Rabu, 02 September 2020

Mengakali Undang-Undang TKI

Mengakali Undang-Undang TKI[1] 

(Hal-06) Nyaman nian menjadi TKI. Itu bila kit abaca Undang-undangnya. Di pasal 7, Undang-undang No. 39 Tahun 2004, dinyataka berbagai kewajiban pemerintah. Salah satu kewajiban itu adalah “ Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.”

Itu kalimat yang sangat sempurna. Tetapi faktanya tidak sepenuhnya begitu. Terlampau banyak akal-akalan yang dilakukan berbagai pihak, hingga merugikan para tenaga kerja Indonesia.



Tenang nian menjadi TKI. Itu bila kita membaca undang-undangnya. Salah satu kewajiban pemerintah adalah,”membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri.” Tetapi di beberapa Negara, pemerintah belum memiliki data yang akurat tentang berapa jumlah riil TKI kita, di sektor apa saja mereka bekerja dan di daerah mana saja mereka ditempatkan. Akibatnya, berbagai masalah yang muncul seringkali terlambat diantisipasi. Padahal, pada saat yang sama, para TKI itu juga diwajibakan memiliki kartau identitas lain, Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri, atau KTKLN. Selembar kartu itu harus diurus di Indonesia dan banyak menjadi ajang pemerasan. Meski digembar-gemborkan kartu itu gratis, praktiknya tidak seperti itu. Para pemungut itu disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.

Ketat nian menjadi TKI. Itu bila kita baca undang-undangnya. Setidaknya para TKI yang berangkat ke luar negeri harus memenuhi syarat administrasi, syarat kecakapan, dan syarat kesehatan. Tetapi syarat adalah apa yang tertulis di atas kertas, dan selalu apa yang sebenarnya ada pada diri para TKI. Maka tidak sedikit data yang dipalsukan. Bahkan Ruyati dihukum mati di Saudi baru-baru ini, usianya telah diubah 11 tahun lebih muda.

“Calon TKI harus memiliki dokumen yang meliputi: Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan lahir, surat status perkawinan yang telah menikah bagi yang telah menikah dan melampirkan copy buku nikah.” Maka pemalsuan dokumen itu pasti melibatkan aparat pemerintah desa atau kecamatan. Orang-orang itu disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.

Perusahaan yang ingin mendapatkan Surat ijin Pelaksana Penempatan TKI atau SIPPTKI, sebagaimana dinyatakan pada pasal 23, ayat 1 huruf e, perusahaan tersebut harus “memiliki unit pelatihan kerja.” Pada praktiknya, banyak perusahaan yang tidak memiliki sendiri Unit Pelatihan Kerja tetapi tetap mendapat ijin SIPPTKI. Orang yang member ijin tersebut ada di lembaga pemerintah. Mau disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.

Sebelum terlalu banyak lembaga baru dibuat untuk mengurus TKI, pemerintah hanya perlu memastikan para birokratnya tidak hobi mengakali undang-undang atau peraturan tentang penempatan TKI di luar negeri. Titik.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 255 Th.13, Sya’ban  1432, 14 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar