Kamis, 22 Agustus 2024

Hidup Mandiri dan Harmoni di Lubuk Beringin

 

Hidup Mandiri dan Harmoni di Lubuk Beringin

Oleh Widowati Wahono

Hidup Mandiri dan Harmoni di Lubuk Beringin
Hidup Mandiri dan Harmoni di Lubuk Beringin

 

[Hal-40] Seolah terasing, hidup di Desa Lubuk Beringin. Namun, bermodal kearifan lokal, kemelimpahan alam telah menjawab segalanya. Hari menjelang senja ketika Tarbawi tiba di Lubuk Beringin. Rasa lelah setelah berjam-jam melintasi beberapa kota sejak dari Jambi hingga Kabupaten Bungo terbayar tuntas saat memasuki dusun yang dipenuhi rumah panggung itu. Rumah kayu yang terkesan kuno menjadi hiburan tersendiri, mengingat biasanya tempat tinggal antik seperti itu hanya bisa dilihat di museum atau brosur wisata.

Berjarak 50 kilometer dari ibukota kabupaten, dusun yang menempel pada hutan lindung Rantau Bayur Bukit Panjang ini relatif terpencil. Satu-satunya akses menuju wilayah yang dihuni 331 jiwa ini, hanyalah jembatan gantung selebar satu meter yang membentang (Hal-41) di atas sungai Batang Buat. Selain sempit, jembatan ini juga terus bergoyang saat pengendara motor melaju diatasnya. Bisa dipastikan, perlu keahlian khusus dan nyali bagi siapa pun yang hendak bertandang di dusun yang dihuni suku Melayu Jambi ini.

Soal terputus dengan “dunia luar” makin lengkap dengan ketidakmampuan sinyal telpon selular menjangkau dusun yang dihuni 89 kepala keluarga itu. Begitu menyeberangi jembatan gantung, semua panggilan telpon atau pesan singkat akan tertunda kedatangannya hingga telepon genggam dibawa lagi keluar dusun.

meski terisolasi, bukan berarti warga Lubuk Beringin hidup dalam kesulitan. Dengan caranya sendiri, penduduk mampu memenuhi kebutuhannya, mulai dari penerangan, bahan bakar, hingga pupuk untuk pertanian tanpa menunggu sarana yang disediakan dan dikendalikan pihak luar.

Untuk penerangan dan dan elektronik, penduduk memanfaatkan kekuatan arus Sungai Batang sebagai sumber energi alternatif. Sejak tahun 2005, mereka telah membangun PLTKA yang mampu menerangi 76 unit rumah yang ada. Dengan iuran 20 ribu rupiah per bulan, warga bisa menikmati listrik di dalam rumah.

Soal harga gas dan minyak tanah yang cenderung naik bahkan kadang langka tidak pernah memusingkan warga, untuk keperluan memasak, warga hanya perlu mengumpulkan ranting kering, yang tersedia melimpah di kebun, dan menyulutnya dengan segumpal karet, yang juga melimpah di hutan.

Baca Juga: Allah,Mudahkan Aku Mendapatkan Teman yang Shalih

Soal pupuk, warga pun tak pernah kesulitan. Selepas panen, mereka menghela kerbaunya ke lahan bekas panen agar memakan jerami, dan memenuhi sawah dengan pupuk kandang. “Pertanian di sini bebas pupuk kimia. Kami menyebutnya pertanian organik,” tutur Balqian salah satu sesepuh dan tokoh masyarakat Lubuk Beringin.

Menjaga Hulu Sungai

Sungai Batang Buat secara turun temurun telah menjadi pusat warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan penyadap karet. Sejak dulu kala, penduduk bergantung pada sungai itu untuk keperluan MCK, pengairan sawah, transportasi karet, sumber air minum, serta (Hal-42) tempat pembiakan ikan.  

Kesadaran betapa eratnya kaitan antara sungai dan kehidupan mendorong warga untuk menjaga sungai. Memang, kesadaran itu sempat goyah. Kehidupan modern, dan bujukannya untuk meraup kenikmatan dengan menguras alam sempat membuat warga lengah menjaga alam. Salah satunya dengan melakukan penebangan liar. “Sebenarnya, waktu menebang pohon di hutan lindung, ada juga rasa bersalah. Kok, saya menebang pohon. Tapi melihat jumlah uangnya yang besar, tergoda juga,” ujar Mukhlisin pada Tarbawi.

Saat itu, satu pohon yang ditebang bisa menghasilkan uang sekitar tujuh juta rupiah. Jumlah yang lumayan mengingat modal yang dikeluarkan hanyalah membayar penebang serta ongkos angkut dari hutan menuju lokasi pembeli. Meski memakai sistem tebang pilih, namun tak urung itu mempengaruhi kondisi hutan tempat hulu sungai Batang Buat. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya tebang bakar untuk ladang yang dilakukan penduduk dari wilayah lain.

Akibatnya sekitar tahun 1989, Lubuk Beringin dilanda banjir bandang. Bencana banjir lalu disusul kekeringan di musim kemarau. Sungai nyaris kering dan airnya hitam pekat seperti arang sehingga penduduk terpaksa menggali pinggiran sungai untuk mendapatkan air minum.

Namun kerusakan sungai bukan hanya soal memburuknya kualitas air. Menurut Balqian, saat itu, warga sering mencari ikan dengan racun yang berakibat membunuh ikan besar maupun kecil serta tidak memberi kesempatan berkembang biak. Saking prihatinnya dengan kebiasaan meracun ikan itu, Balqian mencari akal untuk menyadarkan penduduk. Ia membeli racun ikan seberat lima kilogram dan dibawanya ke Masjid.

Di depan jamaah, ia mengumumkan akan menggunakan potas itu untuk meracun ikan. Kontan seluruh jamaah tidak setuju. Racun bukan hanya akan membunuh ikan juga berbahaya bagi manusia. “Akhirnya saya berkata, kalau begitu kita bikin kesepakatan desa. Selama ini banyak orang mencari ikan dengan menggunakan racun tapi tidak ada pengawasan,” tegas Balqian.

Baca Juga: Maafkan Aku...

Kejadian di Masjid itu menjadi awal disusunnya kesepakatan konservasi desa. Selain racun, mencari ikan dengan lampu petromak di malam hari juga dilarang. Sebelumnya, lampu petromak menjadi sarana mencari ikan yang ketika malam hari menjadi lebih jinak serta tertarik dengan cahaya lampu. Perkembangan selanjutnya, warga menyepakati penetapan lubuk larangan. Artinya secara total warga tidak boleh (Hal-43) mengambil ikan di lubuk larangan dengan cara apa pun. “Siapa pun yang melanggar akan di denda seekor kambing,” tambah Balqian.

Kesepatakan konservasi desa berkembang ke berbagai hal, antara lain kesepakatan warga untuk tidak mengolah lahan-lahan miring atau curam, pinggir sungai, dan hulu-hulu sungai, agar tidak terjadi longsor dan erosi. Juga keharusan menanam bambu di pinggir sungai. Menurut Balqian, sejatinya kesepakatan itu warisan kearifan leluhur yang telah banyak dilupakan dan kini sedang diusahakan untuk dihidupkan kembali. “Sejak dulu leluhur kita mengatakan, jagalah sungai dengan menanam bambu, tanaman bambu akan mengikat tanah di pinggir sungai dan mencegah abrasi. Tapi generasi baru kadang melupakan warisan kearifan ini,” terang Balqian.

Penetapan lubuk larangan bukan berarti warga Lubuk Beringin seumur hidup tidak diijinkan mengambil ikan. Secara berkala, penduduk akan mengambil ikan bersama-sama yang dilakukan saat memperingati Isra’ dan Mi’raj atau Maulid Nabi. Ikan-ikan itu akan dimasak untuk hidangan bersama, sisanya dibagikan kepada warga, dan juga dijual.” Hasil penjualan bisa mencapai3-4 kwintal. Hasil penjualan akan dimasukkan ke kas Masjid,” terang Balqian.

Pelan-pelan kesadaran untuk melestarikan hutan lindung sebagai daerah tangkapan air yang menjamin pasokan air Sungai Batang Buat makin berkobar. Mereka sepakat melarang secara total penebangan kayu dan juga masuknya perusahaan perkebunan di wilayah mereka. Perkebunan menganut sistem penanaman monokultur alias hanya menanami hutan dengan satu jenis tanaman diyakini warga bisa mengurangi resapan air. Selain itu, warga khawatir, bila perbukitan diubah menjadi perkebunan, sewaktu-waktu bisa terjadi longsor dan desa mereka berpotensi menjadi korban.

Kebun Karet Campur

Masih soal meningkatkan resapan air hujan, sejak dulu warga menerapkan sistem kebun karet campur. Di sela-sela pohon karet mereka  mmenyisipkan tanaman lain seperti durian, jengkol, petai, duku, rotan, dan aneka tumbuhan perdu lainnya. Selain membuat kebun makin hijau, sistem tanaman campur terbukti menambah penghasilan.

Ketika musim hujan warga berhenti menyadap karet sebab getah yang ditampung di batok kelapa yang menempel pada tiap-tiap pohon biasanya tumpah terkena air hujan. Akibatnya hasil penyadapan tidak maksimal dan pendapatan menurun. “Saat hasil karet menurun, kami beralih pada buah-buahan. Pada musim durian, tiap malam ada sekitar dua ribu buah yang jatuh,” tutur Balqian.

Bagi penduduk Lubuk Beringin, hutan Lindung Bayur Bukit Panjang, bagaikan rumah yang harus dijaga dengan baik. Sekitar 971 spesies pohon yang menghuni hutan lindung dijaga kelestariannya. Hewan yang berjumlah sekitar 37 jenis juga berhak hidup nyaman sehingga soal perlakuan pada fauna ini pun masuk dalam kesepakatan desa. Menurut Balqian, para tetua secara turun temurun sepakat agar binatang diperlakukan sama dengan manusia. “Ketika ada bencana alam, hewan lebih (Hal-44) tahu duluan ketimbang manusia. Bahkan tiba-tiba harimau menampakkan dirinya di hutan kepada manusia, dipercaya bahwa di desa mereka akan terjadi sesuatu yanng tidak biasanya beraroma kesedihan atau musibah,” tambahnya.

Baca Juga: Sudah Membuka Lembar Keberapa?

Nampaknya, binatang pun seolah paham dengan tekad warga untuk memasukkan kelompok satwa sebagai salah satu penghuni hutan yang harus dihormati. Di Lubuk Beringin, warga yang biasa mandi di sungai sudah tak heran dan juga tidak ketakutan melihat ular melintas di air. Saat mencari buah durian di kegelapan hutan pun, mereka kerap tanpa sengaja menginjak ular tanpa tergigit. Bahkan harimau yang sesekali menampakkan wajah pun tak pernah mengusik warga. “Harimau biasanya menyerang penebang liar,” ujar Balqian.

Pilot Project Hutan Desa

Kesepakatan konversi desa untuk menjaga hulu sungai dan alam sekitarnya makin kuat dasar hukumnya ketika keluar peraturan Menteri Kehutanan No. 49 tahun 2008 tentang hutan desa yang memberi peluang  pelibatan masyarakat untuk mengelola hutan negara.

Peluang itu di sambut warga Lubuk Beringin yang segera mengajukan diri sebagai pengelola hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur dengan skema hutan desa. Melalui perjuangan panjang, akhirnya Menteri Kehutanan menetapkan areal kerja hutan desa seluas 2.356 hektar yang hak pengelolaannya diserahkan pada warga Lubuk Beringin selama 35 tahun dan bisa diperpanjang lagi. Penetapan hutan desa memberi kelegaan karena hutan lindung yang selama ini terlarang untuk dimasuki, sekarang secara legal dikelola warga yang diwakili kelompok Ndendang Hulu Sako Batang Buat yang beranggotakan 12 orang.

Di tangan dua belas orang inilah, tugas mengawasi siapa yang keluar masuk hutan lindung, penggalian potensi pemanfaatan hasil hutan non kayu, hingga mengembangkan eko wisata, dipercayakan. Mukhlisin yang dulu kala sempat ikut menebang kayu kini didaulat menjadi ketua. “Tugas dan jabatan ini tidak dibayar, jadi tidak ada yang mau. Akhirnya saya yang terpilih,” ujar Mukhlisin yang saat menjadi kepala dusun mengantarkan Lubuk Beringin menjadi penerima Kalpataru kategori perintis lingkungan itu.

Sejak ditetapkannya Lubuk Beringin sebagai hutan desa, nama dusun yang secara geografis itu terpencil itu, kini terkenal hingga ke berbagai penjuru dunia. Dusun yang penuh suasana kekeluargaan, yang penduduknya sering saling berbagi makanan, dan yang terbiasa membiarkan pintu rumah tak terkunci meski di malam hari itu, saat ini sering menerima pengunjung dari dalam dan luar negeri.

Warga Lubuk Beringin telah mengajarkan bagaimana berinteraksi dengan alam. Dalam harmoni, semua diuntungkan. Tak saja alam dan masyarakat setempat, tetapi juga warga dunia. Karena, di sana, sebagian paru-paru dunia dijaga.***


Majalah Tarbawi Edisi 233 Th.12, Sya’ban 1431 H, 12 Juli 2010 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar