Jumat, 04 September 2020

16 TERUS TERANG TAK SELALU TERANG TERUS

 

16 TERUS TERANG TAK SELALU TERANG TERUS[1][2][3]

 

(Hal-46) Benar keterusterangan atau keterbukaan (self disclosure) adalah modal penting dalam membangun hubungan antarpersona. Setidaknya itulah kesimpulan para teorisi psikologi maupun komunikasi. Jika seseorang membuka diri, teman komunikasinya akan melakukan yang sama. Semakin terbuka, makin hangat dan akrab. Tapi ceritanya menjadi lain jika keterbukaan ini kebablasan. Jika keterusterangan berarti membuka segalanya, bahkan termasuk aib sekalipun.



Ada gejala salah kaprah dalam memaknai keterusterangan, setidaknya bagi sebagian orang. ‘Terusterang’ dimaknai menceritakan apa saja yang dilakukan atau dirasakannya pada orang-orang tertentu. Bahkan ada perasaan mulia untuk melakukannya, terutama pada pasangannya. Alkisah, sepasang suami istri membuat komitmen bersama untuk jujur, menceritakan segala tindakan yang pernah dilakukan meski itu sebuah keburukan, termasuk masa lalu sebelum mereka menikah. Awalnya mereka membanggakan tradisi itu:”Kami adalah pasangan yang paling fair di dunia ini.” Anehnya seiring dengan perjalanan waktu, hubungan mereka bukan tambah hangat, tetapi sebaliknya. Deretan aib yang mereka beberkan satu sama lain pada akhirnya menjadi ganjalan hubungan itu.

Ini bukan ajaran untuk berbohong, tetapi seni mengendalikan omongan. Ada bagian yang harus disampaikan, tetapi ada juga bagian yang lebih baik untuk ditahan. Ekspresif  tidak harus eksesif. Terbuka bukan berarti bicara apa saja. Komunikasi pada akhirnya merupakan upaya mempertimbangkan dampak perbincangan: apa konstruktif atau sebaliknya?

Itu pulalah yang ditekankan agama. Keselamatan jiwa, perdamaian dan keutuhan keluarga adalah segalanya. Komunikasi tak boleh merusaknya, tapi justru harus membangunnya. Karena itulah, dalam kondisi tertentu, bahkan berbohong pun diperbolehkan, demi nyawa dan keluarga, sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadist:”Dan aku (Ummu Kultsum) tidak mendengar bahwa beliau memberikan rukhsoh (Keringanan) dari dusta yang dikatakan oleh manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang suami kepada istrinya, dan pembicaraan istri kepada suaminya.”

Ini bukan ajakan untuk menutup diri, tetapi seni untuk memahami orang. Bahwa ada perasaan orang rentan. Bahwa ada tata nilai yang akan menseleksi informasi: mana yang bisa diterima, mana yang tidak. Perbincangan meski atas nama keterusterangan, jika tak tepat suasana dan konteksnya, hanya akan menimbulkan luka. Bahkan untuk masalah yang (Hal-47) nampak sepele.

Tersebutlah seorang pemuda yang akan melangsungkan pernikahan, mengirimkan sebuah pesan singkat (sms) pada calon istrinya,”Semangat saya untuk menikah tak sebesar saat masih mahasiswa dulu.” Pesan ini mungkin menggambarkan kejujuran perasaan, tetapi cukuplah membuat si penerima gundah gulana. Bagaimana tidak, setelah semua proses perkenalan dan lamaran, bahkan setelah perempuan itu menolak pinangan laki-laki lain, sang terpilih justru melemahkan semangatnya. Terlepas dari  maksud sesungguhnya dari pesan itu, kasus ini menandaskan sebuah pelajaran: bahwa banyak hal yang tak perlu diucapkan secara verbal.

Tata nilai menentukan penerimaan kita pada sebuah informasi. Apresiasi kita pada sebuah kejujuran seringkali tidak sepadan dengan penerimaan kita pada realitas kesalahan orang. Kita tentu senang pasangan kita jujur, tetapi apakah kita bisa menerima sewajarnya setelah yang bersangkutan membeberkan segala aibnya? Siap jugakah memahami isi hati dia yang sesungguhnya? Tidak mudah mengabaikan aib, apalagi bagi kita yang sering menilai orang dengan kacamata ‘kesempurnaan’

Sesungguhnya absurd ide sebuah reality show yang menawarkan solusi bagi pasangan bermasalah. Setelah semua pihak membeberkan aib masing-masing, setelah semua mengeluarkan isi hati yang sesungguhnya, sehingga yang muncul caci maki dan saling menjelekkan, masihkah mereka berharap solusi? Bukannya memadamkan api, tetapi justru menambahkan minyak pada api.

Berterus-terang tak berarti memamerkan aib kita. Cukuplah hadist riwayat Abu Hurairah berikut menjadi renungan:

“Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:’Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seseorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu ia berkata (pada temannya): ‘Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu.” Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia menyingkap tirai penutup Allah darinya.

Keterusterangan yang tidak pada tempatnya hanya akan merusak alur drama kehidupan yang semestinya indah. Kalau kita bisa memilih peran yang protagonis, kenapa harus memilih antagonis? Kalau kita bisa menyenangkan orang, kenapa pilih yang menyusahkannya? Kalau kita mampu membesarkan hati orang, kenapa justru kita jatuhkan? Semoga hidup kita menjadi terang terus.

( Sekretariat Masjid Arfaunnas, Universitas Riau, Ahad, 02 Mei 2010, 04:45:17WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 220 Th.11, Shafar 1431, 28 Januari 2010

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Era Kolaborasi

Era Kolaborasi[1]

Edi Santoso 

(Hal-44) Perubahan teknologi komunikasi membawa perubahan mendasar, tak hanya cara kita berkomunikasi, tetapi juga dalam bidang lain, seperti dalam masalah sosial atau ekonomi. Jika Karl Marx mengandaikan perubahan struktur ekonomi sebagai faktor determinan dalam sejarah manusia, maka beberapa pakar menyebut perubahan teknologi komunikasi juga membawa dampak yang kurang lebih sama. Ketika teknologi membuat kita terkoneksi secara global misalnya, banyak perubahan dalam hidup kita sangat terasa.



Salah satu yang merasakan dampaknya adalah dunia ekonomi dan bisnis. Beradaptasi dengan tren teknologi atau akan perlahan mati. Itulah yang dirasakan oleh beberapa perusahaan besar, seperti Goldcorp Inc, sebuah perusahaan tambang dari Kanada. Investasi jor-joran sang CEO, Rob McEwen, tak kunjung membuahkan hasil. Para geolog perusahaan itu nyaris frustasi, sampai McEwen punya ‘ide gila’. Terinspirasi oleh pengembangan software open source, melalui internet, McEwen membuka tantangan pada siapapun untuk ikut berburu emas.

Data-data pertambangan yang sebelumnya sangat rahasia pun dibuka pada public. “Kami tak hanya memberikan data ekslusif, tetapi juga fundamental,” kata McEwen. Sebuah keputusan berani dan berisiko. Tak hanya para geolog yang terlibat, tetapi juga mahasiswa pasca sarjana, konsultan, matematikawan, anggota militer, dan lain sebagainya. Hasilnya sungguh mengejutkan. Sejak kontes dimulai ditemukan 8 juta ounce emas. McEwen menyimpulkan, kolaborasi telah memangkas waktu eksplorasi sekatar 2-3 tahun.

Dulu, kolaborasi yang kita kenal sangat terbatas lingkupnya, misalnya kolaborasi diantara keluarga, teman atau rekan kerja. Kalaupun ada yang mendekati angka missal, itu terjadi pada momen khusus, misalnya dalam isu-isu politik atau peperangan. Sekarang kondisinya berubah. Penulis buku ‘Wikinomics’, Don Tapscott dan Anthony. D. William, mengatakan, pertumbuhan aksetabilitas teknologi informasi telah menghasilkan alat bantu yang diperlukan bagi kolaborasi, penciptaan nilai, dan kompetisi ‘di ujung jari-jemari’ semua orang. Inilah yang membebaskan orang untuk ber (Hal-45) partisipasi dalam inovasi dan penciptaan kemakmuran di sektor ekonomi.

Kolaborasi tak selalu berorientasi ekonomi atau komersial, seperti dukungan para netizen pada para ilmuwan di Olson Laboratory yang mengembangkan obat penangkal AIDS. Para ilmuwan tersebut menggunakan sebuah komputer super untuk mengevaluasi prospek obat-obatan anti AIDS. Komputer ini merupakan bagian dari World Community Grid, sebuah jaringan global, di mana jutaan pengguna komputer personal menyumbangkan daya ekstra melalui internet untuk membentuk salah satu platform komputer paling kuat di dunia.

Semangat kolabarasi itu pula yang mengantar runtuhnya beberapa rezim tiran di Timur Tengah. Hal serupa juga terjadi di negeri kita untuk beberapa isu sosial politik, meski baru sebatas menggerakkan kedermawanan atau kepedulian sosial. Aksi-aksi kolektif tersebut adalah cermin bahwa kita bisa dipersatukan semangat kolaboratif untuk sebuah kepentingan bersama dengan capaian-capaian luar biasa.

Semangat kolaborasi tersebut sekaligus menjelaskan karakter dasar manusia sebagai makhluk sosial. Kita tidak mungkin bertahan di muka bumi ini tanpa ada kerjasama dengan manusia lainnya. Teknologi kemudian menjadi katalisatornya, dengan kemampuannya melipatgandakan rentang kolaborasi. Maka hokum jumlah berlaku, bahwa yang lebih banyak lebih baik dari yang sedikit. Semakin banyak yang terlibat, semakin banyak yang bisa berkontribusi. Semakin banyak yang bergabung, semakin beruntung.

Di era kolaborasi, tak ada lagi ekslusifitas informasi, sebagaimana Wikipedia yang meruntuhkan ‘kesombongan’ ensiklopedia-ensiklopedia kelas dunia. Melalui kolaborasi, Wikipedia kini setidaknya berlipatkali lebih besar dari Encyclopedia Britannica. Maka, kunci sukses tak lagi bermakna siapa yang memegang informasi, tetapi siapa yang bisa memanfaatkan kemelimpahan informasi.

Tapscott dan William mengatakan, sebuah perubahan telah menggiring kita pada sebuah dunia di mana pengetahuan, kekuatan, dan kemampuan produktif menyebar lebih luas ketimbang sebelumnya. Dunia di mana penciptaan nilai berlangsung cepat, lentur dan selalu mengacau. Dunia di mana hanya mereka yang terkoneksi saja yang dapat bertahan. Peralihan kekuasaan sedang berlangsung dan peraturan bisnis baru yang ketat mulai muncul: Raihlah kolaborasi baru atau binasa.***

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 286 Th.14, Muharram 1434, 29 November 2013

(Bukan) Akhir Media Cetak

(Bukan) Akhir Media Cetak[1][2]

Edi Santoso 

(Hal-50) Newsweek tentu bukan media cetak besar pertama yang gulung tikar. Tetapi pernyataan Pemimpin Redaksi Newsweek Tina Brown bahwa saingan majalah Time ini tidak akan terbit lagi sangat mengejutkan, sampai-sampai ada yang beranggapan inilah penanda bahwa kematian media cetak sudah di depan mata. Banyak yang mulai yakin dengan tesis Marshal Mcluhan (1967) bahwa era tanpa kertas (paperless) akan menandai perjalanan sejarah manusia.



Bahwa orang terkejut, sangatlah wajar, mengingat reputasi Newsweek selama delapan dekade terakhir. Didirikan pada 1933 oleh Thomas JC Martyn, mantan editor Time, majalah Newsweek pernah menjadi majalah yang ditunggu-tunggu bersama. Warga rela menunggu selama seminggu hanya untuk menunggu apa gerangan yang akan disajikan Newsweek. Pelanggan majalah ini sempat sampai 3,15 juta orang pada puncaknya tahun 2000. Bisa dibilang, Time  dan Newsweek adalah dua ikon majalah berskala internasional.

Pertanyaan mudahnya, jika Newsweek saja tak tahan dengan tantangan pasar, bagaimana dengan majalah-majalah lain? Tentu saja tidak sesederhana itu untuk menjelaskan realitas media cetak yang sesungguhnya. Brown sendiri menjelaskan transformasi Newsweek yang sampai terakhir terbit masih memiliki 1,5 juta pelanggan, dari cetak menjadi digital, lebih merupakan strategi bisnis. Pembaca Newsweek tidak hengkang sama sekali, tetapi berkurang.

Presiden The Association of Magazine Media, Marry Berner, mengatakan keputusan Newsweek berubah menjadi digital tak merefleksikan kesehatan media cetak. “Industri ini belum masuk toilet. Ini tidak benar. Keinginan membaca majalah versi cetak belum enyah,” ujar Marry. Editor majalah Time, Rick Stengel, mengatakan belum akan mengikuti langkah Newsweek. “Edisi cetak tetap andalan bagi grup Time. Sejak lama kami tidak melihat Newsweek sebagai (Hal-51) pesaing utama dan tunggal, kami melihat banyak penerbitan lain sebagai pesaing sehingga kami terus berjuang memperbaiki diri dan tampil mengesankan,” ujar dia.

Pendapat mereka yang optimis didukung oleh beberapa fakta yang menunjukkan bahwa industry media cetak sebetulnya relatif stabil. Menurut MediaFinder.com, sejak Januari hingga Agustus 2012, ada 181 majalah edisi cetak di Amerika yang terbit da hanya 61 diantaranya yang gulung tikar. Majalah yang bertema bisnis termasuk stabil. The Economist misalnya, oplahnya justru meningkat, dari 884.000 eksemplar pertahun menjadi 1,6 juta eksemplar tahun ini.

Di Indonesia sendiri, menurut penelitian Merlyna Lim (2011), Media cetak memang mengalami penurunan, tapi tak selayak penurunan khalayak Radio. Sementara televise, masih mendominasi, dan tentu saja media online meningkat signifikan. Menarikanya dalam penelitian itu, media cetak (Koran) masih dianggap masyarakat sumber berita paling penting. Media cetak, kata Lim, tetaplah berada di jantung landskap isi media, khususnya dalam produksi berita. David T Hill menambahkan, meski jangkauannya kalah oleh media elektronik, media cetak tetap mendominasi dalam mendefinisikan apa itu berita.

Sebuah kajian yang dilakukan oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS) pun menyimpulkan, media cetak di Indonesia akan tetap eksis, setidaknya sampai 30 tahun ke depan. Ada yang tidak tergantikan dari media cetak, terutama bagi generasi yang mengenal media cetak terlebih dulu sebelum media online (immigrant digital). Sensasi memegang kertas, membuka lembar-lembarnya, aroma kertas, atau kebiasaan menenteng dan mendokumentasikannya telah menjadi bagian dari budaya kita berinteraksi dengan media.

Sejarah juga membuktikan, kehadiran media baru tidak serta merta menggantikan media lama. Televisi misalnya, kemunculannya dengan daya impresinya yang mengakomodir sisi audio dan visual sekaligus kemudian menggusur radio (yang hanya mengandalkan aspek audio) sama sekali. Radio tetap bertahan, karena ada karakternya yang tak tergantikan, sebagaimana juga dalam media cetak.

Namun, ‘gugurnya’ beberapa perusahaan surat kabar atau majalah harus menjadi pelajaran penting, bahwa pasar media telah berubah. Suka atau tidak, kemunculan media baru membawa dampak signifikan. Kepercayaan khalayak yang tinggi pada media cetak adalah modal penting untuk bertahan. Media cetak akan tetap menjadi pilihan di tengah euphoria dunia maya, terutama jika bisa mengisi celah-celah yang belum terjawab tuntas oleh media online, misalnya kedalaman dan keterpercayaan. Tak kalah pentingnya, bagaimana media cetak mampu mengelola sensasi berinteraksi dengan kertas, sehingga menjadi pengalaman yang tak tergantikan.  

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Kebaikan Kata Untuk Kita

 Kebaikan Kata Untuk Kita[1][2]

Edi Santoso

(Hal-44) Saat berkomunikasi, kata-kata yang kita gunakan bukan semata-mata untuk orang lain, tetapi lebih-lebih adalah untuk kita sendiri. Melalui serangkaian penelitian, Raymond Birdwhistle pada tahun 1970, membuktikan bahwa kata-kata yang kita ucapkan kepada orang lain hanya mewakili 7 persen dari hasil yang kita dapatkan dari komunikasi. Tetapi, kata-kata yang kita ucapkan sendiri, menghasilkan 100 persen hasil yang kita dapatkan dalam hidup kita.



Para ahli neuro linguistic banyak menjelaskan bagaimana hubungan kata, otak, dan perilaku kita. Semua perilaku dikendalikan oleh otak (pikiran), sementara otak bekerja melalui instruksi kata-kata kita sendiri. Di sinilah kita akan bertemu dengan kata-kata yang memiliki daya getar berbeda. Ada kata-kata yang berenergi tinggi dan rendah. Kata-kata yang berenergi tinggi yang berdaya kuat seperti gembira, sukses, atau cinta, bergetar dengan getaran yang lebih tinggi dan cepat, sehingga meningkatkan perasaan senang kita.

Sementara itu, kata-kata berenergi rendah, terutama kata-kata yang berkaitan dengan emosi negative seperti kesedihan atau bersalah, beresonansi pada frekuensi yang lebih rendah. Kata-kata ini menyertai pikiran dan perasaan berenergi rendah yang biasanya berupa keyakinan dan model-model bawah sadar yang kita pegang untuk diri kita sendiri dan dunia. Keyakinan ini bersifat kurang mendukung dan menghalangi kita dari kesuksesan, misalnya,”Aku tidak bisa mengatasi masalah itu.” Atau “aku sulit mencapai impianku.”

Mungkin tanpa kita sadari, perilaku kita lebih banyak dipengaruhi oleh akal bawah sadar yang bekerja melalui gambar atau symbol-simbol. Karenanya, kita harus menyusul symbol sedemikian rupa tentang apa yang kita (hal-45) hasratkan dan bukan sebaliknya. Ironisnya, kata-kata yang kita ucapkan seringkali justru banyak berupa imaji yang sejatinya tidak kita sukai. Misalnya, kita biasa menggunakan ungkapan “Jangan berisik”, “Masalahnya pelik”, atau “Itu buruk”. Kata “Berisik”, “pelik” dan “buruk” akan langsung direspon akal kita dan membawanya pada gambaran yang tak menyenangkan.

Untuk memberikan arti yang serupa, kita sebetulnya memiliki banyak pilihan. Misalnya, kenapa tidak kita ganti dengan “Bersikaplah yang tenang”, “masalahnya memang tidak mudah”, dan “Itu tidak baik”. Kata “Tenang”, “Mudah” dan “Baik” berenergi tinggi, sehingga akan direspon oleh akal secara positif dan kemudian membawa suasana hati yang lebih menyenangkan. Jadi, apa yang harus kita lakukan sebetulnya sederhana, yakni mengubah percakapan kita sehari-hari.

Kata-kata juga berkontribusi pada persepsi kita atas diri kita sendiri. Bahkan menurut pakar neuro linguistic, Yvonne Oswald, harga diri kita 100 persen bergantung pada dialog dalam diri kita (kata-kata dan pikiran kita), yakni bagaimana kita berbicara dengan diri kita sendiri, tentang diri sendiri di dalam benak. Hanya ada dua jenis pikiran, kata Oswald, yakni pikiran yang memberdayakan dan pikiran yang tidak memberdayakan. Pikiran yang memberdayakan adalah pikiran yang dipenuhi kata-kata positif. Repotnya memang, ada pengalaman yang tidak bisa kita tolak, misalnya pengalaman di masa-masa pengasuhan. Karenanya, tugas kita sekarang, menyeleksi mana kata-kata yang harus kita singkirkan dan mana yang harus kita pupuk dalam diri kita.

Dalam konteks relasi dengan orang lain, kata-kata positif yang kita ucapkan ujung-ujungnya untuk kita sendiri. Kata-kata berenergi tinggi, apalagi didukung bahasa nonverbal yang sesuai, akan memunculkan respon positif juga, begitupula sebaliknya. Misalnya, ketika kita mengucapkan,”Harap dipahami, saya bukannya benci anda,” maka kata ‘benci’ akan segera masuk dalam pikiran lawan bicara kita, mengendap, dan seterusnya bisa memunculkan suasana tidak nyaman saat berhadapan dengan kita. Coba kita ubah redaksinya menjadi,”Saya hanya belum bisa memahami maksud baik anda”, pasti akan memunculkan efek psikologis yang berbeda.

Sebuah kata memang terasa sederhana, tapi bisa menjadi awal dari segala kejadian yang menimpa kita. Kata akan membangun persepsi, sementara persepsi akan mengarahkan sikap-sikap kita. Maka, kata Oswald, berikan kehidupan pada kata-kata kita, maka kata-kata itu akan mendatangkan kehidupan, cinta dan sukses pada kita.



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 283 Th.14, Dzulhijjah 1433, 18 Oktober  2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Puasa Dan Pelajaran Komunikasi Antar Manusia

Puasa Dan Pelajaran Komunikasi Antar Manusia[1][2]

Edi Santoso

(Hal-46) Sebagai sebuah aktivitas, puasa bisa kita temukan dalam berbagai komunitas. Sejak zaman kuno, di masa Socrates, Plato, Aristoteles, Galen, Paracelsus, dan Hippocrates, puasa diyakini sebagai salah satu bentuk terapi. Dalam ajaran banya agama, puasa adalah sebentuk cara berkomunikasi dengan Tuhan. Terlebih dalam Islam, sebagaimana ibadah lain, puasa adalah media komunikasi dengan Sang Pencipta. Puasa, bahkan mendapat tempat khusus di hadapan Allah.



Puasa tak hanya menjadi sarana penyucian jiwa, sehingga ikatan manusia dan pencipta makin dekat, tetapi juga membawa banyak pelajaran bagi komunikasi antar manusia. Puasa menjelaskan bagaimana kualitas komunikasi antar manusia yang seharusnya. Ini terangkum dalam lima standar kualitas relasi, sebagaimana dikatakan para pakar komunikasi antarpribadi.

Pertama, loyalitas (loyalty).  Puasa adalah wujud loyalitas hamba yang luarbiasa. Bagaimana tidak, perintah Allah untuk menjauhi yang sehari-hari halal dan menyenangkan serta merta kita lakukan, termasuk syarat dan rukun-rukunnya. Komunikasi antar pribadi biasanya bertujuan membangun relasi. Dan relasi yang kuat hanya mungkin tercipta jika ada komitmen diantara mereka yang terlibat. Ada loyalitas di dalamnya. Loyalitas tak hanya hasil dari komunikasi, tetapi juga proses komunikasi. Loyalitas tergambar dari komitmen kita untuk membangun relasi melalui serangkaian komunikasi yang mungkin seringkali melelahkan.

Kedua, Rasa Hormat (respectful). Puasa dengan rangkaian ibadah lainnya dalam bulan Ramadhan ini tidak mungkin berjalan dengan khusu dan damai tanpa rasa hormat, seiring fakta betapa kita berbeda dalam beberapa hal. Kita dibiasakan untuk bertoleransi dalam perbedaan yang bersifat ijtihadiyah. Tak terbayang bagaimana kita bisa berkomunikasi secara positif tanpa rasa hormat. Perbedaan pendapat itu niscaya. Rasa hormat itulah yang menggaransi komunikasi tetap berlangsung, meskipun masing-masing kepala yang terlibat memiliki pandangan yang beragam, kita boleh berbeda, tetapi komitmen untuk tetap bersama harus selalu ada.

Ketiga, tulus (unconditionally there). Tak diragukan lagi bagaimana puasa menginspirasi kita untuk membantu sesama tanpa pamrih, terlebih setelah kita bisa berempati dengan apa yang dirasakan saudara-saudara kita. Dalam komunikasi, ketulusan akan membuat orang lain nya- (hal-47) man. Tulus berarti menyediakan diri untuk orang lain. Ketika mereka membutuhkan kita sebagai partner komunikasi, misalnya tempat curahan hati, ketulusan kita akan diuji. Tulus berarti komitmen kita untuk selalu hadir dengan orang-orang yang membangun relasi dengan kita, meski itu sekadar ungkapan basa-basi, misalnya lewat sapaan atau ucapan selamat.

Keempat, terpercaya (trustworthy). Puasa adalah ibadah bagi orang-orang terpercaya, karena sifatnya yang rahasia. Meskipun tidak ada orang yang melihat, kita senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Karena, kita yakini ini sepenuhnya urusan kita dengan Allah semata. Sementara dalam komunikasi, keterpercayaan itu semestinya melekat pada setiap partisipan. Dalam setiap informasi yang masuk melalui indera kita ada tanggungjawab di dalamnya, terlebih jika ini menyangkut harga diri atau keselamatan orang. Keterpercayaan adalah kunci kredibilitas kita. Sekali saja kita mengkhianatinya, jangan harap orang akan menghargai kita sebagai teman berkomunikasi.

Kelima, peka rasa (a genuine sounding board).  Rasa lapar dalam ibadah puasa mendidik kita untuk senantiasa empati pada kondisi orang lain, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Lapar memaksa kita merasakan kondisi yang sama dengan mereka. Kepekaan inilah yang menjembatani jurang batin diantara kita. Hal serupa semestinya juga kita hadirkan dalam komunikasi. Peka rasa berarti kita tak hanya berpikir tentang “kita”, “kita”, dan “kita”. Selain bicara, kita juga harus mendengar. Dengan mendengar, kita tahu apa yang dipikirkan atau dirasakan orang lain. Kepekaan akan menuntut kita batas-batas kapan harus bicara dan kapan saatnya diam. Kepekaan juga akan membantu kita untuk memilih artikulasi yang tepat, menyesuaikan dengan kondisi dan suasana yang sesuai.

Sebagai bentuk komunikasi spiritual, puasa mengajarkan betapa pentingnya peran kesucian jiwa. Jika hati yang bersih bisa menembus pintu-pintu langit, maka hal yang serupa pastilah bisa menembus pintu-pintu hati manusia. Maka tidak ada kata putus asa dalam komunikasi. Jika saat ini kita banyak menghadapi kendala dalam membangun relasi dengan sesame, maka yakinlah selalu ada peluang untuk menyelesaikannya. Niat baik yang bertaut dengan ikhtiar yang baik selalu membawa kita pada muara yang baik, Insya Allah.



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 280 Th.14, Syawal 1434, 6 September 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Komunikasi Keluarga

Komunikasi Keluarga[1][2]

Edi Santoso

 (Hal-44) Keluarga lebih dari sekadar kumpulan orang. Keluarga, kata Sosiolog Ernest W. Burges, adalah sebuah kehidupan, perubahan pertumbuhan, dan kesatuan orang yang berinteraksi (Unity of interacting person). Di keluarga lah, dalam kondisi normal, interaksi sosial pertama kali terjadi, semenjak kita lahir atau kanak-kanak. Bahkan sejak dalam kandungan, bayi berinteraksi dengan anggota keluarganya, meski dalam bentuk komunikasi nonverbal. Inilah komunikasi dini, komunikasi pertama yang dilakukan seorang manusia dengan sesamanya.



Komunikasi dini memegang peran krusial dalam perkembangan kejiwaan anak. Pasca Perang Dunia II, banyak anak korban perang yang menjadi pengungsi atau kehilangan orangtuanya, mengalami masalah kejiwaan yang serius. PBB kemudian menugaskan seorang psikiatris dan Psikoanalis John Bowlby untuk mengurai akar permasalahannya. Melalui serangkaian penelitian, Bowbly menyimpulkan, momen krusial terjadi dalam interaksi bayi dan orang lain dalam usia sejak lahir hingga dua tahun. Bayi akan lekat dengan orang-orang yang berinteraksi (berkomunikasi) dengannya secara sensitive dan responsive.

Secara naluriah, bayi akan mencari rasa aman pada orang di sekelilingnya. Komunikasi dalam bentuk apapun, baik verbal berupa sapaan atau candaan ataupun noverbal seperti sentuhan atak ekspresi muka adalah sebentuk jaminan akan rasa aman, karena menggambarkan kedekatan. Kualitas interaksi ini akan mempengaruhi emosi, persepsi, pikiran, dan harapan-harapan mereka dalam relasi selanjutnya. Naluri ini akan diikuti oleh ketakutan dan kesedihan (Hal-45) akan terpisahnya dengan orang-orang terdekat. Maka, memori, terpisah akan terus membekas dan menyulitkan mereka untuk membangun relasi dengan orang lain di kemudian hari.

Dalam fase selanjutnya, komunikasi dalam keluarga akan membentuk jati diri. Steinmetz mengatakan, kita tidak dilahirkan dengan pemahaman siapa kita, tetapi kita mendefinisikan siapa kita melalui simbolisasi dengan orang lain. Interaksi (komunikasi) lah yang membangun identitas kita. Karena keluarga merupakan ruang komunikasi utama, sejak belia hingga dewasa, maka perannya sangat signifikan. Komunikasi dengan orang tua, saudara, kakek-nenek, dan anggota keluarga besar lainnya adalah praktik simbolik yang akan memandu siapa kita.

Kata-kata yang membesarkan jiwa sangat signifikan pengaruhnya, begitu pula sebaliknya. Ungkapan-ungkapan positif akan menjadikan anggota keluarga berpikir dan bertindak konstruktif. Sebaliknya, hinaan, cercaan, ungkapan ketidakpercayaan atau ekspresi perendahan (underestimate) hanya akan mendorong dan melahirkan sikap rendah diri atau destruktif lainya. Maka, berhati-hatilah dengan praktik labelling (penjulukan). Itulah pentingnya memberi nama yang baik bagi seorang anak. Ketika bayi belum bisa bicara, kita sudah menyapanya dengan namanya. Bayangkan jika namanya berkonotasi buruk, betapa sering ungkapan negative mengendap di kepalanya.

Ketika ikatan keluarga kuat, bahkan cara dan gaya komunikasi kita pun terbawa. Sebuah contoh ekstrim di gambarkan dalam film Nell. Seorang gadis, Nell (Jodie Foster), yang tinggal di tengah hutan berperilaku aneh, dengan bahasa yang berbeda dengan orang pada umumnya. Beberapa psikiater bahkan menyebutnya gila, karena tidak bisa berkomunikasi dengan masyarakat umum. Setelah ditelusuri ternyata dia sepenuhnya normal. Perilaku anehnya adalah akibat komunikasi dalam keluarga yang unik. Di tengah hutan, dia tumbuh dan berinteraksi hanya dengan ibu dan saudara perempuannya. Kepada anak-anaknya, sang ibu hanya berkomunikasi dengan bahasa kuno (Ibrani) yang tak lagi memiliki penutur di zaman modern.

Jika lingkungan luar tak bisa dikendalikan, maka mengkondisikan keluarga jauh lebih memungkinkan. Sebelum anak-anak menemukan dunia liar bernama lingkungan pergaulan, pastilah mereka terlebih dahulu tumbuh dalam keluarga. Maka, ikhtiar membangun komunikasi dalam keluarga yang hangat, dekat dan konstruktif, adalah langkah penting membangun pribadi yang tangguh.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 279 Th.14, Ramadhan 1433, 26 Juli 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal 

Ketika Media Menjadi Hakim

Ketika Media Menjadi Hakim[1][2]

Edi Santoso

(Hal-41) Dengan jangkauannya, media massa punya kuasa. Di era informasi, arah opini hamper sepenuhnya ditentukan oleh media. Tidak berlebihan jika media dianggap sebagai pihak yang mendefinisikan dunia hari ini (defining agency). Bahkan media sejak abad ke-18 sering disebut sebagai pilar keempat (fourth estate), yakni lembaga yang mempunyai kekuatan besar dalam masyarakat. Merah Hijaunya dunia sangat ditentukan oleh media.



Tapi nampaknya adigium Lord Acton bahwa ‘kekuasaan cenderung korup’ (power tend to corrupt) berlaku bagi siapapun, termasuk media massa. Kekuasaan media, harus kita akui, memang berjasa dalam mewujudkan demokratisasi, terutama karena perannya sebagai alat control sosial karena perannya sebagai alat control sosial. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa tak sedikit praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh media terjadi. Salah satu catatan hitam itu adalah penghakiman oleh media (trial by the press).

Penghakiman itu terjadi dalam berbagai kasus hokum. Ketika hakim belum memutus sebuah perkara, media sudah mengetuk palunya. Ketika seseorang masih berstatus tersangka, media sudah mencitrakannya sebagai terdakwa atau terpidana. Kita bisa bayangkan betapa banyak orang yang namanya keburu hancur bahkan sebelum dia terbukti bersalah. Jika yang bersangkutan ternyata tak terbukti bersalah, sungguh layak media merasa berdosa.

Sayangnya memang, tak semua media  menghormati prosedur hokum yang semestinya. Tahapan tersangka, terdakwa, dan terpidana dalam proses hukum seringkali terkacaukan oleh semangat sensasional media. Begitu seseorang ditetapkan menjadi tersangka, melalui pemberitaan sensasional, yang bersangkutan seolah telah sunguh-sungguh bersalah. Ini diperparah oleh kecenderungan media saat ini yang lebih banyak  mengangkat fakta-fakta psikologis, yakni fakta yang berasal dari pendapat orang. Jadilah jurnalisme menjadi praktik mengumpulkan perkataan orang. Tulisan berita didominasi oleh istilah ‘konon katanya’.

Dari mana datangnya jebakan penghakiman oleh media? Pertama, penyakit sensasionalisme akut. Sensasionalisme seringkali (Hal-41) dikaitkan dentan praktik ‘yellow journalism’ yang menandai pemberitaan bombastis demi menaikkan oplah. Dan adagium ‘bad news is good news’ pun menemukan pembenarannya. Begitu juga ada kasus-kasus besar yang melibatkan seseorang, apalagi yang bersangkutan masuk dalam kategori tokoh public, media selalu bersemangat untuk meng-cover habis. Semakin banyak masalah, semakin laku media.

Sayangnya, sensasionalisme seringkali menumpulkan daya objektif media. Yang dipentingkan kemudian adalah dampak heboh bagi khalayak. Soal benar atau tidak faktanya, itu dipikir belakangan. Kalaupun salah dan ada yang protes, toh media bisa meralatnya. Nyaris tidak ada kepekaan bagaimana orang yang harus hancur namanya, diikuti rusaknya karir bahkan keluarganya, gara-gara pemberitaan yang hanya mementingkan sensasi.

Kedua, kepentingan ekstramedia. Media sulit menjadi independen, terutama di era industri. Mekanisme bisnis, melalui berbagai cara, telah banyak menundukkan media untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik. Kitapun tidak heran jika kemudian pemberitaan bisa dikendalikan sedemikian rupa untuk membangun citra tertentu. Dan jika kemudian media melakukan ‘penghakiman’ maka ini bagian dari sebuah ‘proyek’ tertentu.

Ini semua, tentu saja, bukan untuk membela mereka yang sedang berperkara. Ini sekedar mengingatkan kembali, betapa di luar sisi konstruktif media yang harus selalu kita apresiasi, ada kemungkinan malpraktik pemberitaan yang harus kita waspadai. Media tak akan pernah bisa, dan memang tak boleh, menjadi hakim. Keputusan hakim selalu tegas dan jelas; benar atau salah. Hakim harus membuat kepastian hokum, sementara media tak akan pernah bisa member kepastian. Media hanya memberitakan, bukan memvonis.

Demi kredibilitas, media harus berhati-hati memberikan penilaian, apalagi membuat  keputusan. Berapa banyak korban ‘trial by press’ yang sulit menemukan kembali nama baikknya. Pemberian hak jawab atau klarifikasi tak serta merta menyelesaikan masalah, apalagi jika dilakukan dengan tidak tulus, misalnya sekedar memuat protes pada halaman surat pembaca. Kita harus selalu ingat prinsip irreversible dalam komunikasi, bahwa apa yang sudah kita ucapkan atau tuliskan sejatinyatak bisa ditarik kembali. Permintaan maaf tidak akan pernah mengobati luka.

Sebagai pembaca, kita juga harus cerdas menimbang berita. Kepercayaan pada media jangan sampai membunuh akal sehat, apalagi hati nurani kita. Kita tak akan pernah tahu apa sesungguhnya terjadi begitu pula media.



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Kekuatan Bahasa

Kekuatan Bahasa[1] [2]

Edi Santoso

(Hal-46) Bahasa sangat menentukan hidup kita. Apalagi jika kita sepakat dengan tesis Benyamin Whorf bahwa bahasa dengan galur-galur ungkapan (grooves of expression), menentukan kondisi manusia, sehingga ia melihat dunia dengan cara-cara tertentu, dan dengan demikian mengarahkan pikiran dan tindakannya. Jadi, bahasa adalah pemandu realitas.

 


Whorf memberikan contoh orang Eskimo yang memiliki banyak ungkapan tentang salju, misalnya istilah untuk salju yang baru turun dari langit, salju yang sudh mengeras, atau salju yang sudah meleleh. Sementara orang pada umumnya  menamai itu semua cukup dengan salju (satu nama). Bahasa Indonesiapun mengenal istilah ‘gabah’, ‘beras’ dan ‘nasi’, sementara bahasa inggris hanya punya istilah ‘rice’ untuk menunjuk istilah yang sama. Ini menunjukkan perhatian khusus orang Indonesia pada makanan pokoknya.

 

George Lakoff mengatakan, sadar atau tidak, metafora ternyata mengarahkan hidup kita sehari-hari. Metafora adalah praktik kebahasaan kita, yakni penggunaan istilah-istilah di luar makna literal. Misalnya, kita punya ungkapan ‘waktu terus berjalan’. Waktu dianalogikan makhluk hidup yang bisa berjalan. Sementara orang Amerika punya ungkapan serupa ‘time is running’ sama-sama menganalogikan waktu, tetapi kita menggunakan kata kerja ‘berjalan’, sedangkan orang Barat memakai istilah ‘running’ (berlari). Sama-sama menganalogikan waktu, tetapi kita menggunakan kata kerja ‘berjalan’, sedangkan orang Barat memakai istilah ‘running’ (berlari).

Perbedaan istilah itu yang bisa jadi membuat kita berbeda dalam memaknai waktu. Mereka berpacu dengan waktu yang sangat cepat berlalu, sementara kita lebih santai, karena waktu hanya ‘berjalan’. Kita pun punya ungkapan Jawa ‘alon-alon asal klakon’ (pelan-pelan saja, yang penting kesampaian).

Ketika kita mengadopsi istilah, perilaku pun mengikuti. Istilah ‘fast food’ misalnya tiba-tiba popular di negeri ini. Metafora makanan sebagai organisme yang dinamis. Cara pandang kita pada makanan pun berubah, karena memasukkan aspek kecepatan sebagai variable penting dalam bisnis makanan. Orang tak lagi bicara soal ‘gizi’ sebuah istilah popular beberapa tahun (Hal-42) silam, tapi soal kecepatan dan kepraktisan. Maka menjamurlah bisnis makanan cepat saji di negeri ini.

Metafora adalah sistem secara konseptual yang mengarahkan hidup kita. Maka, berhati-hatilah dalam menggunakannya. Istilah cinta yang dulu identik dengan kesetiaan, pengorbanan, keluhuran, atau keabadian. Seperti ungkapan Buya Hamka,”Cinta adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitik embun yang turun dari langit, bersih dan suci.” Ada juga ungkapan,”Kejarlah cinta sejatimu.” Metafora ini menggambarkan cinta sebagai objek istimewa yang berada nun jauh di sana, sehingga untuk mendapatkannya perlu perjuangan. Bandingkan dengan ungkapan ‘cinta satu malam.’ Kesucian cinta direduksi sedemikian rupa, sehingga nafsu dan cinta sulit dicari batasnya.

Batas dunia manusia adalah bahasa mereka, kata Filsuf Witgenstein. Ini tidak semata berarti pentingnya penguasaan berbagai bahasa dunia, tetapi juga pemahaman berbagai istilah atau metafora bahasa apapun yang kita pakai. Karena, bahasa menautkan istilah-istilah simbolik dengan referen. Semakin kaya istilah-istilah kita, maka akan semakin banyak referen yang kita pahami. Jika referen adalah potret dunia ini, maka dengan semakin piawai kita berbahasa, maka akan semakin banyak yang bisa kita lihat dari dunia ini. Kita pun menjadi mengerti kenapa ada nasihat,”Ajarkan anak-anakmu dengan satra, agar halus akal budi mereka.” Sastra kaya dengan metafora. Tak semata rangkaian kata-katanya yang indah didengar, tapi ungkapan-ungkapan dalam sastra juga biasanya penuh makna. Kita mungkin ingat dengan ungkapan penyair besar Muhammad Iqbal berikut,”Hidup seperti juga puisi dan lukisan, seluruhnya adalah ekspresi.” Menganalogikan hidup kita dengan puisi dan lukisan akan membawa kita pada bayangan keindahan. Tapi itu tidak serta merta, karena sebagai sebuah ‘ekspresi’ pada akhirnya bergantung pada kita semua yang menjalaninya. Ungakapan ini singkat, tapi sungguh merupakan metafora tentang hidup yang tak saja indah, tapi juga dalam maknanya.

Bahasa selalu dinamis, karena makna terus berkembang. Simbol kebahasaan tak habis-habis dieksplorasi, begitu pula referen-nya. Karena bahasa akan mengarahkan kita, maka menjadi tantangan kita bersama, bagaimana menggunakan bahasa untuk hidup yang lebih bermakna. Tak saja melalui counter  istilah, misalnya ‘slow food’ sebagai antithesis ‘fast food’, tapi kita juga bisa menciptakan atau terus memperbaharui ungkapan-ungkapan yang ada.

Bahasa akan mendefinisikan hidup kita. Bahasa, bahkan menunjukkan kemampuan dan kekuasaan kita, seperti dikatakan Foucoult,”Siapa yang mampu memberi nama, dia yang menguasai.” Banyak orang hebat karena dia tahu lebih dulu dibanding kita. Dia tahu lebih dulu, karena penguasaan bahasanya lebih baik dari kita.

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 270 Th.13, Rabi’ul Tsani 1433 H, 8 Maret 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal