Selasa, 23 April 2024

Sapardi Djoko Damono dan Pencarian yang Tidak Pernah Selesai

 

Sapardi Djoko Damono dan Pencarian yang Tidak Pernah Selesai 

Oleh Wasilah

(Hal-25) Pencarian diri adalah sesuatu yang tidak pernah selesai. Dalam pencarian itu, bagi seorang Sapardi Djoko Damono, termaktub proses belajar terus menerus seumur hidup, hingga tidak terbetik kebanggaan pada pencapaian, meski karya sastra, utamanya puisi-puisi penyair terkemuka ini kerap dipuji dan dicintai. Penyair yang bersahaja yang dari tangannya mengalir puisi yang liris dan sering dijuluki karya sufi ini, saat ditemui Wasilah dari Tarbawi di rumahnya di komplek Dosen Universitas Indonesia (UI) di Kawasan Ciputat, Tangerang, Banten, bercerita tentang proses itu, yang dalam pelakonannya bukanlah memuat tidak ‘membumi’ atau memisahkan diri habis-habisan dari lingkungannya.

Sapardi Djoko Damono



“Penyair harus peduli dengan lingkungannya, tidak bisa seperti bertapa terus, itu gombal,” katanya. Tak heran kalau di belakang rumahnya dibangun kolam-kolam ikan yang dikelola Lembaga kemasyarakatan untuk pengembangan warga. Guru Besar dan Mantan Dekan Sastra UI ini memang tidak ‘terputus’ dari ‘dunia luar’, maka ia pun prihatin akan terpuruknya kondisi bangsa, terutama soal dunia Pendidikan, dan letak sastra serta karya intelektual lainnya dalam permasalahan itu.

Bagaimana peran sastra dalam kondisi bangsa yang tengah terpuruk ini?

Sastra bisa berfungsi sebagai apapun, untuk mengkritik, menghibur, memberi dakwah, membela orang, tetapi sastra bisa berfungsi jika masyarakatnya sudah cukup siap. Misalnya Ketika mengkritik suatu golongan atau pemerintah, kalau tidak dibaca, tidak didengar tidak ada gunanya. Sastra itu tanggapan terhadap keadaan sekelilingnya. Dia membaca, merenungkan sesuatu, kemudian merespon.