Selasa, 27 Februari 2024

Lelaki yang Memburu Perasaan Terampuni

 

Lelaki yang Memburu Perasaan Terampuni[1]

Oleh Ahmad Zairofi AM 

[Hal-7] Lelaki itu telah memutuskan. Ia ingin berubah. Setelah sepanjang hidup yang ia nikmati dengan gelimang dosa, ia ingin mengakhiri. Kesadaran itu tiba dengan kehendak Allah untuk mengentaskan salah satu hamba-Nya. Sebuah karunia kesesuaian momentum yang sangat berharga.



Kepada istrinya, lelaki itu berkata,”Aku ingin mencari syafaat yang bisa menolong aku kepada Allah.”

Sesudah itu ia pergi meninggalkan rumah. Berangkat ke padang pasir yang hampa. Setibanya di sana ia berteriak, “Wahai langit, tolonglah aku kepada Allah. Wahai gunung, tolonglah aku. Wahai bumi tolonglah aku. Wahai malaikat tolonglah aku.”

Rabiah bin Utsman bin Alhudzair (wafat tahun 54 hijriah), yang meriwayatkan kisah ini memang tidak menyebut siapa lelaki pencari ampunan itu. Tapi itu tidak penting. Pelajaran kebajikan selalu abadi bila pun tokohnya tidak dikenal namanya.

Lelaki it uterus-menerus meminta. Rasa takut semakin memenuhi hatinya. Rasa bersalah menggumuli jiwanya. Ia benar-benar mengejar ampunan Allah. Di ujung kesadarannya ia hanya ingin satu hal: perasaan terampuni.

Akhirnya dia pingsan. Kelelahan. Lalu Allah mengutus seorang malaikat kepadanya. Di dudukkannya lelaki itu. Diusap kepalanya. Lalu malaikat itu berkata,”Bergembiralah, sesungguhnya Allah telah menerima taubat engkau.”

Lelaki itu sangat gembira dan bertanya kepada malaikat itu, “Semoga Allah merahmati engkau. Siapa yang member syafaat dan menolong aku ke hadapan  [hal-8] Allah?

Malaikat itu menjawab,”Rasa takut engkau yang telah member syafaat dan menolong engkau ke hadapan Allah.”

Ini adalah salah satu dari banyak episode pergumulan manusia, yang di titik kesadarannya akan kesalahan, ia tersadar. Lalu mencari satu hal: perasaan terampuni.

Unik. Memang. Kita diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya. Tetapi secara perbuatan kita tidak bisa bebas dari keburukan. Kita diciptakan dalam bentuk sempurna. Tapi secara prilaku kita bukan makhluk sempurna. Kita bisa salah. Kita pasti salah tetapi itu bukan tanpa maksud. Ada rahasia penciptaan di sana. Rahasia itu terkait dengan keberlangsungan hidup kita sendiri sebagai manusia. Perasaan bersalah adalah perangkat penting untuk mendapatkan karunia besar di atasnya: karunia perasaan terampuni.

Ya, kita semua memerlukan situasi itu, perasaan itu: perasaan terampuni. Ini lebih dari sekadar komplikasi batin, yang terus tarik menarik, antara rasa bersalah, memohon diampuni, dan tersemangati kembali untuk menjadi lebih baik lantaran ada janji pengampunan. Perasaan terampuni, adalah salah satu situasi jiwa seorang Muslim yang sangat menguras perasaan.

Ditakdirkan diatas kita jatah berbuat salah. Diciptakan untuk kita perasaan bersalah. Tetapi sesudah itu, yaitu bagaimana kita mendapatkan perasaan terampuni. Perasaan terampuni adalah gabungan antara rasa takut dan rasa harap. Di sana kedua perasaan ini bersatu, berbaur, berkecamuk.

Perasaan bersalah itu terjadi dalam banyak sekali satuan waktu yang terus berjalan. Setiap hari ada saja kesalahan yang kita lakukan. Mungkin kesalahan kecil. Mungkin kesalahan besar. Setiap kali kita merasa bersalah, setiap itu pula seharusnya kita menggunakan perasaan bersalah itu sebagai alat untuk mendapatkan perasaan terampuni. Dan, sebagai jalan keluarnya, agama kita telah memberi ruang-ruang yang banyak dalam ajarannya. Bersama ibadah, usai ibadah,  menjelang ibadah, di sebuah waktu tertentu, hari tertentu, begitu banyak kesempatannya. Di sana kita bisa berharap maaf, berdo’a, dan memohon ampunan.

Setiap kesempatan yang dibuatkan Allah untuk kita memohon ampunan, harus benar-benar kita manfaatkan dengan sebaik-baik mungkin. Karena kita memang harus meminta ampunan sebanyak mungkin. Terlebih bila kesempatan itu dibuat secara khusus dan sangat istimewa, seperti perlakuan yang diberikan Allah di bulan Ramadhan. Benar-benar berbeda.

Di luar Ramadhan, perasaan terampuni itu masuk dalam kerangka yang lebih umum. Karena kesempatannya, peluangnya, menempel pada rutinitas keseharian kita sebagai seorang Muslim. Kalaupun ada waktu-waktu yang lebih utama dari waktu yang lain, semua tidak ada yang setara dengan keutamaan dan kemuliaan yang ada pada bulan Ramadhan. Semua situasinya tidak ada yang seistimewa Ramadhan.

Maka perasaan terampuni di bulan Ramadhan, seharusnya jauh lebih besar, lebih kuat, dan lebih kita kejar. Karena di bulan [Hal-9] yang mulia ini jaminan-jaminan yang lebih, ada keutamaan yang lebih, semacam bonus-bonus yang sangat luar biasa. Maka, jika di bulan yang sangat istimewa itu kita tidak bisa mendapatkan perasaan terampuni itu, kapan lagi kita akan mendapatkannya.

Perasaan terampuni harus merupakan semangat pendorong untuk semakin mendekat kepada Allah, juga sebuah perasaan untuk semakin memperkuat pengharapan kita kepada Allah. Itu sendiri akan melahirkan perasaan berdaya yang sangat luar biasa. Sebab kita merasa dekat dengan Allah, dan dengan itu kita pun merasa mendapat sokongan dari Dzat yang Maha Kuat.

Secara sederhana,  urutannya adalah menjadikan perasaan bersalah sebagai jalan mendapatkan perasaan terampuni, lalu menjadikan perasaan terampuni sebagai jalam menuju perasaan berdaya.  Dan, itu harus berlipat ganda ketika Ramadhan menyapa kita. Ramadhan adalah garansi-garansi yang bisa kita gunakan untuk menambahkan perasaan terampuni di dalam jiwa kita. Semacam kemudahan, kelebihan, penambahan pembalasan, pemberian yang lebih melimpah, jatah-jatah yang jauh lebih memiliki nilai tambah.

Betapa tidak. Di bulan itu pahala dilipat gandakan, pintu surga di buka, pintu neraka di kunci.

Mereka yang tidak bisa mengelola perasaan bersalah, yang membunuh dan mematikan perasaan itu, secara perlahan-lahan akan sulit mendapatkan perasaan optimis: perasaan terampuni. Selanjutnya, yang terjadi mereka tidak akan mendapatkan perasaan berdaya secara benar. Kalau pun orang-orang yang tidak merasa bersalah itu bisa tetap berbuat, menjalani hidup mereka, itu bukan sebuah perasaan berdaya. Sebab, perasaan berdaya adalah gabungan antara energi kerja yang maksimal dengan perasaan bahwa ada kebersamaan Allah dalam setiap langkah yang kita bangun.

Orang-orang yang beriman mengisi perasaannya dengan pembacaan atas situasi dirinya di tambah dengan pembacaan atas situasi di luar dirinya. Meliputi kalkulasi, perhitungan atas lingkungan eksternal yang melingkupi kehidupannya. Tetapi pada saat yang sama ia memiliki perasaan lain, bahwa jalan hidup yang sedang ia lakukan adalah jalan yang baik, yang mubah, yang halal, ia punya ruang besar untuk merasa mendapat dukungan dari Allah SWT. Sebaliknya bila kita melakukan kesalahan, maka kita harus meninggalkan  [Hal-10]  kesalahan itu, dan meminta kepada Allah agar diampuni. Ini disebut dengan perasaan berdaya. Dalam salah satu pilar aqidah yang kita yakini, kita diajarkan untuk mengucapkan dan meyakini salah satu prinsip;

“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah.”

Itu sebabnya, setiap kali seorang Muslim selesai menumpahkan perasaan bersalahnya kepada Allah, dalam do’a, dalam sujud, dalam ibadah, pasti sesudah itu tumbuh dalam jiwanya adalah perasaan berdaya. Sebaliknya, semakin lupa orang dengan perasaan bersalahnya, dan semakin tidak punya kesempatan untuk menumpahkan perasaan bersalahnya ke hadapan Allah, orang itu semakin tidak berdaya. Sebab perasaan bersalahnya tidak terubah menjadi perasaan terampuni. Maka biasanya yang terjadi adalah akumulasi rasa gelisah dan cemas.

Perasaan terampuni sejatinya tidak benar-benar didapat dari kepastian yang bisa kit abaca dalam catatan amal kita. Tidak ada daftar penghapusan dosa dan kesalahan yang bisa kita contek. Itu seperti tabungan yang terus menerus kita isi, kita tambah dengan permohonan, permintaan, dan kepasrahan diri kepada Allah, dan kita menunggu harap-harap  cemas tanpa pernah tahu berapa jumlah totalnya, berapa jumlah akhirnya. Yang diperlukan adalah perasaan bahwa ada tambahan ampunan di dalam tabungan itu.

Antara harap dan cemas akan selalu mengisi upaya kita mendapatkan perasaan terampuni. Perasaan terampuni bukan sebuah sikap besar besar kepala, atau perasan merasa aman dari azab Allah. Bukan perasaan seperti itu yang kita maksudkan. Perasaan terampuni, adalah titik di mana kita telah merasa maksimal memohon ampun memasrahkan diri, mengakui kesalahan. Sebab, sesudah itu, yang kita harus dapatkan adalah perasaan berdaya. Karenanya, orang-orang yang bersalah tidak boleh mengelola kesalahannya secara salah. Seperti mereka yang berlebihan rasa bersalahnya, sampai merasa tidak ada lagi harapan. Ini bukan salah yang mengantarkan kepada perasaan berdaya. Maka Al Qur’an dalm konteks ini member peringatan kepada orang jenis ini,

“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-KUyang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berpu- [Hal-11] tus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(QS. Az zumar []:53)

Jadi, jembatan antara perasaan bersalah dan perasaan berdaya, adalah perasaan terampuni. Dalanm ayat itu bahkan sangat jelas argumen yang dijelaskan, ialah bahwa Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Itu ayat seharusnya membuat setiap kita yang bersalah bisa mendapatkan perasaan terampuni.

Perasaan terampuni, merupakan hasil dari perasaan bersalah yang dimohonkan maaf dan ampunan kepada Allah secara benar. Bukan perasaan bersalah yang dibiarkan membunuh harapan, bukan pula perasaan bersalah yang dibiarkan membuat diri melampaui batas dan akhirnya sombong di muka bumi.

Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa Allah SWT tidak memerlukan kita. Dia tidak membutuhkan kita. Bahwa bila seluruh penduduk bumi ini, manusia maupun jin yang ada di dalamnya tanpa terkecuali taat semua kepada Allah, itu tidak menambah sedikitpun  kerajaan-Nya. Begitu juga sebaliknya, jika manusia, seluruhnya, jin seluruhnya, tidak mau beriman, tidak mau taat kepada Allah, maka itu semua tidak akan mengurangi sedikitpun kekuasaan dan kerajaan Allah.

Seperti lelaki pencari ampunan di padang gurun itu, kita hanya seorang lelaki, atau perempuan, yang menumpuk hari dengan harapan di padang kehidupan kita. Tapi pada saat yang sama, kita pula yang mereduksi harapan itu dengan berbagai kesalahan. Ramadhan adalah saat yang sangat berharga, untuk mengubah perasaan bersalah menjadi perasaan terampuni. Lalu menjadikan perasaan terampuni sebagai bekal utama untuk memiliki perasaan berdaya.

Ini adalah hari-hari yang penuh berkah. Kesempatan yang sangat berharga. Siapa pun yang ditakdirkan menjumpai Ramadhan, adalah seberuntung manusia. Asal, bisa memanfaatkannya. Diantara daftar panjang harapan yang ingin kita kejar di bulan suci ini, di Ramadhan yang mulia itu, jangan lupa, letakkan salah satu daftar penting yang harus kita dapatkan: Perasaan terampuni. ***

 

 

 

 

 

 [Hal-9]

***

 



[1] Majalah Tarbawi Edisi 211 Th.12, Ramadhan 1430 H, 3 September 2019 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar