Tampilkan postingan dengan label Liqoat (Tatap Muka). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Liqoat (Tatap Muka). Tampilkan semua postingan

Senin, 28 April 2025

Bersiap Menghadapi Kemungkinan Terpahit

  


H. Muhammad Ihsan Tanjung

Anggota MPP Partai Keadilan

 

Bersiap Menghadapi Kemungkinan Terpahit
Bersiap Menghadapi Kemungkinan Terpahit

(Hal 16) Pilar apa saja yang harus dimiliki oleh gerakan dakwah setelah memasuki era politik?

Kita harus melihat pada sirah Nabi. Kalau kita lihat, para sahabat baru memasuki political environment atau keterlibatan politik itu pada fase Madaniyah. Terbukti dengan terbentuknya masyarakat Madani di Madinah. 

Saat itu, kaum Muslimin bukan saja secara jumlah mayoritas, tapi mereka secara kualitatif memegang kendali berbagai aspek kehidupan. Termasuk aspek sosial politik, hukum, ekonomi, yang berarti praktis mereka yang mengendalikan perjalanan hidup masyarakat tersebut.

Rabu, 01 Januari 2025

Politik, Warisan Kenabian

 

Politik, Warisan Kenabian

Dr. M. Hidayat Nurwahid

Ketua MPP Partai Keadilan

                       

Politik, Warisan Kenabian
Politik, Warisan Kenabian 

(Hal-14) Ketika memasuki era partai tentu banyak konsekuensi yang harus dihadapi gerakan dakwah. Pendapat Ustadz?  

Pada hakekatnya, ketika dakwah memasuki era partai, ia sedang mengembalikan jati diri dan ashalahnya, yaitu syumuliatul Islam. Syumuliatul Islam terkait dengan masalah pribadi, hidup bermasyarakat, bernegara, sistem dan lainnya. Itu semua masalah dakwah. Itulah yang dicontohkan para Rasul khususnya Rasulullah SAW, dan dengan sangat cemerlang dilanjutkan oleh para khulafa’.

Apa yang dikhawatirkan tentang adanya fitnah syuhrah (popularitas) maupun pergeseran orientasi dalam dakwah itu tidak ada, bila sejak awal dipahami bahwa politik (amal siyasi) bagian dari dakwah. Yang terjadi, fitnah itu juga ada sebelum era berpartai sekalipun. 

Rabu, 09 Oktober 2024

Melihat Indonesia Lebih Dekat

 

Melihat Indonesia Lebih Dekat

Oleh Edi Santoso

Melihat Indonesia Lebih Dekat
Melihat Indonesia Lebih Dekat

 

(Hal-36) Ide berkeliling Indonesia dengan sepeda motor ‘Honda win 100 cc’ terdengar agak gila, apalagi dengan bekal seadanya. Toh bagi wartawan senior Farid Gaban, perjalanan itu belum ada apa-apanya dalam hal risiko. Memang, mantan wartawan  Tempo dan Republika ini pernah menhadapi tantangan yang lebih besar karena harus mempertaruhkan nyawa, yakni saat meliput Perang Bosnia pada tahun 1993.

Bagi Farid, perjalanan bertajuk ‘Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa’ itu lebih merupakan upaya melihat Indonesia dari dekat. Bersama wartawan muda Ahmad Yunus, Farid mengurangi lebih 10.000 kilometer perjalanan keliling kepulauan (Hal-37) Indonesia selama hampir setahun penuh (2009-2010).

Selasa, 20 Agustus 2024

Pada Dasarnya, Masyarakat Kita Filantropis

 

Pada Dasarnya, Masyarakat Kita Filantropis

Oleh Edi Santoso  

Pada Dasarnya, Masyarakat Kita Filantropis
Pada Dasarnya, Masyarakat Kita Filantropis

 

[Hal-30] Dalam dua dekade terakhir, perbincangan seputar masyarakat sipil di Indonesia terus mengemuka. Terlebih setelah reformasi bergulir, berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS) terus bermunculan. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) misalnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) misalnya, tumbuh dimana-mana. Sebuah fenomena melegakan sebenarnya, karena keberadaannya akan mengokohkan entitas masyarakat sipil, terutama terkait hubungannya dengan negara dan pasar dalam sebuah negara demokratis.

(Hal-31) sayangnya, pertumbuhan LSM secara kuantitatif tak selalu paralel dengan sisi kualitasnya. “Banyak sekali LSM saat ini yang didirikan dengan alasan-alasan yang salah,” ujar Rustam Ibrahim. Pernyataan tokoh yang telah puluhan tahun bergelut dengan dunia LSM ini nampaknya senada dengan maraknya isu yang mempertanyakan keberadaan LSM belakangan ini, seperti gugatan keterwakilan, pendanaan, atau tudingan adanya kepentingan-kepentingan asing di balik program LSM. Bagaimanakah sebenarnya sekelumit wajah masyarakat sipil indonesia dalam berbagai wadah seperti LSM? Berikut wawancara Tarbawi dengan Rustam Ibrahim di kantornya, di Kawasan Kebayoran, Jakarta.

