Kamis, 03 September 2020

Rasa Ingin Tahu

Rasa Ingin Tahu[1][2]

Edi Santoso

(Hal-48) selalu ingin tahu.  Begitulah karakter dasar manusia. Karena selalu ingin tahu, hidup manusia berkembang, dengannya lahir beragam ilmu pengetahuan. Manusia terus tertantang untuk menjawab misteri yang ada dalam dirinya (mikrokosmos) maupun yang ada di luar dirinya (makrokosmos). Karena selalu ingin tahu, manusia tak pernah berhenti berpikir, bertanya dan mencoba, sehingga muncul berbagai observasi (penelitian) untuk memberikan jawaban-jawaban.



Namun, rasa ingin tahu tak melulu pada persoalan serius seputar hidup manusia, kadang juga pada masalah remeh-temeh misalnya tentang kehidupan orang lain. Orang lain itu seringkali bukan siapa-siapa, bukan sanak saudara kita. Mereka mungkin para pesohor, orang-orang yang bertabur popularitas. Kita bisa jadi tak punya urusan dengan mereka, tapi anehnya kita selalu ingin tahu tentang hidupnya, bahkan sampai pada hal-hal yang paling pribadi.

Jika rasa ingin tahu yang pertama melahirkan pengetahuan, yang kedua memunculkan pergunjingan. Repotnya, inilah yang diafirmasi media-media yang memburu sensasi. Temanya bisa apa saja, termasuk isu-isu politik atau gossip para pesohor. Faktanya, media-media semacam ini laris manis di pasaran. Larisnya beraneka acara gossip dalam dunia televisi menegaskan fakta ini.

Dalam jurnalisme, keiingintahuan khalayak dijawab dengan ekslusifitas liputan. Media massa berlomba untuk menjadi yang pertama, atau bahkan satu-satunya yang memiliki akses pada sumber informasi ‘penting.’ Tentu, ini semua soal uang, muara bagi media pada umumnya di era industrialiasasi pers. Semakin ekslusif narasumber, semakin diburu khalayak, apalagi jika menyangkut sebuah wilayah yang selama ini tertutup atau nyaris tak terjangkau masyarakat pada umumnya.

Itulah yang menjelaskan tragedy ‘News of The World’ di Inggris. Tabloid dengan tiras (Hal-49) 2,6 juta eksemplar itu terbukti melakukan penyadapan ribuan sambungan telepon pada berbagai strata sosial. Demi berita yang ekslusif, media milik Taipan Rupert Murdoch itu melakukan penyadapan dengan berbagai cara, termasuk dengan menyuap polisi setempat. Tentu, terbongkarnya kasus ini menuai kecaman luas. Beberapa bengara seperti Amerika dan Australia pun siaga, khawatir hal yang serupa juga dilakukan media-media di bawah News Corporation lainnya.

Murdoch, raja media itu, pamornya terjun bebas. Warga Amerika serikat itu tak lagi dikagumi atau disegani politisi dan public Inggris. Padahal, taipan kelahiran Australia itu merupakan aktor  dibalik panggung politik Inggris. Murdoch berpengaruh sejak era Pedana Menteri Margaret Thatcher hingga David Cameron, karena kedekatannya. Orang-orang kepercayaan Murdoch di perusahaan medianya pun satu persatu mengundurkan diri.

Rasa ingin tahu pula yang kini dimainkan oleh Nazarudin. Pada kasus korupsi yang pada umunya gelap, mantan bendahara Partai Demokrat itu menyibaknya, sedikit demi sedikit. Terlepas dari benar dan salahnya, Nazarudin memainkan emosi khalayak melalui pesan-pesan di Blackberry Messenger atau lewat suaranya di telepon melalui stasiun televisi. Kepentingan media dan Nazr bertemu, sehingga siapa yang lebih memanfaatkan siapa menjadi tidak jelas. Yang sudah jelas, rasa ingin tahu itu selalu menyeruak dalam perbincangan publik.

Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan rasa ingin tahu itu. Karena pada sebagian rasa ingin tahu itu ada control sosial. Faktanya, kita menyerahkan otoritas pada orang-orang terpilih, baik eksekutif maupun legislative, sehingga menjadi wajar, jika kita selalu ingin tahu sejauhmana kepercayaan kita dijalankan. Adalah hak kita untuk mengetahui segala informasi yang berkaitan dengan nasib kita sebagai warga Negara. Karena itu pula, ada Komisi Informasi Publik yang bertugas menjamin keterbukaan informasi. Singkatnya, pada ranah kepentingan publik, rasa ingin tahu itu relevan, bahkan wajib ada.

Lantas bagaimana jika itu menyangkut kehidupan pribadi orang? Cara paling mudah untuk menjawabnya adalah membayangkan jika kita adalah mereka. Bayangkan, jika hidup kita selalu diawasi, termasuk dalam urusan yang sangat pribadi. Betapa menjijikkan para ‘mata-mata’ itu. Media yang ‘merampok’ privasi jelas tak bisa dibenarkan, tetapi semua juga berawal karena kita, khalayak yang gemar menikmati sensasi.

Mari kita dudukkan ‘rasa ingin tahu’ pada tempatnya. Rasa ingin tahu yang melahirkan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan solusi hidup, bukan pertanyaan yang justru membawa masalah. Pertanyaan sebagaimana dimaksudkan dalam ungkapan Albert Einstein yang populer, “The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its own reason for existing. One cannot help be in awe when he contemplates the mysteries of eternity, of life, the marvelous structure of reality. It is enough if one tries merely to comprehend a little of this mystery every day. Never lose a holy curiosity.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 257 Th.13, Ramadhan 1432, 11 Agustus  2011

[2] Diketik Ulang: Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar