Oleh M lili Nur Aulia
[Hal-76] Letakkan telapak tangan kita diatas dahi. Berusaha
merenung dan konsentrasi berpikir. Bertanya pada diri sendiri:”Apa mimpiyang
ingin kita raih dalam hidup ini? Apa obsesi yang begitu menyibukkan kita dalam
hidup ini? Apa yang kita pikirkan siang malam? Apa yang kita pikirkan itu
bersifat duniawi? Atau ukhrawi? Apakah obsesi dan mimpi kita itu sifatnya umum,
atau spesifik?
Saudaraku,
Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu dan simpanlah
baik-baik dalam ingatan. Panggillah anak dan tanyakanlah,”Apa kondisi yang ia
inginkan di masa mendatang?”
Bandingkanlah antara apa yang menjadi keinginan mereka dan keinginan
kita di masa depan. Hampir pasti anak-anak akan menjawab secara ideal, tinggi,
bahkan mungkin ada yang tak mungkin diwujudkan. Sedangkan obsesi dan keinginan
kita umumnya lebih rendah, tidak terlalu tinggi, dan pandangan terbatas.
Bahkan, boleh jadi ada sebagian kita merasa berat sekadar bersobsesi atau
bermimpi dan menginginkan sesuatu yang tinggi serta ideal.
Saudaraku,
Kita, hidup di zaman yang penuh [Hal-77] kelemahan.
Wajar bila obsesi serta mimpi kita dan masyarakat kita pun menjadi rendah,
kurang berbobot, tujuannya pendek. Kita semua sama dalam hal ini. Sebabnya
banyak, tapi setidaknya ada sebab penting yang harus kita sadari. Yakni, minim
atau tidak adanya, “contoh ideal” yang hidup diantara kita. Termasuk contoh
dari para orangtua kita, kita para bapak dan ibu bagi anak-anak, para pendidik,
para guru, para pejabat, para tokoh dan sebagainya. Minim atau tidak adanya
figur atau contoh itu, mau tidak mau menciptakan lemahnya motivasi kita, untuk
memiliki cita-cita atau keinginan yang tinggi. Seperti yang kita alami sekarang
ini.
Mari perhatikan bagaimana kondisi orang-orang yang
memiliki mimpi-mimpi besar. Barangkali kondisi mereka bisa mendorong dan
menumbangkan penghalang mimpi yang kini sedang mengepung kita. Barangkali
keadaan mereka bisa mengeluarkan kita dari mimpi kecil menjadi mimpi besar.
Barangkali peran-peran mereka bisa menjadikan kita memiliki peran-peran yang
lebih luas dari sekarang.
Saudaraku,
Adalah Hindun binti Utbah Ummu Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
seorang wanita yang termasuk memiliki besar itu. Suatu saat, ia berada di Mina
bersama puteranya Mu’awiyah yang baru saja tersandung batu dan terjatuh di atas
tanah. Hindun berkata pada anaknya, Mu’awiyah,
”Bangunlah, bila engkau bisa bangkit maka
engkau akan ditinggikan derajatnya oleh Allah.” Seseorang yang mendengarkan
perkataan ini bertanya,”Mengapa engkau mengatakan seperti itu? Saya yakin bahwa
dia (Mu’awiyah) akan memimpin kaumnya.” Hindun balik bertanya,”Kaumnya? Allah
tidak akan meninggikan kedudukannya kecuali bila ia tidak memimpin bangsa Arab
semuanya.”
Ini episode kecil tentang bagaimana mimpi besar seorang
ibu. Ia ingin anaknya menjadi pemimpin bangsa Arab semuanya. Dan mimpi itu
hadir di pelupuk matanya, dan mimpi itulah yang menjadi panduannya sehari-hari
dalam mendidik anaknya. Ia terus menanamkan mimpi itu pada anaknya, dan
meyakinkannya. Ia kondisikan keadaannya untuk mencapai mimpi itu. Ia beri asupan
apa yang bisa membekalinya mewujudkan mimpinya. Hingga akhirnya, Mu’awiyah
menjadi khalifah pertama dari Khulafa daulah umawiyah. Mu’awiyah memimpin bangsa
Arab sekaligus umat Islam selama kurang lebih 20 tahun yakni tahun 661-680 H.
[Hal-78] saudaraku,
Ada kisah di zaman kita, tentang ibu dari DR. Ahmad
Zeweil, yang juga memiliki mimpi besar. Sejak Ahmed masih kecil, sang Ibu sudah
menuliskan di pintu kamar Ahmed sebuah kalimat “Kamar DR. Ahmed Zewail.”
Apa yang dituliskannya, tak lain merupakan saluran keinginan atau mimpi yang
ada dalam diri sang ibu. Dan tampaknya telah sampai dalam diri anaknya. Ahmad
zewail meraih penghargaan Nobel bidang Kimia tahun 1999, dan menjadi salah satu
ilmuwan besar dunia. Zewail sendiri mengakui pengaruh motifasi dan mimpi ibunya
itu pada dirinya. Tentu bukan hal yang mudah bagi seorang ibu untuk mewujudkan
mimpi besar itu pada Zewail. Karena hari-hari merawat, mendidik dan membesarkan
Zewaillah yang juga menjadi kunci keberhasilan Zewail.
Saudaraku,
Lagi. Tentang bagaimana seorang ibu dari Syaikh
Abdurrahman As Sudais yang kini menjadi Imam Masjidil Haram. Bagaimana
sang ibu menanamkan dan mengarahkan mimpi besar itu kepada anaknya. Bagaimana
sang ibu hari demi hari bersama As Sudais kecil itu mengingatkannya untuk bisa
mencapai mimpinya? Ibunya sering mengingatkan,
”Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah
menghapal kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram, ...” “ Wahai Abdurrahman
jangan malas menghapal kembali hafalan harianmu, bagaimana kamu bisa menjadi
Imam Masjidil Haram bila kamu malas?”
Akhirnya, Syaikh Abdurrahman As Sudais kini menjadi Imam
Masjidil Haram. Dan menjadi salah satu ulama besar yang disegani di dunia
Islam.
Saudaraku,
Salah satu kisah lain yang boleh jadi kita juga sudah
mendengarnya. Seorang sahabat, Rabi’ah bin Kaab Al Aslami radhiallahu anhu.
Dialah yang mengatakan kepada Rasulullah saw,
“Ya Rasulullah, aku ingin menjadi pendampingmu di surga.” Rasulullah saw
mengatakan,”Adakah yang selain itu Rabi’ah?” Rabi’ah menjawab, “Hanya itu ya
Rasulullah.” Lalu Rasulullah saw mengatakan,”Jika begitu, bantulah aku untuk
mencapai keinginanmu itu dengan memperbanyak sujud.”
(HR. Muslim)
Diriwayatkan,
Rabi’ah atas bimbingan
orantuanya, sejak kecil memang sudah kerapkali terlihat dalam kondisi shalat
dan sujud. Dan sepanjang usianya, Rabi’ah diriwayatkan tak pernah tertinggal
shalat berjamaah. Mengapa Rabi’ah mampu melakukan itu semua? Karena ia ingin
meraih mimpinya yang besar tadi. Mimpi ingin menjadi pendamping Rasulullah saw
di surga....
Saudaraku,
Bandingkanlah antara keinginan kita yang tercetus diawal
tulisan ini, dengan keinginan mereka yang bermimpi besar itu? Sesungguhnya,
mimpi dan obsesi seseorang yang besar, indikator ia akan menjadi orang besar.
(Elqinet, Rabu , 05 Mei 2010 M, 16:17:34WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar