Minggu, 21 April 2024

Pohon Samurah Penolak Kejahatan

 

Pohon Samurah Penolak Kejahatan[1]

Oleh Ahmad Zairofi AM  

(Hal-6) Ini kisah tentang Makkah. Dahulu kala. Kota suci yang telah ada sejak lama. Di kota itu ada, Rumah Allah yang Mulia dan dibangun pertama kali oleh Malaikat. Lalu ditinggikan ulang oleh Nabi Ibrahim as dan anaknya Nabi Ismail as. Makkah mewariskan kehormatan, kemuliaan, dan juga pusaran ibadah besar, hingga kini haji dan umrah.

Pohon Samurah Penolak Kejahatan

(Hal-7) Di masa-masa orang-orang jahiliyah datang ke Makkah dari berbagai tempat. Ada yang dari Yaman, dari Hijaz, dari Habasyah dan dari tempat-tempat sekitar di sekitarnya. Mereka bertawaf mengelilingi Ka’bah. Meski dengan banyak penyimpangan  dan campur aduk kebatilan. Banyak. Puluhan. Bahkan ratusan.


Orang-orang jahiliyah dulu, dalam kebodohannya dan dalam kesyirikannya, masih menghormati kesakralan. Ada sesuatu yang harus dijaga, dihormati, tempat jiwa menggantungkan ketundukannya. Itu memang fitrah manusia. Ada konsensus yang dihormati. Ada kemuliaan yang dijaga. Salah satu yang mereka hormati adalah kesucian tanah haram, kota suci Makkah, juga kemuliaan Ka’bah. Orang-orang Quraisy, yang musyrik, juga orang-orang yang datang dari daerah sekitarnya  telah mewarisi kesucian ka’bah dan kota Makkah dari Nabi Ibrahim as.

Rumah Allah, Ka’bah, juga disebut dengan baitul atiiq, “Rumah Tua yang Termerdekakan”. Allah SWT berfirman,

“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj [ ]: 29)

Menurut para ulama, kata atiq, dari ayat diatas artinya termerdekakan. Maksudnya bahwa sejak dahulu sampai nanti menjelang kiamat, rumah Allah itu, akan terjaga dari segala usaha untuk menghancurkannya. Seperti dahulu Allah melindunginya dari serangan Abrahah dan tentara bergajahnya.

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempar mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat) (QS. Al Fiil []: 1-5)

Perjalanan di masa lalu menuju kota suci Makkah adalah perjalanan jauh. Perlu bekal (Hal-8) dan sangat melelahkan. Belum lagi rintangan dan halangan di sepanjang jalan. Tidak jarang dari mereka yang dirampok di tengah jalan. Karena itu, orang-orang dari luar Ma’kah, bila telah selesai menjalankan ibadah di tanah suci Makkah, mereka umumnya mencari ranting pohon Samurah. Di Ma’kah tumbuh berbagai macam tumbuhan. Seperti Idzkir, Sulam, Samurah dan lain-lainya. Pohon Samurah hanya salah satu di antaranya.

Baca Juga: Mengapa Mengutamakan Ampunan Allah Di sini? 

Orang-orang itu menggunakan ranting atau dahan pohon samurah sebagai penanda pada binatang kendaraan mereka. Atau mereka gunakan sebagai penanda pada rombongan mereka. Mereka ikatkan pada kuda atau unta mereka. Hal itu mereka lakukan untuk melindungi diri mereka dari para pembegal yang biasa merampas apa yang mereka punya, bahkan sampai membunuhnya. Dengan pohon Samurah itu para perampok atau pembegal tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang baru pulang dari tempat suci, dari tanah suci. Sehingga orang-orang itu dibiarkan tanpa diganggu.

Itulah konsensus yang mereka yakini. Itulah kehormatan yang mereka sepakati, tanpa tertulis. Bahkan orang-orang jahat sekalipun punya kode etik. Bahkan para pembegal, perampok pun menjaga kehormatan bulan suci Ma’kah. Pohon Samurah adalah simbol kehormatan itu, pertanda kesepakatan itu.

Pohon Samurah sendiri tidak memiliki kekuatan ajaib. Tidak juga memiliki kekeramatan mistik. Tidak. Pohon itu memwakili tanah tempatnya tumbuh, di Makkah yang dihormati, tempat dimana ada Ka’bah, rumah Allah yang suci dan termerdekakan. Pohon itu mewakili kehormatan orang-orang yang baru pulang dari tanah terhormat, tempat suci, dimana hati-hati terpaut. Bahwa orang-orang yang datang dari tempat yang dihormati itu, juga harus dihormati. Para penjagal dan perampok itu tidak berani menodai kesucian yang terangkai dalam keseluruhan ibadah di tanah suci, kesucian tanah haram dalam sepotong ranting atau dahan pohon samurah, diatas kuda-kuda atau unta-unta mereka. Pohon Samurah itu adalah syiar kehormatan-kehormatan itu. 

Begitu Islam datang kehormatan tempat suci itu tetap berlanjut dalam wajah barunya yang bersih dari berhala dan kemusyrikan. Maka Makkah semakin memancarkan cahayanya. Ka’bah terus menebarkan pesonanya, memanggil-manggil dalam diam. Dan setiap kita merindukannya dengan sepenuh perasaan. Mata kita pasti menangis melihat Ka’bah. Menangis pula ketika berpisah. Itulah syi’ar kehormatan. Setiap kita memerlukan ikatan kesucian. Yang ke (Hal-9) padanya kita menyepakati sebuah kehormatan. Ketika Islam datang, dibuatkan untuk umatnya begitu banyak kehormatan. Yang dengan itu kita mengikatkan diri. Dengan kehormatan itu kita merasa memiliki sebuah nilai yang kita junjung, kita ikuti, dan kita bela.

Nilai kehormatan itu adalah Islam, dengan segala ajaran dan ketaatan yang kita diperintahkan. Berikut semua keburukan yang kita dilarang. Kehormatan itu terangkum dalam keseluruhan ajaran Islam. Itu adalah tali yang kokoh yang harus kita pegang. Disebut dengan buhul yang kokoh (Al urwatul Wutsqa). Allah Berfirman,

“Dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh (Al Urwatul Wutsqa)...” (QS. Lukman []: 22)

Kita bersyukur kepada Allah ka, karena dibuatkan kepada kita begitu banyak ikatan-ikatan kesucian, kehormatan, dan kemuliaan. Seperti kota suci Makkah, Ka’bah, Masjid Nabi di Madinah, atau masjid Al Aqsha di Baitul Maqdis. Sebagian yang lain dalam bentuk ibadah. Ada yang wajib dan harus kita kerjakan, seperti shalat fardhu lima waktu, atau bulan Ramadhan dengan puasa wajibnya. Ada juga yang sunnah yang kita sangat dianjurkan. Seperti shalat malam dan ibadah sunnah lainnya.

Ramadhan adalah syiar kehormatan. Ramadhan adalah penanda waktu yang membedakan saat yang satu dengan saat yang lain. Bulan tempat kita menyerap kehormatan, energi penghambaan, dan kesucian yang digariskan langsung oleh Allah. Kesucian itu tak semata pada bulannya. Kehormatan itu tidak saja pada puasanya. Kehormatan itu pada keseluruhan yang berkaitan dengan Ramadhan. Bahkan puasa itu sendiri, menjadi perisai yang kita diperintahkan untuk menggunakannya sebagai tonggak dasar kesepakatan damai, bila ada orang yang hendak menyakiti. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda,

“Puasa adalah perisai, maka jika salah seorang diantara kalian sedang berpuasa hendaklah ia tidak berkata kotor dan membentak-bentak. Jika ada seseorang mencelanya atau memeranginya hendaklah ia berkata; “Aku Sedang berpuasa.””

Ramadhan yang penuh berkah, jauh lebih mulia dari sepotong dahan dan ranting pohon Samurah. Seluruh hidup kita adalah pertarungan prilaku. Energinya kita ambil dari nilai-nilai kehormatan yang kita yakini. Yang telah disediakan oleh Allah dalam kesempatan-kesempatan mahal dan sangat berharga. Seperti Ramadhan yang berlimpah kesempatan ibadah. Seperti Ramadhan yang bertabur ampunan, rahmat dan pelipatgandaan pahala.

Baca Juga: Lelaki Yang Memburu Perasaan Terampuni 

Yang bertarung tanpa energi kehormatan, akan memenuhi lembaran harinya dengan perilaku sampah. Yang menodai syiar-syiar kehormatan akan merasakan pahitnya berjiwa kering dan berhati gersang. Ia bisa  berbohong dengan ekspresinya, tapi ia tidak akan bisa menipu suara hatinya. ***

 

 

 

                     



[1] Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429  H, 11 September  2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar