Waktu Pendek
dan Panjang[1]
(Hal-06) Setiap kita
punya dua waktu. Pendek dan panjang. Waktu pendek adalah rentang yang di situ
kita ciptakan periode-periode buatan. Di situ pula kita tentukan awal dan
akhirnya. Ini bisa soal jabatan formal atau sukarela. Bisa juga sebuah perasaan
berkuasa, pada suatu ketika, di suatu tempat, atas sesuatu tertentu. Waktu
panjang adalah rentang hidup yang disudahi oleh kematian. Dikaruniai usia
hingga muda atau sampai tua, adalah waktu yang sangat panjang untuk menyejarahi
wujud, lalu kelak mempertanggungjawabkan.
Uniknya, waktu pendek seringkali adalah saat
di mana sebagian orang mengambil peran yang sangat besar, untuk
pekerjaaan-pekerjaan besar. Namun mereka sering lupa, bahwa waktu tidak pernah
cukup. Apalagi sepotong dua potong periode. Sebab hidup selalu memperbaharui
masalahnya, jauh lebih cepat dari kapasitas individual setiap orang.
Maka negara maju sebesar Australia, dengan
perdana menteri silih berganti, dalam laporan terbarunya, masih menghadapi
meningkatnya jumlah tunawisma dalam enam tahun terakhir. Angkanya sampai 17
persen. Sedangkan kita, dengan segala lembaga negara yang kita punya, masih
saja dihinakan oleh ulah polisi Malaysia, yang menistakan secara biadab tenaga
kerja asal Indonesia.
Obama terpilih kedua kali pun mengahadapi
masalah ekonomi yang berat. Analis politik Stephen Lendman, menilai, akan
banyak kekacauan yang lebih parah terkait fiskal. Anggaran militer meningkat,
sementara pemotongan dana sosial akan terus membebani orang biasa. Lendman menyebut
itu teror negara dan kejahatan kemanusiaan.
Di waktu pendek biasanya kita menciptakan
satuan ukur. Kadang kita menyebutnya rencana, misi, tahapan atau target. Ada
juga evaluasi. Itu ada perspektif ilmiahnya. Pada saat yang sama itu hanya
bahasa lain untuk menghaluskan keterbatasan di hadapan jatah waktu. Maka
defisit yang muncul dari situasi itu, seringkali kemudian dikompensasi dengan
pencitraan, bahkan kadang sampai urusan fisik.
Seperti Presiden Perancis yang lau, Nicolas
Sarkozy. Ia tergolong bertubuh pendek. Tetapi AFP menyebut Sarkozy justru
merasa lebih tinggi dari yang sesungguhnya. Ternyata, penelitian Michelle
Duguid dan Jack Goncalo, menemukan adanya korelasi yang jelas antara merasa
berkuasa dan merasa tinggi secara fisik. “pengalaman psikologi akan kekuasaan
bisa menyebabkan orang merasa lebih tinggi dari keadaan sebenarnya,” tulis
kedua ilmuwan itu. Ini pasti lebih rumit dari sekedar dari seorang menteri yang
selalu merasa favorit di mata semua orang. Atau seorang Gubernur yang mengira
semua masalah bisa diselesaikan dengan sederhana.
Setiap kita punya dua waktu. Pendek dan
panjang. Bila suatu hari, takdir membawa kita memikul pekerjan besar yang
dibatasi periode, jangan terlena. Kadang, itu hanya saat yang tidak menyenangkan
untuk tampak pintar atau tampak bodoh.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar