Definisi
yang Melatari Tragedi[1]
(Hal-6) Seorang
remaja turut membunuh. Dua orang korbannya. Semua heran dan tak habis mengerti,
bagaimana semua itu ditafsirkan dalam ilmu perilaku. Maka beberapa pihak merasa
perlu melakukan pendampingan. Tragedy yang mengguncang kota Depok baru-baru ini
tidak saja karena kematian yang tragis, tapi juga banyaknya paradoks.
Meski otak pembunuhan itu adalah orang-orang
yang berumur, terkait utang-piutang, tapi kerelaan anak-anak itu untuk terlibat
sungguh menggenaskan. Memandang ulah keji itu secara menyeluruh, tetap saja
melahirkan debat. Bahkan di ranah hukum yang mudah bisa mengolah perkara itu,
perbedaan tetap terjadi. Misalnya apakah
mungkin anak itu diancam dengan hukuman mati. Dan, seperti ini bukan kasus
pertama.
Tetapi yang lebih mendasar dari itu semua,
masalah besarnya terletak pada kerancuan kita dalam mendefinisikan anak dan
orang dewasa. Kerancuan itu disebabkan adanya cluster yang kita masukkan di tengahnya: fase remaja. Mereka
anak-anak tanggung yang secara akal sudah mengerti mana salah dan mana benar.
Tetapi secara hukum kita beri toleransi keterlaluan atas ulah mereka. Remaja
adalah status yang diciptakan oleh berbagai kepentingan. Salah satunya
industry. Ada bisnis yang sangat besar dengan pasar yang disebut remaja. Tapi
ongkos yang harus kita bayar seringkali mahal.
Itulah mengapa dalam Islam, hanya dikenal
anak-anak dan dewasa. Anak-anak dengan mudah kita pahami sebagai mereka yang
belum baligh. Sehingga salah dan benar tidak punya tuntutan. Sebaliknya orang
dewasa, adalah mereka yang secara nyata telah baligh, maka salah dan benarnya
punya konsekuensi hukum.
Tetapi dengan fase baru yang bernama remaja,
kita menciptakan ambigu yang mengerikan. Mereka layak dihukum atas tindak
criminal. Tetapi sisim sosial kita membodohi mereka dengan status aneh, belum
sepenuhnya punya konsekuensi hukum apapun atas perangai mereka.
Di Amerika Serikat, seorang mahasiswa cerdas
membunuh penonton bioskop. Itu tragedi mengerikan yang menghilangkan belasan
nyawa, melukai puluhan lainnya, sekaligus mengacaukan banyak logika. Logika
kebebasan memiliki senjata. Logika rasa aman. Juga perdebatan tentang apakah
itu disebut tindakan teror atau tidak. Sebab selama ini, dunia dipaksa memaknai
kata teror secara subyektif hanya bila dikaitkan dengan aliran agama.
Begitupun, masih aka nada debat, apakah Holmes, penembak maut itu layak di
hokum atau tidak? Bila dimungkinkan misalnya tidak waras.
Tidak jarang kita dengan santai mengunyah
segala kekacauan definsi. Seakan itu hanya teori tentang usia anak, atau
doktrin teror keji tidak datang dari hiburan. Ada banyak kekacauan tersembunyi,
yang kita sadari atau tidak. Bahwa kesalahan definisi yang fatal, bisa menjadi
awal dari tragedi yang mengerikan.*

Tidak ada komentar:
Posting Komentar