah, kita akan mengatakan,”Saya memang salah, tapi mungkin cara pengungkapannya yang salah. Sedangkan maksudnya baik.” Begitulah.

Memang selalu sulit sekali berlaku adil, objektif, jujur, tatkala harus berurusan dengan diri sendiri. Dan itulah sikap pertama yang bila dimiliki, menurut Rasulullah saw, adalah bagian penting dari makna keimanan. Para ulama saat menguraikan hadist ini menjelaskan, bahwa orang yang jujur, yang adil, adalah orang yang mengenal dan mengakui apa yang dilakukannya. Mengakui terhadap dirinya sendiri bahwa ia telah melakukan sesuatu yang salah terhadap fulan. Atau mengakui bahwa ia telah berlaku merendahkan fulan.

(Hal-78) Saudaraku,

Masih dalam konteks yang sama, sangat berbeda sekali bila kita melihat kesalahan yang sama dilakukan oleh orang lain. Rasulullah saw memberikan pemisahan lain tentang hal ini. “Salah seorang kalian melihat bintik kotoran di mata saudaranya. Tapi ia melupakan kotoran besar yang ada di matanya sendiri,” demikian dalam hadist riwayat Bukhari. Kita cenderung hanya melihat kesalahan pihak lain saja, tanpa mau membuka kemungkinan adanya kebenaran yang biasanya kita gunakan dalam menilai bila kondisi itu ada pada diri sendiri. Kita cenderung tidak melihat apa latarbelakang, niat dan maksud orang yang kita anggap melakukan kesalahan itu. Apalagi bila berpikir, bahwa orang tersebut akan bertaubat, beristigfar dan menyesali kesalahannya. Coba bandingkan dua hal ini.

Sikap yang sama juga harusnya berlaku bila kita berhadapan dengan suatu kelompok, organisasi atau lembaga. Tidak menisbatkan kesalahan seseorang dari kelompok tertentu, menjadi kesalahan semua orang yang ada dalam kelompok atau organisasi itu. Persis sama dengan keinginan kita, agar pihak lain tidak menyamarakan kekeliruan satu dua orang kelompok kita, menimpa sepuruh orang yang ada dalam organisasi termasuk kita.

Saudaraku,

Sikap kedua dalam hadist diatas juga memiliki irisan makna yang jelas dengan sikap pertama. Memberi salam kepada siapapun, baik yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal. Sepertinya mudah, tapi ini merupakan ciri dari ketawadu’an sekaligus keimanan seseorang.

Sedangkan sikap ketiga, berinfaq dengan sesuatu yang diperlukan. Memberikan dan mengeluarkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan di saat kita sendiri sedang membutuhkan sesuatu itu. Pasti tidak mudah. Karena jiwa manusia, cenderung menahan yang ia miliki, dan cenderung tidak memberikan kepada orang lain, sesuatu yang ia butuhkan. Maka, seandainya, ada orang yang memiliki sikap ini seperti ini, hampir dipastikan, tidak ada kesombongan dalam dirinya, tidak ada ego dalam hatinya. Yang ada adalah empati, mendahulukan orang lain, yang otomatis berarti lebih menghargai orang lain.

Saudaraku,

Tiga sikap yang sungguh padat nilainya dan bukan mudah memilikinya. Tiga sikap yang saling berkait dan benar-benar menunjukkan kualitas iman yang luarbiasa bagi orang yang melakukannya. Bersikap jujur terhadap diri sendiri, tak memandang kondisi orang dalam bersikap baik dan bersikap baik, lalu memberikan kepada orang lain, dengan sesuatu yang sedang dibutuhkan.

Adakah diantara kita yang sanggup membuktikan keimanan kita dengan melakukan sikap-sikap itu semua?

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 235 Th.12, Muharram 1432H, 30 Desember 2010

Hanya Karena Kehendak Allah

 

Hanya Karena Kehendak Allah ....[1] [2]

(Hal-76) Saudaraku,

Himmah dalam bahasa Arab, artinya semangat kuat, tekad bulat, yang Allah berikan kepada manusiadalam menempuh beragam keinginan. Keinginan itu, bisa berbentuk prestasi belajar, capaian ekonomi atau bisnis, aspek kekuasaan dan lainnya, termasuk tentu saja keinginan dan obsesi dakwah yang tentu ada dalam diri para juru dakwah. Umumnya kita, memiliki himmah, meski mungkin berbeda sasarannya.



Yang penting kita ingat adalah, tercapainya tujuan dan capaian itu, tidak disebabkan, sarana, cara, metode, yang kita gunakan. Manusia memiliki keinginan, berusaha keras untuk mencapai keinginannya. Manusia memilih cara dan sarana yang dianggap paling bisa mengantarkannya mencapai tujuan. Tapi keberhasilan atau kegagalannya, tidak ditentukan oleh cara dan sarana itu.

(Hal-77) Saudaraku,

Dalam salah satu mutiara nasihatnya, Ibnu Attahilah, “Sawaabiqul himam laa takhriqu aswaar al qadar.” Ibnu Atthailah dalam kitab Al Hikamnya yang terkenal itu, mengambil istilah “aswaar al aqdaar” atau benteng takdir. Aswaar, secara bahasa biasa diartikan tembok perbatasan yang mengelilingi sebuah kota. Sebuah bangunan yang menyerupai pagar, tapi ini dibangun dengan bentuk yang besar, lebih kuat, dan biasanya lebih tinggi karena fungsi utamanya untuk menghalau atau menghambat serangan dari luar. Engkau tidak bisa menembus tembok takdir atau ketetapan Allah swt itu dengan kuatnya tekad dan bulatnya semangat, atau hanya dengan mengandalkan kekuatanmu saja, begitu kira-kira terjemahan yang mudah dipahami dari perkataan Ibnu Athaillah tadi.

Syaikh Ramadhan Al Buthi saat menjelaskan nasihat Ibnu Athaillah itu mengatakan, “Wahai manusia, lakukan saja apapun yang engkau ingin dan berusahalah untuk mencapai hasilnya, apapun yang engkau mau. Tempuhlah sebab-sebab apa saja di ruang yang Allah swt hamparkan untukmu. Kerahkanlah seluruh kemampuanmu. Tapi engkau harus tahu, bahwa semua sebab yang engkau tempu itu, betapapun kecanggihannya menurutmu, ia tetap saja kenyataan yang mati bila harus berhadapan dengan ketetapan Allah dan Hikmah-Nya yang telah ditentukan lebih dahulu saat sebab-sebab itu belum ada.”

Saudaraku,

Coba kaji dan dalami lagi kaitan ungkapan ini dengan apa yang mungkin kita alami sehari-hari. Bahwa orang begitu serius menempuh sebab-sebab memperoleh rizki misalnya. Ia harus meyakini bahwa upayanya mencapai sebab itu, tak menjadi penentu berhasil atau tidaknya ia memperoleh rizki. Bila kita berada di sebuah lingkungan yang  penuh dengan keharaman sampai kita terpaksa “harus” melakukan yang haram itu, seharusnya kita berpikir segera menyudahi keberadaan kita di sana dengan segala resikonya. Tapi ketika itu, biasanya, syaitan membisikkan alasan lain, “Boleh jadi lingkugan ini merupakan sebab datangnya rizki Allah kepadamu. Sangat sulit mencari alternatif lainnya,bila engkau tutup peluang di sini.”

Jika kita memahami, salah satu prinsip aqidah tentang ketetapan Allah swt itu, kita bisa katakan kepada syaitan, “bila Allah swt telah menetapkan aku memperoleh rizki yang banyak, maka rizki itu pasti akan datang padaku kemanapun aku pergi. Sebaliknya bila Allah menetapkan rizkiku sedikit, maka tetap saja rizki sedikit itu akan datang kepadaku, di mana saja aku pergi. Meskipun aku diam di tempat ini.”

(Hal-78) Saudaraku,

Jadi untuk apa kita menempuh sebab-sebab bila akhirnya juga tergantung pada ketetapan Allah? Syarat yang harus ditempuh dua saja, pertama sebab-sebab itu harus sesuai dengan kehendak Allah swt. Abaikan semua sarana, cara, prasarana, metode yang tidak sesuai dengan keinginan Allah swt. Kedua, mengoptimalkan menempuh sebab-sebab yang ada untuk mencapai tujuan. Bukan dengan keyakinan penuh bahwa cara itu sangat efektif dan pasti berhasil. Tapi dengan landasan niat karena Allah swt memang memerintahkan kita untuk berinteraksi dengan sebab-sebab dan cara-cara yang dikehendaki-Nya. Yakini juga bahwa efektifitas, kekuatan, kecanggihan sebab itu tunduk pada kehendak Allah swt dan hikmah-Nya. Jadi bukan sebab-sebab itu yang menguasai hati kita, melainkan Allah swt yang menjadikannya.

Saudaraku,

Salah satu bagian inti dari ketauhidan pada Allah adalah mengakui bahwa semua yang terjadi dialam ini, adalah mutlak kehendak Allah swt. Tidak ada yang terlepas dari kuasanya.

Contoh yang lebih sederhana adalah andai kita makan dan kenyang, maka yang menjadikan kita kenyang bukan makanan itu, melainkan Allah swt. Bila kita minum air dan haus kita hilang, yakinlah yang menghilangkan haus itu bukan air yang kita minum, tapi Allah yang menjadikannya demikian. Dan jika kita sakit, lalu meminum obat, jangan tergiring untuk menganggap obat atau dokter yang  memberi resep obat itu yang menjadikan kita sembuh. Melainkan Allah swt yang mengatur dan menggerakkan organ tubuh kita bereaksi positif terhadap obat itu sehingga sembuhlah kita dari penyakit.

Karenanya, apapun hasil yang kita dapatkan, setelah memilih cara yang paling baik dan sesuai kehendak Allah, lalu melakukan usaha optimal untuk mencapai keinginan, jangan pernah lupa bersyukur, “alhamdulillah.” Termasuk ketika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Berhasil atau gagalnya, tidak tergantung pada sarana dan cara, bahakan tidak tergantung pada upaya kita, melainkan mutlak karena kehendak Allah swt. Dia yang tak pernah memberik keburukan pada hamba-Nya, telah menetapkan kita untuk menerimanya.

Itu sebabnya, Rasulullah saw bersabda, “Mintalah kepada Allah swt dan jangan melemah (dalam meminta. Bila engkau ditimpa sesuatu jangan katakan, ‘Jika aku lakukan ini dan itu ... pasti akan ini dan itu.’ Karena kata “jika” dalam hal itu membuka jalan untuk syaitan. Tapi katakanlah,”Allah telah menetapkan dan apapun yang diinginkan-Nya akan terjadi.” (HR. Muslim)

Kesempurnaan orang yang mengenal Allah swt, bahkan digambarkan oleh Ali Radhiallahu anhu. Ia mengatakan,”Jika kami menginginkan sesuatu lalu sesuatu itu benar-benar terjadi, kami memuji Allah satu kali. Tapi bila sesuatu itu tidak terjadi, kami justru memuji Allah sepuluh kali. Karena kegagalan itu telah memperkuat ma’rifah kami kepada Allah swt..”

Ingat saudaraku,

Bukan karena sebab, bukan karena usaha kita. Tapi hanya karena kehendak Allah....*

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 241 Th.12, Muharram 1431H, 16 Desember  2010

Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku

 

Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku[1][2]

 

(Hal-76) Seharusnya kita mengerti adanya perbedaan mendasar, antara bekerja dan menerima upah bekerja antara sesama manusia, dengan bekerja lalu menerima pahala antara manusia dan Allah swt. Sebagian orang rancu menganggap beramal atau bekerja dalam hubungan antar manusia, sama dengan beramal dalam hubungan dirinya dengan Allah swt.



Contohnya begini. Bila ada salah seorang kita bekerja dan berhak mendapatkan upah sebuah kebun. Apakah sama kondisinya, bila salah seorang kita beramal dan berhak mendapat balasan dari Allah swt berupa surga? Atau ungkapan sederhananya, apakah kita berhak mendapatkan balasan surga dari Allah swt karena amal-amal yang kita lakukan? Seperti kita berhak mendapatkan upah dari manusia karena pekerjaan yang kita lakukan.

(Hal-77) Saudaraku,

Jika itu bagian dari anggapan kita, berarti kita ungkapan dalam pikiran kita adalah, “Allah akan membalas pahala kepadaku, karena aku telah melakukan amal shalih sesuai perintah-Nya.” Dan bila itu yang terjadi, itulah yang dikatakan mengandalkan amal, bukan mengedepankan Allah swt saat kita beramal.

Mari kita kaji lebih jauh masalah ini. Para salafushalih memiliki pandangan yang begitu dalam tentang hubungan amal seseorang dengan harapan penuh kepada pahala yang akan Allah berikan kepadanya. Dalam kitab Al Hikam tulisan Ibnu Athailah misalnya, is mengatakan,”Termasuk tanda seseorang yang bersandar pada amalnya, adalah sikap kurang memiliki harapan saat terpeleset dan melakukan dosa.” Ungkapan Ibnu Athailah ini adalah anjuran agar kita benar-benar bersandar pada ridha Allah, bukan kepada pahala dan ganjaran yang Allah akan berikan atas amal yang kita lakukan itu. Shalat, puasa, shadaqah, beragam amal shalih. Kita benar-benar berharap akan kelembutan, kasih sayang dan kemurahan Allah swt. Bukan pada amal-amal itu sendiri.

Bagaimana mendudukkan logika ini secara lebih terang?

Syaikh Al Buthi, saat menjelaskan ungkapan Ibnu Athailah itu menguraikan,” Ketika Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, Allah swt menolong, membantu, memfasilitasi kita melakukan itu semua. Siapa yang menjadikan kita mampu mendirikan shalat? Siapa yang menjadikan kita kuat menahan lapar dan haus saat puasa? Siapa yang melapangkan hati kita untuk bisa menerima keimanan? Siapa yang menjadikan kita mau dan sanggup melangkah lalu mendatangi masjid untuk melakukan shalat berjamaah? Allah swt. Itu sebabnya, Allah swt berfirman,”Mereka merasa telah memgeri nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Q.S Alhujurat: 17)

Amal saja, bukan jaminan untuk masuk surga. Jadi, yang diminta dari kita adalah melakukan ketaatan dengan perasaan sangat ingin mendapatkan ridha Allah dan pahala dari Allah. Mengharap kemurahan Allah, ampunan-Nya, kelembutan Allah swt kepada kita melalui amal-amal shalih yang dilakukan. Ada sandaran hadist yang paling tepat (Hal-78) untuk masalah ini. Rasulullah saw bersabda, “Amal takkan memasukkan seseorang kalian ke dalam surga.” Sahabat bertanya, “Apakah termasuk engkau ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “termasuk aku, kecuali Allah meliputi ku dengan Kasih Sayang-Nya.”

Saudaraku,

Salah satu ciri orang  yang mengandalkan amal dalam mengerjakan ketaatan, ketika ia sedikit harapannya untuk bisa mendapatkan ampunan Allah swt saat melakukan kesalahan. Itu sambungan perkataan Ibnu Athailah rahimahullah. Artinya, ketika amal-amal yang kita lakukan sedikit, sementara kita juga melakukan dosa, hendaknya kita tetap memohon, meminta dan berharap kepada Allah swt untuk terus memberi ampunan. Tidak pesimis atas rahmat Allah swt.

Mari merenung saudaraku ....

Jangan sampai kita berkhayal dengan modal amal-amal shalih yang kita lakukan di dunia ini, lalu kita telah menebus harga untuk berhak masuk surga. Sebab ketika kita bersyukur secara lisan atas karunia Allah kepada kita, kita juga harus bersyukur atas nikmat Allah yang menggerakkan lisan dan hati ini untuk bersyukur. Jika kita berdiri shalat malam maka kita harus bersyukur memuji Allah yang telah menolong dan membantu kita untuk bisa berdiri di hadapan-Nya, di tengah malam. Andai bukan kerena kecintaan Allah kepada kita, andai bukan karena pertolongan dan bantuan Allah kepada kita, andai bukan karena kebaikan dan ke Maha Lembutan Allah kepada kita, kita takkan bisa melakukan itu semua.

Saudaraku,

Ada kisah seorang istri shalihat di zaman shalifushalih. Suatu malam, sang suami bangun tengah malam dan melihat istrinya sedang shalat di salah satu sudut rumahnya. Dalam shalat itu, ia mendengar ungkapan yang diucapkan istrinya saat sujud. “Ya Allah sungguh aku memohon cinta-Mu kepadaku untuk bisa membahagiakanku, menjadi aku sehat dan menjadikan aku mulia di hadapan-Mu.... dan seterusnya.

Sang suami heran mendengar doa ini. Ia menunggu sampai istrinya selesai shalat dan memanggilnya,”Mengapa engkau meminta seperti itu kepada Allah. Katakanlah: Ya Allah dengan cintaku kepada-Mu, aku memohon kepada-Mu, agar membahagiakan aku .... dan seterusnya. Istrinya menjawab:”Suamiku, andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, aku takkan sanggup di waktu seperti sekarang ini, andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, aku takkan bisa berdiri di hadapan-Nya sekarang. Andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, akupun takkan bisa berucapkan doa seperti tadi ...”

Saudaraku,

Seperti itulah ruh dari doa yang dikisahkan oleh Syaikh Al Bouthi bahwa salah satu yang diajarkan ayahnya dalam doa adalah dengan mengatakan,”Ya Rabb, aku bersyukur kepadamu, akan tetapi Engkaulah yang menginspirasikan aku untuk bersyukur kepada-Mu. Maka syukurku kepada-Mu yang mengharuskan aku bersyukur pula karena Engkau telah membantu untuk bisa bersyukur kepada-Mu. Engkaulah pencipta segala sesuatu. Engkaulah Yang Maha Lembut kepadaku di setiap keadaan.”***

 

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 240 Th.12, Dzulhijjah 1432H, 2 Desember 2010 M

Hanya Karena Kehendak Allah

Hanya Karena Kehendak Allah ....[1] [2]

(Hal-76) Saudaraku,

Himmah dalam bahasa Arab, artinya semangat kuat, tekad bulat, yang Allah berikan kepada manusiadalam menempuh beragam keinginan. Keinginan itu, bisa berbentuk prestasi belajar, capaian ekonomi atau bisnis, aspek kekuasaan dan lainnya, termasuk tentu saja keinginan dan obsesi dakwah yang tentu ada dalam diri para juru dakwah. Umumnya kita, memiliki himmah, meski mungkin berbeda sasarannya.



Yang penting kita ingat adalah, tercapainya tujuan dan capaian itu, tidak disebabkan, sarana, cara, metode, yang kita gunakan. Manusia memiliki keinginan, berusaha keras untuk mencapai keinginannya. Manusia memilih cara dan sarana yang dianggap paling bisa mengantarkannya mencapai tujuan. Tapi keberhasilan atau kegagalannya, tidak ditentukan oleh cara dan sarana itu.

(Hal-77) Saudaraku,

Dalam salah satu mutiara nasihatnya, Ibnu Attahilah, “Sawaabiqul himam laa takhriqu aswaar al qadar.” Ibnu Atthailah dalam kitab Al Hikamnya yang terkenal itu, mengambil istilah “aswaar al aqdaar” atau benteng takdir. Aswaar, secara bahasa biasa diartikan tembok perbatasan yang mengelilingi sebuah kota. Sebuah bangunan yang menyerupai pagar, tapi ini dibangun dengan bentuk yang besar, lebih kuat, dan biasanya lebih tinggi karena fungsi utamanya untuk menghalau atau menghambat serangan dari luar. Engkau tidak bisa menembus tembok takdir atau ketetapan Allah swt itu dengan kuatnya tekad dan bulatnya semangat, atau hanya dengan mengandalkan kekuatanmu saja, begitu kira-kira terjemahan yang mudah dipahami dari perkataan Ibnu Athaillah tadi.

Syaikh Ramadhan Al Buthi saat menjelaskan nasihat Ibnu Athaillah itu mengatakan, “Wahai manusia, lakukan saja apapun yang engkau ingin dan berusahalah untuk mencapai hasilnya, apapun yang engkau mau. Tempuhlah sebab-sebab apa saja di ruang yang Allah swt hamparkan untukmu. Kerahkanlah seluruh kemampuanmu. Tapi engkau harus tahu, bahwa semua sebab yang engkau tempu itu, betapapun kecanggihannya menurutmu, ia tetap saja kenyataan yang mati bila harus berhadapan dengan ketetapan Allah dan Hikmah-Nya yang telah ditentukan lebih dahulu saat sebab-sebab itu belum ada.”

Saudaraku,

Coba kaji dan dalami lagi kaitan ungkapan ini dengan apa yang mungkin kita alami sehari-hari. Bahwa orang begitu serius menempuh sebab-sebab memperoleh rizki misalnya. Ia harus meyakini bahwa upayanya mencapai sebab itu, tak menjadi penentu berhasil atau tidaknya ia memperoleh rizki. Bila kita berada di sebuah lingkungan yang  penuh dengan keharaman sampai kita terpaksa “harus” melakukan yang haram itu, seharusnya kita berpikir segera menyudahi keberadaan kita di sana dengan segala resikonya. Tapi ketika itu, biasanya, syaitan membisikkan alasan lain, “Boleh jadi lingkugan ini merupakan sebab datangnya rizki Allah kepadamu. Sangat sulit mencari alternatif lainnya,bila engkau tutup peluang di sini.”

Jika kita memahami, salah satu prinsip aqidah tentang ketetapan Allah swt itu, kita bisa katakan kepada syaitan, “bila Allah swt telah menetapkan aku memperoleh rizki yang banyak, maka rizki itu pasti akan datang padaku kemanapun aku pergi. Sebaliknya bila Allah menetapkan rizkiku sedikit, maka tetap saja rizki sedikit itu akan datang kepadaku, di mana saja aku pergi. Meskipun aku diam di tempat ini.”

(Hal-78) Saudaraku,

Jadi untuk apa kita menempuh sebab-sebab bila akhirnya juga tergantung pada ketetapan Allah? Syarat yang harus ditempuh dua saja, pertama sebab-sebab itu harus sesuai dengan kehendak Allah swt. Abaikan semua sarana, cara, prasarana, metode yang tidak sesuai dengan keinginan Allah swt. Kedua, mengoptimalkan menempuh sebab-sebab yang ada untuk mencapai tujuan. Bukan dengan keyakinan penuh bahwa cara itu sangat efektif dan pasti berhasil. Tapi dengan landasan niat karena Allah swt memang memerintahkan kita untuk berinteraksi dengan sebab-sebab dan cara-cara yang dikehendaki-Nya. Yakini juga bahwa efektifitas, kekuatan, kecanggihan sebab itu tunduk pada kehendak Allah swt dan hikmah-Nya. Jadi bukan sebab-sebab itu yang menguasai hati kita, melainkan Allah swt yang menjadikannya.

Saudaraku,

Salah satu bagian inti dari ketauhidan pada Allah adalah mengakui bahwa semua yang terjadi dialam ini, adalah mutlak kehendak Allah swt. Tidak ada yang terlepas dari kuasanya.

Contoh yang lebih sederhana adalah andai kita makan dan kenyang, maka yang menjadikan kita kenyang bukan makanan itu, melainkan Allah swt. Bila kita minum air dan haus kita hilang, yakinlah yang menghilangkan haus itu bukan air yang kita minum, tapi Allah yang menjadikannya demikian. Dan jika kita sakit, lalu meminum obat, jangan tergiring untuk menganggap obat atau dokter yang  memberi resep obat itu yang menjadikan kita sembuh. Melainkan Allah swt yang mengatur dan menggerakkan organ tubuh kita bereaksi positif terhadap obat itu sehingga sembuhlah kita dari penyakit.

Karenanya, apapun hasil yang kita dapatkan, setelah memilih cara yang paling baik dan sesuai kehendak Allah, lalu melakukan usaha optimal untuk mencapai keinginan, jangan pernah lupa bersyukur, “alhamdulillah.” Termasuk ketika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Berhasil atau gagalnya, tidak tergantung pada sarana dan cara, bahakan tidak tergantung pada upaya kita, melainkan mutlak karena kehendak Allah swt. Dia yang tak pernah memberik keburukan pada hamba-Nya, telah menetapkan kita untuk menerimanya.

Itu sebabnya, Rasulullah saw bersabda, “Mintalah kepada Allah swt dan jangan melemah (dalam meminta. Bila engkau ditimpa sesuatu jangan katakan, ‘Jika aku lakukan ini dan itu ... pasti akan ini dan itu.’ Karena kata “jika” dalam hal itu membuka jalan untuk syaitan. Tapi katakanlah,”Allah telah menetapkan dan apapun yang diinginkan-Nya akan terjadi.” (HR. Muslim)

Kesempurnaan orang yang mengenal Allah swt, bahkan digambarkan oleh Ali Radhiallahu anhu. Ia mengatakan,”Jika kami menginginkan sesuatu lalu sesuatu itu benar-benar terjadi, kami memuji Allah satu kali. Tapi bila sesuatu itu tidak terjadi, kami justru memuji Allah sepuluh kali. Karena kegagalan itu telah memperkuat ma’rifah kami kepada Allah swt..”

Ingat saudaraku,

Bukan karena sebab, bukan karena usaha kita. Tapi hanya karena kehendak Allah....*

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 241 Th.12, Muharram 1431H, 16 Desember  2010