Kamis, 03 September 2020

Waktu Pendek dan Panjang

Waktu Pendek dan Panjang[1] 

(Hal-06) Setiap kita punya dua waktu. Pendek dan panjang. Waktu pendek adalah rentang yang di situ kita ciptakan periode-periode buatan. Di situ pula kita tentukan awal dan akhirnya. Ini bisa soal jabatan formal atau sukarela. Bisa juga sebuah perasaan berkuasa, pada suatu ketika, di suatu tempat, atas sesuatu tertentu. Waktu panjang adalah rentang hidup yang disudahi oleh kematian. Dikaruniai usia hingga muda atau sampai tua, adalah waktu yang sangat panjang untuk menyejarahi wujud, lalu kelak mempertanggungjawabkan.



Uniknya, waktu pendek seringkali adalah saat di mana sebagian orang mengambil peran yang sangat besar, untuk pekerjaaan-pekerjaan besar. Namun mereka sering lupa, bahwa waktu tidak pernah cukup. Apalagi sepotong dua potong periode. Sebab hidup selalu memperbaharui masalahnya, jauh lebih cepat dari kapasitas individual setiap orang.

Maka negara maju sebesar Australia, dengan perdana menteri silih berganti, dalam laporan terbarunya, masih menghadapi meningkatnya jumlah tunawisma dalam enam tahun terakhir. Angkanya sampai 17 persen. Sedangkan kita, dengan segala lembaga negara yang kita punya, masih saja dihinakan oleh ulah polisi Malaysia, yang menistakan secara biadab tenaga kerja asal Indonesia.

Obama terpilih kedua kali pun mengahadapi masalah ekonomi yang berat. Analis politik Stephen Lendman, menilai, akan banyak kekacauan yang lebih parah terkait fiskal. Anggaran militer meningkat, sementara pemotongan dana sosial akan terus membebani orang biasa. Lendman menyebut itu teror negara dan kejahatan kemanusiaan.

Di waktu pendek biasanya kita menciptakan satuan ukur. Kadang kita menyebutnya rencana, misi, tahapan atau target. Ada juga evaluasi. Itu ada perspektif ilmiahnya. Pada saat yang sama itu hanya bahasa lain untuk menghaluskan keterbatasan di hadapan jatah waktu. Maka defisit yang muncul dari situasi itu, seringkali kemudian dikompensasi dengan pencitraan, bahkan kadang sampai urusan fisik.

Seperti Presiden Perancis yang lau, Nicolas Sarkozy. Ia tergolong bertubuh pendek. Tetapi AFP menyebut Sarkozy justru merasa lebih tinggi dari yang sesungguhnya. Ternyata, penelitian Michelle Duguid dan Jack Goncalo, menemukan adanya korelasi yang jelas antara merasa berkuasa dan merasa tinggi secara fisik. “pengalaman psikologi akan kekuasaan bisa menyebabkan orang merasa lebih tinggi dari keadaan sebenarnya,” tulis kedua ilmuwan itu. Ini pasti lebih rumit dari sekedar dari seorang menteri yang selalu merasa favorit di mata semua orang. Atau seorang Gubernur yang mengira semua masalah bisa diselesaikan dengan sederhana.

Setiap kita punya dua waktu. Pendek dan panjang. Bila suatu hari, takdir membawa kita memikul pekerjan besar yang dibatasi periode, jangan terlena. Kadang, itu hanya saat yang tidak menyenangkan untuk tampak pintar atau tampak bodoh.***



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 286  Th.14, Muharram 1434, 29 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar