Tampilkan postingan dengan label Dzikroyat (Kenangan). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dzikroyat (Kenangan). Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Oktober 2024

Sahabatku, Kemanakah Engkau?

 

Sahabatku, Kemanakah Engkau?

Oleh Muhammad lili Nur Aulia

Sahabatku, Kemanakah Engkau?
Sahabatku, Kemanakah Engkau?

 

(Hal-63) Saya punya sahabat. Sahabat yang sangat saya muliakan dan saya rindukan. Pertama kali saya bertemu dan mengenalnya, saat masih kanak-kanak, di Damaskus. Tapi setelah itu, saya tak menemuinya lagi. Sampai saya tumbuh dewasa dan menjelajah ke berbagai penjuru dunia, saya tak menemuinya lagi.

Dahulu, saya begitu bahagia bertemu dengannya. Saya mencintai sahabat saya itu. Saya sangat berduka karena kehilangan dirinya. Kerinduan ini semakin bertambah padanya.

Sahabatku Ramadhan ... dimanakah engkau?

Saya selalu menghitung hari demi hari untuk bisa bertemu kembali dengannya, seperti anak kecil yang baru belajar berhitung. Dan jika ia datang, saya pun gembira, jiwa saya tertawa. Karena saya lihat, dunia pun ikut tertawa dan gembira dengan kehadirannya.

Senin, 26 Agustus 2024

Saya Ingin Orang Berbondong-Bondong Melihat Film Dokumenter

 

Saya Ingin Orang Berbondong-Bondong Melihat Film Dokumenter 

Oleh  Purwanti  

Saya Ingin Orang Berbondong-Bondong Melihat Film Dokumenter
Saya Ingin Orang Berbondong-Bondong Melihat Film Dokumenter


(Hal-58) Ayah saya seorang pedagang barang-barang rumah tangga. Untuk memulai usaha, ayah meminjam uang dari sebuah Bank konvensional dengan jaminan sawah dan tanah. Uang pinjaman itu kemudian dibelikan beberapa barang. Ayah mendistribusikan barang-barang tersebut ke beberapa pelanggan. Namun, tidak berapa lama kemudian, krisis moneter menimpa Indonesia. 

Semua barang-barang kebutuhan naik, barang yang tadinya hanya Rp 10 ribu naik menjadi Rp 15 ribu. Ditambah lagi, banyak pelanggan yang tidak (Hal-59) mau bayar. Akhirnya hutang di bank tidak bisa bayar, sedangkan kami masih ingin mempertahankan sawah dan tanah.

Rabu, 14 Agustus 2024

“ ‘Makan’ Batu, Takdir Kami ....”

 

“ ‘Makan’ Batu, Takdir Kami ....”

Oleh Tarbawi

Makan’ Batu, Takdir Kami
Makan’ Batu, Takdir Kami


(Hal-46)  Kertamenawi dan Wiyatma kakek-kakek pengumpul dan pemecah batu di usianya yang lebih dari 80 tahun.

Entah sudah berapa lama saya menjalani hidup. Tapi pasti sudah 80 tahun lebih, karena saya menikah ketika Jepang masih menjajah negeri ini. Saya masih mengalami jaman Dung Tong. Itu istilah ketika negeri ini jauh dari rasa aman. Maksudnya, jika ada suara dung tung-tung, mlebu marang orong-orong (Jika ada bebunyian, tanda bahaya, segera masuk ke lubang persembunyian – Red).

Nama kecil saya sebetulnya Samingin. Tradisi di kampung kami, begitu seseorang menikah, dia harus berganti nama. Biasanya diambil dari dua keluarga besar, keluarga suami (Hal-48) dan keluarga istri. Setelah menikah nama saya menjadi Karta Menawi. Saya tidak tahu arti nama itu, karena keluarga yang memberikannya. Yang jelas, itu gabungan dua keluarga. Mungkin dari keluarga saya diambil ‘Karta’-nya, sedangkan ‘Menawi’ dari keluarga istri.

Sabtu, 04 Mei 2024

Betapa Sulitnya Orang Miskin Saat Butuh Pengobatan

 

Betapa Sulitnya Orang Miskin Saat Butuh Pengobatan

 

Betapa Sulitnya Orang Miskin Saat Butuh Pengobatan

(Hal-44) Ipa Yuliana, Ibu yang ditolak beberapa Rumah Sakit saat akan melahirkan.Seperti yang dituturkan Ipa Yuliana Bersama suaminya, Ulung Arif Giyanto, pada wasilah di rumah kontrakan mereka di Cawang Baru Tengah, Jakarta Timur. (Hal-45) Di masa awal pernikahan saya dengan Suami (Ulung Arif Giyanto), kami sempat merasakan hidup yang cukup baik. Memang sederhana, tetapi tidak begitu terjepit seperti sekarang. Suami saya mulanya bekerja sebagai sopir di perusahaan rental mobil. Malah sudah membawa mobil ke berbagai daerah, ke Semarang, Aceh, Bali dan lain-lainnya. Setelah tiga tahun di tempat itu, suami pindah kerja sebagai salah satu armada taksi di Jakarta.

Suami bekerja sebagai supir taksi dari tahun 1998 sampai 2003, Ketika kemudian diberhentikan. Sebabnya, karena sering tidak mencapai target. Mulanya dia sering dipanggil, ditanyakan kenapa tidak mencapai target. Suami bilang,”Maaf Pak, siapa yang tidak mau mencapai target, Cuma kalau rejekinya memang segini, lalu bagaimana.” Suami dikasihkan mobil yang odong-odong, yang jelek dan selama dua bulan ternyata tidak bisa memperbaiki, akhirnya dikatakan gugur kondite. Tapi di suratnya disebutkan mengundurkan diri, padahal diberhentikan.

Saya kasihan, karena kata suami, persaingan di jalan itu berat sekali. Suami sudah berusaha, tapi mungkin itulah salah satu ujian bagi kami. Sebelum diberhentikan, dia berdoa terus di rumah, mudah-mudahan bisa bertahan lama di tempat kerjanya itu. Mudah-mudahan tidak sampai di pecat. Karena dia kan harus menghidupi keluarga, harus menghidupi saya dan dua anak kami. Setelah setahun pernikahan, di tahun 1997, saya melahirkan anak  pertama, Andi Cahyadi. Tahun 2003, adiknya, Hesty Octaviani, lahir. Saat suami masih bekerja, biarpun pemasukan pas-pasan tapi masih bisa dicukup-cukupi.