Pohon
Samurah Penolak Kejahatan[1]
Oleh Ahmad
Zairofi AM
(Hal-6) Ini kisah tentang Makkah. Dahulu kala. Kota suci yang telah ada sejak lama. Di kota itu ada, Rumah Allah yang Mulia dan dibangun pertama kali oleh Malaikat. Lalu ditinggikan ulang oleh Nabi Ibrahim as dan anaknya Nabi Ismail as. Makkah mewariskan kehormatan, kemuliaan, dan juga pusaran ibadah besar, hingga kini haji dan umrah.
(Hal-7) Di masa-masa orang-orang jahiliyah datang ke
Makkah dari berbagai tempat. Ada yang dari Yaman, dari Hijaz, dari Habasyah dan
dari tempat-tempat sekitar di sekitarnya. Mereka bertawaf mengelilingi Ka’bah.
Meski dengan banyak penyimpangan dan
campur aduk kebatilan. Banyak. Puluhan. Bahkan ratusan.
Orang-orang jahiliyah dulu, dalam kebodohannya dan dalam kesyirikannya, masih menghormati kesakralan. Ada sesuatu yang harus dijaga, dihormati, tempat jiwa menggantungkan ketundukannya. Itu memang fitrah manusia. Ada konsensus yang dihormati. Ada kemuliaan yang dijaga. Salah satu yang mereka hormati adalah kesucian tanah haram, kota suci Makkah, juga kemuliaan Ka’bah. Orang-orang Quraisy, yang musyrik, juga orang-orang yang datang dari daerah sekitarnya telah mewarisi kesucian ka’bah dan kota Makkah dari Nabi Ibrahim as.
Rumah Allah,
Ka’bah, juga disebut dengan baitul atiiq,
“Rumah Tua yang Termerdekakan”. Allah SWT berfirman,
“Kemudian
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah
mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf
sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj [ ]: 29)
Menurut para
ulama, kata atiq, dari ayat diatas
artinya termerdekakan. Maksudnya bahwa sejak dahulu sampai nanti menjelang
kiamat, rumah Allah itu, akan terjaga dari segala usaha untuk menghancurkannya.
Seperti dahulu Allah melindunginya dari serangan Abrahah dan tentara bergajahnya.
“Apakah
kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara
bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan
Ka’bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang
berbondong-bondong, yang melempar mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang
terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat) (QS. Al Fiil []: 1-5)
Perjalanan
di masa lalu menuju kota suci Makkah adalah perjalanan jauh. Perlu bekal (Hal-8) dan sangat
melelahkan. Belum lagi rintangan dan halangan di sepanjang jalan. Tidak jarang
dari mereka yang dirampok di tengah jalan. Karena itu, orang-orang dari luar
Ma’kah, bila telah selesai menjalankan ibadah di tanah suci Makkah, mereka
umumnya mencari ranting pohon Samurah. Di Ma’kah tumbuh berbagai macam
tumbuhan. Seperti Idzkir, Sulam, Samurah dan lain-lainya. Pohon Samurah hanya
salah satu di antaranya.
Baca Juga: Mengapa Mengutamakan Ampunan Allah Di sini?
Orang-orang
itu menggunakan ranting atau dahan pohon samurah sebagai penanda pada binatang
kendaraan mereka. Atau mereka gunakan sebagai penanda pada rombongan mereka.
Mereka ikatkan pada kuda atau unta mereka. Hal itu mereka lakukan untuk
melindungi diri mereka dari para pembegal yang biasa merampas apa yang mereka
punya, bahkan sampai membunuhnya. Dengan pohon Samurah itu para perampok atau
pembegal tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang baru pulang dari tempat
suci, dari tanah suci. Sehingga orang-orang itu dibiarkan tanpa diganggu.
Itulah
konsensus yang mereka yakini. Itulah kehormatan yang mereka sepakati, tanpa
tertulis. Bahkan orang-orang jahat sekalipun punya kode etik. Bahkan para
pembegal, perampok pun menjaga kehormatan bulan suci Ma’kah. Pohon Samurah
adalah simbol kehormatan itu, pertanda kesepakatan itu.
Pohon
Samurah sendiri tidak memiliki kekuatan ajaib. Tidak juga memiliki kekeramatan
mistik. Tidak. Pohon itu memwakili tanah tempatnya tumbuh, di Makkah yang
dihormati, tempat dimana ada Ka’bah, rumah Allah yang suci dan termerdekakan.
Pohon itu mewakili kehormatan orang-orang yang baru pulang dari tanah
terhormat, tempat suci, dimana hati-hati terpaut. Bahwa orang-orang yang datang
dari tempat yang dihormati itu, juga harus dihormati. Para penjagal dan
perampok itu tidak berani menodai kesucian yang terangkai dalam keseluruhan
ibadah di tanah suci, kesucian tanah haram dalam sepotong ranting atau dahan
pohon samurah, diatas kuda-kuda atau unta-unta mereka. Pohon Samurah itu adalah
syiar kehormatan-kehormatan itu.
Begitu Islam
datang kehormatan tempat suci itu tetap berlanjut dalam wajah barunya yang
bersih dari berhala dan kemusyrikan. Maka Makkah semakin memancarkan cahayanya.
Ka’bah terus menebarkan pesonanya, memanggil-manggil dalam diam. Dan setiap
kita merindukannya dengan sepenuh perasaan. Mata kita pasti menangis melihat
Ka’bah. Menangis pula ketika berpisah. Itulah syi’ar kehormatan. Setiap kita
memerlukan ikatan kesucian. Yang ke (Hal-9) padanya kita menyepakati sebuah kehormatan. Ketika
Islam datang, dibuatkan untuk umatnya begitu banyak kehormatan. Yang dengan itu
kita mengikatkan diri. Dengan kehormatan itu kita merasa memiliki sebuah nilai
yang kita junjung, kita ikuti, dan kita bela.
Nilai
kehormatan itu adalah Islam, dengan segala ajaran dan ketaatan yang kita
diperintahkan. Berikut semua keburukan yang kita dilarang. Kehormatan itu
terangkum dalam keseluruhan ajaran Islam. Itu adalah tali yang kokoh yang harus
kita pegang. Disebut dengan buhul yang kokoh (Al urwatul Wutsqa). Allah Berfirman,
“Dan
Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
kokoh (Al Urwatul Wutsqa)...” (QS.
Lukman []: 22)
Kita
bersyukur kepada Allah ka, karena dibuatkan kepada kita begitu banyak
ikatan-ikatan kesucian, kehormatan, dan kemuliaan. Seperti kota suci Makkah,
Ka’bah, Masjid Nabi di Madinah, atau masjid Al Aqsha di Baitul Maqdis. Sebagian
yang lain dalam bentuk ibadah. Ada yang wajib dan harus kita kerjakan, seperti
shalat fardhu lima waktu, atau bulan Ramadhan dengan puasa wajibnya. Ada juga
yang sunnah yang kita sangat dianjurkan. Seperti shalat malam dan ibadah sunnah
lainnya.
Ramadhan
adalah syiar kehormatan. Ramadhan adalah penanda waktu yang membedakan saat
yang satu dengan saat yang lain. Bulan tempat kita menyerap kehormatan, energi
penghambaan, dan kesucian yang digariskan langsung oleh Allah. Kesucian itu tak
semata pada bulannya. Kehormatan itu tidak saja pada puasanya. Kehormatan itu
pada keseluruhan yang berkaitan dengan Ramadhan. Bahkan puasa itu sendiri,
menjadi perisai yang kita diperintahkan untuk menggunakannya sebagai tonggak
dasar kesepakatan damai, bila ada orang yang hendak menyakiti. Dalam Shahih
Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda,
“Puasa
adalah perisai, maka jika salah seorang diantara kalian sedang berpuasa
hendaklah ia tidak berkata kotor dan membentak-bentak. Jika ada seseorang
mencelanya atau memeranginya hendaklah ia berkata; “Aku Sedang berpuasa.””
Ramadhan
yang penuh berkah, jauh lebih mulia dari sepotong dahan dan ranting pohon
Samurah. Seluruh hidup kita adalah pertarungan prilaku. Energinya kita ambil
dari nilai-nilai kehormatan yang kita yakini. Yang telah disediakan oleh Allah
dalam kesempatan-kesempatan mahal dan sangat berharga. Seperti Ramadhan yang
berlimpah kesempatan ibadah. Seperti Ramadhan yang bertabur ampunan, rahmat dan
pelipatgandaan pahala.
Baca Juga: Lelaki Yang Memburu Perasaan Terampuni
Yang
bertarung tanpa energi kehormatan, akan memenuhi lembaran harinya dengan
perilaku sampah. Yang menodai syiar-syiar kehormatan akan merasakan pahitnya
berjiwa kering dan berhati gersang. Ia bisa
berbohong dengan ekspresinya, tapi ia tidak akan bisa menipu suara
hatinya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar