Seratus Rupiah untuk Bangun Rumah
Oleh Yenni Siswanti & Purwanti
Seratus Rupiah untuk Bangun Rumah
(Hal-57) Bagi
sebagian besar kita, uang Rp 100 bisa nyaris tak bernilai. Tapi, di Desa Situ
Udik, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, uang seharga satu permen itu sangat berarti.
Dengan Rp 100 per hari, warga bisa berharap memiliki rumah yang layak huni.
Inspirasi ini datang ketika Enduh melihat seorang nenek duduk di teras rumahnya. Enduh yang pada saat itu melintas bertanya, mengapa tidak di dalam rumah saja, karena pada saat itu hujan turun cukup deras. “Nenek itu bilang atap rumahnya bocor, jadi lebih baik nenek itu berteduh di teras,” terang Enduh.
Sejak saat itu, Enduh
bertekad, jika suatu hari datang padanya amanah menjadi seorang kepala desa, ia
ingin memperbaiki rumah warga Situ Udik yang sebagian besar terbuat dari bilik
bambu. “Alhamdulillah, tahun 2008 saya terpilih menjadi Kepala Desa Situ
Udik. Saya ingin mewujudkan niat saya waktu itu, memperbaiki rumah yang sudah
tidak layak huni,” lanjut pria yang lahir tahun 1949 itu.
Pada awal masa
kepemimpinannya, Enduh melakukan sosialisasi kepada warga serta pejabat RT-RW
setempat. “Sebulan saya melakukan sosialisasi dan survey, ternyata ada banyak
warga yang rumahnya tidak layak huni. Kondisinya banyak yang memprihatinkan. Saya
konsep program ini dan saya ajukan ke kelurahan, Alhamdulillah disetujui,”
kenang Enduh.
Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat
Perhitungannya, jika
setiap kepala keluarga Desa Udik menyerahkan Rp 100, paling tidak satu hari
bisa terkumpul Rp 300 ribu.” “Bayangan saya, kalau sebulan bisa Rp 9 juta,”
terang Enduh kepada Tarbawi.
pada awalnya, dana Reriungan Sarumpi yang terkumpul belum bisa digunakan untuk melaksanakan program itu. “Jangankan membangun rumah, untuk merenovasi saja dananya tidak cukup. Akhirnya tambah dari dana pribadi agar (Hal-58) program ini bisa segera berjalan.
Saya ingin membuktikan bahwa program ini
benar-benar terbukti,” ujar Enduh yang niatnya sempat diragukan oleh warga
sekitar. “Ketika akan dimintai uang itu, warga ada yang ragu. Mungkin mereka
trauma, karena biasanya urusan uang itu banyak orang yang tidak amanah. Makanya
saya segera membangun salah satu rumah sebagai bukti kalau saya tidak
main-main,” lanjut Enduh.
Sebagian besar penduduk Situ Udik bekerja sebagai buruh tani. Kehidupan mereka masih belum bisa dibilang sejahtera, namun semangat mereka untuk bisa membantu orang lain sangat tinggi. “sekitar 70 persen warga Situ Udik bekerja serabutan, ada buruh tani, kuli, atau karyawan.
Setelah saya perhatikan, meskipun penghasilan mereka masih jauh
dari cukup, tapi keinginan mereka untuk bershadaqah sangat tinggi,” papar bapak
tiga anak ini. Dalam sebulan, sekitar 1-2 rumah berhasil dibangun. Sejak tahun
2008, terhitung sudah 58 unit dibangun. “itu belum termasuk yang direnovasi.
Waktu itu juga ada bantuan 50 rumah dari Pemda, jadi total 108 rumah,” ujarnya
bangga.
Salah satu rumah warga yang dibangun kembali adalah rumah Isah. Ibu tiga orang anak ini mengatakan bahwa sebelumnya rumah yang ditinggalinya hanya seuah rumah dari bilik bambu. “Kalau hujan atapnya bocor, biliknya juga tidak rapat. Selain itu lantainya juga masih tanah,” ujar perempuan 25 tahun ini. Isah juga mengatakan bahwa dirinya (Hal-59) seringkali khawatir jika angin kencang datang rumahnya akan roboh.
Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi
Hingga
setahun yang lalu, lewat program Reriungan Sarumpi Rp 100, rumah Isah
dibangun dengan pondasi beton yang kokoh. “Alhamdulillah, saya senang
sekali. Terima kasih kepad seluruh warga Situ Udik dan perangkat desa yang
telah membantu,” ujar Isah sumringah. Suami Isah yang bekerja serabutan tidak
memungkinkan untuk merenovasi, apalagi membangun rumah.
Senada dengan Enduh, Sekretaris Desa Situ Udik, Syaiful Manan yang ditemui Tarbawi di kantor Balai Desa Situ Udik mengatakan bahwa banyak warga setempat yang mendukung program ini. Pria dengan sapaan Syaiful ini menjelaskan detail pemilihan rumah mana yang akan di renovasi.
“Pertama kita dapat laporan dari masing-masing
ketua RT-RW. Setelah dapat laporan, kita turun ke lapangan untuk lihat kondisi
rumahnya. Kita lihat dari skala prioritas. Kita catat rumah A akan dibangun
secepatnya, rumah B dan C bulan depan. Kuli bangunannya pun minta dibayar
setengah saja, karena sekalian berinfak,” papar pria 35 tahun ini.
Tapi, tidak semua warga mendukung program ini. Ada saja di antara warga yang menolak memberikan uang ketika ada petugas yang menjemput uang Reriuangan Sarumpi. “Ya kita anggap saja mereka sedang banyak kebutuhan, banyak pengeluarannya,” lanjut Syaiful.
Tak hanya itu, pihaknya juga seringkali menghadapi warga yang merasa
iri kepada warga yang rumahnya direnovasi. “Tapi setelah kita beri pengarahan,
dan pendekatan mereka akhirnya mengerti. Malah akhirnya timbul kepedulian dalam
diri mereka dengan ikut memberikan bantuan,” tambah Enduh.
Masing-masing RT memiliki buku tabungan sendiri, sekaligus dijadikan bukti yang akan dilaporkan kepada warga setiap bulan ketika acara pengajian. “Uang Reriungan Sarumpi itu tidak melulu jumlahnya sama.
Baca Juga: Profesional
Kalau lagi bagus bisa di bawah Rp 7 juta rupiah, tapi
pernah hanya Rp 2 juta. Tapi dari situ, kepedulian dan kebersamaan warga Situ
Udik teruji. Saya bersyukur dan berterima kasih kepada mereka,” Papar Enduh
yang lahir pada 28 Maret 1962 ini.
Keberhasilan Enduh memimpin desa dengan luas sekitar 300 hektar ini terbukti ketika datang sembilan kepada desa asal Malaysia yang melakukan studi banding di Desa Situ Udik.
“Beberapa waktu lalu, ada sembilan orang kepala desa dari Malaysia, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Riau. Mereka mau mengadopsi metode Reriungan
Sarumpi di sini. Ini merupakan
kebanggaan tersendiri bagi kami,” lanjut Enduh, Bangga.
Tak hanya program membangun rumah, desa ini juga tengah membangun ekonomi warga lewat peternakan sapi dan pemberdayaan hasil bumi. Kini, Desa Situ Udik merupakan desa percontohan se-Jawa Barat, menyisihkan puluhan ribu desa yang ada di Jawa Barat.
Baca Juga: KarenaSyaitan itu Musuh …
Perubahan juga bisa terjadi dari hal yang kita anggap kecil dan kadang
juga dianggap tidak penting. Enduh dan masyarakat Situ Udik membuktikan bahwa
perubahan itu bisa datang dari hal yang kecil. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar