Minggu, 30 Agustus 2020

Maafkan Aku

Maafkan Aku...[1],[2]     

Oleh M lili Nur Aulia

[Hal-76] Meminta maaf. Itu akhlak orang-orang besar dalam sejarah. Sikap tokoh-tokoh yang terhormat sepanjang zaman. Ciri orang-oran yang percaya pada diri sendiri. Ya meminta maaf, sikap yang sulit dimiliki kecuali orang-orang besar yang mempunyai kekuatan hati, kepercayaan diri, keberanian dan memahami etika yang baik dalam berhubungan dengan orang lain. Hidup ini tanpa akhlak meminta maaf, akan penuh ketegangan, kerisauan dan kegelisahan. Meminta maaf memang hanya milik orang-orang besar. Kenapa?



Karena meminta maaf berarti mengakui kesalahan. Sedikit orang yang mengakui berbuat salah dihadapan orang lain, kecuali orang-orang besar. Karena meminta maaf artinya bertanggungjawab atas kesalahan yang telah dilakukan. Ini juga berat dilakukan, kecuali hanya bisa dilakukan oleh orang-orang besar, yang kuat dan konsisten menanggung kesalahan. Karena meminta maaf itu memerlukan kesiapan mental yang kuat untuk melakukannya dan dari itu tidak [Hal-77] mungkin dimiliki kecuali oleh orang-orang besar yang bisa mengontrol dan menguasai perasaannya. Karena meminta maaf adalah sikap untuk memelihara perasaan orang lain agar tidak tersakiti, serta segera memperbaiki kesalahan. Itu juga tidak bisa dilakukan sembarang orang kecuali oleh orang-orang besar.

Saudaraku,

Orang-orang besar dalam sejarah kita, sangat mengerti apa artinya permintaan maaf. Mereka tidak merasa malu meminta maaf kepada istrinya, bila memang ada kesalahannya dalam menunaikan hak istrinya. Mereka tidak sungkan meminta maaf kepada seseorang saat ia merasa ada kewajiban yang kurang baik dilkukan untuk mereka. Ia takkan merasa berat, meski berada di tingkat pimpinan, untuk meminta maaf kepada anggota dan bawahannya.

Berbeda dengan orang-orang yang bermental kerdil. Orang-orang yang cenderung lari dari meminta maaf, dan lebih ingin lari dari kesalahan yang telah dilakukan. Orang seperti itu, bisa saja sikapnya berbalik justru menjadi bangga dengan kesalahannya karena cenderung mencari-cari alasan pembenaran atas kesalahan yang jelas sudah dilakukan. Orang yang tak mau meminta maaf dan tak mau mengakui kekurangannya  adalah orang yang jauh dari jiwa dan mental pahlawan. Suami yang tidak mau meminta maaf pada istrinya. Pemimpin yang tidak mau meminta maaf pada bawahannya. Karena takut wibawanya berkurang. Guru tidak mau meminta maaf pada muridnya, karena khawatir dianggap tidak mendalami ilmu yang diajarinya. Seorang saudara yang tak mau meminta maaf atas kesalahan menunaikan hak saudaranya, hanya karena takut bila kedudukannya menjadi lebih rendah dari saudara-saudara yang lain. Dan lain sebagainya.

Saudaraku,

Meminta maaf bukan hal tercela. Dan anjuran untuk meminta maaf bukan berarti toleransi untuk melakukan kesalahan. Sebuah perkataan yang sangat indah pernah diungkapkan Rasulullah saw menasehati Abu Ayyub Al Anshari ra, “Jangan mengatakan sesuatu yang keesokan harinya, engkau perlu meminta maaf karena salah mengucapkannya.” (HR. Imam Ahmad)

Saudaraku,

Orang-orang besar memang memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf. Ini jelas tertera dalam Al Qur’anul Karim yang menyebutkan akhlak meminta maaf itu sebagai bagian dari perilaku para Nabi. Nabiyullah Adam as, mengakui kesalahannya kepada Allah swt dengan mengatakan,”Ya Allah kami [Hal-78] berdua telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak menyayangi kami, maka kami pasti termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf:23)

Lihatlah juga bagaimana sikap Nabi Musa as yang terlanjur memukul seseorang dengan tongkatnya sampai meninggal. Nabiyullah itu mengatakan,”... Ini adalah termasuk pekerjaan Syaitan. Sungguh dia musuh yang menyesatkan dan nyata.” (QS. Al Qashash:10). Setelah itu Musa as pun berdoa dengan mengatakan,”Ya Allah, sungguh aku telah menzalimi diriku sendiri dan ampunilah aku. Lalu Allah mengampuninya. Sesungguhnya Dia Maha Pemaaf dan Maha Pengasih.” (QS. Al Qashash:16)

Rasulullah juga meminta maaf. Dari riwayat Thalhah bin Musa disebutkan bahwa ayahnya pernah mengatakan,”Aku pernah berjalan bersama Rasulullah dan melewati beberapa orang yang sedang berada diatas pohon kurma. Melihat hal itu, Rasulullah saw bertanya, “Apa yang sedang mereka lakukan itu?” Orang-0rang yang ada di tempat itu menjawab,”Sedang melakukan penyerbukan, meletakkan yang jantan di tempat yang betina dan terjadilah pembuahan.” Mendengar itu, Rasulullah saw bersabda,”Aku kira hal itu tidak ada gunanya.” Ayah Thalhah mengatakan bahwa perkataan Rasulullah itu disampaikan kepada orang-orang yang sedang berada diatas pohon kurma, dan mereka segera menghentikannya. Tapi ketika Rasulullah saw diberitahu tentang tindakan mereka, Rasulullah saw mengatakan,”Jika hal itu bermanfaat bagai mereka, biarkan saja mereka melakukannya. Aku hanya menyangka. Kalian tidak harus mengikutiku jika aku menyampaikan mengikuti sesuatu berdasarkan perkiraan. Lain halnya jika aku menyampaikan sesuatu dari Allah, hal itu harus kalian ambil karena aku tidak akan berdusta mengatasnamakan Allah swt.” (HR. Muslim)

Saudaraku,

Berbesar hatilah dengan meminta maaf atas kesalahan. Segera lakukan dan jangan ditunda-tunda. Orang-orang shalih yang juga para tokoh sejarah, tak menunda permintaan maaf bila merasakan ada kesalahan yang mereka lakukan. Mereka juga tidak khawatir dengan risiko apa saja yang mungkin muncul.

Sekelompok Asy’ariyun mendatangi Abu Musa Al Asy’ari ra. Mereka memintanya untuk ditemani menghadap Rasulullah saw. Tanpa merasa perlu untuk tahu apa tujuan mereka Abu Musa menemani mereka menemui Rasulullah saw. Ternyata mereka, kemudian meminta diangkat sebagai pemimpin di sejumlah daerah. Seolah-olah Abu Musa Al Asy’ari ra yang datang menemani mereka mendukung apa yang mereka lakukan. Rasulullah saw menolak dengan cara yang lembut. Tapi Abu Musa Al Asy’ari yang terkenal lembut hatinya sangat risau dengan suasana itu. Iapun lalu mendekati Rasulullah saw dan meminta maaf kepada Rasulullah saw. “Rasul saw menerimaku dan menerima maafku,” ujarnya.

Saudaraku,

Maafkan aku .................. ***



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 200 Th.10, Rabiul Akhir 1430 H, 02 April 2009 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar