Jumat, 04 September 2020

Puasa Dan Pelajaran Komunikasi Antar Manusia

Puasa Dan Pelajaran Komunikasi Antar Manusia[1][2]

Edi Santoso

(Hal-46) Sebagai sebuah aktivitas, puasa bisa kita temukan dalam berbagai komunitas. Sejak zaman kuno, di masa Socrates, Plato, Aristoteles, Galen, Paracelsus, dan Hippocrates, puasa diyakini sebagai salah satu bentuk terapi. Dalam ajaran banya agama, puasa adalah sebentuk cara berkomunikasi dengan Tuhan. Terlebih dalam Islam, sebagaimana ibadah lain, puasa adalah media komunikasi dengan Sang Pencipta. Puasa, bahkan mendapat tempat khusus di hadapan Allah.



Puasa tak hanya menjadi sarana penyucian jiwa, sehingga ikatan manusia dan pencipta makin dekat, tetapi juga membawa banyak pelajaran bagi komunikasi antar manusia. Puasa menjelaskan bagaimana kualitas komunikasi antar manusia yang seharusnya. Ini terangkum dalam lima standar kualitas relasi, sebagaimana dikatakan para pakar komunikasi antarpribadi.

Pertama, loyalitas (loyalty).  Puasa adalah wujud loyalitas hamba yang luarbiasa. Bagaimana tidak, perintah Allah untuk menjauhi yang sehari-hari halal dan menyenangkan serta merta kita lakukan, termasuk syarat dan rukun-rukunnya. Komunikasi antar pribadi biasanya bertujuan membangun relasi. Dan relasi yang kuat hanya mungkin tercipta jika ada komitmen diantara mereka yang terlibat. Ada loyalitas di dalamnya. Loyalitas tak hanya hasil dari komunikasi, tetapi juga proses komunikasi. Loyalitas tergambar dari komitmen kita untuk membangun relasi melalui serangkaian komunikasi yang mungkin seringkali melelahkan.

Kedua, Rasa Hormat (respectful). Puasa dengan rangkaian ibadah lainnya dalam bulan Ramadhan ini tidak mungkin berjalan dengan khusu dan damai tanpa rasa hormat, seiring fakta betapa kita berbeda dalam beberapa hal. Kita dibiasakan untuk bertoleransi dalam perbedaan yang bersifat ijtihadiyah. Tak terbayang bagaimana kita bisa berkomunikasi secara positif tanpa rasa hormat. Perbedaan pendapat itu niscaya. Rasa hormat itulah yang menggaransi komunikasi tetap berlangsung, meskipun masing-masing kepala yang terlibat memiliki pandangan yang beragam, kita boleh berbeda, tetapi komitmen untuk tetap bersama harus selalu ada.

Ketiga, tulus (unconditionally there). Tak diragukan lagi bagaimana puasa menginspirasi kita untuk membantu sesama tanpa pamrih, terlebih setelah kita bisa berempati dengan apa yang dirasakan saudara-saudara kita. Dalam komunikasi, ketulusan akan membuat orang lain nya- (hal-47) man. Tulus berarti menyediakan diri untuk orang lain. Ketika mereka membutuhkan kita sebagai partner komunikasi, misalnya tempat curahan hati, ketulusan kita akan diuji. Tulus berarti komitmen kita untuk selalu hadir dengan orang-orang yang membangun relasi dengan kita, meski itu sekadar ungkapan basa-basi, misalnya lewat sapaan atau ucapan selamat.

Keempat, terpercaya (trustworthy). Puasa adalah ibadah bagi orang-orang terpercaya, karena sifatnya yang rahasia. Meskipun tidak ada orang yang melihat, kita senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Karena, kita yakini ini sepenuhnya urusan kita dengan Allah semata. Sementara dalam komunikasi, keterpercayaan itu semestinya melekat pada setiap partisipan. Dalam setiap informasi yang masuk melalui indera kita ada tanggungjawab di dalamnya, terlebih jika ini menyangkut harga diri atau keselamatan orang. Keterpercayaan adalah kunci kredibilitas kita. Sekali saja kita mengkhianatinya, jangan harap orang akan menghargai kita sebagai teman berkomunikasi.

Kelima, peka rasa (a genuine sounding board).  Rasa lapar dalam ibadah puasa mendidik kita untuk senantiasa empati pada kondisi orang lain, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Lapar memaksa kita merasakan kondisi yang sama dengan mereka. Kepekaan inilah yang menjembatani jurang batin diantara kita. Hal serupa semestinya juga kita hadirkan dalam komunikasi. Peka rasa berarti kita tak hanya berpikir tentang “kita”, “kita”, dan “kita”. Selain bicara, kita juga harus mendengar. Dengan mendengar, kita tahu apa yang dipikirkan atau dirasakan orang lain. Kepekaan akan menuntut kita batas-batas kapan harus bicara dan kapan saatnya diam. Kepekaan juga akan membantu kita untuk memilih artikulasi yang tepat, menyesuaikan dengan kondisi dan suasana yang sesuai.

Sebagai bentuk komunikasi spiritual, puasa mengajarkan betapa pentingnya peran kesucian jiwa. Jika hati yang bersih bisa menembus pintu-pintu langit, maka hal yang serupa pastilah bisa menembus pintu-pintu hati manusia. Maka tidak ada kata putus asa dalam komunikasi. Jika saat ini kita banyak menghadapi kendala dalam membangun relasi dengan sesame, maka yakinlah selalu ada peluang untuk menyelesaikannya. Niat baik yang bertaut dengan ikhtiar yang baik selalu membawa kita pada muara yang baik, Insya Allah.



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 280 Th.14, Syawal 1434, 6 September 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar