Puasa Dan
Pelajaran Komunikasi Antar Manusia[1][2]
Edi Santoso
(Hal-46) Sebagai
sebuah aktivitas, puasa bisa kita temukan dalam berbagai komunitas. Sejak zaman
kuno, di masa Socrates, Plato, Aristoteles, Galen, Paracelsus, dan Hippocrates,
puasa diyakini sebagai salah satu bentuk terapi. Dalam ajaran banya agama,
puasa adalah sebentuk cara berkomunikasi dengan Tuhan. Terlebih dalam Islam,
sebagaimana ibadah lain, puasa adalah media komunikasi dengan Sang Pencipta.
Puasa, bahkan mendapat tempat khusus di hadapan Allah.
Puasa tak hanya menjadi sarana penyucian
jiwa, sehingga ikatan manusia dan pencipta makin dekat, tetapi juga membawa
banyak pelajaran bagi komunikasi antar manusia. Puasa menjelaskan bagaimana
kualitas komunikasi antar manusia yang seharusnya. Ini terangkum dalam lima
standar kualitas relasi, sebagaimana dikatakan para pakar komunikasi
antarpribadi.
Pertama, loyalitas (loyalty). Puasa adalah wujud loyalitas hamba yang
luarbiasa. Bagaimana tidak, perintah Allah untuk menjauhi yang sehari-hari
halal dan menyenangkan serta merta kita lakukan, termasuk syarat dan
rukun-rukunnya. Komunikasi antar pribadi biasanya bertujuan membangun relasi.
Dan relasi yang kuat hanya mungkin tercipta jika ada komitmen diantara mereka
yang terlibat. Ada loyalitas di dalamnya. Loyalitas tak hanya hasil dari
komunikasi, tetapi juga proses komunikasi. Loyalitas tergambar dari komitmen
kita untuk membangun relasi melalui serangkaian komunikasi yang mungkin
seringkali melelahkan.
Kedua, Rasa Hormat (respectful). Puasa dengan
rangkaian ibadah lainnya dalam bulan Ramadhan ini tidak mungkin berjalan dengan
khusu dan damai tanpa rasa hormat, seiring fakta betapa kita berbeda dalam
beberapa hal. Kita dibiasakan untuk bertoleransi dalam perbedaan yang bersifat ijtihadiyah.
Tak terbayang bagaimana kita bisa berkomunikasi secara positif tanpa
rasa hormat. Perbedaan pendapat itu niscaya. Rasa hormat itulah yang
menggaransi komunikasi tetap berlangsung, meskipun masing-masing kepala yang
terlibat memiliki pandangan yang beragam, kita boleh berbeda, tetapi komitmen
untuk tetap bersama harus selalu ada.
Ketiga, tulus (unconditionally there). Tak
diragukan lagi bagaimana puasa menginspirasi kita untuk membantu sesama tanpa
pamrih, terlebih setelah kita bisa berempati dengan apa yang dirasakan
saudara-saudara kita. Dalam komunikasi, ketulusan akan membuat orang lain nya- (hal-47) man.
Tulus berarti menyediakan diri untuk orang lain. Ketika mereka membutuhkan kita
sebagai partner komunikasi, misalnya tempat curahan hati, ketulusan kita akan
diuji. Tulus berarti komitmen kita untuk selalu hadir dengan orang-orang yang
membangun relasi dengan kita, meski itu sekadar ungkapan basa-basi, misalnya
lewat sapaan atau ucapan selamat.
Keempat, terpercaya (trustworthy). Puasa adalah
ibadah bagi orang-orang terpercaya, karena sifatnya yang rahasia. Meskipun
tidak ada orang yang melihat, kita senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang
membatalkan puasa. Karena, kita yakini ini sepenuhnya urusan kita dengan Allah
semata. Sementara dalam komunikasi, keterpercayaan itu semestinya melekat pada
setiap partisipan. Dalam setiap informasi yang masuk melalui indera kita ada
tanggungjawab di dalamnya, terlebih jika ini menyangkut harga diri atau
keselamatan orang. Keterpercayaan adalah kunci kredibilitas kita. Sekali saja
kita mengkhianatinya, jangan harap orang akan menghargai kita sebagai teman
berkomunikasi.
Kelima, peka rasa (a genuine sounding board).
Rasa lapar dalam ibadah puasa mendidik kita
untuk senantiasa empati pada kondisi orang lain, terutama mereka yang berada di
bawah garis kemiskinan. Lapar memaksa kita merasakan kondisi yang sama dengan
mereka. Kepekaan inilah yang menjembatani jurang batin diantara kita. Hal
serupa semestinya juga kita hadirkan dalam komunikasi. Peka rasa berarti kita
tak hanya berpikir tentang “kita”, “kita”, dan “kita”. Selain bicara, kita juga
harus mendengar. Dengan mendengar, kita tahu apa yang dipikirkan atau dirasakan
orang lain. Kepekaan akan menuntut kita batas-batas kapan harus bicara dan
kapan saatnya diam. Kepekaan juga akan membantu kita untuk memilih artikulasi
yang tepat, menyesuaikan dengan kondisi dan suasana yang sesuai.
Sebagai bentuk komunikasi spiritual, puasa
mengajarkan betapa pentingnya peran kesucian jiwa. Jika hati yang bersih bisa
menembus pintu-pintu langit, maka hal yang serupa pastilah bisa menembus
pintu-pintu hati manusia. Maka tidak ada kata putus asa dalam komunikasi. Jika
saat ini kita banyak menghadapi kendala dalam membangun relasi dengan sesame,
maka yakinlah selalu ada peluang untuk menyelesaikannya. Niat baik yang bertaut
dengan ikhtiar yang baik selalu membawa kita pada muara yang baik, Insya
Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar