Rabu, 23 Oktober 2024

Seratus Rupiah untuk Bangun Rumah

 

Seratus Rupiah untuk Bangun Rumah

Oleh Yenni Siswanti & Purwanti

Seratus Rupiah untuk Bangun Rumah
Seratus Rupiah untuk Bangun Rumah

 

(Hal-57) Bagi sebagian besar kita, uang Rp 100 bisa nyaris tak bernilai. Tapi, di Desa Situ Udik, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, uang seharga satu permen itu sangat berarti. Dengan Rp 100 per hari, warga bisa berharap memiliki rumah yang layak huni.

Inspirasi ini datang ketika Enduh melihat seorang nenek duduk di teras rumahnya. Enduh yang pada saat itu melintas bertanya, mengapa tidak di dalam rumah saja, karena pada saat itu hujan turun cukup deras. “Nenek itu bilang atap rumahnya bocor, jadi lebih baik nenek itu berteduh di teras,” terang Enduh.

 Sejak saat itu, Enduh bertekad, jika suatu hari datang padanya amanah menjadi seorang kepala desa, ia ingin memperbaiki rumah warga Situ Udik yang sebagian besar terbuat dari bilik bambu. “Alhamdulillah, tahun 2008 saya terpilih menjadi Kepala Desa Situ Udik. Saya ingin mewujudkan niat saya waktu itu, memperbaiki rumah yang sudah tidak layak huni,” lanjut pria yang lahir tahun 1949 itu.

Pada awal masa kepemimpinannya, Enduh melakukan sosialisasi kepada warga serta pejabat RT-RW setempat. “Sebulan saya melakukan sosialisasi dan survey, ternyata ada banyak warga yang rumahnya tidak layak huni. Kondisinya banyak yang memprihatinkan. Saya konsep program ini dan saya ajukan ke kelurahan, Alhamdulillah disetujui,” kenang Enduh.

Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat

Perhitungannya, jika setiap kepala keluarga Desa Udik menyerahkan Rp 100, paling tidak satu hari bisa terkumpul Rp 300 ribu.” “Bayangan saya, kalau sebulan bisa Rp 9 juta,” terang Enduh kepada Tarbawi.

pada awalnya, dana Reriungan Sarumpi yang terkumpul belum bisa digunakan untuk melaksanakan program itu. “Jangankan membangun rumah, untuk merenovasi saja dananya tidak cukup.  Akhirnya tambah dari dana pribadi agar (Hal-58) program ini bisa segera berjalan. 

Saya ingin membuktikan bahwa program ini benar-benar terbukti,” ujar Enduh yang niatnya sempat diragukan oleh warga sekitar. “Ketika akan dimintai uang itu, warga ada yang ragu. Mungkin mereka trauma, karena biasanya urusan uang itu banyak orang yang tidak amanah. Makanya saya segera membangun salah satu rumah sebagai bukti kalau saya tidak main-main,” lanjut Enduh.

Sebagian besar penduduk Situ Udik bekerja sebagai buruh tani. Kehidupan mereka masih belum bisa dibilang sejahtera, namun semangat mereka untuk bisa membantu orang lain sangat tinggi. “sekitar 70 persen warga Situ Udik bekerja serabutan, ada buruh tani, kuli, atau karyawan. 

Setelah saya perhatikan, meskipun penghasilan mereka masih jauh dari cukup, tapi keinginan mereka untuk bershadaqah sangat tinggi,” papar bapak tiga anak ini. Dalam sebulan, sekitar 1-2 rumah berhasil dibangun. Sejak tahun 2008, terhitung sudah 58 unit dibangun. “itu belum termasuk yang direnovasi. Waktu itu juga ada bantuan 50 rumah dari Pemda, jadi total 108 rumah,” ujarnya bangga.

Salah satu rumah warga yang dibangun kembali adalah rumah Isah. Ibu tiga orang anak ini mengatakan bahwa sebelumnya rumah yang ditinggalinya hanya seuah rumah dari bilik bambu. “Kalau hujan atapnya bocor, biliknya juga tidak rapat. Selain itu lantainya juga masih tanah,” ujar perempuan 25 tahun ini. Isah juga mengatakan bahwa dirinya (Hal-59) seringkali khawatir jika angin kencang datang rumahnya akan roboh. 

Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Hingga setahun yang lalu, lewat program Reriungan Sarumpi Rp 100, rumah Isah dibangun dengan pondasi beton yang kokoh. “Alhamdulillah, saya senang sekali. Terima kasih kepad seluruh warga Situ Udik dan perangkat desa yang telah membantu,” ujar Isah sumringah. Suami Isah yang bekerja serabutan tidak memungkinkan untuk merenovasi, apalagi membangun rumah.

Senada dengan Enduh, Sekretaris Desa Situ Udik, Syaiful Manan yang ditemui Tarbawi di kantor Balai Desa Situ Udik mengatakan bahwa banyak warga setempat yang mendukung program ini. Pria dengan sapaan Syaiful ini menjelaskan detail pemilihan rumah mana yang akan di renovasi.

 “Pertama kita dapat laporan dari masing-masing ketua RT-RW. Setelah dapat laporan, kita turun ke lapangan untuk lihat kondisi rumahnya. Kita lihat dari skala prioritas. Kita catat rumah A akan dibangun secepatnya, rumah B dan C bulan depan. Kuli bangunannya pun minta dibayar setengah saja, karena sekalian berinfak,” papar pria 35 tahun ini.

Tapi, tidak semua warga mendukung program ini. Ada saja di antara warga yang menolak memberikan uang ketika ada petugas yang menjemput uang Reriuangan Sarumpi. “Ya kita anggap saja mereka sedang banyak kebutuhan, banyak pengeluarannya,” lanjut Syaiful. 

Tak hanya itu, pihaknya juga seringkali menghadapi warga yang merasa iri kepada warga yang rumahnya direnovasi. “Tapi setelah kita beri pengarahan, dan pendekatan mereka akhirnya mengerti. Malah akhirnya timbul kepedulian dalam diri mereka dengan ikut memberikan bantuan,” tambah Enduh.

Masing-masing RT memiliki buku tabungan sendiri, sekaligus dijadikan bukti yang akan dilaporkan kepada warga setiap bulan ketika acara pengajian. “Uang Reriungan Sarumpi itu tidak melulu jumlahnya sama.

Baca Juga: Profesional

 Kalau lagi bagus bisa di bawah Rp 7 juta rupiah, tapi pernah hanya Rp 2 juta. Tapi dari situ, kepedulian dan kebersamaan warga Situ Udik teruji. Saya bersyukur dan berterima kasih kepada mereka,” Papar Enduh yang lahir pada 28 Maret 1962 ini.

Keberhasilan Enduh memimpin desa dengan luas sekitar 300 hektar ini terbukti ketika datang sembilan kepada desa asal Malaysia yang melakukan studi banding di Desa Situ Udik. 

“Beberapa waktu lalu, ada sembilan orang kepala desa dari Malaysia, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Riau. Mereka mau mengadopsi metode Reriungan Sarumpi  di sini. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi kami,” lanjut Enduh, Bangga.

Tak hanya program membangun rumah, desa ini juga tengah membangun ekonomi warga lewat peternakan sapi dan pemberdayaan hasil bumi. Kini, Desa Situ Udik merupakan desa percontohan se-Jawa Barat, menyisihkan puluhan ribu desa yang ada di Jawa Barat. 

Baca Juga: KarenaSyaitan itu Musuh …

Perubahan juga bisa terjadi dari hal yang kita anggap kecil dan kadang juga dianggap tidak penting. Enduh dan masyarakat Situ Udik membuktikan bahwa perubahan itu bisa datang dari hal yang kecil. ***

 Majalah Tarbawi, Edisi 257, Th.13 Ramadhan 1432 H, 11 Agustus 2011 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar