Minggu, 06 September 2020

Teknologi Plus

Teknologi Plus[1][2]

Edi Santoso[3]

(Hal-50)Melihat perubahan yang menyertainya, memang beralasan jika muncul anggapan bahwa teknologi mendeterminasi kehidupan manusia. Lihat saja fase-fase peradaban manusia, mulai dari era agraris, industri hingga era informasi. Semuanya dipicu, atau setidaknya ditandai, oleh kemunculan teknologi tertentu.



Kemunculan mesin uap misalnya, telah mendorong tren produks imassal, yang kemudian menandai era industri. Barang-barang produk manufaktur melimpah, dengan harga yang murah. Kekuatan ekonomi bertumpu pada buruh, dengan kualitas utama berupa fisik dan stamina pribadi. Ketika internet muncul, peta ekonomipun berubah. Informasi dan pengetahuan menyebar luas, dengan figur sentral para pekerja intelektual.

Sekarang kita bayangkan, teknologi hampir memungkinkan segalanya: kemudahan, kecepatan, efisiensi. Lalu, dimana letak keunggulan seseorang tau sebuah komunitas, ketika akses teknologi telah menjadi milik bersama? Misalnya otomatisasi yang disediakan berbagai software, tiba-tiba menjadikan orang bisa melakukan banyak hal. Kita mungkin tak perlu menjadi akuntan profesional untuk sekadar menganalisis cashflow perusahaan kita. Banyak software yang siap melayani. Bahkan untuk mendiagnosa penyakit, beberapa alat bisa menggantikan kemampuan dokter.

Teknologi mencerminkan kapasitas para pencipta dan penggunanya. Betapa proses yang rumit dan panjang telah mengawali kemunculan teknologi. Tetapi begitu diterapkan, apa yang menjadi pembeda antara pengguna teknologi dengan yang lainnya? Dalam konteks produktivitas misalnya, apa yang layak kita unggulkan melalui teknologi yang kita pakai, sementara kompetitor (hal 51) kita juga menggunakan perangkat yang sama. Kita saat ini berada dalam puncak keunggulan teknologi. Maka, kata Daniel H. Pink- pemikir bisnis, mereka yang unggul adalah mereka yang bisa ‘mengalahkan’ teknologi, maka itu harus menjadi sisi plus-nya.

Pink lebih lanjut mengatakan, kemampuan teknik tinggi yang kita miliki membutuhkan tambahan kemampuan konsep tinggi dan menyentuh hati. Konsep tinggi (high concept) menyangkut kemampuan menciptakan keindahan yang artistik dan emosional,mengenali pola dan kesempatan, memaparkan narasi yang memuaskan, dan menggabungkan ide-ide yang seakan-akan tidak berkaitan menjadi penemuan baru. Menyentuh hati (high touch) menyangkut kemampuan berempati, memahami kepekaan interaksi manusia, menemukan kebahagian dalam diri sendiri, menyebarkannya kepada sesama, dan kemampuan mengejar makna dan tujuan.

Jika teknologi adalah merupakan produk otak kiri, maka keunggulannya terletak pada otak kanan penggunanya. Seperti diceritakan pink, sekarang ini kurikulum medis di Amerika sedang mengalami perubahan besar dalam sejarahnya. Para mahasiswa kedokteran Colombia University dan perguruan tinggi lainnya, sedang mempelajari ‘pengobatan cerita’ karena riset memperlihatkan bahwa meskipun kekuatan diagnosa ada pada komputer, bagian penting diagnosa terdapat dalam cerita si pasien. Di Yale University, para mahasiswa kedokteran pun mempertajam kemampuan observasi pada Pusat Karya Seni Inggris – Yale, karena mereka yang mempelajari lukisan terampil mengatasi detail halus kondisi pasien.

Bahkan dalam industri ‘kasar’ semacam otomotifpun, sentuhan seni merupakan hal yang vital. Bob Lutz- eksekutif pada General Motor, ketika ditanya tentang pendekatannya, mengatakan,”lebih dengan otak kanan, saya memandang kami sedang melakukan bisnis seni. Seni, hiburan dan patung mobil, yang kebetulan menghasilkan alat transportasi.”

Di era kemelimpahan seperti saat ini, persaingan kian sengit didukung oleh globalisasi yang makin nyata. Ketika teknologi telah menjadi milik bersama, keunggulannya terletak pada kemampuan kita untuk menggunakannya bersama-sama dengan segenap potensi otak kanan: emosi, intuisi dan kreasi. Inilah teknologi plus. ***

 

 



[1]Majalah Tarbawi, Edisi 313 Th,15, Rabiul Akhir 1435, 6 Februari 2014

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar