Minggu, 06 September 2020

Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi[1][2][3]

(Hal-36) Jarak (distance) bisa mendekatkan sekaligus menjauhkan. Karena, jarak bisa menciptakan rasa. Hubungan berjarak, ketika ruang memisahkan orang-orang yang berkomunikasi, memang sebuah persoalan. Ada kedekatan fisik yang hilang, namun ada kerinduan yang menjadi energi tersendiri bagi sebuah hubungan. Selalu dekat secara fisik memang memudahkan, tetapi juga berpotensi melahirkan kebosanan.



Ketika jarak menjadi tanda nonverbal, ukurannya pun menjadi relatif. Bukan soal jauh atau dekat, tetapi bagaimana kita mendudukkan jarak dalam sebuah konteks komunikasi secara tepat. Seperti melihat benda, dengan ukurannya yang beragam, hanya akan bisa kita lihat secara jelas dalam sebuah jarak tertentu. Logikanya, semakin dekat akan semakin jelas, tetapi ada batasnya. Lebih dekat lagi, bisa jadi benda itu justru kelihatan kabur dan kehilangan detail.

Sebagai tanda non verbal, jarak beroperasi pada metakomunikasi. Keberadaannya sangat menentukan sukses tidaknya sebuah komunikasi. Dengan menetapkan jarak secara tepat, komunikasi akan berlangsung dengan baik, ketika tanda-tanda non-verbal sinergis dengan pesan verbal, begitupula sebaliknya.


Ketepatan dalam mengatur dan menentukan jarak bisa berdimensi budaya. Ukuran jauh dekat menjadi sangat relatif. Ukuran ‘dekat’ di negara ini mungkin berbeda dengan ukuran di negeri lain. Seperti anekdot dalam hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan  negara-negara Timur Tengah. Singkat cerita, suatu saat, datanglah seorang diplomat Paman Sam itu ke salah satu negara Arab.

Diplomat itu ingin mengesankan ‘keakraban ala Amerika’, sehingga me (Hal-37) nampilkan sebuah kedekatan tertentu, dengan berjabat tangan dan senyum merekah saat berjumpa mitranya. Alangkah kagetnya dia, ketika mendapatkan respon jauh lebih ‘ dekat’ dari yang diharapkannya. Pejabat Arab itu merangkul erat, untuk menandakan sebuah kedekatan di negerinya. Ada tafsir yang berbeda dalam memaknai kedekatan. Ujungnya, komunikasi lintasnegara itu berjalan kurang favorable.

Kedekatan juga berdimensi peran yang lahir dari sebuah hubungan (relationship). Ada batas kedekatan tertentu yang harus ada dalam sebuah hubungan, seperti suami istri, orang tua-anak, antar saudara, antartetangga, atau sesama rekan kerja. Bayangkan, betapa tidak nyamannya seorang suami ketika memboncengkan istrinya, tapi pasangannya itu menjaga jarak seolah-olah dia sedang bersama tukang ojek. Atau sebaliknya, hubungan antar rekan kerja bisa terganggu jika ada yang mencoba melebihi batas kedekatan, seperti melakukan sentuhan-sentuhan fisik yang tidak perlu.

Ada saatnya kita harus dekat, juga ada waktunya kita menjauh. Gagal menjaga jarak berarti kita gagal menjaga hubungan baik. Martin Buber mengistilahkannya sebagai ‘Overrunning reality’ ketika kedekatan itu melebihi waktu, interaksi dan kepentingan yang semestinya. Jika kehilangan kepekaan jarak (sense of distance) yang diperlukan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sebuah hubungan secara hati-hati.

Jauh lebih dari sekadar ‘ruang kosong’ yang memisahkan posisi seseorang dengan yang lainnya. Namun, jarak sejatinya merupakan rumah ontologis hubungan  komunikatif antar orang. Dalam komunikasi antarpersonal, jarak itu itu kita ciptakan sendiri, sesuai jenis hubungan yang terjadi. Karenanya, ketentuan ‘jauh-dekat’ menjadi sangat lentur, sesuai kebutuhan. Laurie Moroco mengistilahkannya sebagai jarak fenomenologis (Phenomenological distance) yang sesuai untuk setiap hubungan yang spesifik.

Kebutuhan itu  lahir dari persepsidan keinginan orang-orang yang terlibat dalam komunikasi. Ini soal harapan orang atas kita dan sebaliknya. Jenis-jenis hubungan memang akan membantu, meski tak selalu disadari. Tak semua orang peka atas keinginan orang lain meskipun mereka diikat dalam sebuah hubungan yang jelas. Seperti orang tua yang tak selalu mengerti apa yang diinginkan anaknya, sehingga gagal menentukan jarak yang tepat. Orang tua yang terlalu menjaga jarak, dengan alasan untuk menjaga kredibilitas misalnya, akan kehilangan kesempatan untuk membangun ‘persahabatan’ dengan anaknya. Sebaliknya bagi orangtua yang terlalu ‘demokratis’ sehingga mereduksi jarak sedemikian rupa dengan anaknya, bersiaplah untuk kehilangan kewibawaan.

Paada akhirnya, jarak  adalah soal pengakuan keberadaan orang lain. Sedekat apapun sebuah hubungan, pasti ada jarak yang harus dikelola untuk mendukung suksesnya komunikasi interpersonal. Mencoba mengerti dan memahami apa yang diinginkan oranglain adalah kuncinya. Memang, berkomunikasi adalah soal kepekaan. ***

 

 



[1] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 244 Th.12, Shafar  1432H, 27 Januari 2011 M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar