Senin, 31 Agustus 2020

Drama KPK

Drama KPK[1] 

(Hal-04)kekhawatiran banyak orang itu terbukti. Bahwa membabat korupsi di negeri ini perlu stamina yang luar biasa. Mula-mula kita merasa segalanya perlu payung hukum. Dan itu sudah lumayan. Lalu kita meyakini soal utamanya adalah kehendak yang kuat dari pemangku mandat di negeri itu. Dan perlahan sepertinya itu telah mewujud dalam kehendak kolektif pemerintah, DPR, LSM dan masyarakat. Bahwa semua ingin korupsi diberantas. Setidaknya dikurangi dalam porsi yang sangat radikal. Lalu rasanya perlu perangkat yang digdaya untuk melaksanakannya. Maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlahan menjadi tempat menaruh semua harapan.



Dari sana kita semua bermimpi Indonesia akan semakin membaik. Luka-luka kepribadian kita secara kolektif atas nama bangsa, yang terus memborok, perlahan seperti mendapat setetes obat. Ada mimpi tentang Indonesia yang sembuh. Meski belum sehat. Meski belum sempurna, tapi pemberantasan korupsi mulai menuai hasil. Menurut laporan Global Corruption Barometer yang dibuat Transparency International, kinerja KPK dan pengadilan Tipikor telah membuat kepercayaan ublik kepada kedua lembaga tersebut terus meningkat. Bahkan dalam satu surveynya, 70% responden menyatakan dengan adanya KPK dan pengadilan Tipikor, pemerintah menjadi lebih efektif dalam memberantas korupsi.

Tetapi setelah itu ada drama yang menyedihkan. Ketuanya diseret dalam kasus pembunuhan. Lalu ada pengakuan darinya bahwa pimpinan KPK yang lain ada yang menerima suap. Itu semua bukan pertanda yang baik. Drama di tubuh KPK sendiri seperti menampar semua yang sempat menaruh harapan. Gendering kematian lembaga itu sayup-sayup seperti telah digaungkan. Karenanya, dua lembaga swadaya Internasional Human Right Watch dan Transperancy International, secara khusus meminta presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk secara sungguh-sungguh menyelamatkan KPK.

Banyak pihak menduga bahwa ada upaya sistematis untuk memandulkan KPK. Benar atau salah memang tidak mudah untuk memastikannya. Tetapi setidaknya, drama-drama yang menggelayuti perjalanan KPK, telah mengubah secara signifikan persepsi masyarakat tentang harapannya pada KPK. Itu tidak sekedar persoalan citra yang mungkin bisa dipulihkan dengan berbagai cara. Ini hanya menjelaskan sebuah kecemasan psikologis, bahwa di negeri ini sebuah lembaga digdaya yang semula bisa menjadi salah satu tumpuan masa depan Indonesia, ternyata bisa juga terancam runtuh. Dan, bila di balik itu ada sebuah konspirasi, rekayasa untuk benar-benar melumpuhkan KPK, itu hanya menambahkan satu kepastian, bahwa di negeri ini para bandit masih begitu berkusa. *



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 211 Th.10, Ramadhan 1430 H, 03 September 2009 M

Nurani

 

Nurani[1] 

(Hal-04) Ada kenangan unik yang tersisa dari pemilu. Setidaknya bagi saya. Bukan soal penghitungan suara yang banyak dituding curang. Bukan pula soal nasib partai-partai yang tak mungkin lagi ikut pemilu. Saya tertarik dengan ramainya orang bicara soal nurani, pada hari-hari menjelang pencoblosan. Dalam tajuknya Republika menulis, “Hari ini kita melaksanakan pemilihan Umum. Ucapkanlah Bismillahirrahmanirrahim sebelum Anda menusuk. Pilihlah partai yang sesuai hati nurani Anda sebagai Muslim.”Tak ada kata-kata lain kecuali kalimat itu. Sementara Presiden Habibie berkata, “Jadikanlah hati nurani sebagai penentu dalam pencoblosan.”



Nurani? Mengapa tidak setiap hari orang bicara nurani. Di manakah nurani Edi  Wuryanto saat menuduh Dwi Sumaji alias Iwik yang membunuh Udin? Kemana nurani para pembantai rakyat Aceh semasa DOM? Digadaikan kemana nurani para penghisap darah rakyat selama Orde Baru? Inga’, inga’, sejak tahun 1967, Orde Baru telah mengorupsi 10 miliar US$ dari total 30 miliar US $ pinjaman Bank Dunia. Maka, tak aneh bila tahun lalu Indonesia menjadi Negara terkorup di Asia versi lembaga riset di Hongkong, PERC (Political and Economic Risc Consultancy).

Aneh. Selama ini, apa saja selalu dipolitisir, termasuk nurani. Namun,  hari itu saya menyaksikan upaya menuranikan politik. Nurani digugah, karena,”Suara Anda benar-benar menentukan nasib bangsa.” Padahal, nurani pemilih masih bergantung kepada nurani penghitung suara, nurani pembawa berita acara, nurani Jacob Tobing, Nurani Rudini, dan nurani siapa saja yang turut mempengaruhi hasil pemilu.

Banyak retorika hidup yang harus dikembalikan kepada nurani. Bagi seorang mukmin nurani adalah titian rabbani. Al-Qur’an menyebutnya dengan fitrah. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada fitrah yang telah ditetapkan Allah. Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah itu… (QS.Ar-Rum:30)

Bila nurani telah mati, segala perangkat kejujuran tak kan begitu berarti. Kecuali bila perangkatnya seperti tinta pemilu yang sulit dihilangkan. Betapa sulit dibayangkan, bila semua transaksi dan interaksi sosial harus diamankan dengan tinta. Seluruh jari tangan dan kaki pasti tidak mencukupi. Lalu seperti apa rupa manusia?

Karenanya, “suarakan suaramu” harus dilanjutkan dengan “Suarakan Nuranimu.” Dan, itu artinya pekerjaan berat menanti. Apa pasal? Di Indonesia yang populasi penduduknya amat besar dan budaya feodalistik yang sangat dominan, melakukan transformasi pendidikan nurani tak kan semudah membalik telapak tangan.

Apalagi bila tipologi pemilih Indonesia adalah wajah asli kepribadian mereka. Seperti kata Eep Saefulloh Fatah, hanya 10 persen pemilih yang kategorinya kalkulatif rasional, sisanya adalah masyarakat feodal danorang-orang yang teralienasi secara politik. “Mereka tak punya bangunan argumentasi rasional ketika akan menentukan pilihannya. Ikatan yang sifatnya personal, emosional bahkan irrasional akan gampang mengikat mereka.” Papar Eep.

Cukup sampai di sini? Tidak. Nurani yang kita inginkan bukan sebatas nurani kemanusiaan, tapi nurani keislaman. Bila nurani tidak on-line dengan niat dan misi ibadah, ia hanya akan menjadi komoditas politik sementara.

Semoga Indonesia baru menjadi kenyataan. Barakallahu li wa lakum fi nuraniku dan nuranikum.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 002  Th.I, R. Akhir 1420, 20 Juli 1999

Izinkan Aku Bercerita

 

 

Izinkan Aku Bercerita[1]

 

(Hal-03) Jakarta, 1 Mei 1999

La-Nina, benar-benar membuat kering udara Jakarta. Suhu politik yang kian memanas, rasanya turut membuat Ibu Kota Gerah. Di beberapa ruas jalan Jakarta, kemacetan masih menjadi langganan. Itupun, masih ditingkahi tawuran pelajar yang punya beberapa shift, pagi, siang dan petang. Harga sembako masih sulit terjangkau. Laju inflasi memang tak akan bisa berhenti, sebab ia berhulu kepada system ekonomi makro yang berbasis riba.



Semua orang sibuk dengan urusan sendiri. Setiap hari, tak kurang sebelas juta anak manusia mengais rezeki di Jakarta. Hidup yang keras, rasa aman yang kian tipis, moralitas religi dan sosial makin sirna, menjadi lautan keluh kesah tak bertepi. Orang harus berjibaku, bila ingin idealismenya tak ikut tewas.

Suasana itu, kadang membuat orang lupa, bahwa hari-hari ini adalah penantian kelahiran demokrasi di Indonesia. Penantian itu sangat berarti, karena lebih dari 32 tahun ia terpasung. Terserah Anda, mau mengibaratkan seperti apa. Kita hanya berharap, bagaimana bayi demokrasi ini tidak lahir dengan cesar.meski pahit, ada bahagia yang bisa direngkuh, bila kelahiran itu alami. Sebab, prose salami, adalah bagian dari sunnatullah.

Ibarat pertarungan, sebenarnya umat Islam sedang bertanding dalam logika politik yang tidak fair. Betapa tidak, bila geliat politik ummat Islam menampakkan kuncupnya, semua kepentingan yang anti Islam serta merta bersatu padu menghadang. Dan, itu artinya terjadi pengeroyokan. Itulah mentalitas perampok. Lalu, apa jadinya kondisi bangsa ini, yang sebentar lagi akan menghadapi momen pemilihan umum?

Apapun, ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi pasca pemilu. Pertama, pemilu akan dianulir bila ternyata hasilnya menetapkan dominasi kekuatan politik Islam. Kasus ini pernah terjadi di Aljazair. Kedua, Islam bisa saja unggul tapi tidak dominan. Dan karenanya, akan terjadi persaingan politik yang sangat ketat dengan kekuatan lain. Kemungkinan kedua ini, persis terjadi di Turki. Ketiga, bisa jadi kelompok status quo akan berjaya kembali. Dan ini sama artinya mengulang kesalahan yang sama, untuk kedua, bahkan ketiga kalinya. Akan terjadi koalisi kepentingan kelompok dan pembagian kue.

Mereka-reka kemungkinan tidaklah aib. Bukan untuk apa-apa, kecuali sekedar, agar jika kondisi terburuk pun terjadi, kita tak sampai harus terpuruk, apalagi future. Seperti sikap Imam Abu Hanifah yang banyak mengandai suatu perkara, yang belum terjadi di masanya. Ketika muridnya bertanya tentang sikapnya tersebut, Abu Hanifah menjelaskan, “kita bicarakan hokum tentang sesuatu yang belum terjadi, agar nanti bila peristiwa itu terjadi, kita telah siap dan tahu bagaimana menghukuminya.”

Hanya doktrin Islam yang mengaitkan teori kemungkinan dengan aspek aqidah. “dan tidaklah ada satu jiwa yang mengetahui apa yang terjadi esok. Dan tidaklah ada yang mengetahui di negeri mana ia akan mati.” (QS Luqman:31. Karenanya, selain sikap responsif dan antisipatif, dakwah harus menjadi mainsistem. Dan, yang paling penting, bagaimana kita tak sampai menjadi ummat bermental buih.

Jakarta masih saja panas. Dan inilah ceritaku, sampai jumpa dengan cerita yang lain, bulan depan, Insya Allah.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Karena Syaitan itu Musuh

 

Karena Syaitan itu Musuh …[1][2]

 

(Hal-78)Syaitan. Apa yang terbayang dalam pikiran kita, atau kebanyakan orang, saat mendengar kata tersebut? Karena pesatnya informasi tidak benar dalam benak banyak orang, mungkin juga kita, maka kata-kata “syaitan” lebih dipahami sebagai sesuatu yang menakutkan secara fisik. Karena fisiknya yang buruk, sehingga harus dijauhi dan ditakuti. Padahal benarkah informasi itu yang digambarkan dalam Islam? Jawabannya, tidak.



Saudaraku,

Al Qur’an memilihkan kata yang sangat tepat memposisikan syaitan. Yaitu sebagai ‘aduww, atau musuh. Karena syaitan itu musuh, maka dia harus dilawan dan dilumpuhkan. Bukan ditakuti. Karena syaitan musuh, maka tidak boleh diberi kesempatan untuk menyerang. Karena syaitan musuh, maka kita harus waspada dan hati-hati terhadap segala tipu daya dan jebakannya yang bisa menjerumuskan. Begitulah. Karena syaitan itu musuh.

Tak satupun manusia yang luput dari godaan syaitan. Syaitan sebagai musuh, selalu mempunyai cara untuk bisa mempengaruhi dan menaklukkan hati hingga perilaku manusia. Betapapun keshalihan orang itu. Syetan sebagai musuh, akan terus mencari (Hal-79) jalan untuk merusak dengan cara yang paling sesuai dengan orang yang digodanya.

Saudaraku,

Setidaknya ada tiga kelompok manusia yang masing-masing diperlakukan dengan cara dan godaan yang berbeda oleh syaitan. Kelompok pertama, manusia yang cenderung kepada dosa dan maksiat. Cara yang dilakukan syaitan untuk kelompok ini adalah dengan selalu menggiring hati manusia agar terlunta, tersesat, semakin menjauh dari petunjuk Allah swt. Syaitan sebagai musuh, akan menarik dan mendekatkan jiwa orang tersebut untuk lebih melekat dan tertarik terhadap apa yang diharamkan dan dilarang Allah swt. Syaitan berupaya menutup hati dan jiwanya dari sikap hati-hati dan kesadaran. Jadi, orang-orang kelompok ini akan leluasa dan tenang melakukan banyak dosa dan kesalahan.

Kelompok kedua, adalah kelompok yang mempunyai jiwa yang lebih terikatdan tunduk kepada perintah Allah swt. Untuk menggoda kelompok ini, syaitan akan mencari jalan yang paling sesuai dengan kondisinya. Syaitan tak menggunakan cara agar orang tersebut menjauh dari hidayah Allah dan tersesat.  Tetapi meletakkan jebakan-jebakan, yang bisa membuat orang kelompok ini, terpeleset lalu jatuh, karena tidak begitu tampak bahayanya.

Kelompok ketiga, orang-orang yang aktif menyadarkan orang lain untuk dekat pada hidayah Allah, yang memerintahkan yang ma’ruf dan munkar, syaitan mempunyai senjata dan cara lain lagi. Berbeda dengan cara yang digunakan kepada dua kelompok tadi. Cara yang digunakan syaitan untuk menggoda orang ini adalah dengan mengarahkan pandangan orang tersebut pada kedudukan,kewibawaan, dan posisi pentingnya dibandingkan orang lain. Syaitan berusaha agar orang ini merasa besar, lebih mulia, lebih dekat kepada Allah swt. Dari situ, muncul sebuah sikap yang absurd melalui ketaatan dan menampilkan ketaatan, tapi diiringi hati yang merasa lebih baik disbanding orang lain.

Saudaraku,

Perintah-perintah Allah swt agar kita melakukan ketaatan, berdzikir, menjauhkan diri dari yang haram, bertujuan untuk membersihkan hati dari kekotoran dan noda, yang menghalangi seorang hamba dari Rabbnya. Itu sebabnya, para (Hal-80)ulama dan para shalihin seperti Imam Al Muhasibi, Imam Al Junaid Al Baghdadi, dan Al Imam Al Qushairi, ketika mereka menasihati tentang keharusan memperbanyak tilawah Al Qur’an, membaca dzikir pagi-sore, memperbanyak shalat sunnah setelah melakukan yang wajib, selalu mengiringi nasihatnya untuk tidak terjerumus pada fitnah merasa puas, merasa lebih karena amal-amal yang dilakukan. Mereka menegaskan bahwa sikap istiqomah dan konsisten melakukan perintah Allah swt itulah yang terpenting.

Mereka mengatakan, saat kita berusaha mengikat diri dengan perintah-perintah Allah, berupa ketaatan, membaca wirid do’a, ibadah wajib dan sunnah, ingatlah bahwa semua itu adalah obat bagi hati. Karena kita menyadari bahwa itu semua adalah obat, maka yang kita pinta adalah agar Allah swt memberi kesembuhan kita dari beragam penyakit hati, yang tersembunyi dan bertumpuk banyak alam hati kita. Inilah yang disinggung oleh Ibnu Athaillah rahimahullah: “Jika engkau masih mengagumi diri sendiri sebagai orang yang memiliki kelebihan dari orang lain, tidak menyukai kenikmatan yang jatuh pada orang lain, memendam rasa tidak enak dengan orang yang lebih terkenal dan lebih tinggi kedudukannya, ketahuilah bahwa sebenarnya ibadah yang engkau lakukan belum mendekatkan dirimu pada Allah.”

Sebab sejatinya manusia setiap ia lebih dekat kepada Allah, maka semakin tambah ma’rifah dan pengetahuannya kepada Allah dan semakin bertambah kesadaraannya akan keagungan hak Allah swt. Semakin sadar pula kekurangan yang dilakukannya di hadapan Allah swt. Semakin waspada dalam melihat keburukan dirinya. Kebalikannya, orang yang merasa tidak menyadari dan tidak mengenal Allah, semakin merasa aman dari kemurkaan Allah, dan semakin tenang karena merasa dirinya tidak ada masalah apa-apa.

Renungkanlah salah satu do’a salafushalih adalah,”Ya Allah jangan jadikan penghormatan orang lain kepadaku, dan kebaikan dugaan mereka kepada diriku, menjadikan aku mabuk dan lupa dengan keburukanku dan besarnya kekuranganku dalam menunaikan hak-hak-Mu. Ya Allah, jangan kau jadikan kenikmatan perlindungan-Mu terhadap aib dan kekuranganku, menyebabkan diriku sombong, atau menjadi sarana yang melupakanku terhadap keburukanku yang sudah pasti Engkau ketahui berdasarkan Ilmu-Mudan engkau sembunyikan dari hamba-Mu …”

Saudaraku,

Demikianlah, ketika para shalihin membicarakan godaan syaitan, mereka menyadari  betapa pembicaraan itupun bisa terselip di dalamnya gangguan syaitan itu sendiri terhadap diri mereka. Ketika mereka membicarakan tentang amal-amal kebaikan, maka mereka tidak lupa mengingatkan bila kebaikanpun bisa menjadi sarana terjerumusnya seseorang dalam jurang kesombongan, ghurur, rasa kecukupan, hingga cenderung melakukannya untuk ditampilkan pada manusia. Bukan untuk Allah swt.

Saudaraku,

Begitulah, karena syaitan itu musuh. ***

 

 



[1]M. Lili Nur Aulia

[2]Majalah Tarbawi Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1432H, 06 April 2012

Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?

 

Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?[1][2]


(Hal-76) Menekuni hadist dan sabda Rasulullah saw, selalu menghasilkan nilai-nilai yang begitu dalam maknanya. Sabda Rasulullah saw, disebut para ulama memiliki sifat “jawaami’ul kamil”, perkataan yang singkat, padat dan berbobot. Salah satu sabdanya yang kita coba renungkan kali ini. “Ada tiga sikap”, kata Rasulullah saw. “Bila ketiganya berkumpul pada diri seseorang, terhimpunlah makna keimanan dalam diri orang itu. Yaitu sikap objektif terhadap diri sendiri, menyebarkan salam kepada siapapun (yang dikenal maupun yang tidak dikenal), dan berinfaq di saat kebutuhan terhadap yang diinfaqkan.”



(Hal-77) perhatikanlah satu persatu sikap itu. Teliti perlahan. Lalu ucapkanlah subhanallah, Maha Suci Allah swt yang memberikan ilham kepada Rasulullah saw dalam perkataan yang sangat penuh nilai itu. Mari kita renungkan.

Saudaraku,

Sikap jujur meskipun diri sendiri, seimbang dalam menilai walaupun terhadap diri sendiri, objektif dalam menghukumi meski terhadap diri sendiri. Itu semua juga berarti mempertahankan sikap netral di saat kita berselisih dengan pihak lain. Artinya, kita tetap bisa memandang sisi baik orang yang berbeda dan kita anggap salah, dan sebaliknya tetap bisa melihat sisi negatif yang mungkin ada dalam diri kita, saat kita menyalahkan perilaku orang lain. Sebagian besar orang mengatakan, seperti itu mustahil dimiliki. Alasannya, hampir tidak ada manusia yang terlepas dari keakuan dan ego, sehingga dia sulit sekali memposisikan dirinya, sama, seimbang dalam menilai pihak lain yang sedang berselisih dengannya.

Saudaraku,

Biasanya, kita memiliki pandangan lebih istimewa terhadap diri kita sendiri. Atau, biasanya juga, kita akan selalu memcoba mencari posisi mana yang bisa membenarkan apa yang kita lakukan. Kita, bagaimanapun umumnya merasakan, memiliki unsur kebenaran yang lebih banyak ketimbang orang lain. Lalu, bila kita dalam posisi sulit membela diri karena telah jelas melakukan kesalahan, kita menelisik dan mencari-cari, sisi mana yang masih mungkin diambil dan diangkat, agar sedikit banyak bisa menambah pembenaran kesalahan yang kita lakukan. Misalnya kita akan berusaha membenarkan sikap keliru yang kita lakukan, dengan melihat dari sisi niat atau keinginan baik yang kita lakukan. Sehingga, meskipun salah, setidaknya kita berniat baik. Poin niat baik itu mengandung unsur ego agar setidaknya bisa menambah sisi baik dari sebuah kesalahan. Atau, jika sudah benar mengakui salah, kita akan mengatakan,”Saya memang salah, tapi mungkin cara pengungkapannya yang salah. Sedangkan maksudnya baik.” Begitulah.

Memang selalu sulit sekali berlaku adil, objektif, jujur, tatkala harus berurusan dengan diri sendiri. Dan itulah sikap pertama yang bila dimiliki, menurut Rasulullah saw, adalah bagian penting dari makna keimanan. Para ulama saat menguraikan hadist ini menjelaskan, bahwa orang yang jujur, yang adil, adalah orang yang mengenal dan mengakui apa yang dilakukannya. Mengakui terhadap dirinya sendiri bahwa ia telah melakukan sesuatu yang salah terhadap fulan. Atau mengakui bahwa ia telah berlaku merendahkan fulan.

(Hal-78) Saudaraku,

Masih dalam konteks yang sama, sangat berbeda sekali bila kita melihat kesalahan yang sama dilakukan oleh orang lain. Rasulullah saw memberikan pemisahan lain tentang hal ini. “Salah seorang kalian melihat bintik kotoran di mata saudaranya. Tapi ia melupakan kotoran besar yang ada di matanya sendiri,” demikian dalam hadist riwayat Bukhari. Kita cenderung hanya melihat kesalahan pihak lain saja, tanpa mau membuka kemungkinan adanya kebenaran yang biasanya kita gunakan dalam menilai bila kondisi itu ada pada diri sendiri. Kita cenderung tidak melihat apa latarbelakang, niat dan maksud orang yang kita anggap melakukan kesalahan itu. Apalagi bila berpikir, bahwa orang tersebut akan bertaubat, beristigfar dan menyesali kesalahannya. Coba bandingkan dua hal ini.

Sikap yang sama juga harusnya berlaku bila kita berhadapan dengan suatu kelompok, organisasi atau lembaga. Tidak menisbatkan kesalahan seseorang dari kelompok tertentu, menjadi kesalahan semua orang yang ada dalam kelompok atau organisasi itu. Persis sama dengan keinginan kita, agar pihak lain tidak menyamarakan kekeliruan satu dua orang kelompok kita, menimpa sepuruh orang yang ada dalam organisasi termasuk kita.

Saudaraku,

Sikap kedua dalam hadist diatas juga memiliki irisan makna yang jelas dengan sikap pertama. Memberi salam kepada siapapun, baik yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal. Sepertinya mudah, tapi ini merupakan ciri dari ketawadu’an sekaligus keimanan seseorang.

Sedangkan sikap ketiga, berinfaq dengan sesuatu yang diperlukan. Memberikan dan mengeluarkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan di saat kita sendiri sedang membutuhkan sesuatu itu. Pasti tidak mudah. Karena jiwa manusia, cenderung menahan yang ia miliki, dan cenderung tidak memberikan kepada orang lain, sesuatu yang ia butuhkan. Maka, seandainya, ada orang yang memiliki sikap ini seperti ini, hampir dipastikan, tidak ada kesombongan dalam dirinya, tidak ada ego dalam hatinya. Yang ada adalah empati, mendahulukan orang lain, yang otomatis berarti lebih menghargai orang lain.

Saudaraku,

Tiga sikap yang sungguh padat nilainya dan bukan mudah memilikinya. Tiga sikap yang saling berkait dan benar-benar menunjukkan kualitas iman yang luarbiasa bagi orang yang melakukannya. Bersikap jujur terhadap diri sendiri, tak memandang kondisi orang dalam bersikap baik dan bersikap baik, lalu memberikan kepada orang lain, dengan sesuatu yang sedang dibutuhkan.

Adakah diantara kita yang sanggup membuktikan keimanan kita dengan melakukan sikap-sikap itu semua?

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 235 Th.12, Muharram 1432H, 30 Desember 2010

Hanya Karena Kehendak Allah

 

Hanya Karena Kehendak Allah ....[1] [2]

(Hal-76) Saudaraku,

Himmah dalam bahasa Arab, artinya semangat kuat, tekad bulat, yang Allah berikan kepada manusiadalam menempuh beragam keinginan. Keinginan itu, bisa berbentuk prestasi belajar, capaian ekonomi atau bisnis, aspek kekuasaan dan lainnya, termasuk tentu saja keinginan dan obsesi dakwah yang tentu ada dalam diri para juru dakwah. Umumnya kita, memiliki himmah, meski mungkin berbeda sasarannya.



Yang penting kita ingat adalah, tercapainya tujuan dan capaian itu, tidak disebabkan, sarana, cara, metode, yang kita gunakan. Manusia memiliki keinginan, berusaha keras untuk mencapai keinginannya. Manusia memilih cara dan sarana yang dianggap paling bisa mengantarkannya mencapai tujuan. Tapi keberhasilan atau kegagalannya, tidak ditentukan oleh cara dan sarana itu.

(Hal-77) Saudaraku,

Dalam salah satu mutiara nasihatnya, Ibnu Attahilah, “Sawaabiqul himam laa takhriqu aswaar al qadar.” Ibnu Atthailah dalam kitab Al Hikamnya yang terkenal itu, mengambil istilah “aswaar al aqdaar” atau benteng takdir. Aswaar, secara bahasa biasa diartikan tembok perbatasan yang mengelilingi sebuah kota. Sebuah bangunan yang menyerupai pagar, tapi ini dibangun dengan bentuk yang besar, lebih kuat, dan biasanya lebih tinggi karena fungsi utamanya untuk menghalau atau menghambat serangan dari luar. Engkau tidak bisa menembus tembok takdir atau ketetapan Allah swt itu dengan kuatnya tekad dan bulatnya semangat, atau hanya dengan mengandalkan kekuatanmu saja, begitu kira-kira terjemahan yang mudah dipahami dari perkataan Ibnu Athaillah tadi.

Syaikh Ramadhan Al Buthi saat menjelaskan nasihat Ibnu Athaillah itu mengatakan, “Wahai manusia, lakukan saja apapun yang engkau ingin dan berusahalah untuk mencapai hasilnya, apapun yang engkau mau. Tempuhlah sebab-sebab apa saja di ruang yang Allah swt hamparkan untukmu. Kerahkanlah seluruh kemampuanmu. Tapi engkau harus tahu, bahwa semua sebab yang engkau tempu itu, betapapun kecanggihannya menurutmu, ia tetap saja kenyataan yang mati bila harus berhadapan dengan ketetapan Allah dan Hikmah-Nya yang telah ditentukan lebih dahulu saat sebab-sebab itu belum ada.”

Saudaraku,

Coba kaji dan dalami lagi kaitan ungkapan ini dengan apa yang mungkin kita alami sehari-hari. Bahwa orang begitu serius menempuh sebab-sebab memperoleh rizki misalnya. Ia harus meyakini bahwa upayanya mencapai sebab itu, tak menjadi penentu berhasil atau tidaknya ia memperoleh rizki. Bila kita berada di sebuah lingkungan yang  penuh dengan keharaman sampai kita terpaksa “harus” melakukan yang haram itu, seharusnya kita berpikir segera menyudahi keberadaan kita di sana dengan segala resikonya. Tapi ketika itu, biasanya, syaitan membisikkan alasan lain, “Boleh jadi lingkugan ini merupakan sebab datangnya rizki Allah kepadamu. Sangat sulit mencari alternatif lainnya,bila engkau tutup peluang di sini.”

Jika kita memahami, salah satu prinsip aqidah tentang ketetapan Allah swt itu, kita bisa katakan kepada syaitan, “bila Allah swt telah menetapkan aku memperoleh rizki yang banyak, maka rizki itu pasti akan datang padaku kemanapun aku pergi. Sebaliknya bila Allah menetapkan rizkiku sedikit, maka tetap saja rizki sedikit itu akan datang kepadaku, di mana saja aku pergi. Meskipun aku diam di tempat ini.”

(Hal-78) Saudaraku,

Jadi untuk apa kita menempuh sebab-sebab bila akhirnya juga tergantung pada ketetapan Allah? Syarat yang harus ditempuh dua saja, pertama sebab-sebab itu harus sesuai dengan kehendak Allah swt. Abaikan semua sarana, cara, prasarana, metode yang tidak sesuai dengan keinginan Allah swt. Kedua, mengoptimalkan menempuh sebab-sebab yang ada untuk mencapai tujuan. Bukan dengan keyakinan penuh bahwa cara itu sangat efektif dan pasti berhasil. Tapi dengan landasan niat karena Allah swt memang memerintahkan kita untuk berinteraksi dengan sebab-sebab dan cara-cara yang dikehendaki-Nya. Yakini juga bahwa efektifitas, kekuatan, kecanggihan sebab itu tunduk pada kehendak Allah swt dan hikmah-Nya. Jadi bukan sebab-sebab itu yang menguasai hati kita, melainkan Allah swt yang menjadikannya.

Saudaraku,

Salah satu bagian inti dari ketauhidan pada Allah adalah mengakui bahwa semua yang terjadi dialam ini, adalah mutlak kehendak Allah swt. Tidak ada yang terlepas dari kuasanya.

Contoh yang lebih sederhana adalah andai kita makan dan kenyang, maka yang menjadikan kita kenyang bukan makanan itu, melainkan Allah swt. Bila kita minum air dan haus kita hilang, yakinlah yang menghilangkan haus itu bukan air yang kita minum, tapi Allah yang menjadikannya demikian. Dan jika kita sakit, lalu meminum obat, jangan tergiring untuk menganggap obat atau dokter yang  memberi resep obat itu yang menjadikan kita sembuh. Melainkan Allah swt yang mengatur dan menggerakkan organ tubuh kita bereaksi positif terhadap obat itu sehingga sembuhlah kita dari penyakit.

Karenanya, apapun hasil yang kita dapatkan, setelah memilih cara yang paling baik dan sesuai kehendak Allah, lalu melakukan usaha optimal untuk mencapai keinginan, jangan pernah lupa bersyukur, “alhamdulillah.” Termasuk ketika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Berhasil atau gagalnya, tidak tergantung pada sarana dan cara, bahakan tidak tergantung pada upaya kita, melainkan mutlak karena kehendak Allah swt. Dia yang tak pernah memberik keburukan pada hamba-Nya, telah menetapkan kita untuk menerimanya.

Itu sebabnya, Rasulullah saw bersabda, “Mintalah kepada Allah swt dan jangan melemah (dalam meminta. Bila engkau ditimpa sesuatu jangan katakan, ‘Jika aku lakukan ini dan itu ... pasti akan ini dan itu.’ Karena kata “jika” dalam hal itu membuka jalan untuk syaitan. Tapi katakanlah,”Allah telah menetapkan dan apapun yang diinginkan-Nya akan terjadi.” (HR. Muslim)

Kesempurnaan orang yang mengenal Allah swt, bahkan digambarkan oleh Ali Radhiallahu anhu. Ia mengatakan,”Jika kami menginginkan sesuatu lalu sesuatu itu benar-benar terjadi, kami memuji Allah satu kali. Tapi bila sesuatu itu tidak terjadi, kami justru memuji Allah sepuluh kali. Karena kegagalan itu telah memperkuat ma’rifah kami kepada Allah swt..”

Ingat saudaraku,

Bukan karena sebab, bukan karena usaha kita. Tapi hanya karena kehendak Allah....*

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 241 Th.12, Muharram 1431H, 16 Desember  2010

Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku

 

Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku[1][2]

 

(Hal-76) Seharusnya kita mengerti adanya perbedaan mendasar, antara bekerja dan menerima upah bekerja antara sesama manusia, dengan bekerja lalu menerima pahala antara manusia dan Allah swt. Sebagian orang rancu menganggap beramal atau bekerja dalam hubungan antar manusia, sama dengan beramal dalam hubungan dirinya dengan Allah swt.



Contohnya begini. Bila ada salah seorang kita bekerja dan berhak mendapatkan upah sebuah kebun. Apakah sama kondisinya, bila salah seorang kita beramal dan berhak mendapat balasan dari Allah swt berupa surga? Atau ungkapan sederhananya, apakah kita berhak mendapatkan balasan surga dari Allah swt karena amal-amal yang kita lakukan? Seperti kita berhak mendapatkan upah dari manusia karena pekerjaan yang kita lakukan.

(Hal-77) Saudaraku,

Jika itu bagian dari anggapan kita, berarti kita ungkapan dalam pikiran kita adalah, “Allah akan membalas pahala kepadaku, karena aku telah melakukan amal shalih sesuai perintah-Nya.” Dan bila itu yang terjadi, itulah yang dikatakan mengandalkan amal, bukan mengedepankan Allah swt saat kita beramal.

Mari kita kaji lebih jauh masalah ini. Para salafushalih memiliki pandangan yang begitu dalam tentang hubungan amal seseorang dengan harapan penuh kepada pahala yang akan Allah berikan kepadanya. Dalam kitab Al Hikam tulisan Ibnu Athailah misalnya, is mengatakan,”Termasuk tanda seseorang yang bersandar pada amalnya, adalah sikap kurang memiliki harapan saat terpeleset dan melakukan dosa.” Ungkapan Ibnu Athailah ini adalah anjuran agar kita benar-benar bersandar pada ridha Allah, bukan kepada pahala dan ganjaran yang Allah akan berikan atas amal yang kita lakukan itu. Shalat, puasa, shadaqah, beragam amal shalih. Kita benar-benar berharap akan kelembutan, kasih sayang dan kemurahan Allah swt. Bukan pada amal-amal itu sendiri.

Bagaimana mendudukkan logika ini secara lebih terang?

Syaikh Al Buthi, saat menjelaskan ungkapan Ibnu Athailah itu menguraikan,” Ketika Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, Allah swt menolong, membantu, memfasilitasi kita melakukan itu semua. Siapa yang menjadikan kita mampu mendirikan shalat? Siapa yang menjadikan kita kuat menahan lapar dan haus saat puasa? Siapa yang melapangkan hati kita untuk bisa menerima keimanan? Siapa yang menjadikan kita mau dan sanggup melangkah lalu mendatangi masjid untuk melakukan shalat berjamaah? Allah swt. Itu sebabnya, Allah swt berfirman,”Mereka merasa telah memgeri nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Q.S Alhujurat: 17)

Amal saja, bukan jaminan untuk masuk surga. Jadi, yang diminta dari kita adalah melakukan ketaatan dengan perasaan sangat ingin mendapatkan ridha Allah dan pahala dari Allah. Mengharap kemurahan Allah, ampunan-Nya, kelembutan Allah swt kepada kita melalui amal-amal shalih yang dilakukan. Ada sandaran hadist yang paling tepat (Hal-78) untuk masalah ini. Rasulullah saw bersabda, “Amal takkan memasukkan seseorang kalian ke dalam surga.” Sahabat bertanya, “Apakah termasuk engkau ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “termasuk aku, kecuali Allah meliputi ku dengan Kasih Sayang-Nya.”

Saudaraku,

Salah satu ciri orang  yang mengandalkan amal dalam mengerjakan ketaatan, ketika ia sedikit harapannya untuk bisa mendapatkan ampunan Allah swt saat melakukan kesalahan. Itu sambungan perkataan Ibnu Athailah rahimahullah. Artinya, ketika amal-amal yang kita lakukan sedikit, sementara kita juga melakukan dosa, hendaknya kita tetap memohon, meminta dan berharap kepada Allah swt untuk terus memberi ampunan. Tidak pesimis atas rahmat Allah swt.

Mari merenung saudaraku ....

Jangan sampai kita berkhayal dengan modal amal-amal shalih yang kita lakukan di dunia ini, lalu kita telah menebus harga untuk berhak masuk surga. Sebab ketika kita bersyukur secara lisan atas karunia Allah kepada kita, kita juga harus bersyukur atas nikmat Allah yang menggerakkan lisan dan hati ini untuk bersyukur. Jika kita berdiri shalat malam maka kita harus bersyukur memuji Allah yang telah menolong dan membantu kita untuk bisa berdiri di hadapan-Nya, di tengah malam. Andai bukan kerena kecintaan Allah kepada kita, andai bukan karena pertolongan dan bantuan Allah kepada kita, andai bukan karena kebaikan dan ke Maha Lembutan Allah kepada kita, kita takkan bisa melakukan itu semua.

Saudaraku,

Ada kisah seorang istri shalihat di zaman shalifushalih. Suatu malam, sang suami bangun tengah malam dan melihat istrinya sedang shalat di salah satu sudut rumahnya. Dalam shalat itu, ia mendengar ungkapan yang diucapkan istrinya saat sujud. “Ya Allah sungguh aku memohon cinta-Mu kepadaku untuk bisa membahagiakanku, menjadi aku sehat dan menjadikan aku mulia di hadapan-Mu.... dan seterusnya.

Sang suami heran mendengar doa ini. Ia menunggu sampai istrinya selesai shalat dan memanggilnya,”Mengapa engkau meminta seperti itu kepada Allah. Katakanlah: Ya Allah dengan cintaku kepada-Mu, aku memohon kepada-Mu, agar membahagiakan aku .... dan seterusnya. Istrinya menjawab:”Suamiku, andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, aku takkan sanggup di waktu seperti sekarang ini, andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, aku takkan bisa berdiri di hadapan-Nya sekarang. Andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, akupun takkan bisa berucapkan doa seperti tadi ...”

Saudaraku,

Seperti itulah ruh dari doa yang dikisahkan oleh Syaikh Al Bouthi bahwa salah satu yang diajarkan ayahnya dalam doa adalah dengan mengatakan,”Ya Rabb, aku bersyukur kepadamu, akan tetapi Engkaulah yang menginspirasikan aku untuk bersyukur kepada-Mu. Maka syukurku kepada-Mu yang mengharuskan aku bersyukur pula karena Engkau telah membantu untuk bisa bersyukur kepada-Mu. Engkaulah pencipta segala sesuatu. Engkaulah Yang Maha Lembut kepadaku di setiap keadaan.”***

 

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 240 Th.12, Dzulhijjah 1432H, 2 Desember 2010 M

Hanya Karena Kehendak Allah

Hanya Karena Kehendak Allah ....[1] [2]

(Hal-76) Saudaraku,

Himmah dalam bahasa Arab, artinya semangat kuat, tekad bulat, yang Allah berikan kepada manusiadalam menempuh beragam keinginan. Keinginan itu, bisa berbentuk prestasi belajar, capaian ekonomi atau bisnis, aspek kekuasaan dan lainnya, termasuk tentu saja keinginan dan obsesi dakwah yang tentu ada dalam diri para juru dakwah. Umumnya kita, memiliki himmah, meski mungkin berbeda sasarannya.



Yang penting kita ingat adalah, tercapainya tujuan dan capaian itu, tidak disebabkan, sarana, cara, metode, yang kita gunakan. Manusia memiliki keinginan, berusaha keras untuk mencapai keinginannya. Manusia memilih cara dan sarana yang dianggap paling bisa mengantarkannya mencapai tujuan. Tapi keberhasilan atau kegagalannya, tidak ditentukan oleh cara dan sarana itu.

(Hal-77) Saudaraku,

Dalam salah satu mutiara nasihatnya, Ibnu Attahilah, “Sawaabiqul himam laa takhriqu aswaar al qadar.” Ibnu Atthailah dalam kitab Al Hikamnya yang terkenal itu, mengambil istilah “aswaar al aqdaar” atau benteng takdir. Aswaar, secara bahasa biasa diartikan tembok perbatasan yang mengelilingi sebuah kota. Sebuah bangunan yang menyerupai pagar, tapi ini dibangun dengan bentuk yang besar, lebih kuat, dan biasanya lebih tinggi karena fungsi utamanya untuk menghalau atau menghambat serangan dari luar. Engkau tidak bisa menembus tembok takdir atau ketetapan Allah swt itu dengan kuatnya tekad dan bulatnya semangat, atau hanya dengan mengandalkan kekuatanmu saja, begitu kira-kira terjemahan yang mudah dipahami dari perkataan Ibnu Athaillah tadi.

Syaikh Ramadhan Al Buthi saat menjelaskan nasihat Ibnu Athaillah itu mengatakan, “Wahai manusia, lakukan saja apapun yang engkau ingin dan berusahalah untuk mencapai hasilnya, apapun yang engkau mau. Tempuhlah sebab-sebab apa saja di ruang yang Allah swt hamparkan untukmu. Kerahkanlah seluruh kemampuanmu. Tapi engkau harus tahu, bahwa semua sebab yang engkau tempu itu, betapapun kecanggihannya menurutmu, ia tetap saja kenyataan yang mati bila harus berhadapan dengan ketetapan Allah dan Hikmah-Nya yang telah ditentukan lebih dahulu saat sebab-sebab itu belum ada.”

Saudaraku,

Coba kaji dan dalami lagi kaitan ungkapan ini dengan apa yang mungkin kita alami sehari-hari. Bahwa orang begitu serius menempuh sebab-sebab memperoleh rizki misalnya. Ia harus meyakini bahwa upayanya mencapai sebab itu, tak menjadi penentu berhasil atau tidaknya ia memperoleh rizki. Bila kita berada di sebuah lingkungan yang  penuh dengan keharaman sampai kita terpaksa “harus” melakukan yang haram itu, seharusnya kita berpikir segera menyudahi keberadaan kita di sana dengan segala resikonya. Tapi ketika itu, biasanya, syaitan membisikkan alasan lain, “Boleh jadi lingkugan ini merupakan sebab datangnya rizki Allah kepadamu. Sangat sulit mencari alternatif lainnya,bila engkau tutup peluang di sini.”

Jika kita memahami, salah satu prinsip aqidah tentang ketetapan Allah swt itu, kita bisa katakan kepada syaitan, “bila Allah swt telah menetapkan aku memperoleh rizki yang banyak, maka rizki itu pasti akan datang padaku kemanapun aku pergi. Sebaliknya bila Allah menetapkan rizkiku sedikit, maka tetap saja rizki sedikit itu akan datang kepadaku, di mana saja aku pergi. Meskipun aku diam di tempat ini.”

(Hal-78) Saudaraku,

Jadi untuk apa kita menempuh sebab-sebab bila akhirnya juga tergantung pada ketetapan Allah? Syarat yang harus ditempuh dua saja, pertama sebab-sebab itu harus sesuai dengan kehendak Allah swt. Abaikan semua sarana, cara, prasarana, metode yang tidak sesuai dengan keinginan Allah swt. Kedua, mengoptimalkan menempuh sebab-sebab yang ada untuk mencapai tujuan. Bukan dengan keyakinan penuh bahwa cara itu sangat efektif dan pasti berhasil. Tapi dengan landasan niat karena Allah swt memang memerintahkan kita untuk berinteraksi dengan sebab-sebab dan cara-cara yang dikehendaki-Nya. Yakini juga bahwa efektifitas, kekuatan, kecanggihan sebab itu tunduk pada kehendak Allah swt dan hikmah-Nya. Jadi bukan sebab-sebab itu yang menguasai hati kita, melainkan Allah swt yang menjadikannya.

Saudaraku,

Salah satu bagian inti dari ketauhidan pada Allah adalah mengakui bahwa semua yang terjadi dialam ini, adalah mutlak kehendak Allah swt. Tidak ada yang terlepas dari kuasanya.

Contoh yang lebih sederhana adalah andai kita makan dan kenyang, maka yang menjadikan kita kenyang bukan makanan itu, melainkan Allah swt. Bila kita minum air dan haus kita hilang, yakinlah yang menghilangkan haus itu bukan air yang kita minum, tapi Allah yang menjadikannya demikian. Dan jika kita sakit, lalu meminum obat, jangan tergiring untuk menganggap obat atau dokter yang  memberi resep obat itu yang menjadikan kita sembuh. Melainkan Allah swt yang mengatur dan menggerakkan organ tubuh kita bereaksi positif terhadap obat itu sehingga sembuhlah kita dari penyakit.

Karenanya, apapun hasil yang kita dapatkan, setelah memilih cara yang paling baik dan sesuai kehendak Allah, lalu melakukan usaha optimal untuk mencapai keinginan, jangan pernah lupa bersyukur, “alhamdulillah.” Termasuk ketika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Berhasil atau gagalnya, tidak tergantung pada sarana dan cara, bahakan tidak tergantung pada upaya kita, melainkan mutlak karena kehendak Allah swt. Dia yang tak pernah memberik keburukan pada hamba-Nya, telah menetapkan kita untuk menerimanya.

Itu sebabnya, Rasulullah saw bersabda, “Mintalah kepada Allah swt dan jangan melemah (dalam meminta. Bila engkau ditimpa sesuatu jangan katakan, ‘Jika aku lakukan ini dan itu ... pasti akan ini dan itu.’ Karena kata “jika” dalam hal itu membuka jalan untuk syaitan. Tapi katakanlah,”Allah telah menetapkan dan apapun yang diinginkan-Nya akan terjadi.” (HR. Muslim)

Kesempurnaan orang yang mengenal Allah swt, bahkan digambarkan oleh Ali Radhiallahu anhu. Ia mengatakan,”Jika kami menginginkan sesuatu lalu sesuatu itu benar-benar terjadi, kami memuji Allah satu kali. Tapi bila sesuatu itu tidak terjadi, kami justru memuji Allah sepuluh kali. Karena kegagalan itu telah memperkuat ma’rifah kami kepada Allah swt..”

Ingat saudaraku,

Bukan karena sebab, bukan karena usaha kita. Tapi hanya karena kehendak Allah....*

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 241 Th.12, Muharram 1431H, 16 Desember  2010