Rabu, 14 Agustus 2024

Indonesia Masih Kekurangan Ulama

 

Indonesia Masih Kekurangan Ulama

DR. Anwar Ibrahim

(Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia) 

Oleh Rahmat Ubaidillah

Indonesia Masih Kekurangan Ulama

Indonesia Masih Kekurangan Ulama

(Hal-37) Perasaan keterarahan masyarakat Islam Indonesia kepada Ulama, terasa kian menjauh. Sepertinya mereka tidak lagi mendengarkan atau mengikuti apa yang telah difatwakan oleh para ulama. Pada sisi lain Indonesia kekurangan sosok kharismatik ulama yang memiliki kompetensi keilmuan yang mendalam pada bidangnya. Semua permasalahan itu menjadi kekhawatiran ulama berusia 68 tahun ini, yang kini menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI. Di kantor MUI, Jakarta, Tarbawi berbincang dengannya. Berikut petikannya.

Yang Anda rasakan, semakin ke depan, apa tantangan terberat para ulama?

Berdasarkan pengalaman. Tantangan terberat itu adalah mendalami pengetahuan (agama) dalam bidangnya masing-masing. Sebab ilmu pengetahuan semakin luas, dan dunia semakin modern. Sehingga permasalahan-permasalahan yang kita hadapi semakin berat. Maka penanggulangannya memerlukan pengetahuan yang begitu luas, terutama dalam segi ilmu agama (Islam). Nah, kita Indonesia ini, masih sangat memerlukan pendalaman ilmu Islam itu sejak pendidikan tingkat bawah. Jadi kita tidak mungkin bisa langsung ke pendidikan tingkat atas. Terutama masalah bahasa Arab sebagai alat pendalaman. Bahasa pengantar yang mau tidak mau, harus kita kuasai. Sementara itu, boleh dikatakan kita belum mempunyai guru untuk belajar bahasa Arab. Hingga kini, kita juga masih sulit menemukan ulama-ulama yang mempunyai pengetahuan luas dalam bidangnya masing-masing. Dari segi jumlah, kita kesulitan menghitungkan berapa lama yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari dapat kita rasakan, kekurangan kita itu terutama kalau kita mengikuti penerangan-penerangan agama di media. Kurang (Hal-38) begitu mendalam. Sangat jauh.

Selasa, 23 April 2024

Sapardi Djoko Damono dan Pencarian yang Tidak Pernah Selesai

 

Sapardi Djoko Damono dan Pencarian yang Tidak Pernah Selesai 

Oleh Wasilah

(Hal-25) Pencarian diri adalah sesuatu yang tidak pernah selesai. Dalam pencarian itu, bagi seorang Sapardi Djoko Damono, termaktub proses belajar terus menerus seumur hidup, hingga tidak terbetik kebanggaan pada pencapaian, meski karya sastra, utamanya puisi-puisi penyair terkemuka ini kerap dipuji dan dicintai. Penyair yang bersahaja yang dari tangannya mengalir puisi yang liris dan sering dijuluki karya sufi ini, saat ditemui Wasilah dari Tarbawi di rumahnya di komplek Dosen Universitas Indonesia (UI) di Kawasan Ciputat, Tangerang, Banten, bercerita tentang proses itu, yang dalam pelakonannya bukanlah memuat tidak ‘membumi’ atau memisahkan diri habis-habisan dari lingkungannya.

Sapardi Djoko Damono



“Penyair harus peduli dengan lingkungannya, tidak bisa seperti bertapa terus, itu gombal,” katanya. Tak heran kalau di belakang rumahnya dibangun kolam-kolam ikan yang dikelola Lembaga kemasyarakatan untuk pengembangan warga. Guru Besar dan Mantan Dekan Sastra UI ini memang tidak ‘terputus’ dari ‘dunia luar’, maka ia pun prihatin akan terpuruknya kondisi bangsa, terutama soal dunia Pendidikan, dan letak sastra serta karya intelektual lainnya dalam permasalahan itu.

Bagaimana peran sastra dalam kondisi bangsa yang tengah terpuruk ini?

Sastra bisa berfungsi sebagai apapun, untuk mengkritik, menghibur, memberi dakwah, membela orang, tetapi sastra bisa berfungsi jika masyarakatnya sudah cukup siap. Misalnya Ketika mengkritik suatu golongan atau pemerintah, kalau tidak dibaca, tidak didengar tidak ada gunanya. Sastra itu tanggapan terhadap keadaan sekelilingnya. Dia membaca, merenungkan sesuatu, kemudian merespon.