Mengakali
Undang-Undang TKI[1]
(Hal-06) Nyaman nian
menjadi TKI. Itu bila kit abaca Undang-undangnya. Di pasal 7, Undang-undang No.
39 Tahun 2004, dinyataka berbagai kewajiban pemerintah. Salah satu kewajiban
itu adalah “ Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum
pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.”
Itu kalimat yang sangat sempurna. Tetapi
faktanya tidak sepenuhnya begitu. Terlampau banyak akal-akalan yang dilakukan
berbagai pihak, hingga merugikan para tenaga kerja Indonesia.
Tenang nian menjadi TKI. Itu bila kita
membaca undang-undangnya. Salah satu kewajiban pemerintah adalah,”membentuk dan
mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri.” Tetapi di
beberapa Negara, pemerintah belum memiliki data yang akurat tentang berapa
jumlah riil TKI kita, di sektor apa saja mereka bekerja dan di daerah mana saja
mereka ditempatkan. Akibatnya, berbagai masalah yang muncul seringkali
terlambat diantisipasi. Padahal, pada saat yang sama, para TKI itu juga diwajibakan
memiliki kartau identitas lain, Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri, atau KTKLN.
Selembar kartu itu harus diurus di Indonesia dan banyak menjadi ajang
pemerasan. Meski digembar-gemborkan kartu itu gratis, praktiknya tidak seperti
itu. Para pemungut itu disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.
Ketat nian menjadi TKI. Itu bila kita baca
undang-undangnya. Setidaknya para TKI yang berangkat ke luar negeri harus
memenuhi syarat administrasi, syarat kecakapan, dan syarat kesehatan. Tetapi
syarat adalah apa yang tertulis di atas kertas, dan selalu apa yang sebenarnya
ada pada diri para TKI. Maka tidak sedikit data yang dipalsukan. Bahkan Ruyati
dihukum mati di Saudi baru-baru ini, usianya telah diubah 11 tahun lebih muda.
“Calon TKI harus memiliki dokumen yang
meliputi: Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau
surat keterangan lahir, surat status perkawinan yang telah menikah bagi yang
telah menikah dan melampirkan copy buku nikah.” Maka pemalsuan dokumen itu
pasti melibatkan aparat pemerintah desa atau kecamatan. Orang-orang itu disebut
oknum atau bukan, itu tidak penting.
Perusahaan yang ingin mendapatkan Surat ijin
Pelaksana Penempatan TKI atau SIPPTKI, sebagaimana dinyatakan pada pasal 23,
ayat 1 huruf e, perusahaan tersebut harus “memiliki unit pelatihan kerja.” Pada
praktiknya, banyak perusahaan yang tidak memiliki sendiri Unit Pelatihan Kerja
tetapi tetap mendapat ijin SIPPTKI. Orang yang member ijin tersebut ada di
lembaga pemerintah. Mau disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.
Sebelum terlalu banyak lembaga baru dibuat
untuk mengurus TKI, pemerintah hanya perlu memastikan para birokratnya tidak
hobi mengakali undang-undang atau peraturan tentang penempatan TKI di luar
negeri. Titik.*

Tidak ada komentar:
Posting Komentar