Menggambar
Kebijakan[1]
(Hal-04) Bernegara
adalah soal menggambar kebijakan. Oleh siapapun, di level manapun, pada seluruh
lingkaran penentu yang mendapat mandat dan kuasa. Maka ini bukan soal menteri
baru atau wakil menteri baru. Ini tentang skema yang muncul dari semua sumber
kebijakan dan bagaimana menyelaraskan antara kebijakan yang satu dengan yang
lainnya. Lalu akan seperti apa nasib warga dan masyarakat setelah kebijakan-kebijakan
itu.
Maka sebagai warga Negara, dari dulu dan
sampai kapanpun, semua sejatinya berpindah dari satu alur kebijakan ke alur
lainnya. Tidak peduli siapapun yang berkuasa. Dengan begitu, alangkah keliru
bila ada masyarakat yang merasa harus hanyut ke wilayah drama pergantian
kekuasaannya. Sebab, pergulatan yang sesungguhnya bagi kita masyarakat adalah
pada efek dari semua kebijakan yang lahir dari pusaran-pusaran kekuasaan itu.
Kebijakan punya keunikannya. Bila dia salah,
maka jaraknya dengan kerusakan begitu dekat, begitu nyata. Anehnya, bila
kebijakan itu baik, jaraknya dengan keberhasilan yang diharapkan, seringkali
begitu jauh, bahkan kadang absurd. Kebijakan punya kekhasannya. Begitu
kebijakan salah, untuk memperbaikinya tidak begitu saja mudah dengan membuat
kebijakan baru. Itu tidak gampang. Sementara kebijakan yang baik dan benar,
memerlukan mata rantai yang panjang untuk benar-benar bisa terlaksana.
Kita pernah punya menteri yang dengan mudah
menandatangani berbagai perjanjian perdagangan bebas. Sebebasnya. Seketika
produk impor banjir dan tumpah memasuki negeri ini. Pasar bebas disikapi dengan
berlebihan dan tanpa ada konsolidasi yang benar-benar matang. Maka yang terjadi
kemudian adalah terpuruknya usaha kecil dan menengah kita. Bahkan
industri-industri paling strategis pun dikuasai asing. Maka semua gerakan Cinta
Produk Indonesia seperti angin. Karena faktanya, pemerintah sendiri yang
membuka jalan bagi melimpah ruahnya produk-produk asing.
Di sector perbankan, kebijakan kita dengan
mudah memberikan keleluasaan bagi pemilik asing untuk memborong bank di
Indonesia. Sementara bank dari Indonesia sendiri, banyak yang kesulitan membuka
cabang di beberapa negara karena negara tersebut memberlakukan kebijakan yang
ketat.
Di sektor energi, kita pernah punya presiden
yang menjual Gas Alam Cair ke China dengan harga yang sangat-sangat murah.
Negara dirugikan milayaran dolar. Apalagi kontrak dilakukan untuk jangka waktu
25 tahun. Padahal energi di dalam negeri sendiri masih kekurangan.
Bernegara adalah soal menggambar kebijakan.
Segala pembolehan yang dilindungi konstitusi memang indah dalam pasal dan ayat,
tapi seringkali pahit setelah diterjemahkan oleh para pembuat kebijakan.
Begitupun, masih saja ada masyarakat yang hanyut dalam gempita pergantian
menteri, padahal hidupnya digencet oleh bermacam kebijakan. *

Tidak ada komentar:
Posting Komentar