Lelaki yang Memburu Perasaan Terampuni[1]
Oleh Ahmad Zairofi AM
[Hal-7] Lelaki itu
telah memutuskan. Ia ingin berubah. Setelah sepanjang hidup yang ia nikmati
dengan gelimang dosa, ia ingin mengakhiri. Kesadaran itu tiba dengan kehendak
Allah untuk mengentaskan salah satu hamba-Nya. Sebuah karunia kesesuaian
momentum yang sangat berharga.
Kepada
istrinya, lelaki itu berkata,”Aku ingin mencari syafaat yang bisa menolong aku
kepada Allah.”
Sesudah itu ia pergi meninggalkan rumah. Berangkat ke padang pasir yang hampa. Setibanya di sana ia berteriak, “Wahai langit, tolonglah aku kepada Allah. Wahai gunung, tolonglah aku. Wahai bumi tolonglah aku. Wahai malaikat tolonglah aku.”
Rabiah
bin Utsman bin Alhudzair (wafat tahun 54 hijriah), yang meriwayatkan kisah ini
memang tidak menyebut siapa lelaki pencari ampunan itu. Tapi itu tidak penting.
Pelajaran kebajikan selalu abadi bila pun tokohnya tidak dikenal namanya.
Lelaki
it uterus-menerus meminta. Rasa takut semakin memenuhi hatinya. Rasa bersalah
menggumuli jiwanya. Ia benar-benar mengejar ampunan Allah. Di ujung
kesadarannya ia hanya ingin satu hal: perasaan terampuni.
Akhirnya
dia pingsan. Kelelahan. Lalu Allah mengutus seorang malaikat kepadanya. Di
dudukkannya lelaki itu. Diusap kepalanya. Lalu malaikat itu
berkata,”Bergembiralah, sesungguhnya Allah telah menerima taubat engkau.”
Lelaki
itu sangat gembira dan bertanya kepada malaikat itu, “Semoga Allah merahmati
engkau. Siapa yang member syafaat dan menolong aku ke hadapan [hal-8] Allah?
Malaikat
itu menjawab,”Rasa takut engkau yang telah member syafaat dan menolong engkau
ke hadapan Allah.”
Ini
adalah salah satu dari banyak episode pergumulan manusia, yang di titik
kesadarannya akan kesalahan, ia tersadar. Lalu mencari satu hal: perasaan
terampuni.
Unik.
Memang. Kita diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya. Tetapi secara perbuatan
kita tidak bisa bebas dari keburukan. Kita diciptakan dalam bentuk sempurna.
Tapi secara prilaku kita bukan makhluk sempurna. Kita bisa salah. Kita pasti
salah tetapi itu bukan tanpa maksud. Ada rahasia penciptaan di sana. Rahasia
itu terkait dengan keberlangsungan hidup kita sendiri sebagai manusia. Perasaan
bersalah adalah perangkat penting untuk mendapatkan karunia besar di atasnya: karunia
perasaan terampuni.
Ya,
kita semua memerlukan situasi itu, perasaan itu: perasaan terampuni. Ini
lebih dari sekadar komplikasi batin, yang terus tarik menarik, antara rasa
bersalah, memohon diampuni, dan tersemangati kembali untuk menjadi lebih baik
lantaran ada janji pengampunan. Perasaan terampuni, adalah salah satu situasi
jiwa seorang Muslim yang sangat menguras perasaan.
Ditakdirkan
diatas kita jatah berbuat salah. Diciptakan untuk kita perasaan bersalah.
Tetapi sesudah itu, yaitu bagaimana kita mendapatkan perasaan terampuni.
Perasaan terampuni adalah gabungan antara rasa takut dan rasa harap. Di sana
kedua perasaan ini bersatu, berbaur, berkecamuk.
Perasaan
bersalah itu terjadi dalam banyak sekali satuan waktu yang terus berjalan.
Setiap hari ada saja kesalahan yang kita lakukan. Mungkin kesalahan kecil.
Mungkin kesalahan besar. Setiap kali kita merasa bersalah, setiap itu pula
seharusnya kita menggunakan perasaan bersalah itu sebagai alat untuk
mendapatkan perasaan terampuni. Dan, sebagai jalan keluarnya, agama kita
telah memberi ruang-ruang yang banyak dalam ajarannya. Bersama ibadah, usai
ibadah, menjelang ibadah, di sebuah
waktu tertentu, hari tertentu, begitu banyak kesempatannya. Di sana kita bisa
berharap maaf, berdo’a, dan memohon ampunan.
Setiap
kesempatan yang dibuatkan Allah untuk kita memohon ampunan, harus benar-benar
kita manfaatkan dengan sebaik-baik mungkin. Karena kita memang harus meminta
ampunan sebanyak mungkin. Terlebih bila kesempatan itu dibuat secara khusus dan
sangat istimewa, seperti perlakuan yang diberikan Allah di bulan Ramadhan.
Benar-benar berbeda.
Di
luar Ramadhan, perasaan terampuni itu masuk dalam kerangka yang lebih umum.
Karena kesempatannya, peluangnya, menempel pada rutinitas keseharian kita
sebagai seorang Muslim. Kalaupun ada waktu-waktu yang lebih utama dari waktu
yang lain, semua tidak ada yang setara dengan keutamaan dan kemuliaan yang ada
pada bulan Ramadhan. Semua situasinya tidak ada yang seistimewa Ramadhan.
Maka
perasaan terampuni di bulan Ramadhan, seharusnya jauh lebih besar, lebih kuat,
dan lebih kita kejar. Karena di bulan [Hal-9] yang mulia ini
jaminan-jaminan yang lebih, ada keutamaan yang lebih, semacam
bonus-bonus yang sangat luar biasa. Maka, jika di bulan yang sangat istimewa
itu kita tidak bisa mendapatkan perasaan terampuni itu, kapan lagi
kita akan mendapatkannya.
Perasaan
terampuni harus merupakan semangat pendorong untuk semakin mendekat kepada
Allah, juga sebuah perasaan untuk semakin memperkuat pengharapan kita kepada
Allah. Itu sendiri akan melahirkan perasaan berdaya yang sangat luar biasa.
Sebab kita merasa dekat dengan Allah, dan dengan itu kita pun merasa mendapat
sokongan dari Dzat yang Maha Kuat.
Secara
sederhana, urutannya adalah menjadikan
perasaan bersalah sebagai jalan mendapatkan perasaan terampuni, lalu menjadikan
perasaan terampuni sebagai jalam menuju perasaan berdaya. Dan, itu harus berlipat ganda ketika Ramadhan
menyapa kita. Ramadhan adalah garansi-garansi yang bisa kita gunakan untuk
menambahkan perasaan terampuni di dalam jiwa kita. Semacam kemudahan,
kelebihan, penambahan pembalasan, pemberian yang lebih melimpah, jatah-jatah
yang jauh lebih memiliki nilai tambah.
Betapa
tidak. Di bulan itu pahala dilipat gandakan, pintu surga di buka, pintu neraka
di kunci.
Mereka
yang tidak bisa mengelola perasaan bersalah, yang membunuh dan mematikan
perasaan itu, secara perlahan-lahan akan sulit mendapatkan perasaan optimis: perasaan
terampuni. Selanjutnya, yang terjadi mereka tidak akan mendapatkan perasaan
berdaya secara benar. Kalau pun orang-orang yang tidak merasa bersalah itu bisa
tetap berbuat, menjalani hidup mereka, itu bukan sebuah perasaan berdaya.
Sebab, perasaan berdaya adalah gabungan antara energi kerja yang maksimal
dengan perasaan bahwa ada kebersamaan Allah dalam setiap langkah yang kita
bangun.
Orang-orang
yang beriman mengisi perasaannya dengan pembacaan atas situasi dirinya di
tambah dengan pembacaan atas situasi di luar dirinya. Meliputi
kalkulasi, perhitungan atas lingkungan eksternal yang melingkupi kehidupannya.
Tetapi pada saat yang sama ia memiliki perasaan lain, bahwa jalan hidup yang sedang
ia lakukan adalah jalan yang baik, yang mubah, yang halal, ia punya ruang besar
untuk merasa mendapat dukungan dari Allah SWT. Sebaliknya bila kita melakukan
kesalahan, maka kita harus meninggalkan [Hal-10] kesalahan itu, dan meminta kepada Allah agar
diampuni. Ini disebut dengan perasaan berdaya. Dalam salah satu pilar aqidah
yang kita yakini, kita diajarkan untuk mengucapkan dan meyakini salah satu
prinsip;
“Tidak ada
daya dan kekuatan kecuali bersama Allah.”
Itu
sebabnya, setiap kali seorang Muslim selesai menumpahkan perasaan bersalahnya
kepada Allah, dalam do’a, dalam sujud, dalam ibadah, pasti sesudah itu tumbuh
dalam jiwanya adalah perasaan berdaya. Sebaliknya, semakin lupa orang dengan
perasaan bersalahnya, dan semakin tidak punya kesempatan untuk menumpahkan
perasaan bersalahnya ke hadapan Allah, orang itu semakin tidak berdaya. Sebab
perasaan bersalahnya tidak terubah menjadi perasaan terampuni. Maka biasanya
yang terjadi adalah akumulasi rasa gelisah dan cemas.
Perasaan
terampuni sejatinya tidak benar-benar didapat dari kepastian yang bisa kit
abaca dalam catatan amal kita. Tidak ada daftar penghapusan dosa dan kesalahan
yang bisa kita contek. Itu seperti tabungan yang terus menerus kita isi, kita
tambah dengan permohonan, permintaan, dan kepasrahan diri kepada Allah, dan
kita menunggu harap-harap cemas tanpa
pernah tahu berapa jumlah totalnya, berapa jumlah akhirnya. Yang diperlukan
adalah perasaan bahwa ada tambahan ampunan di dalam tabungan itu.
Antara
harap dan cemas akan selalu mengisi upaya kita mendapatkan perasaan terampuni.
Perasaan terampuni bukan sebuah sikap besar besar kepala, atau perasan merasa
aman dari azab Allah. Bukan perasaan seperti itu yang kita maksudkan. Perasaan
terampuni, adalah titik di mana kita telah merasa maksimal memohon ampun
memasrahkan diri, mengakui kesalahan. Sebab, sesudah itu, yang kita harus
dapatkan adalah perasaan berdaya. Karenanya, orang-orang yang bersalah tidak
boleh mengelola kesalahannya secara salah. Seperti mereka yang berlebihan rasa
bersalahnya, sampai merasa tidak ada lagi harapan. Ini bukan salah yang
mengantarkan kepada perasaan berdaya. Maka Al Qur’an dalm konteks ini member
peringatan kepada orang jenis ini,
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-KUyang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berpu- [Hal-11] tus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
(QS. Az
zumar []:53)
Jadi,
jembatan antara perasaan bersalah dan perasaan berdaya, adalah perasaan
terampuni. Dalanm ayat itu bahkan sangat jelas argumen yang dijelaskan, ialah
bahwa Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Itu ayat seharusnya membuat setiap
kita yang bersalah bisa mendapatkan perasaan terampuni.
Perasaan
terampuni, merupakan hasil dari perasaan bersalah yang dimohonkan maaf dan
ampunan kepada Allah secara benar. Bukan perasaan bersalah yang dibiarkan
membunuh harapan, bukan pula perasaan bersalah yang dibiarkan membuat diri
melampaui batas dan akhirnya sombong di muka bumi.
Pada
akhirnya kita harus menyadari bahwa Allah SWT tidak memerlukan kita. Dia tidak
membutuhkan kita. Bahwa bila seluruh penduduk bumi ini, manusia maupun jin yang
ada di dalamnya tanpa terkecuali taat semua kepada Allah, itu tidak menambah
sedikitpun kerajaan-Nya. Begitu juga
sebaliknya, jika manusia, seluruhnya, jin seluruhnya, tidak mau beriman, tidak
mau taat kepada Allah, maka itu semua tidak akan mengurangi sedikitpun
kekuasaan dan kerajaan Allah.
Seperti
lelaki pencari ampunan di padang gurun itu, kita hanya seorang lelaki, atau
perempuan, yang menumpuk hari dengan harapan di padang kehidupan kita. Tapi
pada saat yang sama, kita pula yang mereduksi harapan itu dengan berbagai
kesalahan. Ramadhan adalah saat yang sangat berharga, untuk mengubah perasaan
bersalah menjadi perasaan terampuni. Lalu menjadikan perasaan terampuni sebagai
bekal utama untuk memiliki perasaan berdaya.
Ini
adalah hari-hari yang penuh berkah. Kesempatan yang sangat berharga. Siapa pun
yang ditakdirkan menjumpai Ramadhan, adalah seberuntung manusia. Asal, bisa
memanfaatkannya. Diantara daftar panjang harapan yang ingin kita kejar di bulan
suci ini, di Ramadhan yang mulia itu, jangan lupa, letakkan salah satu daftar
penting yang harus kita dapatkan: Perasaan terampuni. ***
[Hal-9]
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar