Oleh M lili Nur Aulia
[Hal-76] Meminta
maaf. Itu akhlak orang-orang besar dalam sejarah. Sikap tokoh-tokoh yang
terhormat sepanjang zaman. Ciri orang-oran yang percaya pada diri sendiri. Ya
meminta maaf, sikap yang sulit dimiliki kecuali orang-orang besar yang
mempunyai kekuatan hati, kepercayaan diri, keberanian dan memahami etika yang
baik dalam berhubungan dengan orang lain. Hidup ini tanpa akhlak meminta maaf,
akan penuh ketegangan, kerisauan dan kegelisahan. Meminta maaf memang hanya
milik orang-orang besar. Kenapa?
Karena meminta maaf
berarti mengakui kesalahan. Sedikit orang yang mengakui berbuat salah dihadapan
orang lain, kecuali orang-orang besar. Karena meminta maaf artinya
bertanggungjawab atas kesalahan yang telah dilakukan. Ini juga berat dilakukan,
kecuali hanya bisa dilakukan oleh orang-orang besar, yang kuat dan konsisten
menanggung kesalahan. Karena meminta maaf itu memerlukan kesiapan mental yang
kuat untuk melakukannya dan dari itu tidak [Hal-77] mungkin
dimiliki kecuali oleh orang-orang besar yang bisa mengontrol dan menguasai
perasaannya. Karena meminta maaf adalah sikap untuk memelihara perasaan orang
lain agar tidak tersakiti, serta segera memperbaiki kesalahan. Itu juga tidak
bisa dilakukan sembarang orang kecuali oleh orang-orang besar.
Saudaraku,
Orang-orang besar dalam
sejarah kita, sangat mengerti apa artinya permintaan maaf. Mereka tidak merasa
malu meminta maaf kepada istrinya, bila memang ada kesalahannya dalam
menunaikan hak istrinya. Mereka tidak sungkan meminta maaf kepada seseorang
saat ia merasa ada kewajiban yang kurang baik dilkukan untuk mereka. Ia takkan
merasa berat, meski berada di tingkat pimpinan, untuk meminta maaf kepada
anggota dan bawahannya.
Berbeda dengan
orang-orang yang bermental kerdil. Orang-orang yang cenderung lari dari meminta
maaf, dan lebih ingin lari dari kesalahan yang telah dilakukan. Orang seperti
itu, bisa saja sikapnya berbalik justru menjadi bangga dengan kesalahannya
karena cenderung mencari-cari alasan pembenaran atas kesalahan yang jelas sudah
dilakukan. Orang yang tak mau meminta maaf dan tak mau mengakui
kekurangannya adalah orang yang jauh
dari jiwa dan mental pahlawan. Suami yang tidak mau meminta maaf pada istrinya.
Pemimpin yang tidak mau meminta maaf pada bawahannya. Karena takut wibawanya
berkurang. Guru tidak mau meminta maaf pada muridnya, karena khawatir dianggap
tidak mendalami ilmu yang diajarinya. Seorang saudara yang tak mau meminta maaf
atas kesalahan menunaikan hak saudaranya, hanya karena takut bila kedudukannya
menjadi lebih rendah dari saudara-saudara yang lain. Dan lain sebagainya.
Saudaraku,
Meminta maaf bukan hal
tercela. Dan anjuran untuk meminta maaf bukan berarti toleransi untuk melakukan
kesalahan. Sebuah perkataan yang sangat indah pernah diungkapkan Rasulullah saw
menasehati Abu Ayyub Al Anshari ra, “Jangan mengatakan sesuatu yang keesokan
harinya, engkau perlu meminta maaf karena salah mengucapkannya.” (HR. Imam
Ahmad)
Saudaraku,
Orang-orang besar memang
memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf. Ini jelas tertera
dalam Al Qur’anul Karim yang menyebutkan akhlak meminta maaf itu sebagai bagian
dari perilaku para Nabi. Nabiyullah Adam as, mengakui kesalahannya kepada Allah
swt dengan mengatakan,”Ya Allah kami [Hal-78] berdua
telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak
menyayangi kami, maka kami pasti termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al
A’raf:23)
Lihatlah juga bagaimana
sikap Nabi Musa as yang terlanjur memukul seseorang dengan tongkatnya sampai
meninggal. Nabiyullah itu mengatakan,”... Ini adalah termasuk pekerjaan
Syaitan. Sungguh dia musuh yang menyesatkan dan nyata.” (QS. Al Qashash:10).
Setelah itu Musa as pun berdoa dengan mengatakan,”Ya Allah, sungguh aku
telah menzalimi diriku sendiri dan ampunilah aku. Lalu Allah mengampuninya.
Sesungguhnya Dia Maha Pemaaf dan Maha Pengasih.” (QS. Al Qashash:16)
Rasulullah juga meminta
maaf. Dari riwayat Thalhah bin Musa disebutkan bahwa ayahnya pernah
mengatakan,”Aku pernah berjalan bersama Rasulullah dan melewati beberapa orang yang
sedang berada diatas pohon kurma. Melihat hal itu, Rasulullah saw bertanya,
“Apa yang sedang mereka lakukan itu?” Orang-0rang yang ada di tempat itu
menjawab,”Sedang melakukan penyerbukan, meletakkan yang jantan di tempat yang
betina dan terjadilah pembuahan.” Mendengar itu, Rasulullah saw bersabda,”Aku
kira hal itu tidak ada gunanya.” Ayah Thalhah mengatakan bahwa perkataan
Rasulullah itu disampaikan kepada orang-orang yang sedang berada diatas pohon
kurma, dan mereka segera menghentikannya. Tapi ketika Rasulullah saw diberitahu
tentang tindakan mereka, Rasulullah saw mengatakan,”Jika hal itu bermanfaat
bagai mereka, biarkan saja mereka melakukannya. Aku hanya menyangka. Kalian
tidak harus mengikutiku jika aku menyampaikan mengikuti sesuatu berdasarkan
perkiraan. Lain halnya jika aku menyampaikan sesuatu dari Allah, hal itu harus
kalian ambil karena aku tidak akan berdusta mengatasnamakan Allah swt.” (HR.
Muslim)
Saudaraku,
Berbesar hatilah dengan
meminta maaf atas kesalahan. Segera lakukan dan jangan ditunda-tunda.
Orang-orang shalih yang juga para tokoh sejarah, tak menunda permintaan maaf
bila merasakan ada kesalahan yang mereka lakukan. Mereka juga tidak khawatir
dengan risiko apa saja yang mungkin muncul.
Sekelompok Asy’ariyun
mendatangi Abu Musa Al Asy’ari ra. Mereka memintanya untuk ditemani menghadap
Rasulullah saw. Tanpa merasa perlu untuk tahu apa tujuan mereka Abu Musa
menemani mereka menemui Rasulullah saw. Ternyata mereka, kemudian meminta
diangkat sebagai pemimpin di sejumlah daerah. Seolah-olah Abu Musa Al Asy’ari
ra yang datang menemani mereka mendukung apa yang mereka lakukan. Rasulullah
saw menolak dengan cara yang lembut. Tapi Abu Musa Al Asy’ari yang terkenal
lembut hatinya sangat risau dengan suasana itu. Iapun lalu mendekati Rasulullah
saw dan meminta maaf kepada Rasulullah saw. “Rasul saw menerimaku dan menerima
maafku,” ujarnya.
Saudaraku,
Maafkan aku
.................. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar