Politik, Warisan Kenabian
Dr. M. Hidayat Nurwahid
Ketua MPP Partai Keadilan
(Hal-14) Ketika memasuki era partai tentu
banyak konsekuensi yang harus dihadapi gerakan dakwah. Pendapat Ustadz?
Pada
hakekatnya, ketika dakwah memasuki era partai, ia sedang mengembalikan jati
diri dan ashalahnya, yaitu syumuliatul Islam. Syumuliatul Islam terkait
dengan masalah pribadi, hidup bermasyarakat, bernegara, sistem dan lainnya. Itu
semua masalah dakwah. Itulah yang dicontohkan para Rasul khususnya Rasulullah
SAW, dan dengan sangat cemerlang dilanjutkan oleh para khulafa’.
Apa yang dikhawatirkan tentang adanya fitnah syuhrah (popularitas) maupun pergeseran orientasi dalam dakwah itu tidak ada, bila sejak awal dipahami bahwa politik (amal siyasi) bagian dari dakwah. Yang terjadi, fitnah itu juga ada sebelum era berpartai sekalipun.
Mungkin namanya lain. Seperti fitnah
syirik kecil (riya’). Contohnya. Ketika seorang da’i tidak ikhlas dan
menampak-nampakkan hasil pengkaderannya. Syuhrah itu sendiri tidak harus
fitnah. Dan sebaliknya tidak berpolitik pun tidaklah dengan sendirinya jauh
dari fitnah. Sama saja. Kemungkinan ada fitnahnya tetap sama. Tapi kemungkinan
tidak ada fitnahnya juga ada.
Baca Juga: Dosa Yang Terus Mengalir
Karenanya,
sejauh mana para dai’ berinteraksi dengan fase baru ini. Kalau pada fase baru
ini ia terjebak pada fitnah juga. Jadi fitnah dakwah itu ada sebelum fase
politik maupun sesudah fase politik.
Dalam
konteks partai Islam, selalu saja acuannya kaidah dasar yang kemudian
dimunculkan para ulama tentang siyasah syar’iyah yang mengatakan, ”yang
namanya imarah, khilafah yang merupakan ujung amal siyasi adalah wiratsah
nabawiyah lihirasatiddin wa siyasatiddunya bihi (warisan kenabian untuk
memelihara agama dan menata dunia dengannya).”
kalau
demikian adanya, kekhawatiran fitnah syuhrah, orientasi yang berubah,
seharusnya bukan sekadar dipahami sebagai tantangan, tapi juga peluang. Agar,
makin banyak ummat yang segera kembali kepada orisinalitas yang terkembangkan
dengan baik, berbagai kesalahan persepsi dan langkah awal bisa dikoreksi.
Saya
justru khawatir, kekhawatiran itu dikembangkan
oleh syubhah syaithaniyah dan was-was syaithany, hingga orang
Islam tidak mengurusi wiratsah nabawiyah itu, sehingga dominan
partai-partai sekuler.
Kenapa
bisa terjadi demikian?
Pertama,
bisa karena tidak paham. Kedua, bisa juga terjebak pada
skenario yang dikembangkan oleh kalangan sekularis yang ingin ummat Islam lepas
dari faktor politik. Kalau pun terlibat dalam faktor politik, lepas sama sekali
dengan agama. Akhirnya yang menentukan nasib ummat Islam ini bukan ummat Islam.
Ketiga, bagian dari warisan Orde Lama, Orde Baru dan sebagian Orde Reformasi ini. Orde Baru sejak awal dikenal sebagai Orde Sekuler. Agama ditepiskan, dan dimunculkan syubhat-Syub (Hal-15) hat tadi.
Baca Juga: BiarkanAirnya Menetes
“Agama itu suci, jangan dicampur dengan politik yang kotor.” Itu
kerancuan berpikir yang dikembangkan agar ummat Islam tidak mau berpolitik.
Akhirnya kita lihat kebobrokan Orde Baru, Orde Lama, dan sebagian Orde
Reformasi disebabkan karena pola kekuasaan jauh dari moralitas.
Lantas,
bagaimana cara kita memberi pemahaman kepada masyarakat?
Pada tingkat pemahaman, ummat Islam harus disadarkan. Kita mungkin perlu duduk bersama, mengkaji bersama,”Apa betul politik itu kotor dalam konteks agama.”
Sebab bila kita rujuk kitab-kitab kuning, semuanya berbicara tentang imamah,
politik, imarah, dan seperti saya katakan tadi, semua menyebutnya wiratsah
nabawiyah, seperti yang ditulis oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Juwahi, Ibnu
Khaldun dan Ibnu Taimiyah. Artinya, kitab-kita kuning yang merupakan rujukan
para ulama dalam berbagai mazhabnya sepakat bahwa politik itu tidak kotor.
Bila
pembahasan ini ilmiah, dilandaskan pada niat yang ikhlas mencari kebenaran,
insya Allah akan ada ijma’ (konsensus) bahwa politik dalam konteks Islam
tidak kotor. Berikutnya, fase sosialisasi kepada masyarakat umum ini harus
dibuktikan pada dua tataran.
Pertama,
tataran teori. Kita perlu menyegarkan teori lama tentang siyasah yang
telah ditulis para ulama dulu, dengan tetap mengacu kepada kepada mengambil Al-qadimu
shalih wal jadidul ashlah” (yang lama dan benar, serta yang baru dan lebih
sesuai).
Kedua,
pembuktian secara kongkrit pada tingkat internal ummat Islam, bahwa berpolitik
dalam konteks Islam ternyata banyak maslahat, menyebarkan rahmat, demokratis
dan tidak anarkis. Kalau ini bisa dibuktikan oleh partai-partai Islam, maka
saya berkeyakinan orang tidak ada yang menolak.
Baca Juga: Mimpi-Mimpi Besar
Lalu
bagaimana hubungan partai Islam dengan partai-partai lain?
Dalam konteks partai, kita terkena perintah wata’awanu (tolong menolong), dalam semua hal yang bernilai kebajikan, takwa, dan jangan sekali-kali bertolong-menolong dalam kezaliman. Yang namanya kebajikan atau takwa, serta zalim dan dosa, kansnya ada pada semua pihak.
Maka, kita dalam konteks hubungan
antar partai Islam, prinsip ini layak menjadi landasan. Khususnya partai Islam,
hendaknya sungguh-sungguh saling mendukung, saling tolong-menolong dalam
konteks yang bermakna kebajikan dan takwa tadi.
Demikian
juga dengan partai-partai lain, sekalipun non Islam, kemudian dalam diri mereka
ada nilai al-birr (kebaikan) dan menjauhkan dari nilai ‘udwan (permusuhan),
maka selayaknya seluruh partai bekerjasama. Bahkan prinsip dasar keadilan
adalah, “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak
adil.”
Sebaliknya
kalau ia partai yang membawa nama Islam atau berbasis massa ummat Islam, tapi
berperilaku ‘udwan, dosa, yang menjauhkan dari perilaku kebaikan dan
takwa, maka partai Islam tidak boleh melakukan kerja sama dengan mereka. Kalau
sesama Muslim ada takwa, itu prioritasnya.
Sikap ini
harus diwujudkan oleh seluruh partai dan bangsa ini, apalagi bangsa ini sedang
menghadapi kondisi yang kritis, menghadapi provokasi, kriminalitas individu
maupun terorganisasi, maupun gangguan antar partai. Selayaknya antar partai
segera membangun ta’awun ‘alal birri wattaqwa dan mencegah terjadinya ta’awun
alal (Hal-16) itsmi wal
‘udwan.
Apa
sebenarnya yang dimaksud kemenangan politik dalam konteks dakwah?
Kemenangan
politik dalam konteks dakwah adalah terealisirnya nilai-nilai kebenaran bersama
partai Islam, maupun bersama partai yang meski tidak membawa nama Islam tapi ia
memperjuangkan kebajikan dan takwa.
Baca juga: Mungkinkah Masjid Al Aqsha Runtuh
Dan,
tentu sebuah kemustahilan bila kemudian partai Islam mengabaikan faktor ini.
Yang logis, ummat Islamlah yang paling responsif merealisirnya. Bila nilai kebajikan itu terealisasi, lantas
ummat terjauhkan dari kezaliman dan segala hal yang buruk, maka akan muncul
ketenangan sosial. Semuanya jabaran dari al-birr wataqwa.
Dalam
sejarahnya, ummat Islam tidak pernah menang karena dukungan fasilitas.
Sekarang, mana yang harus diutamakan, kualitas atau kuantitas?
paduan dari dua-duanya. Karena di alam reformasi ini, yang digunakan adalah demokrasi yang seluruhnya dilakukan melalui pendekatan suara terbanyak. Maka, orientasi kepada suara banyak, saat ini merupakan hal yang sangat penting. Dan, disini berlaku kaidah fiqih, ma laa yatimmul wajiibu illa bihi fahuwa wajibun.
(kewajiban
yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya ikut
wajib). Bila melaksanakan kewajiban beramar ma’ruf pada tingkat yang
lebih mendasar itu membutuhkan suara paling banyak, maka memperoleh suara
terbanyak dalam konteks ini menjadi wajib. Tapi perlu saya sampaikan bahwa itu
dalam Islam tidak berujung pada menghalalkan segala cara.
Sebagian
sahabat mengkhawatirkan, “Apa bisa mengalahkan Persia?” mendengar itu Ustman bi
Affan menegur, “Kapan kita pernah dimenangkan Allah karena faktor jumlah.”
Ucapan ini mengarah kepada bahwa di atas jumlah ada satu hal yang harus diingat
umat Islam, yaitu faktor kualitas ummat Islam, dalam konteks hubungannya dengan
Allah.
Tapi, yang jelas tidak ada paradoksal dan kontradiksi antara meningkatnya kualitas ummat dengan dukungan kuantitas lebih banyak. Karena, adalah tiak logis bila kualitas ummat meningkat kemudian dia tidak mendapatkan dukungan. Bila kualitas ummat meningkat, pada tingkat ruhiyanya, misalnya, maka itu akan berefek kepada “Dia pasti dicintai orang lain.”
Baca Juga: Seperti Engkau Malu Terhadap Orang Shalih
Sebab, Allah menjajikan demikian. Bila
kualitasnya meningkat, ibadahnya meningkat, intelektualnya meningkat, pasti ia
akan bisa membaca apa yang dimaui orang lain. Apalagi bila nanti memunculkan
kekuatan sosial, ekonomi, maka gilirannya nanti akan diikuti dan diamini bahkan
ditransfer oleh umat lain. Artinya, pada gilirannya nanti bila kualitas umat
ini meningkat, ia akan diikuti oleh kuantitas yang banyak juga. Itulah yang
terbukti pada penyebaran Islam itu sendiri.
Kuantitas
dan kualitas, dalam konteks perjuangan masa depan keduanya harus tetap kita
jaga. Sebab bila kita hanya mementingkan kualitas dengan pemahaman yang
terpotong dan parsial, kita akan menghasilkan generasi yang menara gading,
tidak membumi. Sebaliknya kita tidak bisa hanya berorientasi kepada
memperbanyak pendukung.
Dalam era
global dua hal ini harus (Hal-17)
berimbang. Orientasi memunculkan kader-kader yang intelektual, berkualitas,
ruhiyahnya baik, dan karenanya berinteraksi dengan baik, harus dipegang. Dan
pada tingkat yang lebih umum terus dilakukan aktivitas yang sifatnya jamahiriyah
(Umum), Nasional, dan terbuka untuk seluruh pihak. Dari sana akan
tersambungkan antara kualitas para kader-kader itu dengan kuantitas ummat.
Sarana
harus kita kejar, kuantitas juga. Tapi akan banyak benturan. Bagaimana menurut
ustadz?
Pada hakekatnya kan begini. Yang jadi masalah, kita hidup pada zaman seperti ini di mana banyak hal yang pada tingkat publik dan negara ditentukan dengan demokrasi yang menghajatkan suara banyak. Semakin kita punya suara banyak, kita akan memenangkan keinginan-keinginan kita.
Dalam konteks demokrasi, suara profesor berkualitas dengan suara tukang becak sama saja satu suara. Maksud saya adalah, bila konstelasinya begini, konteksnya bukan perang visi dan adu argumen. Tapi konteks demokrasi yang memang beginilah bentuknya.
Baca Juga: Sudah Membuka Lembar Keberapa?
Maka, saya
tetap cenderung untuk tidak mendikotomikan atara kualitas dan kuantitas.
Apalagi dalam konteks syumuliatul Islam, keduanya saling melengkapi.
Bukankah Rasulullah pernah mengajarkan, suatu ketika akan datang masanya kalian
dikerubuti oleh ummat lain, kamu banyak tapi bagaikan buih.
Tapi
dalam kesempatan lain Rasulullah mengatakan, innama tunsharun wa turzakunna
bidhuafaikum. “Sesungguhnya kalian di tolong dan diberi rezeki itu lantaran
do’a kaum dhua’afa.” Dan Dhu’afa itu mayoritas.
Maka ada faktor-faktor di mana kuantitas, sekalipun mereka dhu’afa, miskin, lemah secara fisik, tetapi mereka mempunyai kekuatan maknawiyah, itu bisa memiliki kekuatan tersendiri.
Apalagi dalam era demokrasi. Tapi, tentu saja kita tak mungkin
menyerahkan urusan negara ini kepada orang-orang lemah. Rasulullah Saw
bersabda, “Bila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya,
maka tunggulah kehancurannya.”
Karenanya
mengurus negara harus diserahkan kepada yang ahli. Dan, yang ahli secara
piramid lebih sedikit saja. Tapi yang sedikit ini dalam konteks Islam bila ia
aktif, akan nyambung dengan
masyarakatnya. Sebaliknya, masyarakat akan menyambungkan apa yang dimaui dengan
keahlian pemimpinnya.
Bila
hanya terhenti pada tataran kualitas, kita hanya akan menjadi oposisi kecil.
Dan itu tidak akan mempengaruhi perpolitikan dan perundangan. Bila itu terjadi,
suara terbanyak akan mendukung kebatilan.
Baca Juga: Allah,Mudahkan Aku Mendapatkan Teman yang Shalih
Pesan
Ustadz buat aktivis dakwah?
Mengingatkan
kembali apa yang disampaikan Rasulullah, ketika beliau seperti ditulis Imam
Thabari dalam tarikhnya, akan memberangkatkan utusan-utusan pembawa surat-surat
dakwah kepada para raja. Pertama, “Laksanakanlah amanah dariku.” Kedua, wala
takhtalifu, jangan mudah terpancing, terpecah belah, dan membuat fitnah.
Justru kita harus saling menjalin silaturahmi.
Mayoritas para delegasi itu pulang dengan keberhasilan. Saya kira yang perlu ditegaskan kepada para aktivis partai Islam. Dua hal ini (melaksanakan amanah dan tidak mudah terprovokasi) harus dicermati agar pemunculan partai Islam atau partai dakwah sungguh membawa kembali pembuktian Islam yang Rahmatan lil’amin, baik yang di Partai atau yang tidak di Partai. Toh, faktor konflik tak semata ada pada orang-orang yang aktif di Partai. ***
Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar