Kamis, 03 September 2020

Jika Kita Adalah Media

Jika Kita Adalah Media[1][2]

Edi Santoso

 

(Hal-54)  Teori-teori keperkasaaan media dibangun berdasarkan asumsi bahwa jumlah media massa relative terbatas dan karakter khalayak cenderung pasif. Maka muncullah anggapan-anggapan seperti bahwa agenda media menentukan agenda khalayak (agenda setting), persepsi khalayak dibentuk oleh media (cultivation), atau pemberitaan mainstream mengarahkan pendapat mayoritas (spiral of silence). Media mendominasi di satu sisi, sementara khalayak ter-subordinasi di sisi yang lain.



Namun, asumsi-asumsi itu nampaknya harus direvisi ketika media baru (new media) datang. Media baru yang berbasis internet (misalnya blog, mikroblog dan social network) telah merubah segalanya. Jika media massa kita maknai sebagai sumber informasi, maka jumlahnya kini makin tidak terbatas. Tak hanya korporat besar yang punya media, kini siapapun bisa melakukan hal yang sama. Sementara itu khalayak, jauh lebih aktif dari yang sebelumnya dibayangkan. Media baru menawarkan interaktifitas dan selektifitas bagi khalayaknya.

Dalam perspektif khalayak, makna penting dari itu semua adalah ‘kita’ (semestinya) makin ‘berdaya’. Khalayak tak lagi semata konsumen, tetapi juga adalah produsen (prosumen). Kita tak hanya menerima berita, tetapi juga bisa membuat berita. Karena, kita bisa menjadi media itu sendiri. Bayangkan Sherina Munaf, pengguna Twitter yang memiliki follower lebih dari satu juta orang, betapa signifikan pengaruhnya. Artinya jika penyanyi muda ini nge-tweet (berkomentar lewat Twitter), dimungkinkan ada sejuta orang lebih yang menyimaknya. Bagi media lama, terlalu sulit untuk mencari khalayak hingga sejuta orang.

Keberdayaan pada akhirnya menaikkan posisi tawar kita sebagai konsumen. Kita bisa belajar dari pengalaman Dave Carrol, seorang (Hal-55) penyanyi dan penulis lagu country, yang memiliki pengalaman tidak menyenangkan saat menggunakan jasa penerbangan. Pada 31 maret 2008, Carrol dan kelompok bandnya, Son of Maxwell, terbang dari Nova Scotia ke Nebraska dengan menggunakan United Airlines. Ketika baru saja mendarat di Chicago O’Hare, seorang penumpang yang duduk di belakangnya melihat handler bagasi telah melempar gitar Carrol ke aspal. Spontan dia mengingatkan petugas penerbangan, tetapi tak diacuhkan.

Gitar akuistik seharga $3,500 itu pun rusak dan untuk memperbaiknya dai harus mengeluarkan $1,200. Komplainya kepada United Airlines ditolak, bahkan ketika Carrol mengancam akan menyebarkan via media sosial. Akhirnya, Carrol menmbuat dan meng-upload video berdurasi 4 menit berjudul ‘United Breaks Guitars’ melalui You Tube. Dalam 24 jam, video itu mendapat 500 komentar dan 24 ribu pengunjung. Hingga kini, lebih dari 8 juta orang melihat testimoni betapa buruknya pelayanan maskapai penerbangan itu di You Tube.

Keberdayaan itu bisa juga berdimensi kolektif. Banyak aksi sosial dan politik yang digerakkan media sosial, misalnya munculnya aksi massa di beberapa Negara Timur Tengah belakangan ini. Bahkan di negeri ini, beberapa aksi kolektif seperti pengumpulan koin untuk Prita dan gerakan ‘Cicak-Buaya’ dalam kasus KPK juga berasal dari pesan dan perbincangan berantai di Media sosial.

Namun istilah ‘keberdayaan’ itu bisa juga hipotetik. Artinya, keberdayaan itu dimungkinkan terjadi dengan syarat tertentu, tak serta merta ada. Karena faktanya memang, fitur interaktifitas dn selektifitas dalam media baru tak selalu kita manfaatkan. Artinya, media berubah karakternya menjadi ‘baru’. Tetapi kita sebagai khalayak tetap bergaya ‘lama’ pasif.

Jika kita adalah media, maka kekuatan itu tak semata menyangkut jangkauan namun juga konten. Koneksi tidak akan membawa banyak arti tanpa kekuatan isi. Inilah tantangan berikutnya bagi khalayak media baru, sejauh mana mampu memberdayakan dirinya melalui narasi yang kuat. Bagi para ‘aktivis’ media sosial, harus ada perubahan dari euphoria narsis menjadi keseriusan berbagi. Ini renungan kita bersama, apa yang telah kita tuliskan di blog-blog kita? Apa yang telah kita bagi melalui kotak status Facebook kita? Apa yang telah kita sebar melalui bilik kapasitas 140 karakter dalam akun Twitter kita?

Jika kita adalah media, maka peotensi keberdayaan itu juga tanggungjawab, karena tidak ada informasi yang bebas nilai. Tanggungjawab ini akan membawa kita pada pertanyaan penting, kita ingin menjadi seperti apa kita? Media penghibur, media informasi, media gado-gado, atau bahkan media tanpa identitas? Apapun itu, adalah pilihan kita, karena makna tanggung jawab adalah cermin dari nilai yang kita yakini.

Meningkatnya akses dan keberdayaan khalayak, faktanya, memang dua hal yang berbeda. Melimpahnya informasi itu kenyataan, tetapi menjadi berdaya itu pilihan. *

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik ulang: Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar