Edi Santoso
(Hal-54) Teori-teori keperkasaaan media
dibangun berdasarkan asumsi bahwa jumlah media massa relative terbatas dan
karakter khalayak cenderung pasif. Maka muncullah anggapan-anggapan seperti
bahwa agenda media menentukan agenda khalayak (agenda setting), persepsi
khalayak dibentuk oleh media (cultivation), atau pemberitaan mainstream
mengarahkan pendapat mayoritas (spiral of silence). Media mendominasi di satu
sisi, sementara khalayak ter-subordinasi di sisi yang lain.
Namun, asumsi-asumsi itu nampaknya harus
direvisi ketika media baru (new media) datang. Media baru yang berbasis
internet (misalnya blog, mikroblog dan social network) telah merubah segalanya.
Jika media massa kita maknai sebagai sumber informasi, maka jumlahnya kini
makin tidak terbatas. Tak hanya korporat besar yang punya media, kini siapapun
bisa melakukan hal yang sama. Sementara itu khalayak, jauh lebih aktif dari
yang sebelumnya dibayangkan. Media baru menawarkan interaktifitas dan
selektifitas bagi khalayaknya.
Dalam perspektif khalayak, makna penting dari
itu semua adalah ‘kita’ (semestinya) makin ‘berdaya’. Khalayak tak lagi semata
konsumen, tetapi juga adalah produsen (prosumen). Kita tak hanya menerima
berita, tetapi juga bisa membuat berita. Karena, kita bisa menjadi media itu
sendiri. Bayangkan Sherina Munaf, pengguna Twitter yang memiliki follower lebih
dari satu juta orang, betapa signifikan pengaruhnya. Artinya jika penyanyi muda
ini nge-tweet (berkomentar lewat Twitter), dimungkinkan ada sejuta orang lebih
yang menyimaknya. Bagi media lama, terlalu sulit untuk mencari khalayak hingga
sejuta orang.
Keberdayaan pada akhirnya menaikkan posisi
tawar kita sebagai konsumen. Kita bisa belajar dari pengalaman Dave Carrol,
seorang (Hal-55) penyanyi dan penulis lagu
country, yang memiliki pengalaman tidak menyenangkan saat menggunakan jasa
penerbangan. Pada 31 maret 2008, Carrol dan kelompok bandnya, Son of Maxwell,
terbang dari Nova Scotia ke Nebraska dengan menggunakan United Airlines. Ketika
baru saja mendarat di Chicago O’Hare, seorang penumpang yang duduk di
belakangnya melihat handler bagasi telah melempar gitar Carrol ke aspal.
Spontan dia mengingatkan petugas penerbangan, tetapi tak diacuhkan.
Gitar akuistik seharga $3,500 itu pun rusak
dan untuk memperbaiknya dai harus mengeluarkan $1,200. Komplainya kepada United
Airlines ditolak, bahkan ketika Carrol mengancam akan menyebarkan via media
sosial. Akhirnya, Carrol menmbuat dan meng-upload video berdurasi 4 menit
berjudul ‘United Breaks Guitars’ melalui You Tube. Dalam 24 jam, video itu
mendapat 500 komentar dan 24 ribu pengunjung. Hingga kini, lebih dari 8 juta
orang melihat testimoni betapa buruknya pelayanan maskapai penerbangan itu di
You Tube.
Keberdayaan itu bisa juga berdimensi
kolektif. Banyak aksi sosial dan politik yang digerakkan media sosial, misalnya
munculnya aksi massa di beberapa Negara Timur Tengah belakangan ini. Bahkan di
negeri ini, beberapa aksi kolektif seperti pengumpulan koin untuk Prita dan
gerakan ‘Cicak-Buaya’ dalam kasus KPK juga berasal dari pesan dan perbincangan
berantai di Media sosial.
Namun istilah ‘keberdayaan’ itu bisa juga
hipotetik. Artinya, keberdayaan itu dimungkinkan terjadi dengan syarat tertentu,
tak serta merta ada. Karena faktanya memang, fitur interaktifitas dn
selektifitas dalam media baru tak selalu kita manfaatkan. Artinya, media
berubah karakternya menjadi ‘baru’. Tetapi kita sebagai khalayak tetap bergaya
‘lama’ pasif.
Jika kita adalah media, maka kekuatan itu tak
semata menyangkut jangkauan namun juga konten. Koneksi tidak akan membawa
banyak arti tanpa kekuatan isi. Inilah tantangan berikutnya bagi khalayak media
baru, sejauh mana mampu memberdayakan dirinya melalui narasi yang kuat. Bagi
para ‘aktivis’ media sosial, harus ada perubahan dari euphoria narsis menjadi
keseriusan berbagi. Ini renungan kita bersama, apa yang telah kita tuliskan di
blog-blog kita? Apa yang telah kita bagi melalui kotak status Facebook kita?
Apa yang telah kita sebar melalui bilik kapasitas 140 karakter dalam akun
Twitter kita?
Jika kita adalah media, maka peotensi
keberdayaan itu juga tanggungjawab, karena tidak ada informasi yang bebas
nilai. Tanggungjawab ini akan membawa kita pada pertanyaan penting, kita ingin
menjadi seperti apa kita? Media penghibur, media informasi, media gado-gado,
atau bahkan media tanpa identitas? Apapun itu, adalah pilihan kita, karena
makna tanggung jawab adalah cermin dari nilai yang kita yakini.
Meningkatnya akses dan keberdayaan khalayak,
faktanya, memang dua hal yang berbeda. Melimpahnya informasi itu kenyataan,
tetapi menjadi berdaya itu pilihan. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar