Sapardi Djoko Damono dan Pencarian yang Tidak Pernah Selesai
Oleh Wasilah
(Hal-25) Pencarian diri adalah sesuatu yang tidak pernah selesai. Dalam pencarian itu, bagi seorang Sapardi Djoko Damono, termaktub proses belajar terus menerus seumur hidup, hingga tidak terbetik kebanggaan pada pencapaian, meski karya sastra, utamanya puisi-puisi penyair terkemuka ini kerap dipuji dan dicintai. Penyair yang bersahaja yang dari tangannya mengalir puisi yang liris dan sering dijuluki karya sufi ini, saat ditemui Wasilah dari Tarbawi di rumahnya di komplek Dosen Universitas Indonesia (UI) di Kawasan Ciputat, Tangerang, Banten, bercerita tentang proses itu, yang dalam pelakonannya bukanlah memuat tidak ‘membumi’ atau memisahkan diri habis-habisan dari lingkungannya.
“Penyair harus peduli dengan lingkungannya, tidak bisa seperti bertapa
terus, itu gombal,” katanya. Tak heran kalau di belakang rumahnya dibangun
kolam-kolam ikan yang dikelola Lembaga kemasyarakatan untuk pengembangan warga.
Guru Besar dan Mantan Dekan Sastra UI ini memang tidak ‘terputus’ dari ‘dunia
luar’, maka ia pun prihatin akan terpuruknya kondisi bangsa, terutama soal
dunia Pendidikan, dan letak sastra serta karya intelektual lainnya dalam
permasalahan itu.
Bagaimana peran sastra dalam kondisi bangsa yang tengah terpuruk ini?
Sastra bisa berfungsi sebagai apapun, untuk mengkritik, menghibur, memberi dakwah, membela orang, tetapi sastra bisa berfungsi jika masyarakatnya sudah cukup siap. Misalnya Ketika mengkritik suatu golongan atau pemerintah, kalau tidak dibaca, tidak didengar tidak ada gunanya. Sastra itu tanggapan terhadap keadaan sekelilingnya. Dia membaca, merenungkan sesuatu, kemudian merespon.
(Hal-26) kalau pemerintahnya tidak ada yang memperhatikan itu, hanya memikirkan
kekuasaaan saja, ya susah.
Padahal pemimpin semestinya melek gagasan-gagasan intelektual. Tulisan,
artikel, opini itu produk kaum intelektual dalam menanggapi masalah. Mestinya penguasa,
eksekutif, legislatif, punya kamar khusus, ada buku-buku untuk dibaca. Sehingga
Ketika memberikan tanggapan atas apa yang terjadi, didasari pengetahuan yang
benar atas masalah itu.
Apakah masih ada optimisme?
Tentu harus ada. Yang muda-muda harus punya itu. Tapi yang agak
merepotkan, kalau para tokoh yang berkuasa tidak memberikan keteladanan. Tidak berani,
termasuk tidak berani untuk mundur atau dimundurkan. Kita perlu pemimpin yang
siap menerima kritik dan siap tidak popular. Kalau mau populer terus itu
gombal.
Menyaksikan itu semua, apakah Anda pernah merasa kelelahan?
Iya, sedih… Saya pernah menulis tentang Pendidikan: di tahun 1954,
seorang tokoh Pendidikan mengeluh, kenapa anak-anak masuk sekolah seperti
penggilingan, pokoknya diperlukan kelulusan, ijazah, bukan pengetahuan yang
diterima. Sejak tahun 1950-an kita merasakan itu, dan terjadi terus hingga
kini.
Apa yang dilakukan untuk menghadapi kelelahan itu?
Saya harus melawannya. Saya tidak boleh putus asa. Melawannya, dengan
membaca, mendengar orang, menyatakan pendapat, menulis. Masyarakat juga
sebetulnya harus diajak kreatif, menciptakan segala sesuatu yang baru. Kalau kreatifitas
itu dihargai, saya kira akan ada perubahan. Tapi selama orang yang kreatif
masih dicurigai, itu agak repot.
Puisi-puisi anda kerap disebutkan bernuasa liris dan tidak pernah ‘kasar’.
Itu sebuah pilihan atas dasar tertentu?
Memang itu pilihan. Saya merenungkan masalah tapi bukan kemudian menjadi
orator. Saya penulis sastra. Yang tertulis, bukan lisan. Saya memprotes mahasiswa
yang dibunuh, kasus Marsinah (Dalam puisi Dongeng Marsinah), penyerangan kantor
PDIP dulu dan lainnya. Tapi karena saya tulis dengan gaya saya, mungkin
dianggap terlalu halus. Dan barangkali itu yang menyebabkan orang menganggap
saya hanya mengenai hal-hal yang lembut saja. Padahal protes juga bisa lembut.
Padahal saya juga marah, marah sekali. Dalam (kumpulan puisi) ayat-ayat Api,
jelas saya marah. Tapi saya tidak mau teriak-teriak.
Baca Juga : Mengendalikan Teknologi
Kenapa?
Kita masuk dalam suatu tradisi sastra cetak, bukan sastra lisan lagi. Kita
harus mendorong supaya orang ke sana. Karena kalau tidak, orang tetap saja
masih menghargai yang lisan, pidato, daripada renungan. Kita masih kurang
dorongan keberaksaraan itu. Padahal sekarang kita masuk dalam jaman Ketika (Hal-27) informasi, renungan, gagasan, kreatifitas harus dinyatakan secara gamblang
dalam tulisan. Kalau tidak, orang akhirnya lebih suka mendengar pidato yang juntrungnya
tidak jelas daripada membaca.
Inti perombakannya?
Kepada kreatifitasnya. Bagaimana membuat Pendidikan mengarah ke sana, ke
arah suatu jaman kreatifitas individu, yang akan terus berkembang. Mestinya itu
diberi tempat sejak awal dalam Pendidikan. Misalnya belajar Bahasa bukan
belajar rumus-rumus, tapi membaca. Bahasa tidak lain adalah membaca. Bayangkan kalau
sejak SD sampai SMA selama dua belas tahun disuruh membaca saja. Memahami, mendiskusikan
bacaan. Mereka pasti jadi orang pintar. Tidak usah diberitahu ini subyek, ini predikat,
untuk apa. Beri mereka bacaan-bacaan kotroversial, ‘bertengkar’ di kelas,
berikan bacaan iklan, editorial, segala macam. Anak-anak harus tahu iklan
membohongi, supaya nantinya tidak dibohongi. Harus tahu pidato politik yang
gombal-gombal itu. Harus tahu bagaimana menulis. Tapi yang seperti itu tidak
diajarkan.
Fungsi puisi-puisi Anda untuk diri sendiri sebenarnya apa?
Saya ini kan sebenarnya guru, tetapi pada dasarnya sejak sekolah
menengah saya sudah menyukai sastra. Jadi ini merupakan proses yang tidak bisa
lepas lagi dari saya, merasa bahagia kalau membaca tulisan orang. Dan itu letaknya
dalam hidup saya sangat tinggi. Bagi saya menulis bukan semacam jeda, justru
kalau saya sedang sakit ya menulis. Dalam kondisi berleha-leha, saya justru
tidak bisa apa-apa. Tapi kalau sedang tegang, sedang banyak pekerjaan, saya
harus mencari alternatif. Saya tidak bisa terus menerus mengerjakan suatu tugas
yang sama, capek saya. Jadi salah satunya adalah menulis, dan itu dengan
sendirinya.
Seringkali kelahiran puisi dalam kondisi seperti itu?
Hampir semuanya. Jadi justru Ketika menjadi pudek tiga, sampai dekan
(Fakultas Sastra UI), saya menulis banyak sekali. Bayangkan saja, saya datang
jam delapan pagi ketika orang belum ada, saya di depan komputer, sendiri. Saya melakukan
apa. Saya menulis. Di rumah juga demikian. Saya tidak mencari ilham atau apa (tertawa).
Bagi saya itu tidak ada. Itu keinginan dari dalam saja, mungkin karena Lelah,
atau tertekan, lalu keluar semua. Sesudah itu lega sudah.
Apakah harus ada yang diisi dulu ke jiwa?
Jelas. Maka saya katakana, orang harus membaca. Sebab orang belajar Bahasa
dengan membaca. Bahasa bermacam-macam, tidak hanya verbal, Bahasa apa pun, Bahasa
politik dan sebagainya. Orang belajar menulis harus membaca dulu. Orang belajar
puisi harus membaca dulu.
Kita belajar Bahasa itu kan meniru. Kalau mulai SD sampai SMA anak-anak
disuruh meniru saja apa yang pernah (Hal-28) dituliskan, mereka
jadi jago semua. Wong Bahasa itu meniru kok. Saya belajar puisi,
karena saya meniru, mengikuti orang. Saya bukan Tarzan, hidup di hutan yang tidak
ada temannya. Dan tiru-meniru adalah proses kebudayaan, kita meniru dari Arab, India,
Barat, kita punya budaya karena kita membaca. Dengan membaca kita menampilkan
lagi sesuatu yang baru, bukan sekadar menjiplak.
Ada rasa pencapaian yang sekarang adalah yang tertinggi?
Tidak pernah. Saya menulis, saya senang merefleksikan diri sendiri dalam
bentuk puisi. Tapi saya selalu merasa minder. Setiap kali menulis saya selalu
merasa memulai. Saya tidak pernah merasa gampang menulis. Sampai sekarang,
kalau menulis saya ragu-ragu. Semakin lama semakin ragu-ragu.
Kenapa?
Karena semakin kritis. Ketika menulis muncul kritik diri, pikiran saya
ini salah. Saya baca lagi, saya ubah lagi, terus begitu. Misalnya tulisan itu
saya kirim ke media dan dimuat, Ketika saya baca lagi muncul pikiran, kenapa
saya menulis begini. ‘masalah’ saya di situ. (tertawa). Tapi saya
senang.
Kenapa bersikap kritis seperti itu?
Untuk tanggungjawab diri sendiri. Kenapa saya menulis sesuatu yang sudah
pernah ditulis orang. Kenapa saya mengulang-ulang. Kadang bahkan ada perasaan,
untuk apa saya menulis ini, sudah puluhan ribu tahun yang lalu orang menulis
yang sama. Kalau membaca puisi klasik Arab, Cina, Jepang, yang indah-indah
sekali tulisannya, semua itu sepertinya sudah ditulis orang. Apa yang tersisa
untuk saya tuliskan.
Lalu apa yang membuat anda tetap menulis?
Karena saya harus meniru, harus ‘mencuri’ kecerdasan mereka, harus mengembangkan
apa yang saya kira kurang, harus mengisi lowongan-lowongan yang mereka ‘lupakan.’
Baca Juga : Kemudahan Yang Menyulitkan
Salah satu puisi anda yang sangat terkenal, Aku ingin (Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/dengan kata yang tak sempat diucapkan/kayu
kepada api yang menjadikannya abu/Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan/awan kepada hujan yang menjadikannya tiada),
kerap dikutip sebagai interaksi kasih sayang,
bahkan dalam undangan perkawinan. Apa itu memang puisi cinta?
kalau bicara seperti itu susah (tertawa). Sama dengan bertanya
misalnya puisi Amir hamzah untuk kekasihnya atau untuk Tuhan. Dirinya sendiri
juga susah. Kalau saya bilang ‘kamu’ kadang dialog saya dengan saya sendiri. Dan
hampir semua saja saya, saya berdialog. Tentu dialog itu bisa dimungkinkan
karena Tuhan, karena orang lain, karena perempuan, bisa saja. Orang mengatakan
ini puisi religius, puisi sufi, tapi ada yang bilang sajak cinta, ya terserah
saja. Ketika menulis saya tidak mikir seperti itu. Pokoknya saya merasa ada
kesatuan dengan sesuatu, yang (Hal-29) menyebabkan saya
menulis.
Dalam (puisi) Doaku, yang memuat kata subuh, zuhur, ashar, orang mungkin
memahaminya shalat lima waktu. Tapi kalau orang tidak paham dengan itu kan juga
masih bisa paham hal lainnya, yang belum tentu dari kaca mata agama saja. Saya kira
puisi semacam itu bisa bertahan lama.
Puisi yang baik, yang semestinya dipahami oleh pembacanya?
Ya. Dipahami artinya tidak harus bisa menyampaikan maksud yang sebenarnya.
Seperti kita melihat gambar, ada yang membayangkan sesuatu, sedangkan yang lain
membayangkan yang berbeda. Tapi bagi masing-masing, karya itu tetap
berkomunikasi, dipahami meski tidak sama. Paham itu kita bisa menghayati, kita
senang, kita merasa berhubungan dengan karya itu. Cara berbahasa itu yang
menyebabkan sebuah sajak bisa dihayati, meski bagi masing-masing orang berbeda arti.
Dalam Bahasa, bukan understood-nya, tapi experience-nya lebih penting. Saya
tidak menampilkan sesuatu, saya menampilkan suasana. Suasana kehidupan, bisa religius,
bisa suasana jengkel, apa saja. Tapi itu harus muncul dalam kata-kata yang sama
sekali tidak klise.
Dengan tulisan, saya mungkin bisa mengajak orang untuk berkomunikasi
dengan cara yang baik, yang wajar. Kalau itu terjadi, bukan saja ada rasa aman,
tapi orang akan bisa memahami orang lain. Memahami orang lain berarti memahami
diri sendiri.
Adakah anda punya ‘beban’ tanggungjawab mendidik masyarakat?
Saya tidak tahu apakah itu mencerdaskan atau tidak. Tapi paling tidak,
yang membaca puisi barangkali sudah mampu menghargai penggunaan Bahasa yang
tanpa pretensi, tanpa propaganda, Bahasa yang seperti seharusnya dipakai oleh
pergaulan antar manusia. Itu yang hilang dalam pidato politik, dan lainnya. Semuanya
punya pretensi. Puisi tempat yang tertinggal, untuk mempertahankan yang seperti
itu. Orang Belanda mengatakan, Politik mengotori Bahasa, penyair
membersihkannya lagi.
Anda setuju?
Ya, tentu bukan hanya puisi, tapi segala pikiran intelektual. Tulisan yang
bagus, esai yang bagus, pemakaian Bahasa dengan bagus, cermat, kreatif, itu
membersihkan kotoran-kotoran Bahasa politik. Kira-kira seperti itu.
Apa yang membuat Anda tetap berada pada ‘koridor’ puisi yang ‘halus’ dan
tidak meledak-ledak?
Saya pemain sastra, aturan saya, betapa pun saya ingin ‘menang’, tapi
harus dengan Teknik tidak menyakitkan orang. Dan saya memilih cara pengungkapan
yang tidak meledak-ledak, yang subtil, dan tenang. Kalau dianalogikan dengan
sepakbola (Olahraga kegemaran Sapardi), barangkali pemain sepakbola yang
meski ingin menang, tapi ingin mematuhi aturan main, bukan yang (Hal 30) tonjok-tonjokan.
Peran religiusitas dalam karya Anda?
Saya merasa sangat religius dalam puisi-puisi saya, dalam
penghayatannya. Ada rasa keagamaan dalam karya itu. Hampir seratus persen karya
saya tidak menggebu-gebu, bahkan mungkin ada yang mengatakan, Sapardi itu
puisinya sufi. Itu semacam keinginan untuk memahami sesuatuyang memang tidak
mungkin saya pahami. Ada kekuatan yang tidak bisa saya pahami, tapi saya terus-menerus
berusaha memahami itu. Semuanya, bisa kekuatan spiritual, kenyataan alam, apa
saja. Jadi bagi saya, puisi-puisi saya sangat religius, meski orang lain tidak
melihatnya seperti itu. Ketika menyeut azan maghrib, tempat ibadah atau lainnya,
bukan sosok, tapi suasana.
Bagi saya orang itu sebenarnya tidak mau digurui, diburu-buru, dimarahi,
orang senang kalau diajak bicara, berdiskusi. Kalau orang bisa menangkap itu
dalam puisi, ya sebenarnya sudah berdialog dengan puisi itu. Tanpa ada saya. Berkaitan
dengan religiusitas, mungkin bahan dialognya adalah religiusitas itu.
Baca Juga : Waktu Pendek dan Panjang
Orang boleh menafsirkan berbeda. Dan tafsiran itu berjalan terus. Karya sastra
sebenarnya tafsir itu. Pengarang menafsirkan dirinya sendiri, lingkungan
menafsirkannya menjadi sesuatu, begitu terus, tidak ada habis-habisnya,
berdialog. Kalau orang membaca puisi saya, mungkin memberi peluang tafsiran
seperti itu, agar bisa berdialog dengan baik.
Kenapa memasukkan religiusitas sebagai ‘bahan dialog’ dalam puisi-puisi
itu?
Kita makhluk yang sebenarnya tidak mengenal diri sendiri. Kenapa kita
lahir, kenapa kemudian kita mati. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan itu. Ada yang
mengatakan itu alamiah, tapi kenapa seperti itu? Tentu ada Dzat Yang Hak, yang
menyebabkan itu. Bagi saya, itulah religiusitas, itulah rasa keagamaan,
menyadari bahwa kita seperti itu, kita harus menjalani suatu proses yang
sebenarnya banyak yang kita tidak paham. Saya tidak akan menolak itu. Memang harus
seperti itu.
Karena berusaha terus memahami, berarti tidak ada kata selesai?
Tidak ada. Kalau orang sudah selesai itu bukan orang lagi. Tidak akan
mungkin. Orang boleh jadi penyair, terus-menerus jadi penyair, tapi dia akan
mulai lagi sebagai orang lain, dia tidak akan selesai juga, terus saja.
Ada pengalaman yang paling mengharukan dan terus terendap?
Sebenarnya banyak. Sebagai laki-laki seperti juga orang lain, hubungan
saya dengan ibu saya luar biasa, dekat sekali. Dalam puisi (berjudul Ibu) saya
menuliskannya. Kedekatan itu bukan ditunjukkan dengan gamblang, malah Ketika sekolah
saya hanya diantar satu kali oleh ibu saya, saat masuk SD. Sesudah itu, saya
mencari sekolah sendiri. Tapi (Hal 31) saya ingat, sewaktu saya meninggalkan Solo untuk
kuliah di Yogya. Tak lama di sana, ibu mengunjungi saya. Ketika akan pulang,
saya tahu ia menangis, meski Solo-Yogya jaraknya dekat, dan saya anak
laki-laki. Ada hubungan yang sangat mengharukan (terdiam). Saya menyadari,
dia sebenarnya kehilangan, tapi saya tidak mungkin harus di rumah terus.
Saya belum pernah merasa dinasehati ibu saya. Dia diam atau bicara, tapi
bukan melarang. Itula sebabnya saya sangat menghargai ibu saya. Kami dibebaskan
untuk menemukan diri sendiri. Masing-masing anaknya memilih jalan
sendiri-sendiri.
Ketika SMA, saya mulai menulis puisi, dan itu saya pandang sebagai bagian
dari upaya belajar berbahasa. Saya tumbuh berbahasa Jawa. Bahasa Indonesia bagi
saya Bahasa kedua. Ketika SMA, bisa jadi disuruh maju ke depan berbahasa
Indonesia, gemetaran saya. Tapi justru itu saya konsentrasi belajar. Dan itulah
cara belajar saya, kadang satu malam saya menulis 18 sajak. Terus dan terus. Bagi
saya, tidak mudah belajar berbahasa. Bagaimana Bahasa diolah, kalau bola bagaimana
dia bisa disundul, ditendang dan lainnya.
Harapan ke depan?
Apa yang namanya masa depan? (dalam usia kini) saya kan cuma punya
masa lampau (tertawa). Saya inginkan, saya ingin terus belajar menulis, Belajar
berbahasa. Setelah pension saya jauh lebih banyak belajar daripada sebelumnya. Belajar
membaca dan membaca, terus saja. Kalau bisa menambah kemampuan berkomunikasi,
untuk bisa memahami orang, saya bersyukur. Itulah yang saya inginkan. Semoga orang
lain bisa demikian, dan kita bisa bicara. ***
Biodata
Nama : Prof. Dr Sapardi Djoko Damono
Tempat dan Tanggal Lahir: Solo,20 Maret 1940
Pendidikan
-
UGM fakultas Sastra, Jurusan sastra Inggris (1964)
-
Program Doktor UI; Basic Humanities Program, University of Hawaii
Honolulu, AS (1970-1971)
Karir
-
Pengajar di IKIP Malang cabang Madiun (1964-1968)
-
Pengajar di Fakultas Sastra Undip (1968-1974)
-
Dosen dan Dekan Fakultas Sastra UI (Pensiun)
Penghargaan :
-
Puisi sihir Hujan yang memuat 51 sajak pada November 1983 mendapatkan
penghargaan Puisi Putra II dari Gabungan Penulis Nasional Malaysia.
-
Kumpulan syair kertas perahu mendapat penghargaan DKJ 1983
Karya Tulis :
-
Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah Si Telaga,
Berjalan Ke Barat Di Waktu Pagi Hari, Duka-Mu Abadi (1969)
-
Lelaki Tua Dan Laut (Terjemahan Karya Ernest Hemingway, 1973)
-
Mata Pisau (1974)
-
Sepilihan sajak George Seferis (1975; Terjemahan George Seferis)
-
Puisi Klasik China (1976; Terjemahan)
-
Lirik Klasik Farsi (1977; Terjemahan)
-
Perahu Kertas (1983)
-
Arloji (1998)
-
Ayat-Ayat Api (2000)
- Membunuh Orang Gila (2003; Kumpulan Cerpen)
Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429 H, 11 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar