Hidup Mandiri dan Harmoni di Lubuk Beringin
Oleh Widowati Wahono
Hidup
Mandiri dan Harmoni di Lubuk Beringin
[Hal-40] Seolah terasing, hidup di Desa
Lubuk Beringin. Namun, bermodal kearifan lokal, kemelimpahan alam telah
menjawab segalanya. Hari menjelang senja ketika Tarbawi tiba di Lubuk
Beringin. Rasa lelah setelah berjam-jam melintasi beberapa kota sejak dari
Jambi hingga Kabupaten Bungo terbayar tuntas saat memasuki dusun yang dipenuhi
rumah panggung itu. Rumah kayu yang terkesan kuno menjadi hiburan tersendiri,
mengingat biasanya tempat tinggal antik seperti itu hanya bisa dilihat di
museum atau brosur wisata.
Berjarak 50 kilometer dari ibukota kabupaten, dusun yang menempel pada hutan lindung Rantau Bayur Bukit Panjang ini relatif terpencil. Satu-satunya akses menuju wilayah yang dihuni 331 jiwa ini, hanyalah jembatan gantung selebar satu meter yang membentang (Hal-41) di atas sungai Batang Buat. Selain sempit, jembatan ini juga terus bergoyang saat pengendara motor melaju diatasnya. Bisa dipastikan, perlu keahlian khusus dan nyali bagi siapa pun yang hendak bertandang di dusun yang dihuni suku Melayu Jambi ini.
Soal terputus dengan “dunia luar” makin lengkap
dengan ketidakmampuan sinyal telpon selular menjangkau dusun yang dihuni 89
kepala keluarga itu. Begitu menyeberangi jembatan gantung, semua panggilan
telpon atau pesan singkat akan tertunda kedatangannya hingga telepon genggam
dibawa lagi keluar dusun.
meski terisolasi, bukan
berarti warga Lubuk Beringin hidup dalam kesulitan. Dengan caranya sendiri,
penduduk mampu memenuhi kebutuhannya, mulai dari penerangan, bahan bakar,
hingga pupuk untuk pertanian tanpa menunggu sarana yang disediakan dan
dikendalikan pihak luar.
Untuk penerangan dan
dan elektronik, penduduk memanfaatkan kekuatan arus Sungai Batang sebagai
sumber energi alternatif. Sejak tahun 2005, mereka telah membangun PLTKA yang
mampu menerangi 76 unit rumah yang ada. Dengan iuran 20 ribu rupiah per bulan,
warga bisa menikmati listrik di dalam rumah.
Soal harga gas dan
minyak tanah yang cenderung naik bahkan kadang langka tidak pernah memusingkan
warga, untuk keperluan memasak, warga hanya perlu mengumpulkan ranting kering,
yang tersedia melimpah di kebun, dan menyulutnya dengan segumpal karet, yang juga
melimpah di hutan.
Baca Juga: Allah,Mudahkan Aku Mendapatkan Teman yang Shalih
Soal pupuk, warga pun
tak pernah kesulitan. Selepas panen, mereka menghela kerbaunya ke lahan bekas
panen agar memakan jerami, dan memenuhi sawah dengan pupuk kandang. “Pertanian
di sini bebas pupuk kimia. Kami menyebutnya pertanian organik,” tutur Balqian
salah satu sesepuh dan tokoh masyarakat Lubuk Beringin.
Menjaga Hulu Sungai
Sungai Batang Buat
secara turun temurun telah menjadi pusat warga yang mayoritas berprofesi
sebagai petani dan penyadap karet. Sejak dulu kala, penduduk bergantung pada
sungai itu untuk keperluan MCK, pengairan sawah, transportasi karet, sumber air
minum, serta (Hal-42) tempat
pembiakan ikan.
Kesadaran betapa
eratnya kaitan antara sungai dan kehidupan mendorong warga untuk menjaga
sungai. Memang, kesadaran itu sempat goyah. Kehidupan modern, dan bujukannya
untuk meraup kenikmatan dengan menguras alam sempat membuat warga lengah
menjaga alam. Salah satunya dengan melakukan penebangan liar. “Sebenarnya, waktu
menebang pohon di hutan lindung, ada juga rasa bersalah. Kok, saya menebang pohon. Tapi melihat jumlah uangnya
yang besar, tergoda juga,” ujar Mukhlisin pada Tarbawi.
Saat itu, satu pohon
yang ditebang bisa menghasilkan uang sekitar tujuh juta rupiah. Jumlah yang
lumayan mengingat modal yang dikeluarkan hanyalah membayar penebang serta ongkos
angkut dari hutan menuju lokasi pembeli. Meski memakai sistem tebang pilih,
namun tak urung itu mempengaruhi kondisi hutan tempat hulu sungai Batang Buat. Kondisi
ini diperparah dengan banyaknya tebang bakar untuk ladang yang dilakukan
penduduk dari wilayah lain.
Akibatnya sekitar tahun
1989, Lubuk Beringin dilanda banjir bandang. Bencana banjir lalu disusul
kekeringan di musim kemarau. Sungai nyaris kering dan airnya hitam pekat
seperti arang sehingga penduduk terpaksa menggali pinggiran sungai untuk
mendapatkan air minum.
Namun kerusakan sungai
bukan hanya soal memburuknya kualitas air. Menurut Balqian, saat itu, warga
sering mencari ikan dengan racun yang berakibat membunuh ikan besar maupun
kecil serta tidak memberi kesempatan berkembang biak. Saking prihatinnya dengan
kebiasaan meracun ikan itu, Balqian mencari akal untuk menyadarkan penduduk. Ia
membeli racun ikan seberat lima kilogram dan dibawanya ke Masjid.
Di depan jamaah, ia
mengumumkan akan menggunakan potas itu untuk meracun ikan. Kontan seluruh
jamaah tidak setuju. Racun bukan hanya akan membunuh ikan juga berbahaya bagi
manusia. “Akhirnya saya berkata, kalau begitu kita bikin kesepakatan desa. Selama
ini banyak orang mencari ikan dengan menggunakan racun tapi tidak ada
pengawasan,” tegas Balqian.
Baca Juga: Maafkan Aku...
Kejadian di Masjid itu
menjadi awal disusunnya kesepakatan konservasi desa. Selain racun, mencari ikan
dengan lampu petromak di malam hari juga dilarang. Sebelumnya, lampu petromak
menjadi sarana mencari ikan yang ketika malam hari menjadi lebih jinak serta
tertarik dengan cahaya lampu. Perkembangan selanjutnya, warga menyepakati
penetapan lubuk larangan. Artinya secara total warga tidak boleh (Hal-43) mengambil ikan di lubuk larangan dengan
cara apa pun. “Siapa pun yang melanggar akan di denda seekor kambing,” tambah
Balqian.
Kesepatakan konservasi
desa berkembang ke berbagai hal, antara lain kesepakatan warga untuk tidak
mengolah lahan-lahan miring atau curam, pinggir sungai, dan hulu-hulu sungai,
agar tidak terjadi longsor dan erosi. Juga keharusan menanam bambu di pinggir
sungai. Menurut Balqian, sejatinya kesepakatan itu warisan kearifan leluhur
yang telah banyak dilupakan dan kini sedang diusahakan untuk dihidupkan
kembali. “Sejak dulu leluhur kita mengatakan, jagalah sungai dengan menanam bambu,
tanaman bambu akan mengikat tanah di pinggir sungai dan mencegah abrasi. Tapi generasi
baru kadang melupakan warisan kearifan ini,” terang Balqian.
Penetapan lubuk
larangan bukan berarti warga Lubuk Beringin seumur hidup tidak diijinkan
mengambil ikan. Secara berkala, penduduk akan mengambil ikan bersama-sama yang
dilakukan saat memperingati Isra’ dan Mi’raj atau Maulid Nabi. Ikan-ikan itu
akan dimasak untuk hidangan bersama, sisanya dibagikan kepada warga, dan juga
dijual.” Hasil penjualan bisa mencapai3-4 kwintal. Hasil penjualan akan
dimasukkan ke kas Masjid,” terang Balqian.
Pelan-pelan kesadaran
untuk melestarikan hutan lindung sebagai daerah tangkapan air yang menjamin
pasokan air Sungai Batang Buat makin berkobar. Mereka sepakat melarang secara
total penebangan kayu dan juga masuknya perusahaan perkebunan di wilayah
mereka. Perkebunan menganut sistem penanaman monokultur alias hanya menanami
hutan dengan satu jenis tanaman diyakini warga bisa mengurangi resapan air. Selain
itu, warga khawatir, bila perbukitan diubah menjadi perkebunan, sewaktu-waktu
bisa terjadi longsor dan desa mereka berpotensi menjadi korban.
Kebun Karet Campur
Masih soal meningkatkan
resapan air hujan, sejak dulu warga menerapkan sistem kebun karet campur. Di sela-sela
pohon karet mereka mmenyisipkan tanaman
lain seperti durian, jengkol, petai, duku, rotan, dan aneka tumbuhan perdu
lainnya. Selain membuat kebun makin hijau, sistem tanaman campur terbukti
menambah penghasilan.
Ketika musim hujan
warga berhenti menyadap karet sebab getah yang ditampung di batok kelapa yang
menempel pada tiap-tiap pohon biasanya tumpah terkena air hujan. Akibatnya hasil
penyadapan tidak maksimal dan pendapatan menurun. “Saat hasil karet menurun,
kami beralih pada buah-buahan. Pada musim durian, tiap malam ada sekitar dua
ribu buah yang jatuh,” tutur Balqian.
Bagi penduduk Lubuk
Beringin, hutan Lindung Bayur Bukit Panjang, bagaikan rumah yang harus dijaga
dengan baik. Sekitar 971 spesies pohon yang menghuni hutan lindung dijaga
kelestariannya. Hewan yang berjumlah sekitar 37 jenis juga berhak hidup nyaman
sehingga soal perlakuan pada fauna ini pun masuk dalam kesepakatan desa. Menurut
Balqian, para tetua secara turun temurun sepakat agar binatang diperlakukan
sama dengan manusia. “Ketika ada bencana alam, hewan lebih (Hal-44) tahu duluan ketimbang manusia. Bahkan
tiba-tiba harimau menampakkan dirinya di hutan kepada manusia, dipercaya bahwa
di desa mereka akan terjadi sesuatu yanng tidak biasanya beraroma kesedihan
atau musibah,” tambahnya.
Baca Juga: Sudah Membuka Lembar Keberapa?
Nampaknya, binatang pun
seolah paham dengan tekad warga untuk memasukkan kelompok satwa sebagai salah
satu penghuni hutan yang harus dihormati. Di Lubuk Beringin, warga yang biasa
mandi di sungai sudah tak heran dan juga tidak ketakutan melihat ular melintas
di air. Saat mencari buah durian di kegelapan hutan pun, mereka kerap tanpa
sengaja menginjak ular tanpa tergigit. Bahkan harimau yang sesekali menampakkan
wajah pun tak pernah mengusik warga. “Harimau biasanya menyerang penebang liar,”
ujar Balqian.
Pilot Project Hutan
Desa
Kesepakatan konversi
desa untuk menjaga hulu sungai dan alam sekitarnya makin kuat dasar hukumnya
ketika keluar peraturan Menteri Kehutanan No. 49 tahun 2008 tentang hutan desa
yang memberi peluang pelibatan masyarakat
untuk mengelola hutan negara.
Peluang itu di sambut
warga Lubuk Beringin yang segera mengajukan diri sebagai pengelola hutan
lindung Bukit Panjang Rantau Bayur dengan skema hutan desa. Melalui perjuangan
panjang, akhirnya Menteri Kehutanan menetapkan areal kerja hutan desa seluas
2.356 hektar yang hak pengelolaannya diserahkan pada warga Lubuk Beringin
selama 35 tahun dan bisa diperpanjang lagi. Penetapan hutan desa memberi
kelegaan karena hutan lindung yang selama ini terlarang untuk dimasuki,
sekarang secara legal dikelola warga yang diwakili kelompok Ndendang Hulu Sako
Batang Buat yang beranggotakan 12 orang.
Di tangan dua belas
orang inilah, tugas mengawasi siapa yang keluar masuk hutan lindung, penggalian
potensi pemanfaatan hasil hutan non kayu, hingga mengembangkan eko wisata,
dipercayakan. Mukhlisin yang dulu kala sempat ikut menebang kayu kini didaulat
menjadi ketua. “Tugas dan jabatan ini tidak dibayar, jadi tidak ada yang mau. Akhirnya
saya yang terpilih,” ujar Mukhlisin yang saat menjadi kepala dusun mengantarkan
Lubuk Beringin menjadi penerima Kalpataru kategori perintis lingkungan itu.
Sejak ditetapkannya
Lubuk Beringin sebagai hutan desa, nama dusun yang secara geografis itu
terpencil itu, kini terkenal hingga ke berbagai penjuru dunia. Dusun yang penuh
suasana kekeluargaan, yang penduduknya sering saling berbagi makanan, dan yang
terbiasa membiarkan pintu rumah tak terkunci meski di malam hari itu, saat ini
sering menerima pengunjung dari dalam dan luar negeri.
Warga Lubuk Beringin telah mengajarkan bagaimana berinteraksi dengan alam. Dalam harmoni, semua diuntungkan. Tak saja alam dan masyarakat setempat, tetapi juga warga dunia. Karena, di sana, sebagian paru-paru dunia dijaga.***
Majalah Tarbawi Edisi 233 Th.12, Sya’ban 1431 H, 12 Juli 2010 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar