Rabu, 02 September 2020

Sukhoi dan Harapan Baru

Sukhoi dan Harapan Baru[1] 

(Hal-06) Sukhoi jatuh di tengah harapan. Para pengusaha yang hendak atau telah membeli pesawat baru itu pasti punya kesadaran, bahwa Indonesia memerlukan keterhubungan yang terus menjangkau. Sangat banyak kawasan di negeri kita tercinta yang membutuhkan penerbangan pembuka. Di tengah keterbatasan pemerintah dalam memudahkan mobilitas rakyat, para pihak swasta adalah harapan lain. Begitu pula mereka yang turut menyuarakan spirit itu, dengan ikut serta terbang, dengan maksud sesudah itu akan turut menebar harapan.



Dibandingkan pesawat buatan Amerika atau buatan konsorsium Eropa yang lebih mahal, Sukhoi adalah terobosan. Apalagi secara teknologi pun menurut para ahli, pesawat itu cukup canggih. Begitu juga bagi Negara-negara yang memerlukan jalur-jalur perintis, dengan jarak tempuh menengah, sukhoi adalah harapan.

Bagi Rusia sendiri Sukhoi adalah harapan yang lain. Dengan pesawat super jet ini Rusia ingin membangun reputasi baru di dunia penerbangan. Bahkan itu merupakan pesawat untuk penrbangan sipil pertama yang dibuat setelah runtuhnya Uni Soviet. Beragam sertifikasi telah diperoleh. Berbagai pasar baru pun terus diberikan penawaran.

Era baru mengubah dominasi. Perlahan namun pasti. Harapan terus menyebar di banyak kawasan. Dunia tidak melulu Amerika. Eropa sendiri masih berkutat dengan gejolak hebat di sector keuangan. Terlebih setelah pemilihan presiden Perancis yang baru. Hasil pemilu Yunani juga rumit. Lantaran tak ada yang menang mayoritas, pembentukan pemrintahan koalisi pun carut marut.

Di Amerika Latin, juga bermunculan harapan baru. Brazil mulai menjadi pemain penting di dunia penerbangan. Produk andalannya, pesawat jet Embraer, terus berkibar. Itu menjadi pesawat yang cukup laris dan di minati. Khususnya di Negara-negara berkembang. Salah satu maskapai di Indonesia telah memesan tak kurang dari 20 Embraer.

Kadang di sela harapan besar ada bergumpal duka. Datang tiba-tiba. Saat sebagian kita kehilangan orang-orang tercinta. Kematian adalah rahasia. Itu terasa cepat bukan karena mereka mendahului waktunya. Tapi kematian dalam tragedy selalu melipatgandakan segalanya. Mengaduk segala rasa, antara sesal, harap, pedih, dan pasrah.

Sukhoi jatuh di tengah harapan. Para pengusaha yang berminat dengan pesawat itu pasti meyakini, bahwa Indonesia memerlukan harapan baru dalam ketersambungan. Maka mereka yang pergi dalam kecelakaan itu setidaknya turut menyambung harapan itu. Bahwa dunia tidak seharusnya dicengkram dominasi segelintir negara. Semua tengah bangkit. Tidak semata di sektor penerbangan. Perlahan namun signifikan. Menyongsong harapan baru.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 276 Th.13, Rajab 1433, 31 Mei 2012

Minyak dan Industri Uang

Minyak dan Industri Uang[1] 

(Hal-04)Kisruh energi tak sekedar minyak. Ini soal ledakan gaya hidup yang hampir seluruh negara di muka bumi yang dengan brutal mengonsumsi energi. Sebab energi menjadi penggerak dan nyawa utama industri-industri raksasa mereka. Tetapi energi, pada saat yang sama adalah industriuang itu sendiri. Maka dunia yang selalu bergolak terkait energi tidak semata pada fungsi vitalnya. Tapi juga transaksi manis diatasnya, sekaligus pada penaklukan atas sumber-sumber eksplorasinya.



Manusia kini menikmati isi perut bumi tidak hanya emasnya. Ada bermacam hasil tambang lain yang melimpah. Jumlah uang dari itu semua sangat fantastis. Yang lebih mengagumkan, industri uang yang melekat pada isi perut bumi, adalah industry dengan bahan baku yang telah disediakan Tuhan dengan gratis. Maka biaya produksi pada industri itu lebih pada pengolahannya dan distribusinya. Karena itu, penguasaan atas lahan yang disediakan Tuhan itu, selalu menggunakan logika lain.

Logika lain itulah yang kemudian kita temukan beragam bentuknya. Dari intimidasi, perjanjian kontrak karya yang tidak seimbang, merampas dan menunggangi demokrasi suatu negara, hingga menciptakan perang mengerikan yang membunuh ratusan ribu orang sipil. Semua demi penguasaan atas lahan yang menyimpan harta karun pertambangan. Sebab lahan itu sendiri secara administratif melekat pada teritori suatu negara. Di luar cara-cara itu, sumber-sumber eksplorasi tak akan mudah dikuasai.

Di Indonesia, baru saja ditetapkan peraturan bahwa perusahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan harus mendisvestasi sahamnya sahamnya hingga 51% untuk dijual ke pihak Indonesia. Prosesnya bertahap hingga tahun kesepuluh. Tetapi begitu aturan ini dikumandangkan, seketika perusahaan tambang asing terbesar di negeri ini merasa tidak harus taat pada peraturan itu. Ia beralasan, sudah ada kontrak karya sebelumnya.

Pada akhirnya konflik kita tentang energi bukan soal ketersediaan, bukan pula soal kecukupan. Tapi soal pengelolaan. Terlalu banyak unsur di luar negeri yang mempermainkan energi. Energy bukan semata energi. Tapi juga koordinat bermacam pertarungan. Tidak saja di medan perang yang meruntuhkan peradaban, tapi juga di ranah politik, dunia intelejen, premanisme, mafia di tubuh Negara ataupun pasar, dan kartel.

Dahulu di era primitif orang berebut air dan tanah. Itu tentang apa yang ada di atas bumi, dan bukan apa yang di dalam bumi. Kebutuhan inti energi melekat pada diri mereka sebagai makhluk bergerak, atau binatang yang mengangkut mereka berpindah-pindah.

Maka ketegangan di perairan teluk atau di kawasan lain tidak selalu seperti tampaknya. Ada urat dan pamer kuat belum tentu tentang Negara melawan Negara. Ini tentang industri uang raksasa yang digerakkan diatas segala permainan energi.***

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1432, 5 April 2012.

Dunia Duga

Dunia Duga[1] 

(Hal-04) Banyak yang tidak kita tahu. Tapi sangat banyak yang kita duga. Sebab menjadi tahu lebih sulit dari sekadar menduga. Sebab menjadi berpengetahuan lebih berat dari menjadi penumpuk dugaaan. Pengetahuan sangat berbeda dengan dugaan. Hakikatnya beda.  Strukturnya beda. Faktanya beda. Pengetahuan memberikan asupan nalar pada kita. Dugaan menyuplai emosi egois kita. Penegetahuan cenderung mengarahkan. Dugaan cenderung menjerumuskan.



Begitupun, kita lebih menikmati apa yang sebenarnya tidak kita tahu, ketimbang apa yang seharusnya kita tahu. Kita asik dengan dunia duga-duga. Sebab kebanyakan kita merelakan hari-harinya dipandu oleh apa yang tidak penting untuk kehidupan kita: industri duga-duga.

Setiap hari kita menelan berita, tapi tidak setiap hari kita menambah pengetahuan. Setiap waktu kita mencari informasi baru, tapi kita tak bertambah ilmu. Di panggung kehidupan yang iramanya diatur arus informasi, kita tiba-tiba menjadi sekumpulan penonton yang dungu. Sebab kita tidak pernah sadar, bahwa kini setiap peristiwa ada behind the scene-nya.

Informasi punya kastanya. Benar, setengah benar, tidak benar dan palsu. Di masa ketika informasi berpindah ke tempat jauh hanya menggunakan kuda dan burung merpati, kita punya sedikit kabar, sedikit alat sebar. Kini setelah era industri media dan arus deras koneksi internet, kita punya mesin informasi yang lapar kabar.

Di batas ini kita akan kewalahan. Tak berdaya. Tapi kita terus menampakkan diri digdaya di hadapan makhluk yang bernama mesin informasi itu. Yang terus meraung minta disuplai, dijejali, dan digelontorkan ke dalamnya segala kabar dan berita. Maka apa-apa yang setengah benar, tidak benar bahkan palsu, bisa diubah menjadi kabar yang tampak benar. Kita akan terus mengalami kesenjangan yang menyedihkan. Kesenjangan antara bahan baku informasi yang bermutu, dengan kehausan informasi itu, lalu kehausan kita kepada produksi informasi dari mesin informasi itu. Begitupun banyak diantara kita yang belum sadar.

Itu sebabnya, pelanggaran kode etik di kalangan pewarta sendiri tahun ini naik lebih 300 persen. Salah satu lembaga independen di bidang kewartawanan, melaporkan bahwa tahun 2011 ini pelanggaran kode etik di kalangan pewarta meningkat tajam. Itupun hanya didasarkan pada jumlah pelanggaran yang diadukan. Bila tahun 2010 hanya berjumlah 128, tahun ini tercatat 442 pengaduan pelanggaran.  Lebih lanjut, survey yang mereka lakukan, hanya 20 persen pewarta yang membaca kode etik, sesuatu yang mengatur tata cara dan etika kepatutan dalam cara mereka bekerja.

Banyak yang tidak kita tahu. Tapi terlalu banyak yang kita duga. Membiarkan diri terus-menerus menikmati dugaan setiap hari, akan membunuh cita rasa pengetahuan kita. Lalu tunggu saatnya kita turut serta menjadi sampah.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 265 Th.13, Shafar 1433, 29 Desember 2011

Disiplin Eksakta dan Sosial Kita

Disiplin Eksakta dan Sosial Kita[1] 

(Hal-04) Di dunia sosial ada kelenturan. Di dunia eksakta ada kepastian. Keduanya punya peran untuk menopang kehidupan. Maka keduanya saling melengkapi dan saling menguatkan.

Dunia eksakta memerlukan disiplin takaran, konsistensi skala, dan tentu saja kesungguhan. Sebab semua berada dalam logika hukum alam yang telah dipatrikan Allah bersama struktur penciptaan alam itu, beserta segala isi dan turunannya. Tentu ada ruang mukjizat yang berjalan di luar akal. Tapi itu tak bisa disentuh oleh kapasitas manusiawi kita. Dunia sosial menghajatkan penalaran juga keteguhan. Asumsi-asumsi tafsir, tapi juga kesimpulan-kesimpulan. Duplikasi-duplikasi, tapi juga pembaruan.



Jembatan runtuh adalah fenomena eksakta. Tetapi pendorongnya kecuali karena bencana alam adalah perilaku sosial. Seperti kecerobohan, pembiaran, dan tentu saja standarisasi yang mungkin saja tak dipenuhi. Pada akhirnya ilmu apapun yang kita kuasai, pengetahuan ahli apapun yang kita miliki, sangat bergantung pada perilaku dan mentalitas kita.

Setelah satu jembatan runtuh di Kalimantan, satu lagi runtuh di Jawa timur. Lalu kita segera mengaudit jembatan-jembatan lain yang masih ada. Audit eksakta meskipun perlu kerja keras dan menyita waktu, pasti lebih mudah dari audit sosial.

Begitulah dalam banyak kejadian, kita semakin maju secara eksakta, tapi seringkali semakin mundur secara sosial. Kemunduran perilaku sosial, ketika dipraktikkan pada kerja-kerja eksakta, pasti akan melahirkan berbagai bencana. Itu mengerikan. Sebab tak jarang memakan banyak korban.

Produk makanan olahan kita punya standar eksaktanya. Tapi banyak diintervensi oleh perilaku pedagang yang buruk. Maka banyak dari kita yang memakan pewarna kain, pengawet mayat, atau daging daur ulang sampah. Minuman kita punya standar eksakta. Tapi banyak dari kita yang minum air tanah dan es batu yang bahan bakunya dari air sungai yang penuh e-coli.

Jalan raya kita punya standar eksakta. Tapi banyak dicederai oleh perilaku sosial buruk pemborongnya. Standarisasi dilanggar demi untung besar dan setoran politik yang mengintimidasi. Mengendarai mobil dan motor diatasnya memiliki standar eksakta. Tapi banyak dari kita yang mengemudi dengan kacau.

Di laut ada standar eksakta untuk segala pelayaran. Tapi banyak diciderai oleh sikap sosial yang rusak: penggampangan. Maka penumpangnya sangat berlebih. Sarana keselamatan minim. Dan alat-alat pendukung lain banyak tak berfungsi. Di udara ada standar eksakta untuk segala penerbangan. Detil, rinci dan kompleks. Mengabaikan itu semua adalah kebodohan.*

Dunia eksakta punya area toleransi. Tapi pasti tidak banyak. Dunia sosial memang kaya dengan toleransi. Adapun ilmu dan keahlian kita, akan sangat dipengaruhi oleh perilaku dan mentalitas kita. Pada akhirnya, kita memerlukan disiplin eksakta dan sosial yang sama baiknya.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 264 Th.13, Muharram 1433, 15 Desember 2011

Menggambar Kebijakan

Menggambar Kebijakan[1] 

(Hal-04) Bernegara adalah soal menggambar kebijakan. Oleh siapapun, di level manapun, pada seluruh lingkaran penentu yang mendapat mandat dan kuasa. Maka ini bukan soal menteri baru atau wakil menteri baru. Ini tentang skema yang muncul dari semua sumber kebijakan dan bagaimana menyelaraskan antara kebijakan yang satu dengan yang lainnya. Lalu akan seperti apa nasib warga dan masyarakat setelah kebijakan-kebijakan itu.



Maka sebagai warga Negara, dari dulu dan sampai kapanpun, semua sejatinya berpindah dari satu alur kebijakan ke alur lainnya. Tidak peduli siapapun yang berkuasa. Dengan begitu, alangkah keliru bila ada masyarakat yang merasa harus hanyut ke wilayah drama pergantian kekuasaannya. Sebab, pergulatan yang sesungguhnya bagi kita masyarakat adalah pada efek dari semua kebijakan yang lahir dari pusaran-pusaran kekuasaan itu.

Kebijakan punya keunikannya. Bila dia salah, maka jaraknya dengan kerusakan begitu dekat, begitu nyata. Anehnya, bila kebijakan itu baik, jaraknya dengan keberhasilan yang diharapkan, seringkali begitu jauh, bahkan kadang absurd. Kebijakan punya kekhasannya. Begitu kebijakan salah, untuk memperbaikinya tidak begitu saja mudah dengan membuat kebijakan baru. Itu tidak gampang. Sementara kebijakan yang baik dan benar, memerlukan mata rantai yang panjang untuk benar-benar bisa terlaksana.

Kita pernah punya menteri yang dengan mudah menandatangani berbagai perjanjian perdagangan bebas. Sebebasnya. Seketika produk impor banjir dan tumpah memasuki negeri ini. Pasar bebas disikapi dengan berlebihan dan tanpa ada konsolidasi yang benar-benar matang. Maka yang terjadi kemudian adalah terpuruknya usaha kecil dan menengah kita. Bahkan industri-industri paling strategis pun dikuasai asing. Maka semua gerakan Cinta Produk Indonesia seperti angin. Karena faktanya, pemerintah sendiri yang membuka jalan bagi melimpah ruahnya produk-produk asing.

Di sector perbankan, kebijakan kita dengan mudah memberikan keleluasaan bagi pemilik asing untuk memborong bank di Indonesia. Sementara bank dari Indonesia sendiri, banyak yang kesulitan membuka cabang di beberapa negara karena negara tersebut memberlakukan kebijakan yang ketat.

Di sektor energi, kita pernah punya presiden yang menjual Gas Alam Cair ke China dengan harga yang sangat-sangat murah. Negara dirugikan milayaran dolar. Apalagi kontrak dilakukan untuk jangka waktu 25 tahun. Padahal energi di dalam negeri sendiri masih kekurangan.

Bernegara adalah soal menggambar kebijakan. Segala pembolehan yang dilindungi konstitusi memang indah dalam pasal dan ayat, tapi seringkali pahit setelah diterjemahkan oleh para pembuat kebijakan. Begitupun, masih saja ada masyarakat yang hanyut dalam gempita pergantian menteri, padahal hidupnya digencet oleh bermacam kebijakan. *



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 261 Th.13, Dzulhijjah 1432, 03 November  2011

Kesungguhan Menghindari Mati

Kesungguhan Menghindari Mati[1]

(Hal-04) Alangkah banyak kecelakaan kita. Di darat, laut dan di udara. Meski mati punya cara dan jadwalnya, sepanjang hidup kita terikat kuat dengan hokum wajib menghindari mati, dengan segala cara. Maka semua kecelakaan yang mematikan selalu layak dievaluasi. Setidaknya terkait seberapa sungguh kita menjauhi mati. Tentu ada pengecualian bagi segelintir orang, seperti anak-anak bau kencur di Cirebon yang sengaja mencari mati di balapan liar.



Bulan lalu di Jawa Timur, tabrakan ekstrim antara bus dan minibus menewaskan seketika 20 orang. Mereka hendak melanjutkan perjuangan hidup nun jauh ke pulau seberang. Tapi di ujung malam, kematian merenggut nyawa mereka dengan sangat mengerikan. Dalam apa yang disebut kecelakaan adu banteng, kedua kendaraan tersebut benar-benar beradu berhadapan.

Sesudah itu seperti biasa penelusuran mengalir sampai jauh. Pemilik minibus bukan pemilik travel. Penjual tiket bukan pemilik minibus. Jumlah penumpang berlebih. Semua carut marut itu pasti sudah berjalan lama. Tetapi hanya ketika kematian datang dengan caranya yang tragis, kita baru mengakui ada yang salah di sana-sini. Namun semua sudah terlambat. Kita tak bisa menolak mati, tapi kita bisa memilih untuk membawa penumpang sesuai kapasitas, menyetir kendaraan dengan santun, dan menegakkan aturan ketat tentang jasa angkutan dan perjalanan.

Di laut dan sungai yang menghidupi negeri ini masih banyak kecelakaan. Di Barito kapal penumpang bertabrakan dengan tongkang. Di Bali dan Madura kapal tenggelam. Di Surabaya kapal terbakar. Empat kecelakaan itu terjadi hanya dalam kurun satu pekan. Puluhan orang mati mengenaskan. Yang lain hilang lenyang terjun ke laut. Kita tak bisa menolak mati, tapi kita bisa memilih untuk tidak menjejali kapal melampaui jatah. Kita bisa menyediakan pelampung sama dengan jumlah penumpang. Kita bisa memastikan ada sekci yang memadai. Kalau kita mau. Di batas antara kesungguhan menghindari mati dan kecerobohan menantang maut di situlah kesalahan dan tanggung jawab bahkan dosa akan dibebankan.

Di Bahorok, Medan, pesawat jatuh. Belasan orang meninggal. Tapi bahkan dalam kecelakaan udara yang penyebabnya alam sekalipun, ruang bagi tanggung jawab mengupayakan hidup tetap kuat melekat dalam bentuknya yang lain: kecekatan evakuasi. Maka yang kita evaluasi kemudian adalah standar pertolongan, teknologi, kecepatan, ketersediaan sarana,koordinasi, hingga alur informasi. Di negeri dengan medan rumit dan pulau-pulau beralam ganas, evakuasi kecelakaan pasti punya tuntutannya yang tinggi. Alangkah banyak kecelakaan kita. Di darat, di laut dan di udara. Di batas antara kesungguhan menghindari mati dan kecerobohan menantang maut, disitulah kesalahan dan tanggung jawab bahkan dosa akan dibebankan.*

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 260  Th.13, Dzulqaidah 1432, 20 Oktober 2011

Rahasia Itu Beban

Rahasia Itu Beban[1] 

(Hal-06) Tak mudah memegang rahasia orang. Bisa jadi itu beban. Bukan pada cara dan sarana apa yang bisa kita gunakan untuk menyimpannya. Tapi pada mentalitas dan perangai kita dalam menyikapinya. Sebab dalam kadar tertentu, rahasia-rahasia tentang orang lain yang kita bisa menyuntikkan suasana kompulsif ke dalam perasaan dan pikiran kita. Itu berbahaya. Hanya karena memegang rahasia pihak lain, orang memang bisa berulah: merusak karakter, menebar ancaman kekerasan, hingga melakukan pemerasan.



Kini, di era teknologi yang serba canggih, orang bisa mendapatkan rahasia orang lain bahkan dengan jalan rahasia. Bukan karena orang lain itu membagi rahasianya secara sukarela. Rahasia kini bisa didapat dengan mencuri akun, atau membobol identitas. Ada juga rahasia yang dengan sangat istimewa bisa didapatkan oleh sebagian aparat, seperti mereka yang ditakdirkan duduk di KPK.

Di Negara maju sekalipun, seperti Amerika, penyadapan, sebagai salah satu sarana memperoleh informasi rahasia, diatur ketat dengan undang-undang yang sangat detil dan jauh dari pasal-pasal karet. Di ranah hokum, penyadapan juga hanya untuk memperkaya kasus, dan bukan sebagai bukti awal di persidangan. Di sana, penyadapan hanya bisa dilakukan dengan persetujuan pengadilan. Itu sebabnya, Rancangan Undang-Undang Intelijen dan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang diajukan pemerintah kita, dikritisi keras banyak pihak. Tidak semata soal pencarian rahasia melalui berbagai cara yang tidak detil, atau keanehan tentang diperbolehkannya intelijen melakukan penangkapan. Juga karena definisi keamanan Negara justru lebih diarahkan pada memosisikan rakyat sendiri sebagai musuh. Sementara musuh sesungguhnya, para pihak asing yang mencuri besar-besaran sumber daya alam kita, secara sembunyi-sembunyi, maupun dengan kontrak karya yang aneh, justru tidak dengan tegas dijadikan musuh keamanan Negara.

Memegang rahasia itu tidak ringan. Di industry media, dunia baru saja diguncang skandal penyadapan yang dilakukan tabloid Inggris, News of The world. Para pewarta di tabloid itu memburu informasi rahasia dengan cara menyongok polisi, menjebol kotak suara telepon milik ratusan selebriti, politisi, bahkan para korban pembunuhan. Setelah terbit selama 168 tahun, tabloid di bawah jaringan raksasa media milik Rupert Murdoch itu tidak terbit lagi dan harus mengakhiri hidupnya dengan berbagai tuntutan hokum. Banyak pihak terseret. Beberapa telah ditangkap. Termasuk mantan juru bicara Perdana Menteri Inggris.

Memegang rahasia itu beban. Apalagi bila rahasia itu terlalu banyak dan sensitive. Bahkan para konsultan pribadi, konsultan kesehatan, konsultan kejiwaaan, atau para ustadz sekalipun yang menerima konsultasi hubungan suami istri, tidak semuanya punya daya tahan. Sebab itu semua ada zat-zat candunya.

Memegang rahasia itu tidak gampang. Semua kita adalah makhluk subyektif. Karenanya, memegang rahasia orang sangat bisa menggelincirkan.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 258 Th.13, Syawal 1432, 22 September 2011

Bulan Berkaca

Bulan Berkaca[1] 

(Hal-06) Ini sangat baik untuk berkaca. Mengenali lebih dekat dan dekat lagi, tentang siapa kita. Hidup dalam segala bentuk perburuan seringkali membuat kita lupa. Alih-alih kita berhasil menaklukkan realitasyang kemudian berbalik memburu kita. Dunia yang kian rata – The World is Flat, kata Friedman misalnya, kini semakin mempersempit batas-batas hirarki. Kecuali bila benar-benar berfungsi. Orang tidak bisa mudah lagi bersembunyi di balik jabatannya, statusnya, pangkatnya, bila secara individu terlalu cacat prilaku. Setiap kali seorang rela menjadi atasan bagi segala jenis bawahan untuk beragam pekerjaan, kini bebannya tidak semata bagaimana memutar roda-roda peran. Tapi juga harus memastikan bahwa dirinya memang punya integritas.



Tanpa integritas, jabatan akan menjadi pembunuh karakter sendiri, lambat atau cepat. Terlebih di zaman baru di mana manusia bumi terkoneksi dari ujung ke ujung. Apa yang ganjil di ujung barat, bisa tersebar dengan cepat hingga ke ujung timur. Apa yang aneh di timur jauh, bisa dengan singkat tersiar sampai ke barat.

Integritas adalah modal dasar utama. Dengan itu sebenarnya setiap kita ditimbang dan dipandang. Bila kerumunan orang belum juga menakar kita dengan wajar, waktu akan membela kita, bila kita punya integritas. Dengan integritas, kita sudah menyelesaikan setengah dari kebutuhan konsistensi, sesudah itu. Kenyataannya memang, di dunia sempit maupun di dunia yang lapang hanya diperlukan satu mental: Integritas lalu konsistensi.

Tanpa integritas, siapapun dengan posisi setinggi apapun, akhirnya akan bertarung melawan bayangannya sendiri. Itu hantunya.itu pintu apesnya. Tak soal seperti apa upayanya untuk memoles diri dalam berbagai wahana. Siapapun yang miskin integritas, sejenak bisa menutupi dirinya dengan berlagak konsisten akan jati dirinya. Sesudah itu, segalanya bisa buyar dan tak terkendali.

Ini bulan sangat baik untuk menengok ke dalam. Mengenali lebih dekat tentang siapa kita. Seharusnya membaca diri bukan semata seremoni tahunan, tapi panggilan kesadaran. Di tengah kegaduhan di mana-mana, perlu kiranya kita membaca ulang tentang siapa diri kita yang sesungguhnya. Kadang untuk menjadi baik tidak selalu harus pintar. Kadang untuk menjadi baik tidak harus selalu terkenal. Bila menjadi baik harus dengan terkenal, alangkah sempitnya dunia. Bila menjadi baik harus dengan banyak bicara alangkah ciutnya harapan. Bila menjadi baik harus dengan banyak membela diri, alangkah lelahnya hidup.

Ini bulan sangat baik bercermin. Kita adalah akumulasi perkataan kita sendiri tentang kita. Kita adalah kumpulan persepsi tentang kita. Kita adalah tautan  perilaku demi perilaku kita sendiri yang kita pilih secara sukarela. Ini bulan sangat baik untuk banyak merenungi diri. *



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 257 Th.13, Ramadhan 1432, 11 Agustus 2011 

Mengakali Undang-Undang TKI

Mengakali Undang-Undang TKI[1] 

(Hal-06) Nyaman nian menjadi TKI. Itu bila kit abaca Undang-undangnya. Di pasal 7, Undang-undang No. 39 Tahun 2004, dinyataka berbagai kewajiban pemerintah. Salah satu kewajiban itu adalah “ Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.”

Itu kalimat yang sangat sempurna. Tetapi faktanya tidak sepenuhnya begitu. Terlampau banyak akal-akalan yang dilakukan berbagai pihak, hingga merugikan para tenaga kerja Indonesia.



Tenang nian menjadi TKI. Itu bila kita membaca undang-undangnya. Salah satu kewajiban pemerintah adalah,”membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri.” Tetapi di beberapa Negara, pemerintah belum memiliki data yang akurat tentang berapa jumlah riil TKI kita, di sektor apa saja mereka bekerja dan di daerah mana saja mereka ditempatkan. Akibatnya, berbagai masalah yang muncul seringkali terlambat diantisipasi. Padahal, pada saat yang sama, para TKI itu juga diwajibakan memiliki kartau identitas lain, Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri, atau KTKLN. Selembar kartu itu harus diurus di Indonesia dan banyak menjadi ajang pemerasan. Meski digembar-gemborkan kartu itu gratis, praktiknya tidak seperti itu. Para pemungut itu disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.

Ketat nian menjadi TKI. Itu bila kita baca undang-undangnya. Setidaknya para TKI yang berangkat ke luar negeri harus memenuhi syarat administrasi, syarat kecakapan, dan syarat kesehatan. Tetapi syarat adalah apa yang tertulis di atas kertas, dan selalu apa yang sebenarnya ada pada diri para TKI. Maka tidak sedikit data yang dipalsukan. Bahkan Ruyati dihukum mati di Saudi baru-baru ini, usianya telah diubah 11 tahun lebih muda.

“Calon TKI harus memiliki dokumen yang meliputi: Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan lahir, surat status perkawinan yang telah menikah bagi yang telah menikah dan melampirkan copy buku nikah.” Maka pemalsuan dokumen itu pasti melibatkan aparat pemerintah desa atau kecamatan. Orang-orang itu disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.

Perusahaan yang ingin mendapatkan Surat ijin Pelaksana Penempatan TKI atau SIPPTKI, sebagaimana dinyatakan pada pasal 23, ayat 1 huruf e, perusahaan tersebut harus “memiliki unit pelatihan kerja.” Pada praktiknya, banyak perusahaan yang tidak memiliki sendiri Unit Pelatihan Kerja tetapi tetap mendapat ijin SIPPTKI. Orang yang member ijin tersebut ada di lembaga pemerintah. Mau disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.

Sebelum terlalu banyak lembaga baru dibuat untuk mengurus TKI, pemerintah hanya perlu memastikan para birokratnya tidak hobi mengakali undang-undang atau peraturan tentang penempatan TKI di luar negeri. Titik.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 255 Th.13, Sya’ban  1432, 14 Juli 2011

Berdamai Dengan Bumi

Berdamai Dengan Bumi[1]

(Hal-02)Ini tahun yang sangat berat. Alam seakan mengubah jadwal-jadwalnya. Hujan terus datang di musim yang seharusnya kemarau. Deras.Kering masih menggersang di musim yang mestinya penghujan.Tapi bumi tak pernah mencederai dengan sendirinya. Ini tahun yang sangat berat. Petani pusing dengan siklus tanam yang kacau. Nelayan mendapati air laut selalu bergelombang. Besar dan mematikan.P encarian ikan pun tak punya kejelasan.



Ini tak sekadar soal tanah. Atau air. Atau udara semata. Ini soal kelakuan kita sebagai manusia. Kita memperlakukan bumi dan alam dengan gelora keinginan yang rakus. Kita membangun dengan cara merusak. Kita memiliki dengan cara merampas. Kita menikmati dengan cara yang membinasakan.

Indonesia sebenarnyamenempatiurutankelimadari 10 negara yang memilikiluashutanterbesar di dunia.Tetapidalamkurunwaktutahun 2000 sampaidengantahun 2005, lajukerusakanhutan Indonesia mencapai 1,87jutahektar. Akibatnya Indonesia menempatiperingkatkedua Negara denganlajukerusakanhutantertinggi di dunia.

Siapa pun tidak akan pernah bisa melawan alam. Bumi ini pemberian dengan pesan utama yang diulang-ulang oleh Allah, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.”Akumulasi dari pengrusakan akan berujung pada perlawanan alam. Dan, saat itu, tak akan ada yang bisa menghentikan. Siapapun.

Singapura, negeri satelit di Asia tenggara yang kagum pada dirinya sendiri pun, tak ada kuasa menahan curah hujan yang begitu besar. Maka ia pun mengalami pahitnya banjir, bahkan di kawasan pusat belanja yang paling kesohor bagi wisatawan. Orchad Road berubah menjadi lautan air. Toko-toko tergenang.Barang-barang mewah yang diperdagangkan mengapung-apung layaknya mainan.

Ini  tahun yang berat.Di tengah pencarian dan eksplorasi ilmiah keluar angkasa yang terus berkembang, kita menyimpan ironi di daratan bumi dan hamparan lautan.Jepang baru saja merayakan kepulangan kapsul antariksanya, Hayabusa. Kapsul itu memulai perjalanannya keantariksa tahun 2003. Tujuh tahun kemudian kembali ke bumi. Ini adalah kendaraan antariksa pertama yang mendarat di sebuah asteroid dan kembali ke bumi.

Ke angkasa kita memang harus terus melakukan pencarian, penemuan dan membuat kesimpulan historis maupun prediksi tentang alam semesta. Tetapi bila pada saat yang sama kita terus abai dengan bumi, maka hari-hari selanjutnya hanyalah lanjutan dari tahun-tahun yang sangat berat. Banjir bukan lagi bencana untuk kaum pinggiran. Badai dan   topan tidak saja ancaman gurun dan pedesaan. Tapi bumi tak pernah mencederai dengan sendirinya.*



[1]MajalahTarbawi, Edisi 233Th.12,Sya’ban 1431 H, 29 Juli 2010 M

Mencintai Indonesia

 Mencintai Indonesia[1] 

(Hal-04)Mencintai negeri ini selalu punya kisahnya sendiri. Saat kita memiliki dan tidak peduli, cinta bisa datang tiba-tiba, tapi dalam gelombang emosi. Itu sangat Nampak ketika apa yang kita punyai diambiloleh orang, diakui oleh orang, diklaim oleh orang, apalagi dirampas orang lain.



Malaysia yang gemar menggoda Indonesia dengan klaim, mengaku-ngaku, mungkin merasa bisa dengan gagah ingin mengulang keberhasilan memiliki pulau sipadan dan ligitan. Tapi menerapkan ulah itu pada sector budaya adalah tindakan arogan dan kelewat arogan. Yang terbaru adalah soal tari pendet. Menilik klaim yang susul menyusul, tak mustahil Malaysia yang warganya sering merasa lebih unggul rasnya disbanding warga Indonesia itu, sudah punya jadwal untuk mengklaim yang berikutnya.

Tetapi itu adalah pelajaran tentang cinta yang tak pernah hadir kecuali dalam gelombang emosi. Sebab kita tak kunjung peduli. Sebab kita tak benar-benar sungguh-sunguh bertindak. Berdiskusi sudah. Berwacana sudah. Tetapi terlampau banyak kekayaan budaya negeri ini yang berserakan dan belum punya pengakuan hukum internasional secara kepemilikan.

Mencintai negeri ini mempunyai kisahnya sendiri. Bahwa Indonesia adalah negera kepulauan itu sudah pasti. Tetapi kita tidak  juga sangat serius menjahit kepulauan itu dalam pengawasan, pengamanan, pemerataan dan pembangunan yang memadai. Ini bukan sekadar keluh kesah orang-orang yang merasa kurang selalu.

Tapi kesungguhan itu masih harus dilipatgandakan. Keseriusan itu masih harus ditebalkan. Karenanya, semuannya memang kurang.

Saat kita memiliki kita tak sanggup mengurus dan mengayomi, cinta bisa dating tiba-tiba dalam gelombang kepanikan. Seperti ketika ada upaya penjualan pulau Indonesia. Pemerintah bereaksi. Itu sudah semestinya. Tak semua hanya menjelaskan sebuah warna cinta yang hadir dari kepemilikan yang tak terurus maksimal. Kita memiliki tetapi kita tidak mampu melindungi. Maka kita mencintainya dalam kepanikan.

Mencintai negeri ini selalu punya kisahnya sendiri. Bahwa Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, perlahan mulai membuat banyak gelisah. Maka rancangan Undang-Undang mengenai rahasia Negara banyak dikritik. Sebagian ingin pembahasannya dihentikan. Sebab dengan sisa waktu anggota DPR yang akan berakhir, itu sulit untuk dibahas secara mendalam. Dalam RUU itu, misalnya, masih banyak pasal yang berpotensi menghambat pemberantasan korupsi. Salah satunya, laporan pembelanjaan dan alokasi anggaran di kategorikan dalam informasi yang dirahasiakan. Rahasia Negara juga tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan selain pidana rahasia Negara. Cinta yang ini dating dalam gejolak yang berlebihan. Bisa menyeret pelakunya dalam keangkuhan. Mencintai negeri ini selalu punya kisahnya sendiri.*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 212Th.11, Syawal 1430 H, 08 Oktober 2009 M