SEPERTI ENGKAU MALU TERHADAP ORANG SHALIH[1]
(Hal-76) Saudaraku,
Salah satu rahasia
mahalnya anugerah Allah swt kepada kita berada di jalan orang-orang yang shalih
adalah, karena kita mendapat pencerahan dan penyegaran yang luarbiasa dari
mereka. Bisa karena ruh keshalihan yang otomatis terpancar dari dirinya, atau
bahkan dari kata-katanya. Atau bahkan suasana
yang menjadi lebih tunduk, takut kepada Allah, urung melakukan
kemaksiatan, karena keberadaan mereka.
Seperti dahulu, para
sahabat Rasulullah kerap meminta nasihat dan wasiat pada Rasulullah saw, dalam
banyak kesempatan. Dan Rasulullah saw, menyanpaikan nasihatnya dengan sangat
bijak dan begitu mengesankan. Hingga ketika seseorang (Hal-77) sahabat
bernama Sa’id bin Yazid Al Azdi ra meminta pada Rasulullah saw. “Nasihatilah
aku ...” ujarnya kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw menjawab,”Aku
wasiatkan engkau agar malu kepada Allah swt sebagaimana engkau malu dari orang
yang shalih.” (HR.Ahmad)
Saudaraku,
Memberikan nasihat kepada
seorang mukmin yang meminta nasihat kepada saudaranya, termasuk sunnah
Rasulullah saw untuk dipenuhi. Hadist itu memberi memberi permisalan yang
mendekatkan logika penanya, terhadap subtansinya nasihat yang disampaikan
Rasulullah saw. Tentang bagaimana cara kita bisa menghalangi diri dari dosa.
Tentang bagaimana kita bisa memaknai rasa malu dari dosa dengan rasa malu kita
terhadap sesuatu yang kita segani. Tentang bagaimana pikiran dan prilaku kita
seharusnya bisa terpengaruh oleh kondisi orang yang melihat kita, terlebih oleh
Allah swt yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Malu kepada Allah swt,
jelas sikap mulia. Sikap malu kepada Allah swt, juga jelas tidak sama dengan
sikap malu terhadap manusia, berapapun tingkat dan derajat manusia itu. Tapi
hadist tadi hanya memunculkan gambaran yang bisa dipahami, tentang rasa malu
berbuat dosa. Dan bila seseorang telah sikap malu kepada Allah swt, sikap
itulah yang mampu menjadi benteng penghalang seseorang dari prilaku jahat,
kapanpun, dimanapun, dalam kondisi apapun. Penghalang dosa seperti itu takkan
datang bila sikap malu, hanya berasal dari manusia atau keadaan tertentu.
Saudaraku,
Barangkali banyak orang
yang belum terlalu merasakan bila Allah swt memantau dan Maha Mengetahui
keadaan dirinya. Sementara orang-orang shalih yang terdahulu, adalah
orang-orang yang memiliki rasa malu yang tinggi kepada Allah swt, sampai dalam bentuk
tidak melakukan sesuatu yang harus dilakukan. Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu
Abbas ra ditanya tentang firman Allah swt, surat Hud ayat 5, yang artinya: “Ingatlah,
sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada untuk menyembunyikan diri
daripadanya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan
kain, Allah mengetahui apa yang mereka lahirkan, sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala isi hati.”
Ibnu Abbas mengomentari
ayat ini dengan mengatakan,”Dahulu orang-orang yang memiliki rasa malu
menyendiri dan (Hal-78) menjauh
dari keadaan berada langsung di bawah langit, dan tidak mau berhubungan badan
dengan istri-istri mereka.” Abu Bakar shiddiq mengatakan,”Malulah kalian kepada
Allah, sungguh aku pergi membuang hajat lalu aku berlindung dengan bajuku
karena malu dengan Rabbku ...” Bahkan Abu Musa mengatakan, “Bila ia mandi di
rumah yang gelap, ia tidak berani berdiri karena malu kepada Allah swt.”
Karena rasa malu itu pula,
Aisyah ra tidak masuk lokasi pemakman Rasulullah saw kecuali dengan aurat
tertutup rapat. “Dahulu aku sering mendatangi makam Rasulullah saw dan makam
ayahku (Abu Bakar shiddiq) dan aku mungkin melepas sebagian kainku dengan mengatakan
bahwa itu adalah makam suamiku dan ayahku. Tapi ketika Umar ra juga dimakamkan
di lokasi pemakaman itu, aku tidak datang ke sana kecuali dalam kondisi
pakaianku tertutup rapat karena malu dengan Umar ra.” (HR. Hakim)
Saudaraku,
Itulah sebabnya, Rasulullah
saw mengatakan bahwa rasa malu selalu saja mendatangkan kebaikan. Sebab andai
hilang rasa muncul, munculnya rasa biasa dan tidak peduli dengan penilaian
orang, terlebih penilaian Allah swt, maka itu merupakan salah satu pemicu
prilaku dosa. Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Termasuk hukuman
terhadap pelaku kemaksiatan adalah, hilangnya rasa malu yang sebenarnya malu
itu adalah unsur hidupnya hati dan asal muasal semua kebaikan. Hilangnya rasa
malu, berarti hilangnya kebaikan seluruhnya. Karena dalam hadits shahih,
Rasulullah saw bersabda,”Rasa malu itu seluryhnya adalah baik.”
Coba kita perhatikan lagi
lebih jauh perkataan Ibnul Qayyim lebih lanjut dalam kitab Ad daa’u wa
ad-dawaa’ itu yang mengatakan, bahwa orang yang tidak memiliki rasa malu,
berarti ia tidak mempunyai anasir kemanusiaannya, kecuali hanya daging dan
darah serta bentuk tubuh lahir mereka saja.” Artinya, dalam kondisi seperti
itu, manusia sudah sama seperti hewan, perbedaannya hanya masalah daging, darah
dan bentuk lahirnya.
Saudaraku,
Rasa malu bisa diwujudkan
dengan menumbuhkan pengenalan kitayang lebih dalam atas kekuasaan Allah swt.
Sebaba semakin sadar seseorang atas ke-MahaKuasaan Allah swt, semakin kecillah
ia menyadari nilai dirinya. Rasa malu juga bisa didorong dengan bagaimana ia
melihat orang lainyang begitu menjaga dirinya dari dosa. Rasa malu, juga bisa
tersentuh oleh keberadaan kita bersama orang-orang baik, orang-orang yang
terbiasa memaksa diri untuk berlaku lurus, di manapun dan kapanpun.
Kita harus belajar dari
mereka saudaraku,
Mari sama-sama berdo’a dan
meminta pertolongan kepada Allah swt dari menjadi golongan orang-orang yang
tidak tahu malu. Dari mereka yang tak kenal malu kepada manusia, terlebih
kepada Allah swt, Umar mengatakan,”Barangsiapa yang sedikit rasa malunya,
berarti sedikit pula sikap wara’nya. Dan hatinya telah mati.”
(Sekretariat Masjid Kampus
UR, Sabtu, 24 April 2010 M, 22:16:56 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar