Senin, 26 Agustus 2024

Saya Ingin Orang Berbondong-Bondong Melihat Film Dokumenter

 

Saya Ingin Orang Berbondong-Bondong Melihat Film Dokumenter 

Oleh  Purwanti  

Saya Ingin Orang Berbondong-Bondong Melihat Film Dokumenter
Saya Ingin Orang Berbondong-Bondong Melihat Film Dokumenter


(Hal-58) Ayah saya seorang pedagang barang-barang rumah tangga. Untuk memulai usaha, ayah meminjam uang dari sebuah Bank konvensional dengan jaminan sawah dan tanah. Uang pinjaman itu kemudian dibelikan beberapa barang. Ayah mendistribusikan barang-barang tersebut ke beberapa pelanggan. Namun, tidak berapa lama kemudian, krisis moneter menimpa Indonesia. 

Semua barang-barang kebutuhan naik, barang yang tadinya hanya Rp 10 ribu naik menjadi Rp 15 ribu. Ditambah lagi, banyak pelanggan yang tidak (Hal-59) mau bayar. Akhirnya hutang di bank tidak bisa bayar, sedangkan kami masih ingin mempertahankan sawah dan tanah.

Kami termasuk keluarga miskin. Bisa dibilang, untuk makan hari ini kami mencari hari ini. Untuk menutupi kebutuhan hidup dan menyicil hutang, orang tua saya sampai jadi buruh tani.

Lulus SMA, keinginan saya untuk melanjutkan kuliah masih sangat kuat. Saya masih ingat kata-kata kepala sekolah,”Hanya dengan pendidikan, roda yang tadinya di bawah bisa jadi di atas.” Tapi untuk meminta biaya kuliah kepada orang tua, rasanya sudah tidak mungkin, mengingat kondisi perekonomian keluarga yang serba dalam kekurangan. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari kuliah gratis.

 Pikiran saya waktu itu, setelah lulus kuliah, saya bisa bekerja dan membantu ayah membayar hutang. Waktu saya memilih salah satu Sekolah Tinggi di Jakarta. Ternyata saya tidak lolos seleksi. Saya juga pernah bekerja di salah satu perusahaan di Surabaya. Waktu itu saya jadi karyawan kontrak selama tiga bulan. Tapi baru satu minggu bekerja di situ, ada demo besar-besaran dan beberapa karyawan dirumahkan, termasuk saya. Dari hasil kerja sebentar itu saya hanya mendapat upah sebesar Rp 63 ribu.

Baca Juga: Hidup Mandiri dan Harmoni di Lubuk Beringin

Saya merasa putus harapan. Saya tidak bisa membantu keluarga lagi. Sedangkan keinginan kuliah masih sangat besat. Di daerah saya, Jombang, Jawa Timur, ada banyak teman-teman saya semasa SD dan SMP yang pergi ke luar negeri untuk menjadi TKW. Ada yang ke Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Hong Kong dan negara lain. Dari penghasilan  yang mereka dapatkan selama bekerja di luar negeri, dapat membantu keluarga yang ada di Indonesia. Terlintas dalam benak saya merasa tidak dapat terus bertahan di sini. Inilah salah satu jalan keluar yang dapat saya gunakan untuk memperbaiki perekonomian keluarga.

Saya mulai mendatangi salah satu keluarga teman saya yang pergi menjadi TKW di luar negeri. Saya tanya, mulai dari bagai- (Hal-60) mana cara keberangkatan hingga berapa gaji yang diterima selama bekerja di sana. Saya minta izin orang tua saya untuk bisa berangkat ke sana. Saya minta izin orang tua saya untuk bisa berangkat ke sana. Alhamdulillah, mereka mengizinkan saya untuk berangkat. Saat di rumah, saya dan ibu mulai hitung-hitungan.

 Dengan gaji sekian, saya bisa membantu bayar hutang, menabung untuk modal usaha ayah dan menabung untuk melanjutkan pendidikan saya. Saya tidak memikirkan bagaimana nanti di sana, bagaimana kehidupannya, majikan saya baik atau tidak. Pokoknya pergi saja. Saya berangkat tanpa sepengetahuan keluarga besar, karena pasti di larang.

Nenek saya harus menjual kambing-kambingnya agar saya bisa berangkat ke Bekasi untuk ditampung di tempat penampungan TKI di PJTKI. Karena orang tua saya sudah tidak bisa bantu lagi. Untuk makan sehari-hari saja susah.

Akhirnya saya berangkat juga menuju ke tempat penampungan sementara. Sebelum masuk ke sana, kesehatan saya diperiksa. Dokter yang memeriksa sempat mengatakan bahwa saya terkena gejala TBC. Waktu itu saya merasa kurang sehat, karena batuk. Ibu Asrama memberi saya obat batuk dan susu untuk memulihkan kondisi tubuh. Alhamdulillan, seminggu kemudian saya sudah sehat kembali.

Di tempat penampungan sementara ini, kami diajari banyak hal. Mulai dari bagaimana membereskan tempat tidur, mengelap kaca, dan diajari bahasa mereka. Tapi ada satu kendala yang saya hadapi, yakni masalah waktu. Di dalam asrama, semua kegiatan belajar seperti membereskan tempat tidur ada waktu penyelesaiannya. Maksimal 10 menit harus sudah selesai. Sedangkan saya bisa sampai 12 menit. 

Pada awal pengajaran, mereka mengatakan bahwa semua pekerjaan dilakukan dengan cepat. Bahkan ada buku rapor yang digunakan untuk menilai pekerjaan kami. Mungkin itu kelemahan saya. Sampai berbulan-bulan saya tinggal di situ, sementara sebagian besar teman saya sudah mendapatkan majikan dan berangkat ke luar negeri untuk bekerja.

Baca Juga: Mimpi Makan Enak Orang-Orang Miskin

Tidak pernah terlintas dalam benak saya untuk menjadi seorang TKW, terutama selepas SMA. Saya melihat teman-teman saya selepas sekolah melanjutkan kuliah. Meskipun ayah saya pernah memberitahukan  saya mereka hanya mampu membiayai sekolah hanya sampai SMA. Kadang kalau malam, saya membayangkan teman-teman saya yang sudah kuliah, santai-santai baca buku, dan tenang menuntut ilmu. Sedangkan saya, mau jadi TKW saja rasanya sudah berat sekali. Saya tulis semua yang saya rasakan ke dalam sebuah tulisan. Makanya kalau dibuka sekarang, isinya (Hal-61) kebanyakan isinya hujatan dan keluhan, (tertawa).

Tapi di sisi lain, saya sangat mensyukuri apa yang terjadi pada diri saya. Saya tahu, Allah tidak akan menguji di luar kemampuan hamba-Nya. Kalau saya dari teman-teman saya yang juga TKW, rasanya bisa dibilang, masalah saya tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Ada yang harus meninggalkan suami dan anak-anak mereka, bahkan ada juga yang baru melahirkan harus pergi ke luar negeri menjadi TKW. Mungkin saja, kalau saya menghadapi masalah seperti itu, saya tidak akan sanggup.

Satu per satu teman-teman saya di penampungan sudah mendapatkan majikan. Sedangkan saya masih berada di penampungan, menunggu majikan di luar negeri yang menampung saya. Padahal bisa dibilang, saya cukup cepat menangkap pelajaran, hanya saja memang kurang cekatan. Yang saya yakini, Allah itu beserta orang-orang yang sabar. Makanya kadang saya menahan diri untuk mengeluh, karena kalau kata-kata keluhan itu terucap, berarti saya bukan orang yang sabar.

Setelah enam bulan menunggu, akhirnya saya dapat kabar bahwa ada majikan yang ingin membawa saya ke Hong Kong. Sampai di sini, saya merasa Allah memudahkan jalan saya. Mulai dari pengurusan visa yang cukup cepat dan mudah sampai majikan saya yang Alhamdulillah orang baik. Ketika akan berangkat, saya diminta untuk meninggalkan semua peralatan shalat. Termasuk mukena dan Al Qur’an. Saya sempat khawatir akan sulut beribadah di sana.

Saya diterima baik oleh majikan saya di sana. Mereka kadang berbicara. Bahasa Inggris, karena anak-anak majikan saya banyak yang sekolah di Inggris. Lagi pula bahasa Kanton (bahasa Hong Kong) yang saya pelajari selama di penampungan, belum begitu saya kuasai. Ketika saya di sana, pembantu yang sudah delapan tahun bekerja kepada majikan saya masih ada. Dia di sana selama lima hari mengajari saya tentang bagaimana bekerja dengan baik. Mulai dari soal majikan yang tidak suka masakan dingin, tempat belanja langganan mereka, pasar yang sering dikunjungi, sampai hal-hal kecil dan mendetail lain.

Si sana sudah disediakan mukena, Al Qur’an hingga tasbih. Pembantu sebelumnya mengatakan sarana ibadah itu memang sengaja ditinggalkan untuk saya. Dan majikan saya memang tidak mempermasalahkan tentang ibadah saya, yang penting bagi mereka pekerjaan saya beres. Pembantu itu juga menunjukkan saya tempat para TKW biasa menghabiskan waktu di saat libur bekerja. Salah satunya adalah Victoria Park yang akan dipenuhi oleh para TKW yang kebanyakan dari Indonesia, ada juga Masjid yang digunakan untuk pengajian dan organisasi-organisasi yang bisa diikuti.

Waktu demi waktu berlalu begitu lambat, kadang saya merasa down, apalagi kalau sedang sendiri. Sebenarnya perkumpulan-perkumpulan yang ada di Hong Kong untuk para TKW itu cukup membantu, terutama dari sisi psikologis. Di sini saya  banyak mempelajari sgala sesuatu tentang manusia, karakter mereka, jadi kita bisa saling memberikan solusi. Saya mendengar mereka curhat, masalah yang mereka hadapi sebagian besar sangat berat. 

Ada yang terpaksa bekerja karena harus mengobati (Hal-62) anaknya yang sakit, setelah bertahun-tahun bekerja, anaknya tak kunjung sembuh. Bahkan suaminya yang senantiasa mengurus anaknya, meninggal karena kecelakaan. Ada juga suaminya yang berselingkuh dan menghabiskan uang kiriman istrinya. Kami saling menceritakan beban kami, karena ingin termotivasi di dalam himpitan hidup yang cukup berat.

Baca Juga: ParaPencipta Kemakmuran

Sebenarnya sejak masih sekolah, saya sudah hobi menulis. Khususnya menulis cerita-cerita seperti novel dan cerpen. Ketika berada di Hong Kong, saya menulis sebuah novel tentang diri saya, hanya saja namanya saya samarkan. Barangkali saja, ketika sampai di tanah air ada penerbit yang tertarik. Saya juga hobi membaca.

 Pasar-pasar di Hong Kong rapi dan teratur, juga bersih. Lantai satu berisi bahan-bahan yang basah seperti ikan, lantai dua menjual bahan-bahan kering, dan lantai tiga perpustakaan yang juga memiliki fasilitas internet. Setiap majikan saya menyuruh saya belanja, saya selalu menyempatkan diri pergi ke sana. Atau ada juga perpustkaan yang dibuat oleh TKW asal Indonesia. Alhamdulillah, keluarga majikan saya juga orang yang suka membaca. Kadang mereka memergoki saya membaca buku, tapi mereka tidak marah.

Akhirnya kontrak saya bekerja di Hong Kong berakhir. Saya bekerja selama dua tahun di sana. Uang gaji selama bekerja di Hong Kong saya kumpulkan untuk membayar hutang ayah, membantu memberikan modal dagang lagi, dan untuk biaya kuliah. Saya tanya ke teman saya, dengan uang yang saya kumpulkan, saya bisa kuliah sampai selesai di Surabaya. Tadinya saya ingin kuliah di Hong Kong, tapi biayanya mahal sekali. 

Biaya kuliah di Hong Kong bisa mencapai 13 ribu dolar, sedangkan gaji saya hanya 4 ribu dolar. Jadi, saya rasa tidak mungkin. Karena saya sudah merasa enak di Hong Kong, saya jadi ingin memperpanjang kontrak. Tapi saya mengingatkan tujuan awal saya datang ke Hong Kong. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke Jombang.

Sampai di Jombang, saya langsung melunasi hutang ayah dan memberikan modal untuknya berjualan lagi. Dan uang tabungan untuk kuliah, saya gunakan untuk mendaftar di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya. Waktu itu saya memutuskan untuk mengambil jurusan psikologi, karena selama berada di Hong Kong saya cukup belajar tentang karakter manusia. 

Tapi, ternyata uang saya hanya cukup membiayai kuliah saya sampai dua semester saja, karena ternyata kuliah di universitas swasta sangat mahal. Akhirnya saya buka jahitan, kadang disambi dengan mengajar les bahasa Inggris untuk anak kelas 1 SD dan TK. Lalu ada teman yang menawari menjaga galerinya dan pekerjaan lain yang bisa membiayai kuliah saya. Saya pun membawa novel yang pernah buat ke beberapa penerbit, tapi tidak ada yang menerima.

Suatu hari saya melihat di TV di rumah teman saya, ada Riri Riza yang sedang menerangkan tentang Eagle Award, suatu kompetisi pembuatan film untuk amatir dan pemula. Dia bilang, saiapa saja yang memilik pengalaman menarik, bisa ikut mendaftar. Akhirnya saya kirim proposal bersama teman saya, Alhamdulillah masuk nominasi. Padahal penutupan tinggal tiga hari lagi. Waktu itu saya (Hal-63) mengirimkan tema tentang “ Hitam Putih Indonesiaku”, yang berisi tentang orang-orang miskin yang memiliki misi mengentaskan kemiskinan dan bangkit dari keterpurukan. 

Baca Juga: Sapardi Djoko Damono dan Pencarian yang TidakPernah Selesai

Saya bersyukur bisa masuk lima besar dan memiliki kesempatan untuk belajar bagaimana proses pembuatan film, membuat skenario, mengambil gambar, dan sebagainya. Kelima nominasi termasuk saya, diberikan kesempatan untuk membuat film sesuai dengan tema yang kami ajukan. Saya bersyukur mendapat kesempatan ini meskipun hanya sampai tahap lima besar.

Dari pengalaman ini, saya merasa sudah menemukan duni yang ingin saya geluti meskipun kuliah saya di jurusan psikologi. Setelah lulus tahun 2008, saya diminta untuk mengisi sesi psikologi di PJTKI, khususnya di tempat penampungan. Karena saya tahu bagaimana rasanya di situ, sehingga saya ingin memberikan mereka motivasi untuk terus mau berubah.

Salah satu keinginan saya adalah membuat film bertema anak-anak. Saya ingi total berada di dunia ini, tidak mungkin Allah memberikan kesempatan pada saya, kalau hanya kecipratan saja. Kalau yakin, ya sudah, basah sekalian. Meskipun di dunia film ini persaingannya sangat cepat dan seringkali juga saya merasa diremehkan. Tapi itu tidak memuat putus asa. Mungkin saya harus banyak belajar. Saya berpegang teguh pada prinsip barangsiapa hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia adalah orang yang beruntung. Setiap saya lelah atau tidak menghasilkan apa-apa, saya ingat prinsip itu.

Saya ingin juga membuat film dokumenter yang bisa masuk ke dalam bioskop, sama halnya dengan film-film fiksi. Saya ingin lihat orang berbondong-bondong datang ke bioskop untuk melihat film dokumenter sama seperti orang rela mengantri tiket melihat film fiksi. Tapi saya tak se-talented itu, saya masih perlu belajar bagaimana proses membuat film layar lebar. Saat ini saya baru saja turut menyelesaikan sebuah film di Mizan Production, meskipun saya tidak terlibat di lapangan langsung. Tapi saya berharap suatu saat saya akan bisa berkontribusi langsung membuat film-film berkualitas. ***


Majalah Tarbawi, Edisi 233 Th 12, Sya’ban 1431 H, 29 Juli 2010 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar