Minggu, 13 Oktober 2024

Sahabatku, Kemanakah Engkau?

 

Sahabatku, Kemanakah Engkau?

Oleh Muhammad lili Nur Aulia

Sahabatku, Kemanakah Engkau?
Sahabatku, Kemanakah Engkau?

 

(Hal-63) Saya punya sahabat. Sahabat yang sangat saya muliakan dan saya rindukan. Pertama kali saya bertemu dan mengenalnya, saat masih kanak-kanak, di Damaskus. Tapi setelah itu, saya tak menemuinya lagi. Sampai saya tumbuh dewasa dan menjelajah ke berbagai penjuru dunia, saya tak menemuinya lagi.

Dahulu, saya begitu bahagia bertemu dengannya. Saya mencintai sahabat saya itu. Saya sangat berduka karena kehilangan dirinya. Kerinduan ini semakin bertambah padanya.

Sahabatku Ramadhan ... dimanakah engkau?

Saya selalu menghitung hari demi hari untuk bisa bertemu kembali dengannya, seperti anak kecil yang baru belajar berhitung. Dan jika ia datang, saya pun gembira, jiwa saya tertawa. Karena saya lihat, dunia pun ikut tertawa dan gembira dengan kehadirannya.

Saya melihatnya di sekolah. Sekolah di hari-hari bulan Ramadhan, menjadi masjid. Ada tilawah Al Qur’an, ada dzikir, dan semua orang saling cinta. Tidak ada guru yang bersikap kasar pada murid dan para murid memang tidak suka dengan guru yang seperti itu. Sebab Ramadhan telah merasuk dalam hati mereka bersama Allah. Memancarkan sinarnya, dan menimbulkan nikmatnya iman. Siapa saja yang telah merasakan nikmatnya iman, maka ia jiwanya tak lagi menyisakan kebencian, kemarahan dan permusuhan.

Baca Juga: Peradaban Para Pembelajar 

(Hal-64) saya juga menemuinya di pasar-pasar. Dagangan Ramadhan melimpah tapi diiringi dengan suasana ruhani yang juga penuh dengan ruh Ramadhan. Tak ada penipuan di sana, karena hati-hati penipu sudah terhapus dan diisi oleh rasa tsayat kepada Allah dan penuh harap kepada-Nya. Lisan mereka berhenti berdusta karena sudah banyak digunakan untuk berdzikir kepada Allah Swt dan beristigfar. Dunia menjadi kecil di mata mereka, ketika mereka menghendaki Allah dan negeri akhirat. 

Para pembeli pun terbebas dari tipuan penjual. Uang dan harta mereka tidak lagi menjadi korban penipuan. Begitulah sepanjang hari berjalan. Hingga datangnya waktu senja, dan saat maghrib menjelang, suasana pasar pun berubah karena wajah-wajah manusia yang bergembira. Seperti saat mereka menjajakan dagangannya, tapi kini yang mereka katakan adalah kata-kata seperti “... Buka puasa di rumah mendapat berkah ...” “Semoga Allah melindungimu wahai orang yang puasa...” “Allah pelindungmu ... Muhammad Nabimu ...”

Setelah itu. Saya tak lagi melihat kecuali orang-orang yang berjalan cepat menuju rumahnya sambil membawa beberapa kue, atau buah-buahan, atau juga, tasbih di tangannya. Tidak ada pemandangan selain itu kecuali orang-orang yang melihat menara-menara di Damaskus yang memiliki delapan puluh menara.

 Ia menunggu bunyi dentuman bom yang menjadi tanda masuknya waktu maghrib. Bila ada seorang mu’adzin mengumandangkan azan,atau terdengar dentuman bom, ia masuk ke dalam rumahnya. Sementara anak-anak pun yang berkumpul menunggu, berlarian ke rumah mereka sambil berteriak:”adzan ... adzan ... adzan ...

Saya melihat Ramadhan mempererat hati orang beriman. Ramadhan juga memperindah persaudaraan Islam dengan ikatan “Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya”. Ketika itulah, tampil persaudaraan begitu indah. Masing-masing orang bertemu menjelang Maghrib dan bertemu satu sama lain tanpa harus ada kesepakatan dahulu untuk bertemu. 

Mereka saling bertanya, saling menyapa, dan lalu bertukar hadiah kurma, kismis. Termasuk memberikan makanan berbuka bagi orang-orang yang lewat dan masih dalan perjalanan saat waktu Maghrib tiba. Mungkin harga makanan berbuka itu tak seberapa, tapi hal itu benar-benar menampakkan ketulusan, (Hal-65) kelembutan hati, dan mengandung arti yang begitu besar.

Baca Juga: MujahidBadui Penakluk Imperium

Dahulu, saya lihat Ramadhan, dan dunia nyaris tak ada kehidupan di saat berbuka puasa. Penghuni dunia beristirahat dari keletihan dan berhenti dari bersesasakan memenuhi syahwat. Para laki-laki kembali ke keluarganya. Berkumpul bersama keluarga di hadapan hidangan sederhana tapi nikmat, dalam majelis yang paling indah, dan madrasah yang paling bermanfaat. 

Betapa rindunya saya dengan hidangan Ramadhan itu. Saat ini saya seperti orang asing yang berbuka di restoran. Saya seperti tidak melihat ada orang yang berpuasa di sana. Saya tidak mendengarkan adzan. Dan tak ada suasana Ramadhan di sana.

Lalu, bila waktu berbuka sudah selesai. Ramadhan kembali tampil dengan kemuliaan dan keagungannya di Masjid Al Umawi, Masjid paling indah di seluruh dunia saat itu. 

Saat kanak-kanak, saya biasa pergi ke Masjid Al Umawi usai shalat Maghrib. Sampai di sana saya lihat masjid sudah penuh dengan jamaah yang sedang asyik berkumpul di halaqah-halaqah ilmu yang juga sudah berjalan sejak waktu siang. Saya berjalan-jalan mengelilingi masjid bersama seorang teman, Sa’id Afghani, namanya. Ia memang orang Afghanistan. 

Kami duduk di  (Hal-66) antara halaqah-halaqah ilmu itu untuk mendengarkan para ustadz menyampaikan mutiara-mutiara ilmu dan nasihat. Saya menyaksikan cahaya mereka, pendar sinarnya, yang menerangi jama’ahnya. Sungguh indah apa yang Allah ciptakan untuk masjid ini. 

Saya menyaksikan shalat berjamaah tak pernah berhenti setiap lima menit, sejak dari Dzuhur sampai Isya, setiap hari. Kondisi ini terus berlangsung hingga tiba saat melemahnya agama dalam jiwa manusia dan berakibat pada rusaknya zaman.

Saya tidak bisa melupakan adanya sebuah lampu minyak yang sinarnya benderang. Lampu-lampunya lebih dari seribu buah. Semuanya dinyalakan satu persatu dengan minyak para Haseky, nama panggilan untuk para petugas Masjid Al Umawi. Mereka berkeliling dan menaiki tangga pendek terbuat dari bambu. Pemandangan itu begitu berkesan dalam hatiku.

Baca Juga: Sikap Jiwa Pada Teks

Waktu berjalan hingga masuk waktu isya dan selanjutnya shalat tarawih. Bagiku, tak ada pemandangan yang lebih indah dan lebih hebat daripada suasana ibadah ketika itu, kecuali ibadah di sekitar Ka’bah di masjid Al Haram. Sulit digambarkan dengan kata-kata.

 Tidak bisa disampaikan kecuali langsung dengan pandangan mata. Tak kurang lima ribu orang melaksanakan shalat di Masjid Al Umawi saat itu. Hingga di malam-malam terakhir bulan Ramadhan, jumlahnya bisa melebihi dua puluh lima ribu orang. 

Mungkin ada yang meragukan keadaan ini, tapi ini nyata. Penduduk Damaskus yang ada pada saat itu, pasti membenarkannya. Itulah hari-hari perpisahan, di mana manusia duduk di atas sajadah setelah tarawih. Para mu’adzin dan sejumlah orang melantunkan syair-syair perpisahan Ramadhan dengan alunan indah dan menyentuh. Lantunan syair itu kemudian diikuti oleh jamaah yang ada di masjid.

“Duhai bulan kami. Engkau meninggalkan kami dengan damai. Duhai bulan kami, salam untukmu ... “ dan seterusnya. Tak jarang jamaah masjid meneteskan air mata melantunkan syair-syair itu. Ramadhan seperti menyihir. Tapi ini sihir yang halal. Ia pelindung hati, dan kenikmatan luar biasa di dunia ini.

Kemana perginya Ramadhan? Saya ingin kembali ke hari-hari di saat itu ... saya tak ingin apapun kecuali kembali ke masa kanak-kanak untuk menikmati suasana masjid di bulan Ramadhan, menghirup udaranya dan menikmati keindahannya. Saya tak mendapatkan kenikmatan lain melebihi itu. Saya tidak berubah. Tapi apakah dunia yang berubah.

Baca Juga:  TeknologiJihad untuk Narasi Peradaban

Kini, dalam kesendirian saya mencari-cari Ramadhan. Saya tidak mendapatkan Ramadhan di masjid, di pasar, di sekolah. Apakah Ramadhan telah mati? Berpisah dengan Ramadhan, hatiku seperti berpisah dengan seorang ibu.***



Majalah Tarbawi, Edisi 257, Th.13 Ramadhan 1432 H, 11 Agustus 2011 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar