Jumat, 29 November 2024

Penyimpangan Dakwah di Era Partai

 

Penyimpangan Dakwah di Era Partai

Penyimpangan Dakwah di Era Partai

Penyimpangan Dakwah di Era Partai


(Hal-04) Tak ada artinya Islam tanpa politik. Ungkapa tegas itu disampaikan ulama dakwah Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Ketika menyimpulkan misi strategis aktivitas politik bagi dakwah Islam. Dan, dalam negara yang menganut system parlementer pembentukan partai politik menjadi saluran paling tepat untuk memberi warna perubahan. Menurut Qaradhawi, kemungkaran paling besar justeru ada pada lingkup kekuasaan.

 Karena pemerintahlah pihak yang paling bertanggungjawab memberi legitimasi ragam kemungkaran yang terjadi di masyarakat luas. Karenanya, gerakan dakwah, harus menguasai, minimal berperan menegakkan misi amar ma’ruf nahyul munkar  di dalam kekuasaan. Dan partai politik, merupakan salah satu solusinya yang paling realistis. Lebih lanjut, eksistensi dakwah di pentas politik, akan membuka banyak pintu kebaikan yang bisa dinikmati umat.

Bila kita perhatikan, seluruh aktivitas politik Rasulullah berjalan seiring dengan kepentingan dakwah. Prinsip itulah yang kita dapati dalam lembaran sirah beliau.

Di Makkah, saat kekuatan dakwah masih embrional, strategi politik Rasulullah adalah bertahan, bagaimana agar dakwah suci itu terus berjalan, tidak dilibas kekejaman kafir Quraisy. Sesekali, kaum muslimin unjuk kekuatan. 

Baca Juga: Mimpi Makan Enak Orang-Orang Miskin

Namun hanya mewakili beberapa personel yang memang secara sosial sangat mapan. Umar bin Khatab disegani karena keberaniannya, Abu Bakar yang bangsawan, Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi sendiri, adalah beberapa contoh. Kekuatan kolektif saat itu memang belum saatnya.

Baru di Madinah, spektrum peran politik itu semakin luas. Setelah memiliki basis de- (Hal-5) mografis, basis sosial, dan otoritas kekuasaan yang lebih besar, Rasulullah terus membangun dakwah, hingga memasuki seluruh sisi kehidupan.

Piagam Madinah adalah perjanjian politik demi keberlangsungan dakwah. Surat-surat Rasulullah ke berbagai penguasa, juga tidak lain adalah surat-surat dakwah, yang sekaligus surat-surat politik. Surat dakwah, karena ajakan utamanya tunduk kepada Allah. 

Dan surat politik, karena penolakan untuk tunduk di bawah kekuasaan Islam, akan mengundang konsekuensi ditundukkan secara paksa. Prinsipnya adalah, kebenaran Islam dimanapun harus bebas diterimapoleh seluruh manusia. Tidak boleh dihadang oleh arogansi kekuasaan apa pun.

Sepeninggal Rasulullah, ijtihad politik selalu berkembang. Banyak hal baru muncul. Kaum muslimin terus melakukan pembenahan, mereka cipta, dan menggali gagasan-gagasan baru. 

Terjadilah pasang surut kekekuasaan dominan di muka bumi. Persaingan hebat dari masa ke masa, antar kepentingan, untuk meraih kekuasaan, melalui berbagai cara, menghiasi perjuangan umat Islam. Namun, semuanya masih dalam bingkai kekhilafahan Islam. 

Baca Juga: Hidup Mandiri dan Harmoni di Lubuk Beringin

Baru sejak tahun tahun 1924, setelah Khilafah Turki Utsmani dihancurkan oleh Kemal Pasya Ataturk, umat Islam tidak lagi menjadi supremasi tunggal. Meski secara nilai, Islam tetap tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya. Dunia mengenal babak baru penataan negara. Munculnya nasionalisme, dan sistem partai politik (baik multi partai atau mayoritas tunggal), maupun monarki atau kerajaan.

Pergeseran paradigma politik ini, turut mempengaruhi konsistensi ummat Islam dengan dakwah. Penyimpangan demi penyimpangan terus muncul. Padahal, dakwah tak boleh luntur, meski dibungkus dengan era apapun. Subtansi dakwah harus terintegrasi dengan seluruh instrumen baru yang dikenal dan sah menurut Islam, termasuk era partai saat ini.

Di Indonesia, meski umat Islam mayoritas, era reformasi bisa dikatakan awal pembelajaran politik bagi bangsa Indonesia. Karenanya, para juru dakwah harus hati-hati memasuki dakwah era partai. Antisipasi kemungkinan terjadinya penyimpangan harus dilakukan sejak dini.

Apa saja bentuk penyimpangan itu? Inhiraful mabda’ (penyimpangan visi), merupakan bentuk penyimpangan terberat. Ini terjadi, ketika fungsi partai sebagai sarana dakwah, berubah menjadi tujuan. Penyimpangan ini pada gilirannya menjadi hulu ragam penyimpangan lain. Penyimpangan visi, ibarat penyimpangan niat yang akan menggugurkan semua jerih payah di hadapan Allah SWT. Rasulullah bersabda,

“Niscaya ada beberapa kelompok manusia dari ummatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan, laksana gunung tinggi yang berkilau. Tapi Allah menjadikannya seperti debu yang berterbangan. Mereka itu adalah saudara-saudara kalian, dan berasal dari keturunan kalian. Mereka mengerjakan amalan pada waktu malam sebagaimana kalian mengerjakannya. Namun perbedaannya, mereka adalah kaum yang jika tidak bersama orang lain, mereka melanggar larangan-larangan Allah.”

(HR. Ibnu Majah, disebutkan dalam Jami’ush Shaghir, Al-Albani)

Penyimpangan visi, berawal dari peyimpangan niat dalam sekup individu. Bila telah menjadi tradisi, penyimpangan itu akan menodai semua aktivitas partai. Dari sanalah akan muncul penyimpangan kedua, yakni inhiraful ghayah (penyimpangan tujuan).

Baca Juga: Sedikit Tidur Itu Lebih Baik

Partai, berubah menjadi alat mengejar kekuasaan, jabatan, bahkan uang. Fitnah dunia, bukan tidak mungkin menjadi wabah bagi partai Islam. Hal serupa pernah terjadi dalam sejarah, ketika para sahabat berselisih soal pembagian ghanimah perang Badar. (lihat sebab turunnya ayat 1 Surat Al-Anfal). Maka nilai perjuangan pun nyaris hancur oleh perpecahan.

Tujuan partai sebagai upaya meraih keridhaan Allah, harus dipegang kuat oleh para kader partai Islam yang akan menjadi wakil-wakil rakyat, baik legislatif, maupun eksekutif. Dunia politik yang sudah puluhan tahun sakit kronis dijangkiti budaya korupsi, kolusi, nepotisme, bukan tidak mungkin mengimbas pada wakil-wakil ummat Islam.

Perjuangan politik yang telah tertular vi- (Hal-6) rus uang, akan mudah dipatahkan. Pintu ilfiltrasi musuh-musuh Islam akan terbuka. Akhirnya Partai Islam kehilangan imunitasnya. Belum lagi, bila hubungan internal partai terancam buruk. 

Bila ini terjadi, otimatis kerja dakwah dalam politik akan mandul, atau bahkan mundur puluhan tahun ke belakang. Wakil-wakil ummat yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat kehilangan rasa sosial dan solidaritasnya. 

Sebabnya sederhana, bagaimana mereka bisa perduli terhadap penderitaan orang lain, bila secara pribadi ia justeru hidupa dalam kondisi yang jauh dari kesulitan. Seperti dikisahkan Nabiyullah Yusuf as. Ia tidak pernah merasakan kenyang tatkala memiliki kekuasaan di muka bumi. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab,”Sesungguhnya aku khawatir bila aku kenyang, kemudian aku lupa orang yang lapar.”

Dampak paling dahsyat adalah, berpalingnya Allah SWT dari mereka terjerumus dalam fitnah ini. Perjuangan dakwah akan semakin panjang, berikut tumpukan beban yang tak kunjung selesai dan menuntut banyak pengorbanan.

Baca Juga: Membangunkan Kekuatan Zakat Indonesia 

Ketiga, inharaful manhaj (Penyimpangan Konsepsi). Contohnya posisi dakwah sebagai panglima tergeser oleh aktivitas politik. Dakwah yang seharusnya melangkah kepada pengkaderan dan pendidikan ummat, hanya berhenti pada aktivitas politik bersifat tajmi’ jamahiriy (perekrutan massal).  

Fenomena ini, boleh jadi muncul dari dorongan semangat yang memacu para juru dakwah untuk memiliki basis sosial pendukung dakwah yang kuat. Keinginan ini sangat positif. Karena langkah-langkah dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW pun mengajarkan hal seperti itu. 

Beliau kerap pergi ke tempat ramai untuk menyampaikan risalah Islam. Momentum haji, yang dimanfaatkan oleh Rasulullah SAW, bahkan menjadi cikal bakal terekrutnya basis pendukung Islam di kota Yastrib (Madinah).

Namun, hal itu sama sekali tidak boleh meminimalisir perhatian terhadap aspek kaderisasi (tarbiyah). Prinsip marhaliyah (kebertahapan) dalam dakwah, mengajarkan perubahan yang selalu mengalami proses. Dan proses perubahan itu sendiri, berjalan seiring sejalan dengan proses perbaikan individu.

Contoh inhiraful manhaj juga bisa terjadi dalam bentuk yang sulit diidentifikasi. Perjuangan dakwah dalam partai, menuntut banyak ijtihad dalam melakukan bargaining dengan berbagai kelompok kepentingan lainnya. 

Karenanya, para pelaku dakwah di era partai harus selalu berpegang pada panduan syari’at. Agar, tidak terjadi kekeliruan dalam mengambil keputusan. Selain itu, banyak pengalaman berharga yang patut dijadikan pelajaran dari sejumlah kiprah partai politik Islam di berbagai negara. (Lihat: Partai Dakwah di Berbagai Negara).

Apalagi, kekeliruan dalam mengambil kebijakan partai, tidak mustahil memaksa perjalanan dakwah harus mengulangi start. Itupun masih lebih ringan, dibanding bila seluruh bangunan dakwah ternyata runtuh. Kita harus belajar dari sejarah. Banyak hal-hal sepele yang justru menjadi kunci runtuhnya sebuah emperium. Kesalahan sedikit bisa menghancurkan (Hal-7) jerih payah yang dibangun puluhan tahun.

Baca Juga:   Masihkah Dapat Hidup Nyaman Di Kota Besar ? 

Ada orang yang masuk neraka karena menyedekahkan seekor lalat ke sebuah patung. Sementara Baghdad, yang pernah menjadi mercusuar peradaban Islam, hancur-lebur, karena sang Khalifah tertipu siasat Mongol. Ratusan nyawa hilang, perpustakaan dibakar dan dihanyutkan di sungai Dajlah. Banyak karya ulama yang hilang, tidak sedikit yang tinggal namanya saja.

Bentuk penyimpangan lain, adalah inhiraful amal (penyimpangan amal). Banyak contoh penyimpangan ini. Antara lain, jika partai tidak lagi diposisikan sebagai media dakwah kolektif (amal jama’i). 

Tapi, tidak lebih dari wahana ekspresi pribadi yang tak bis dikontrol oleh kebijakan dakwah. Artinya, supremasi dakwah dalam kehidupan berpartai luntur. Tindakan-tindakan pribadi dalam partai lebih dominan ketimabang hasil syura dan kebijakan bersama. Orang seenaknya melakukan banyak hal atas nama partai, untuk membungkus ambisi pribadi. Bila berlarut-larut, ragam kekacauan akan terjadi, ujung-ujungnya, partai hanya kumpulan orang-orang dengan segala ambisi pribadi.

Tindakan keras pernah diberikan Allah kepada orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk. Tidak sekadar tak ikut perang, namun mereka juga melanggar konsensus politik angkatan perang Islam. 

Tiga sahabat Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah, diisolasi, hingga turun pertobatan langsung dari langit. Sementara, dalam kasus lain, sahabat Hatim bin Abi Balta’ah, hampir saja membocorkan rencana Rasulullah menyerbu Makkah. Kalau bukan karena ahlu Badr, urusannya menjadi lain.

Meski begitu, tak berarti kreativitas pribadi harus dipasung. Yang patut digarisbawahi, bagaimana kreativitas itu tetap dalam koridor dakwah yang telah ditetapkan. Bukankah dakwah telah memiliki pakem yang jelas dan baku? Meski ada pula yang bisa berkembang?

Baca Juga:  Saling Mengingatkan tentang Niat

Contoh lain dari penyimpangan amal adalah munculnya rasa superioritas (fitnatul jamahir). Partai harus kampanye, meyakinkan orang, meraih simpati, menggalang massa, tapi sedikitpun tidak untuk takabbur. Bila ada yang lebih, harus disyukuri sebagai karunia Allah semata. Ada saluran-saluran kebanggaan, yaitu rasa syukur dan puji-pujian untuk Allah SWT.

“Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Kemenangan itu hanyalah dari Allah dengan tasbih dan istigfar.

 

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kami lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat.”

 (QS An-Nashr: 1-3)

Rasa ujub dan takabbur, sombong dan angkuh, adalah bibit fanatisme yang potensial melahirkan perpecahan. Penyakit ini, umum menjangkiti para pendukung partai. Bahkan mungkin, pada partai tertentu sengaja ditumbuhkan. Maka muncullah klaim bahwa hanya partainya yang paling benar, tidak dewasa menerima perbedaaan. Ini berbeda dengan rasa izzah, yang berarti bangga dengan kebenaran.

Sikap ujub dan takabbur, sombong dan angkuh adalah bibit sikap fanatisme yang potensial melahirkan perpecahan. Penyakit ini, umumnya menjangkiti para pendukung partai. Bahkan mungkin, pada partai tertentu sengaja ditumbuhkan. Maka muncullah klaim bahwa hanya partainya yang paling benar, tidak dewasa menerima perbedaan. Ini berbeda dengan rasa izzah, yang berarti bangga dengan kebenaran.

Dalam era persaingan antar partai, sikap ini rentan menimpa siapa saja. Termasuk partai Islam. Sikap ujub, pada gilirannya menjadi hijab dukungan Allah SWT. Orang yang sombong dan ujub, cenderung mengabaikan Allah SWT, yang Mencipta, Membuat, dan Mengatur segala urusan. Manusia yang tak menghiraukan dukunagan Allah, Allah pun akan berpaling dari mereka.

Sikap ujub dan takabbur, juga akan menjadikan seseorang tak mampu menghadapi ujian dan kesulitan. Sunnah dakwah membuktikan, gerak dakwah tak pernah senyap dari kedengkian musuh-musuhnya. Al-(Hal-8) lah SWT berfirman,

“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir itu benci.”

(QS Asshaf: 8)

Dan, untuk menghadapi ancaman itu, diperlukan hati yang bersih dan iman yang kokoh. Nabi SAW pernah menasehati Ibnu Abbas:

“Peliharalah hak-hak Allah, niscaya engkau akan mendapatkan dukungan-Nya. Ingatlah Allah dalam keadaan lapang, niscaya ia akan mengingatmu di kala engkau menghadapi kesulitan.”

(HR. Ahmad)

Inhiraful amal, juga dapat terjadi dalam konteks iritasi akhlaq. Dakwah dalam partai memungkinkan terjadinya ekses penyimpangan ini. Misalnya, dalam etika muamalah. Penyimpangan model ini bisa berdimensi besar dan terjadi pada hal-hal prinsipil. 

Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Seperti kerjasama partai Islam dengan partai lain dengan cara-cara yang diharamkan. Atau, terjebaknya partai-partai Islam dalam budaya politik yang miskin akhlak. Karenanya, harus ada batasan yang jelas, apakah kerjasama itu sebatas teknis, atau sudah memberikan konsesi kapada aqidah dan akhlak Islam. Sebab, menurut Islam, semua apresiasi politik harus dikemas dengan akhlak.

Bagi sesama anggota partai Islam, bisa muncul masalah seputar etika koordinasi dan organisasi. Khususnya, soal interaksi antara kader laki-laki dengan kader wanita. Dengan tolok ukur kebutuhan saja, aktivis dakwah partai akan dituntut kerja keras, melalui rapat-rapat koordinasi dan konsolidasi, maupun terlibat dalam acara-acara resmi.

Di sinilah, setiap kader partai Islam harus selalu berpegang teguh kepada syari’at Islam. Dalam wacana fiqh, yang selalu menjadi ukuran adalah, “bagaimana tidak timbul fitnah.” Masalahnya, memang kembali ke soal model interaksi. 

Artinya, timbul atau tidaknya fitnah dalam interaksi pria dan wanita, secara fiqh ditentukan oleh model pergaulannya. Tolok ukur ini sangat lahiriah dan bisa dilihat orang. Maka, yang paling mendasar, bagaimana setiap kader partai Islam selalu menjaga kebersihan hati, sehingga lahir suasana kondusif bagi penegakan moralitas Islam dalam berpolitik.

Penyimpangan-penyimpangan akan berkembang seiring berkembangnya peradaban manusia. Simpul penyelesaiannya ada pada tiga hal. Pertama, quwwatu shilah billah (kekuatan hubungan dengan Allah). 

Kekuatan utama pejuang kebenaran Islam, ada pada iman yang terbina melalui hubungan baik dengan Allah SWT. Lemahnya aspek ini, merupakan penyebab utama kekalahan. Sebaliknya, hubungan yang kuat dengan Allah akan mendatangkan dukungan Allah dalam berbagai bentuk; sarana, pendukung, dan lainnya.

Kedua, quwwatul ilmi (kekuatan ilmu). Dalam era politik, para juru dakwah dituntut memiliki wawasan berpikir yang lebih luas. Tuntutan ini seiring dengan medan dakwah yang semakin lebar. Terbangunnya iklim atau tradisi keilmuan, sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi keberhasilan perjuangan partai.

Ketiga, quwwatu tanzim (soliditas struktural). Ibarat sebuah pohon yang tinggi ketika gerakan dakwah memasuki era politik akan banyak diterpa angin kencang, berupa ujian dan cobaan yang tidak sedikit. Ini adalah sunnatullah.

Baca Juga: Profesional

Karenanya, nasehat Rasulullah berikut harus kita pegang.

“seperti diriwayatkan Imam Ibnu Majah, suatu ketika Rasulullah menggambar garis lurus. Lalu, sisi kiri dan kanan garis lurus itu ia menggambar dua garis. Setelah selesai, beliau menjelaskan, “ Garis lurus ini jalan Islam, sedangkan cabang-cabang yang menyimpang ini jalan syaitan.” Setelah itu Rasulullah membaca firman Allah SWT:

“Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dana janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.”

(QS Ali Imran: 163)

Ilustrasi yang diberikan Rasulullah sangat simpel. Namun, seperti itulah hakekat hidup, persis bahkan. Di negeri manapun kita berada, di era apapun kita hidup, hanya ada satu jalan lurus dan benar, dengan banyak jalan-jalan menyimpang di sekitarnya. Jalan lurus itu ada di rambu-rambu Islam, ada pada kejujuran hati kita. Jalan itu ada fitrah kita. Wallahu a’lam bisshawab


 Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar